Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Sunday, 31 March 2019

Askep pada Klien dengan Spondilitis TB

TINJAUAN PUSTAKA

  1. Definisi Spondilitis TB
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).Spondilitis tuberkulosa (TB) infeksi granulomatosis yang di sebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa pada tulang vertebra.


Gambar 1. Spondilitis TB (Google Image)

  1. Klasifikasi
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.
  1. Klasifikasi Pott’s paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB.

  1. Klasifikasi klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien.

  1. Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.

  1. Klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment  scale untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan

  1.  Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacteriumtuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)(7,10).

  1. Faktor Resiko
  1. Usia dan jenis kelamin
Pada usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.

  1.  Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit.

  1. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.

  1. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.

  1. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.

  1. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

  1. Manifestasi Klinis
Orang dengan infeksi Mycobakterium tuberculosis sebagian besar menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan BB, berkeringat malam, dan cemas.

Gejala pada spondilitis TB diantaranya:
  1. Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri.
  2. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupaka lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif.
  3. Disertai dengan paraplegia ataupun tanpa gejala paraplegia jika kelainan berlansung lama.

  1. Patofisiologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.

Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang.Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra.Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis.Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.

Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal.Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).

Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan namaPott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis.Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

  1. WOC


  1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan diagnostik
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit.Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejala gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya.Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.

Pemeriksaan fisik yang mungkin didapat pada pasien dengan spondilitis TB:
  1. Look
Didapatkan kutavatura tulang belakang mengalami deformtas, terlihat adanya abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, serta decubitus pada bokong.

  1. Feel
Jika terdapat abses, maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abses, berbeda dengan abses piogenik yang teraba panas). Sensasi ini dapat dipalpasi didaerah lipat paha, fosa iliaka, retrofiring, atau disisi leher (dibelakang otot strenokleidomatedeus), bergantung dari level lesi.Dapat juga teraba disekitar dinding dada.

  1. Move
Kelemahan anggota gerak (paraplegi) dan gangguan pergerakan tulang belakang

  1. Pemeriksaan Radiologi
  1. Sinar-X
Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus.Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus).Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.

  1. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis.CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.  Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.

  1. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.

  1. Pencitraan lainnya
  1. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume abses atau massa iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.
  2. Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi rendah.
  3. Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis: untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi.

  1. Pemeriksaan Laboratorium
  1. Pemeriksaan  rutin  yang  biasa  dilakukan  untuk menentukan adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux tes).  Uji tuberkulin adalah suatu cara untuk mengenal adanya infeksi tuberkulosis. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB akan memberikan reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin dibaca setelah  48-72 jam (saat ini dianjurkan 72 jam) setelah penyuntikan. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm. Secara umum, hasil uji tuberkulin adalah diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan, karena dapat disebabkan oleh infeksi Mycobacterium atipic dan BCG, atau memang karena infeksi TB.

  1. Pemeriksaan darah
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. Pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam).

  1. Pemeriksaan laju endap darah (LED)
LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam.

  1. Pemeriksaan kultur darah
Pemeriksaan ini sangat diperlukan untuk menentukan bakteri (50% positif) dan pemberian antimikroba diikuti dengan uji sensitivitas.

  1. Bakteriologi
Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam Hok, Kinyoun-Gabbet atau dengan metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan auramine dan rhodamine.Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per ml sputum. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi selama satu malam. Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru.Juga pada pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya. (Ramachandran R, 2003)

  1. Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas. (Ramachandran R, 2003)

  1. ICT Tuberkulosis
Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa atau ICT Tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan mengembangkan antigen untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh penderita. Pemeriksaan ini menggunakan membran atau strip nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen. Strip dapat dibaca secara manual atau dibaca oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% – 85% dan spesifisitas 98%. (Rini, 2004)

  1. Penatalaksanaan
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari :
a. Terapi konservatif
  1. Immobilisasi dengan tirah baring atau body cast
  1. Tirah baring (bed rest).
Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis, dan laboratorium.Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat ditempat tidur selama 3-6 minggu.

