Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Saturday 30 September 2017

Askep Diare pada Anak

DIARE PADA ANAK

Diare
1. Definisi
Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan tanpa lender darah.

2. Klasifikasi Diare
  1. Diare akut
Yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1) Diare tanpa dehidrasi,
(2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat badan,
(3) Diare dengan dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari berat badan,
(4) Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%

  1. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

  1. Diare kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.

3. Etiologi
a. Faktor Infeksi
1) Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi:
(a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
(b) Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.
(c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida albicans).

2) Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

b. Faktor Malabsorbsi
  1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
  2. Malabsorbsi lemak 
  3. Malabsorbsi protein

c.  Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar

e. Faktor Pendidikan
f. Faktor pekerjaan
g. Faktor umur balita
Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.

h. Faktor lingkungan
i. Faktor Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi yaitu baik = 100-90,  kurang = <90-70, buruk = <70 dengan BB per TB.

j. Faktor sosial ekonomi masyarakat
k. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi
Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan dan dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli, salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan).

l. Faktor terhadap Laktosa (susu kalemg)
Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Menggunakan botol susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI mengandung antibody yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V. Cholerae.

4. Patofisiologi
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis), bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit (Biardia, Lambia). Beberapa mikroorganisme pathogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau cytotoksin Penyebab dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal oral dari satu klien ke klien lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi.

Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi: (a) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya). (b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran bertambah). (c) Hipoglikemia, (d) Gangguan sirkulasi darah.

5. Manifestasi Klinis
  1. Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare.
  2. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu.
  3. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
  4. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin tampak.
  5. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.

6. Penatalaksaan
Prinsip penatalaksanaan diare antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa.
  1. Dehidrasi, diare cair membutuhkan pengganti cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernafasan, dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat masing-masing anak atau golongan umur.
  2. Nutrisi. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindari efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energy dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup,
  3. Medikamentosa. Antobiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti norit, kaolin, attapulgit, anti muntah termasuk prometazin dan kloropomazin.

Penanganan Diare yaitu hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare adalah masalah kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi ini bila tidak segera diatasi dapat membawa bahaya terutama bagi balita dan anak-anak. Bagi penderita diare ringan diberikan oralit, tetapi bila dehidrasi berat maka perlu dibantu dengan cairan intravena atau infus. Hal yang tidak kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan tubuh adalah pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare pemasukan makanan akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu makan dan kehilangan makanan secara langsung melalui tinja atau muntah dan peningkatan metabolisme selama sakit. (sitorus, 2008).

7. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah:
a. Pemeriksaan tinja
b. Makroskopis dan mikroskopis
c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula.
d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan).
f.  Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasite secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

8. Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti:
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik
c. Hypokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase karena kerusakan vili mukosa usus halus.
f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami kelaparan.

9. Asuhan Keperawatan
A.    Pengkajian
  1. Identitas
Diare akut lebih sering terjadi pada bayi dari pada anak, frekuensi diare untuk neonatus > 4 kali/hari sedangkan untuk anak > 3 kali/hari dalam sehari. Status ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya diare pada nak ditinjau dari pola makan, kebersihan dan perawatan. Tingkat pengetahuan perlu dikaji untuk mengetahui tingkat perlaku kesehatan dan komunikasi dalam pengumpulan data melalui wawancara atau interview. Alamat berhubungan dengan epidemiologi (tempat, waktu dan orang)

  1. Keluhan utama
Yang membuat klien dibawa ke rumah sakit. Manifestasi klnis berupa BAB yang tidak normal/cair lebih banyak dari biasanya.

  1. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan buang air cair berkali-kali baik desertai atau tanpa dengan muntah, tinja dapat bercampur lendir dan atau darah. Keluhan lain yang mungkin didapatkan adalah napsu makan menurun, suhu badan meningkat, volume diuresis menurun dan gejala penurunan kesadaran.

  1. Riwayat Keperawatan Sebelumnya
Meliputi pengkajian riwayat prenatal, natal dan post natal, hospitalisasi dan pembedahan yang pernah dialami, alergi, pola kebiasaan, tumbuh-kembang, imunisasi, status gizi (lebih, baik, kurang, buruk), psikososial, psikoseksual, interaksi dan lain-lain.

Prenatal
Pengaruh konsumsi jamu-jamuan terutamma pada kehamilan semester pertama, penyakti selama kehamilan yang menyertai seperti TORCH, DM, Hipertiroid yang dapat mempengaruhi pertunbuhan dan perkembangan janin di dalam rahim.

Natal
Umur kehamilan, persalinan dengan bantuan alat yang dapat mempengaruhi fungsi dan maturitas organ vital.

Post natal
Apgar skor <6 berhubungan dengan asfiksia, resusitasi atau hiperbilirubinemia. berat badan dan panjang badan untuk mengikuti pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia sekelompoknya. Pemberian ASI dan PASI terhadap perkembangan daya tahan tubuh alami dan imunisasi buatan yang dapat mengurangi pengaruh infeksi pada tubuh.

  1. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan menjadi bahan pertimbangan yang penting karena setiap individu mempunyai ciri-ciri  struktur dan fungsi yang berbeda, sehingga pendekatan pengkajian fisik dan tindakan harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan

  1. Riwayat Kesehatan Keluarga
a. Penyakit
Apakah ada anggota keluarga yang menderita diare atau tetangga yang berhubungan dengan distribusi penularan.

b. Lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan yang kotor dan kumuh serta personal hygiene yang kurang mudah terkena kuman penyebab diare.

c. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
BAB yang tidak pada tempat (sembarang)/ di sungai dan cara bermain anak yangkurang higienis dapat mempermudah masuknya kuman lewat Fecal-oral.

d. Persepsi keluarga
Kondisi lemah dan mencret yang berlebihan perlu suatu keputusan untuk penangan awal atau lanjutan ini bergantung pada tingkat pengetahuan dan penglaman yang dimiliki oleh anggota keluarga (orang tua).

B. Pemeriksaan Fisik
  1. Sistem Neurologi
a) Subyektif, 
klien tidak sadar, kadang-kadang disertai kejang

b)  Inspeksi, 
Keadaan umum klien yang diamati mulai pertama kali bertemu dengan klien. Keadaan sakit diamati apakah berat, sedang, ringan atau tidak tampak sakit. KeSadaran diamati komposmentis, apatis, somnolen, delirium, stupor dan koma.

c) Palpasi, adakah parese, anestesia,
d) Perkusi, refleks fisiologis dan refleks patologis.

  1. Sistem Penginderaan
a)  Subyektif, klien merasa haus, mata berkunang-kunang,
b)      Inspeksi 
Kepala, kesemitiras muka, cephal hematoma (-), caput sucedum (-), warna dan distibusi rambut serta kondisi kulit kepala kering, pada neonatus dan bayi  ubun-ubun besar tampak cekung.

Mata, Amati mata conjunctiva adakah anemis, sklera adakah icterus. Reflek mata dan pupil terhadap cahaya, isokor, miosis atau midriasis. Pada keadaan diare yang lebih lanjut atau syok hipovolumia reflek pupil (-), mata cowong.

Hidung, pada klien dengan dehidrasi berat dapat menimbulkan asidosis metabolik sehingga kompensasinya adalah alkalosis respiratorik untuk mengeluarkan CO2 dan mengambil O2,nampak adanya pernafasan cuping hidung.