  1. Gips badan (body cast)
Istirahat dapat digunakan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif.

  1. Thoraco Lumbal Sacrum Orthosist (TLSO)
Merupakan alat bantu ortopedi yang berupa korset yang diindikasikan untuk cedera atau kelainan tulang belakang atau punggung. Fungsi TLSO ini sangat efektif digunakan untuk mengurangi rasa nyeri pada punggung.

  1. Fisioterapi Range of Motion
Latihan ROM pada anggota gerak dilakukan untuk mencegah kontraktur dan atrofi otot.Latihan ROM yang optimal dapat menurunkan atrofi otot, perbaikan sirkulasi perifer dan mencegah kontraktur pada ekstremitas bawah yang mengalaimi  kelemahan. Dengan demikian apabila masalah peradangan akibat spondylitis punggung teratasi, pasien tidak mengalami atrofi otot dan kontraktur pada ekstremitas bawah.Sehingga pasien dapat menurunkan resiko decubitus, konstipasi dan gangguan miksi.

  1. Pengobatan Antituberkulosa.
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
  1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya  kekebalan terhadap semua OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan  secara tepat  biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif  menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.

  1. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama.

Obat-obat anti tuberkulosa yang utama meliputi:
  1. Isoniazid (INH)
Obat ini sangat efektif, tetapi kini ditemukan adanya strain bakteri yang resisten.Mempunyai efek samping neuropati perifer, oleh sebab itu sebagai perawat hendaknya kita memperhatikan semua perubahan sensasi pada tangan dan kaki.

  1. Rifampisin (RMP)
Obat ini dikenal sangat kuat dan mempunyai efek samping mampu mempercepat metabolism kortikosteroid, fenito, antikuagulan, dan estrogen.Selain itu, RMP juga mampu mengurangi keefektifan estrogen pil kontasepsi oral serta mengakibatkan warna urin dan cairan tubuh lainnya menjadi merah –jingga.Efek samping yang paling fatal yakni dapat menyebabkan gagal hati.

  1. Pirazinamid (PZA)
Obat ini digunakan hanya pada fase awal spondylitis dan kontraindikasi terhadap wanita hamil.Efeksamping PZA meliputi gangguan hati dan saluran cerna serta gout.

  1. Streptomisin (SM)
SM diberikan secara intramuscular (IM) karena tidak dapat diabsorpsi dari usus. SM merupakan iritan kulit sehingga ketika menyiapkan dan memberikan obat ini dianjurkan menggunakan masker untuk mengantisipasi bahaya dari spray aerosol. Efeksamping yang didapat meliputi, nefrotoksik, ot toksik, ruam kulit, anafilaksis, tanda vertigo, telinga berdenging dan pandangan menururn.

  1. Etambutol ( EMB)
EMB diberikan pada fase awal dan dicadangkan untuk mengatasi strain yang resisten dan mikrobakteria atipikal. Didapat efek samping berupa gangguan penglihatan yang meliputi buta warna dan retriksi lapang pandang saat mengkonsumsi obat ini.

b.Terapi Pembedahan
Laminektomi
Laminektomi dan fusi spinal adalah pembedahan kolumna vertebral paling umum dilakukan pada orang dewasa.Ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis atau saraf perifer, perbaikan vertebra tak stabil, dan anomali vaskular spinal.

Laminektomi meliputi pengangkatan fragmen-fragmen diskus intervertebralis terherniasi melalui insisi yang dibuat di atas vertebra yang sakit.Untuk mencegah adesi, potongan kecil dari jaringan lemak subkutan ditempatkan di atas dura mater yang dieksisi.

Pada fusi spinal, fragmen-fragmen tulang diambil dari krista iliaka pasien yang digunakan untuk penanaman vertebra bersama-sama untuk menghilangkan ketidakstabilan vertebra.

Pelaksanaan terapi bedah dilakukan bersama dengan pemberian kemoterapi OAT.Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfungsikan vertebra yang terkena.Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih vertebra, adanya instabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat, serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.

  1. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
  1. Pott’s paraplegia
  2. Kifosis Berat
  3. Ruptur abses paravertebra
  4. Cedera corda spinalis (spinal cord injury)
  5. Lumpuh total

  1. Asuhan Keperawatan Umum
  1. Anamnesa
  1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, usia (Menurut Peter dan Julia (2002) spondylitis TB dapat terjadi disemua usia. Dengan usia yang sangat muda dan lansia memiliki resiko khusus), alamat, status pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, suku/bangsa.

  1. Keluhan utama
Keluhan utama pada klien spondilitis TB adalah adanya nyeri punggung bagian bawah.

  1. Riwayat Penyakit
  1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Awal gejala dapat dijumpai nyeri redikuler yang mengelilingi dada dan perut, nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.

  1. Riwayat Kesehatan Dahulu
Spondilitis tuberkolosa biasanya terjadi pada klien dengan penyakit tuberkolosis pada masa lalu.

  1. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyebaba spondilitis TB salah satunya adalah kontak dengan penderita penyakit TB atau lingkungan keluarga ada yang menderika penyakit tersebut.

  1. Psikososial
Pasien merasa cemas, kurang pengetahuan mengenai penyakit TB, pengobatan dan perawatannya sehingga membuat emosinya tidak stabil.

  1. Pemeriksaan Fisik
Review of System
  1. B1 (Breathing) : Kaji pernafasan klien: otot bantu nafas, pernafasan cuping hidung, RR. Pada pasien dengan spondylitis TB biasanya terdapat Suara nafas tambahan ronki akibat peningkatan produksi.
  2. B2 (Blood) : Kaji perubahan denyut nadi serta tekanan darah pasien.
  3. B3 (Brain) : Nyeri yang bervariasi, misal nyeri ringan sampai nyeri berat (dihubungkan dengan proses penyakit).
  4. B4 (Bladder) :Pada spondilitis TB daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan pada system ini.Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal, sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidak mampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
  5. B5 (Bowel): Klien spondilitis TB sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurang
  6. B6 (Bone)
  1. Look : Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat abses pada paravertebral, abdominal, inguinal.
  2. Feel : Akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, berbeda dengan abses piogenik yang terasa panas). Sensasi ini dapat dipalpasi didaerah lipat paha, fosa iliaka, retrofiring,  atau di sisi leher (dibelakang otot sternokleidomastoideus), bergantung dari level lesi. Dapat juga teraba didaerah disekitar dinding dada.
  3. Move : Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan tulang belakang.

  1. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Radiologi :
  • Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior
  • Penyempitan diskus
  • Abses paravertebral (fusi form)
  1. Laboratorium : Laju endap darah meningkat
  2. Tes kuberkulin : reaksi tuberculin biasanya positif

3.2 Diagnosa Keperawatan
  1. Nyeri kronis berhubungan dengan kompresi saraf
  2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
  3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan integritas struktur tulang
  4. Resiko infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang
  5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
  6. Konstipasi berhubungan dengan penurunan mortilitas usus
  7. Ansietas berhubungan dengan perubahan respon psikologis

3.3 Intervensi
No.
Diagnosa
NOC
NIC

Nyeri kronis (00133)  berhubungan dengan kompresi saraf

Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
nyeri berkurang atau menghilang
NOC:
Pain control (1605)
  1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,mencari bantuan)
  2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
  3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,frekuensi dan tanda nyeri)
  4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
  5. Tanda vital dalam rentang normal
  6. Tidak mengalami gangguan tidur
Pain management (1400)
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
  2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
  3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
  4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
  5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
  6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
  7. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
selama 3x 24 jam, nutrisi tercukupi
NOC:
Nutritional status (1004):
  1. Intake nutrisi adekuat
  2. Intake cairan balance
  3. IMT > 18,5
  4. Albumin serum
  5. Hematokrit
  6. HemoglobinDalam batas normal
Nutritional management (1100):
  1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
  2. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
  3. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
  4. Monitor lingkungan selama makan
  5.  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
  6.  Monitor turgor kulit
  7. Monitor intake nuntrisi
  8. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
  9. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
  10. Anjurkan banyak minum
  11. Pertahankan terapi IV line

Hambatan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan gangguan integritas struktur tulang

Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
selama 3x 24 jam, klien akan menunjukkan mobilisasi yang optimal
NOC :
Mobility level
Joint Movement: Active and passive
  1. Penampilan yang seimbang..
  2. Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
  3. Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik:
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari  orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan   bantuan dari orang lain dan alat bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Exercise Therapy
  1. Menentukan keterbatasan pergerakan sendi dan pengaruh terhadap fungsi
  2. Beri pakaian pada klien dengan pakaian yang bersifat tidak membatasi (longgar).
  3. Kenali pengukuran kontrol nyeri klien sebelum latihan fisik.
  4. Ajarkan dan dorong klien melakukan aktivitas ROM secara teratur sesuai jadwal yang direncanakan
  5. Sediakan alat bantu berjalan untuk memudahkan ambulasi.
  6. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik dalam merencanakan dan mengembangkan program aktivitas klien
4.
Resiko infeksi (00004) berhubungan dengan pembentukan abses tulang

Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
pasien tidak mengalami
infeksidan tanda-tandanya.
NOC:
Keparahan infeksi (0703):
  1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
  2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
  3. Jumlah leukosit dalam batas normal
  4. Tidak ada demam dan malaise
Kontrol infeksi (6540):
  1. Pertahankan teknik aseptif
  2. Batasi pengunjung bila perlu
  3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
  4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
  5. Tingkatkan intake nutrisi
  6. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
  7. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
  8. Dorong masukan cairan
  9. Dorong istirahat
  10. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
  11. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
5.
Kerusakan integritas kulit  (00047) berhubungan dengan tirah baring yang lama
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien dapat mengetahui tingkat integritas jaringan: kulit & selaput lendir
suhu kulit
dengan indikator:
  1. temperature kulit (5)
  2. sensasi (5)
  3. elastisitas (5)
  4. hidrasi (5)
  5. persipitasi (5)
  6. tekstur (5)
  7. ketebalan (5)
  8. perfusi jaringan (5)
  9. integritas kulit (5)
PemantauanIntegritas kulit
  1. Periksa kulit adanya kebersihan yang buruk
  2. Periksa ekstremitas bawah untuk adanya edema
  3. Periksa kulit untuk warna, suhu, hidrasi, pertumbuhan rambut, tekstur, retak, dan fissura
  4. Periksa kaki untuk adanya tekanan (yaitu adanya kemerahan lokal, peningkatan suhu, lecet, dan pembentukan kalus)

Pemberian obat: kulit
  1. ikuti pemberian lima prinsip pengobatan
  2. Tentukan kondisi kulit pasien di daerah yang akan diobati
  3. Terapkan agen topikal yang diresepkan
  4. Terapkan obat topikal untuk daerah kulit  yang tidak  berbulu, yang sesuai
6.
Konstipasi (00011) berhubungan dengan penurunan mortilitas usus
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, diharapkan eleminasi klien tidak terganggu.
NOC :
  1. Klien mampu menyebutkan teknik eleminasi feses
  2. Pola eliminasi dalam rentang normal 2-3x/minggu
  3. Klien dapat mengeluarkan feses lunak
  4. Tidak mengejan ketika BAB
  5. Hidrasi adekuat
  1. Auskultasi bising usus
  2. Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada atau berkurang
  3. Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses
  4. Lakukan latihan defekasi secara teratur
  5. Tekankan pentingnya menghindari mengejan untuk mencegah perdarahan
  6. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan berserat dan pemasukan cairan yang lebih banyak termasuk jus/sari buah
  7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian enema, laksatif dan program tinggi serat
7.
Ansietas (00146) berhubungan dengan perubahan respon psikologis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam, klien tidak menunjukkan kecemasan akan penyakitnya
NOC:
  1. Klien menunjukkan penerimaaan dan ansietas berkurang
  2. Klien mampu mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas klien sendiri
  1. Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan datang
  2. Kaji adanya kecemasan akan penyakitnya pada klien
  3. Minimalkan kehawatiran, ketakutan, prasangka atau perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan sumber bahaya atau sumber ansietas pasien.
  4. Berikan support selama masa stress
  5. Berikan tehnik penenangan diri atau relaksasi  dengan cara  meredakan kecemasan pada pasien yang mengalami distres akut
  6. Membantu pasien untuk tetap beradaptasi dengan persepsi stresor keadaan dirinya.








































































































































































