Telinga,  adakah infeksi telinga (OMA, OMP) berpengaruh pada kemungkinan infeksi parenteal yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya diare
c)  Palpasi,
KepalaUbun-ubun besar cekung, kulit kepala kering, sedangkan untuk anak-anak ubun-ubun besar sudah menutup maksimal umur 2 tahun. Mata, tekanan bola mata dapat menurun, Telinga, nyeri tekan, mastoiditis

  1. Sistem Integumen
a)      Subyektif, kulit kering
b)      Inspeksi ,  kulit kering, sekresi sedikit, selaput mokosa kering
c)      Palpasi, tidak berkeringat, turgor kulit (kekenyalan kulit kembali dalam 1 detik = dehidrasi ringan, 1-2 detik = dehidrasi sedang dan > 2 detik = dehidrasi berat
  1. Sistem Kardiovaskuler
a)  Subyektif,   badan terasa panas tetapi bagian tangan dan kaki terasa dingin
b) Inspeksi,  
pucat, tekanan vena jugularis menurun, pulsasi ictus cordis (-), adakah pembesaran jantung, suhu tubuh meningkat.

c) Palpasi, 
suhu akral dingin karena perfusi jaringan menurun, heart rate meningkat karena vasodilatasi pembuluh darah, tahanan perifer menurun sehingga cardiac output meningkat. Kaji frekuensi, irama dan kekuatan nadi.

d) Perkusi, 
normal redup, ukuran dan bentuk jantung secara kasar pada kasus diare akut masih dalam batas normal (batas kiri umumnya tidak lebih dari 4-7 dan 10 cm ke arah kiri dari garis midsternal pada ruang interkostalis ke 4,5 dan 8.

e) Auskultasi, 
pada dehidrasi berat dapat terjadi gangguan sirkulasi, auskulatasi bunyi jantung S1, S2, murmur atau bunyi tambahan lainnya. Kaji tekanan darah.

  1. Sistem Pernafasan
a) Subyektif, sesak atau tidak
b) Inspeksi, 
bentuk simetris, ekspansi , retraksi interkostal atau subcostal. Kaji frekuensi, irama dan tingkat kedalaman pernafasan, adakah penumpukan sekresi, stridor pernafas inspirasi atau ekspirasi.

c) Palpasi, kajik adanya massa, nyeri tekan , kesemitrisan ekspansi, tacti vremitus (-).
d) Auskultasi, 
dengan menggunakan stetoskop kaji suara nafas vesikuler, intensitas, nada dan durasi. Adakah ronchi, wheezing untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta seperti broncho pnemonia atau infeksi lainnya.

  1. Sistem Pencernaan
a) Subyektif, Kelaparan, haus
b) Inspeksi 
BAB, konsistensi (cair, padat, lembek), frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari, adakah bau, disertai lendi atau darah. Kontur permukaan kulit menurun, retraksi (-) dan kesemitrisan abdomen.

c) Auskultasi, 
Bising usus (dengan menggunakan diafragma stetoskope), peristaltik usus meningkat (gurgling) > 5-20 detik dengan durasi 1 detik.

d) Perkusi, 
mendengar aanya gas, cairan atau massa (-), hepar dan lien tidak membesar suara tymphani.

e) Palpasi, adakah nyeri tekan, superfisial pemuluh darah, massa (-). Hepar dan lien tidak teraba.
  1. Sistem Perkemihan
a)         Subyektif,  kencing sedikit lain dari biasanya
b)        Inspeksi, testis positif pada jenis kelamin laki-laki, pembesaran scrotum (-), rambut(-). BAK frekuensi, warna dan bau serta cara pengeluaran kencing spontan atau mengunakan alat. Observasi output tiap 24 jam atau sesuai ketentuan.
c)         Palpasi, adakah pembesaran scrotum,infeksi testis atau femosis.
  1. Sistem Muskuloskletal
a) Subyektif, lemah
b)  Inspeksi, klien tampak lemah, aktivitas  menurun
c) Palpasi, hipotoni, kulit kering , elastisitas menurun. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan , kekuatan otot.

C. Pemeriksaan Penunjang
1.    Laboratorium
a)    Feces lengkap
Makroskopis dan mikroskopis (bakteri (+) mis. E. Coli, PH dan kadar gula, biakan dan uji resistensi

b)   Pemeriksaan Asam Basa
Analisa Blood Gas Darah dapat menimbulkan Asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik.

c)    Pemeriksaan kadar ureum kreatinin
Untuk mengetahui faal ginjal

d)   Serum elektrolit (Na, K, Ca dan Fosfor)
Pada diare dapat terjadi hiponatremia, hipokalsemia yang memungkinkan terjadi penurunan kesadaran dan kejang.

e)     Pemeriksaan intubasi duodenum
Terutama untuk diare kronik dapat dideteksi jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif.

f)    Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan kalau ada penyulit atau penyakit penyerta seperti bronchopnemonia dll seperti foto thorax AP/PA Lateral.

D. Masalah Keperawatan
1.    Diare b/d Inflamasi gastrointestinal
2.    Defisit volume cairan b/d kehilangan jumlah cairan secara aktif
3.    Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien

E. Intervensi Keperawatan
1. Diare b/d inflamasi gastrointestinal
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diare pasien teratasi
NOC
NIC
1.    Tidak ada diare
2.    Feses tidak ada darah dan mukus
3.    Nyeri perut tidak ada
4.    Pola BAB normal
5.    Elektrolit normal
6.    Asam basa normal
7.    Hidrasi baik (membran mukosa lembab, tidak panas, vital sign normal, hematokrit dan urin output dalam batas normaL

Diare Management
  1. Kelola pemeriksaan kultur sensitivitas feses 
  2. Evaluasi pengobatan yang berefek samping gastrointestinal
  3. Evaluasi jenis intake makanan
  4. Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
  5. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
  6. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
  7. Ajarkan pada pasien tehnik pengurangan stress jika perlu
  8. Kolaburasi jika tanda dan gejala diare menetap
  9. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
  10. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
  11. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat


2. Defisit volume cairan b/d kehilangan jumlah cairan secara aktif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam defisit volume cairan teratasi
NOC
NIC
  1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,
  2. Tekanan darah 110-120/60-90 mmHg, Nadi 60-120 x/menit, Suhu tubuh 36,5-37,5◦C, Respirasi 20-60 x/meit
  3. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
  4. Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
  5. Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal
  6. Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
  7. pH urin dalam batas normal
  8. Intake oral dan intravena adekuat

  1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
  2. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
  3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein )
  4. Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam
  5. Kolaborasi pemberian cairan IV
  6. Monitor status nutrisi
  7. Berikan cairan oral
  8. Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 – 100cc/jam)
  9. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
  10. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
  11. Atur kemungkinan tranfusi
  12. Persiapan untuk tranfusi
  13. Pasang kateter jika perlu
  14. Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh gangguan absorbsi nutrien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam nutrisi kurang teratasi
NOC
NIC
  1. Albumin serum dalam batas normal 
  2. Hematokrit dalam batas normal 
  3. Hemoglobin dalam batas normal
  4. Total iron binding capacity dalam batas normal
  5. Jumlah limfosit dalam batas normal 
  6. Intake nutrisi cukup/ sesuai usia 
  7. Berat badan sesuai usia
  1. Kaji adanya alergi makanan
  2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
  3. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  4. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
  5. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
  6. Monitor lingkungan selama makan
  7. Jadwalkan pengobatan  dan tindakan tidak selama jam makan
  8. Monitor turgor kulit
  9. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
  10. Monitor mual dan muntah
  11. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
  12. Monitor intake nuntrisi
  13. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
  14. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
  15. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
  16. Kelola pemberan anti emetik
  17. Anjurkan banyak minum
  18. Pertahankan terapi IV line
  19. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval



Referensi

Aslis.Wirda Hayati. 2009. Gizi Bayi : Buku Saku Jakarta : EGC

Aziz, 2006, Diare, Pembunuh Utama Balita, Graha Pustaka, Jakarta.

Aziz, Aimul Hidayat. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.

Betz, Cecily Lynn. (2009). Pediatri. Jakarta: EGC

Cholina Trisa Siregar (2004). Kebutuhan Dasar manusia Eliminasi B.A.B.Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas kedokteran. Universitas Sumatera Utara.