DAFTAR PUSTAKA


Evelyn C Pearce. 2011. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: EGC.
Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JO, Ko JP. Tuberculosis from head to toe1. Radiographics: 2000; 20:449-70.
Harsono.2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi edisi 11.Yogyakarta: Gajah Mada University
Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http:// www. emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 6 September 2015
Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis).Didapat dari http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 6 September 2015
I Gede Epi Paramarta dkk. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol.10, No. 3,Oktober 2008 diakses dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-3-6.pdf pada 6 september 2015 pukul 12.00 WIB
Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity.In : Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5 th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
Mutaqqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Naidich, Castilo, Cha, et al. 2011. Imaging of The Spine. China: Saunder Elsevier.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC
Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran.Edisi revisi. Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2009. Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC
Yatim, Faisal (2006). Penyakit Tulang & Persendian. Jakarta: Pustaka Populer Obor.











SOP Injeksi Subcutan (SC)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR 
PELAKASANAAN INJEKSI SUBCUTAN


  1. SUBCUTAN
Definisi

Injeksi yang dilakukan dengan menyuntikkan obat pada jaringan di bawah kulit dengan sudut penyuntikan 45º. Untuk klien yang gemuk bisa dengan sudut 90º. Pada klien yang kurus sebaiknya di abdomen bagian atas. Pada area lokasi penyutikan yang tidak terdapat lesi, tidak ada infeksi, bukan pada area penonjolan tulang dan jaringan dibawahnya tidak terdapat saraf dan pembuluh darah.


Obat yang diberikan secara SC biasanya bersifat isotonik, non iritatif, larut dalam air dan ditoleransi hingga 0,5-1 ml. Contoh obat yang diberikan secara SC adalah Insulin, Tetanus Toxoid (TT), Epinephrine, obat-obat alergi dan heparin (dapat diabsorbsi dengan baik melalui SC dan IM).



Lokasi penyuntikan SC adalah deltoid, abdomen, paha dan scapula (lihat di gambar 2 untuk tempat yang umum digunakan untuk injeksi SC dan perhatikan rotasi dari injeksi SC).


Tujuan
Memasukkan obat ke jaringan subkutaneus untuk diabsorpsi. Pada area sub kutan terdapat sedikit sirkulasi darah sehingga obat akan diabsorbsi secara lambat (tidak secepat apabila injeksi diberikan secara intra muskular (IM).

Persiapan Alat
Trolley yang berisi:
  • Obat dari kemasan ampul atau vial
  • Spuit/syringe steril (1-3 ml)
  • Needle (no. 25-27 sesuai kebutuhan)
  • Kom tutup yang berisi kapas
  • Alkohol spray (atau bisa diganti dengan alkohol swab)
  • Baki injeksi
  • Perlak
  • Bengkok (untuk sampah tidak tajam)
  • Container (untuk membuang ampul, jarum dan vial)
  • Sarung tangan bersih
  • Lembar medikasi

Pengkajian
  • Catatan program pengobatan yang lengkap,
  • Lokasi injeksi terakhir kali,
  • Alergi obat,
  • Struktur area injeksi, misal adanya memar, nyeri tekan, kerusakan kulit, nodul, edema, kemerahan, lesi, rambut yang berlebih.

Diagnosa Keperawatan
  1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur teknik pemberian injeksi,
  2. Risiko ketidakpatuhan berhubungan dengan kompleksitas atau kekronisan regimen yang diprogramkan.

Perencanaan
  1. Cuci tangan,
  2. Cek order obat sesuai instruksi Dokter dan buku obat
  3. Persiapakan alat dan pengobatan sesuai kebutuhan.

Implementasi
NO.
KEGIATAN

Mengidentifikasi identitas pasien

Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga.

Mempersiapkan alat-alat dan mengatur posisinya di samping tempat tidur.

Menjaga privasi klien dengan menutup tirai atau pintu.

Mencuci tangan dan gunakan sarung tangan.

Menyiapkan alat dan obat.

Pilih tempat penyuntikan (misal: area Deltoid à dengan menggulung lengan baju).

Kaji area penyuntikan: tidak terdapat lesi, tidak mengalami infeksi, bukan pada penonjolan tulang dan jaringan dibawahnya tidak terdapat saraf dan pembuluh darah.