Corwin, J Elizabeth. (2009). Patofisiologi : Buku Saku, edisi 1. Jakarta: EGC.

Depkes RI (2007). Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare, Ditjen PP&PL. Jakarta

Depkes RI, 2008, Diare Penyebab Kematian Utama pada Balita di Indonesia, Depkes RI, Jakarta

Sitorus, 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak, Jakarta, Yrama Widya.

Suharyono, 2002. Diare Akut Klinik dan Laboraktorik, Jakarta, Rhineka Cipta.de. 

Friday 29 September 2017

Rujukan Layanan Kesehatan

A.   Kebijakan Pemerintah Tentang System Rujukan
Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab atas kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara vertikal dalam arti satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan kesehatan lainnya, maupun secara horisontal dalam arti antar sarana pelayanan kesehatan yang sama.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang  Kebijakan Dasar Puskesmas

SISTEM RUJUKAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal.

Pasal 4
(1) Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
(2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
(3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
(4) Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan ini dikembangkan atas dasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 032/Birhup/72 tentang pelaksanaan Referal System, adapun batasan dan pengertian pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 sebagai berikut:
“ Referal System adalah suatu usaha pelayanan kesehatan antara pelbagai tingkat unit-unit pelayanan medis dalam suatu daerah tertentu ataupun untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2008) mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satukasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat kemampuannya).

B.   Tingkatan pelayanan kesehatan
Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh setiap negara tidaklah sama, namun secara umum, pelayanan kesehatan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
  1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (Primary health care)
Pelayanan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan.

Pelayanan ini yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh:
1.     Dokter Umum (Tenaga Medis)
2.    Perawat Mantri (Tenaga Paramedis)

Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukim di pedesaan, serta masyarakat yang berpenghasilan rendah di perkotaan. Pelayanan kesehatan sifatnya berobat jalan (Ambulatory Services). Contohnya : Puskesmas, Puskesmas keliling, klinik.

  1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (Secondary health care)
Pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat inap dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis.

Pelayanan yang lebih bersifat spesialis dan bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan rumah sakit kelas A.

Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
1.    Dokter Spesialis
2.    Dokter Subspesialis terbatas
Pelayanan kesehatan sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat (inpantient services). Contoh : Rumah Sakit tipe C dan Rumah Sakit tipe D.

  1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (Tertiary health care)
Pelayanan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis.

Pelayanan Kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan subspesialis serta subspesialis luas. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
1.    Dokter Subspesialis
2.    Dokter Subspesialis Luas

Pelayanan kesehatan sifatnya dapat merupakan pelayanan jalan atau pelayanan rawat inap (rehabilitasi). Contohnya: Rumah Sakit tipe A dan Rumah sakit tipe B.

Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit.

Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesma saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan.

Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu:
1.    Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

2.    Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

C. Sistem Rujukan Nasional
Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2008) mendefinisikan system rujukan sebagai suatu system penyelenggara pelayanan kesehatan yang melaksanankan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertical (dari unit yang lebih mampu menangani) atau secara horizontal (antar unit=unit yang setingkat kemampuannya). Sederhananya, system rujukan mengatur darimana dan harus kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya.

Menurut PMK No 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan pada pasal 3 menyatakan bahwa system rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertical maupun horizontal. Pada pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pasal 4 ayat (2) pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pasal 4 ayat (3) pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama. Pasal 4 ayat (4) bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pada pasal 4 ayat (5) dijelaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) , ayat (3), dan ayat (4) dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis.

Pada pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa system rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta kjaminan kesehatan atau asuransi kesehatan social dan pemberi pelayanan kesehatan. Pada ayat (2) menyatakan peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti pelayanan kesehatan yang berjenjang. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa setiap orang yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan social, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti system rujukan. Pada Pasal 6 dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, pemerataan, dan peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai kebutuhan pasien.