Posisikan klien nyaman dengan siku fleksi dan letakkan lengan di atas permukaan abdomen (untuk area deltoid). Pasang perlak (apabila klien berbaring).

Bersihkan tempat penyuntikan dengan kapas alkohol. Mengusap sekali searah atau secara sirkuler arah ke luar sekitar 5 cm.

Letakkan kapas alkohol pada tangan non dominan. Buka tutup spuit dan pegang spuit dengan tangan dominan (antara ibu jari dan telunjuk).

Dengan tangan non dominan regangkan permukaan kulit (apabila pasien gemuk), cubit area penyuntikan (apabila pasien kurus). Pertahankan area steril lokasi penusukan.

Tusukkan jarum spuit dengan sudut 45º atau 90º (sesuaikan dengan ukuran jarum). Setelah jarum masuk ke dalam jaringan kulit, pindahkan tangan non dominan ke bagian bawah spuit untuk memegang spuit (memfiksasi spuit agar posisi jarum tidak bergerak) dan tangan dominan pindah ke bagian plunger untuk mengaspirasi.



Dengan tangan dominan aspirasi spuit untuk memastikan jarum tidak menusuk pembuluh:
  • Jika tidak terdapat darah pada saat spuit diaspirasi, maka injeksikan obat tersebut.
  • Jika terdapat darah, segera cabut spuit dengan meletakkan kapas alkohol (yang dipegang dengan tangan non dominan) di ujung spuit (untuk menahan darah ke luar.

Setelah jarum tercabut, usap area penyuntikan dengan kapas alkohol dengan sedikit menekan.

Apabila akan melakukan penyuntikan ulang:
  • Ganti obat dan spuitnya dengan yang baru.
  • Tentukan kembali area penyuntikan di lokasi SC lain (seperti pada prosedur no. 7-8).
  • Lakukan prosedur penyuntikan (sama dengan prosedur no. 9-14).

Setelah obat masuk ke dalam jaringan, cabut spuit dan usap area penyuntikan dengan kapas alkohol dengan sedikit menekan.

Tutup spuit dan buang di tempat yang disediakan.

Angkat perlak dan kembalikan klien pada posisi yang nyaman.

Buang kemasan obat (vial/ampul), jarum dan spuit pada tempat yang aman yang telah disediakan.

Merapikan klien dan tempat tidur klien. Mengembalikan alat-alat pada tempat semula.

Melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan.

Evaluasi dan dokumentasikan tindakan pada status klien.

Observasi respons klien terhadap penyuntikan hingga 30 menit kemudian.


Evaluasi
  • Klien melakukan dapat melakukan injeksi insulin sendiri dengan keakuratan 100% atau tidak dalam satu minggu setelah menerima instruksi,
  • Klien dapat mendemonstrasikan atau tidak dapat mendemonstrasikan kepatuhan terhadap regimen pengobatan pada pemeriksaan kontrol (check up) 6 minggu setelah pulang dari rumah sakit.

Dokumentasi
  • Nama, dosis, dan rute obat/injeksi,
  • Pengkajian dan data laboratorium yang relevan untuk tujuan pengobatan,
  • Efek obat,
  • Penyuluhan tentang obat atau teknik injeksi.

SOP Injeksi Intracutan (IC)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR 
PELAKASANAAN INJEKSI INTRACUTAN

  1. INTRACUTAN
Definisi
Injeksi ini dilakukan dengan menyuntikkan obat di bawah permukaan kulit. Menggunakan jarum ukuran kecil (¼-½ inci) atau jarum khusus Tuberculin Test dengan sudut penyuntikan 5-15º pada permukaan kulit yang terang, sedikit rambut, tidak ada lesi dan edema.


Jumlah cairan yang disuntikkan adalah 0,01-0,1 ml. Contoh: 1 gram Ampisilin diencerkan 5 cc aquabidest. Ambil larutan tersebut 0,1 ml kemudian diencerkan hingga 1 ml. Masukkan obat secara intra dermal / intra cutan 0,01-0,1 ml.



Tujuan
  • Digunakan untuk skin test (karena beberapa klien akan mengalami reaksi anafilaktik jika obat masuk ke dalam tubuh secara cepat) atau Tuberculin Test.
  • Memasukkan obat atau toksik dalam jumlah kecil ke bawah kulit untuk diabsorpsi. Intra dermal memiliki sirkulasi darah yang minimal dan obat akan diabsorbsi secara perlahan (sangat lambat).

Persiapan Alat:
 Trolley yang berisi:
  • Obat dari kemasan ampul atau vial
  • Spuit/syringe steril dengan jarum no. 26-27, spuit 1 cc atau spuit tuberkulin
  • Needle (sesuai kebutuhan)
  • Kom tutup yang berisi kapas
  • Alkohol spray (atau bisa diganti dengan alkohol swab)
  • Baki injeksi
  • Perlak
  • Bengkok (untuk sampah tidak tajam)
  • Container (untuk membuang ampul, jarum dan vial)
  • Sarung tangan bersih
  • Spidol tahan air
  • Lembar medikasi

Pengkajian
  • Resep obat,
  • Kebijakan khusus untuk untuk tes kulit,
  • Kondisi kulit klien (misalnya terdapat kemerahan, hematoma, jaringan parut, pembengkakan, luka robek, abrasi, lesi, eksoriasi, rambut yang berlebihan),
  • Alergi yang dialami klien.

Diagnosa Keperawatan
Risiko cedera berhubungan dengan sensitivitas allergen

Perencanaan
  1. Cuci tangan,
  2. Cek order obat sesuai instruksi Dokter dan buku obat
  3. Persiapakan alat dan pengobatan sesuai kebutuhan.

Implementasi
NO.
KEGIATAN

Mengidentifikasi identitas pasien

Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga.

Mempersiapkan alat-alat dan mengatur posisinya di samping tempat tidur.

Menjaga privasi klien dengan menutup tirai atau pintu.

Mencuci tangan dan gunakan sarung tangan.

Menyiapkan alat dan obat.

Pilih tempat penyuntikan (permukaan kulit yang terang, sedikit rambut, tidak ada lesi dan edema) 3-4 jari di bawah antekubital.

Pasang perlak. Posisikan klien nyaman dengan siku ekstensi dan letakkan lengan di atas permukaan yang rata.

Bersihkan tempat penyuntikan dengan kapas alkohol. Mengusap sekali searah atau secara sirkuler arah ke luar sekitar 5 cm.

Letakkan kapas alkohol pada tangan non dominan. Buka tutup spuit dan pegang spuit dengan tangan dominan (antara ibu jari dan telunjuk).

Dengan tangan non dominan regangkan permukaan kulit.

Injeksikan obat dengan sudut 5-15º, masukkan jarum ± 3 mm. Masuknya jarum bisa terlihat dari permukaan kulit.

Hasil yang tepat adalah terdapat undulasi pada tempat penyuntikan.

Tarik spuit, usap dengan kapas alkohol tetapi tidak boleh ditekan.

Berikan tanda pada kulit dengan menggunakan spidol tahan air. Anjurkan klien untuk tidak mengusap, menggosok atau menggaruk area penyuntikan.

Tutup spuit dan buang di tempat yang disediakan.

Angkat perlak dan kembalikan klien pada posisi yang nyaman.

Buang kemasan ampul, jarum dan spuit pada tempat yang aman yang telah disediakan.

Merapikan klien dan tempat tidur klien. Mengembalikan alat-alat pada tempat semula.

Melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan.

Evaluasi dan dokumentasikan tindakan pada status klien.

Cek kembali area penyuntikan dan kaji respons klien setelah 15 menit penyuntikan (untuk skin test).

Evaluasi
Klien memperlihatkan atau tidak memperlihatkan tanda-tanda reaksi lokal atau sistemik

Dokumentasi
  • Nama allergen atau toksik, toksik, area injeksi, dan rute pemberian,
  • Indikator reaksi sistemik atau lokal kalau ada,
  • Temuan abnormal di area kulit lokal,
  • Hasil observasi setelah 15 menit pemberian,
  • Penyuluhan mengenai informasi obat atau teknik injeksi.