D. KEGIATAN YANG TERCAKUP DALAM SISTEM RUJUKAN

1.    Pengiriman Pasien
Pengiriman pasien rujukan harus dilaksanakan sedini mungkin untuk perawatan dan pengobatan lebih lanjut ke sarana pelayanan yang lebih lengkap. Unit pelayanan kesehatan yang menerima rujukan harus merujuk kembali pasien ke sarana kesehatan yang mengirim, untuk mendapatkan pengawasan pengobatan dan perawatan termasuk rehabilitasi selanjutnya.

2.    Pengiriman specimen atau penunjang diagnostic lainnya
a.    Pemeriksaan
Bahan specimen atau penunjang diagnostic lainnya yang dirujuk, dikirimkan ke laboratorium atau fasilitas penunjang diagnostic rujukan guna mendapat pemeriksaan laboratorium atau fasilitas penunjang diagnostic yang tepat.

b.    Pemeriksaan Konfirmasi
Sebagian specimen yang telah diperiksa di laboratorium puskesmas, rumah sakit atau laboratorium lainnya boleh dikonfirmasi ke laboratorium yang lebih mampu untuk divalidasi hasil pemeriksaan pertama.

3.    Pengaihan pengetahuan dan keterampilan
Dokter spesialis dari rumah sakit dapat berkunjung secara berkala ke puskesmas. Dokter asisten spesialis / residen senior dapat ditempatkan di rumah sakit kabupaten/kota yang membutuhkan atau kabupaten yang belum mempunyai dokter spesialis. Kegiatan menambah pengetahuan dan ketrampilan bagi dokter umum, bidan atau perawat dari puskesmas atau rumah sakit umumkabupaten / kota dapat berupa magang atau pelatihan di rumah sakit umum yang lebih lengkap.

4.    Sistem informasi rujukan
Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di catat dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang berisikan antara lain : nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnose, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk pemeriksaan penunjang, kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang dipandang perlu.

Informasi balasan rujukan dibuat oleh dokter yang telah menerima pasien rujukan dan setelah selesai merawat pasien tersebut mencatat informasi balasan rujukan di surat balasan rujukan yang dikirimkan kepada pengirim pasien rujukan, yang berisikan antara lain : nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien, hasil diagnose setelah dirawat, kondisi pasien saat keluar dari perawatan dan follow up yang dianjurkan kepada pihak pengirim pasien.

Informasi pengiriman specimen dibat oleh pihak pengirim dengan mengisi surat rujukan specimen, yang berisikan antara lain : nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, jenis/bahan specimen dan nomor specimen yang dikirim, tanggal pengambilan specimen, jenis pemeriksaan yang diminta, nama dan identitas pasien asal specimen dan diagnose klinis.

Informasi balasan hasil peemriksaan bahan/specimen yang dirujuk dibuat oleh pihak laboratorium penerima dan segera disampaikan pada pihak pengiriman dengan menggunakan format yang berlaku di laboratorium yang bersangkutan.

Informasi permintaan tenaga ahli / dokter spesialis dapat dibuat oleh Kepala Puskesmas atau Rumah Sakit Umum Kab/Kota yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota atau oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota yang ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengisi surat permintaan tenaga ahli dan menyebutkan jenis spesialisasinya, waktu dan tempat kehadiran jenis spesialisasi yang diminta, maksud keperluan tenaga ahli diinginkan dan sumber biaya atau besaran biaya yang disanggupi.

Infomrasi petugas yang mengirim, merawat atau meminta tenaga ahli selalu ditulis nama jelas, asal institusi dan nomor telepon atau handphone yang bias dihubungi pihak lain. Keterbukaan antara pihak pengirim dan penerima untuk bersedia memberikan informasi tambahan yang diperlukan masing-masing pihak melalui media komunikasi bersifat wajib untuk keselamatan pasien, specimen dan alih pengetahuan medis.

D.   Tata Cara Rujukan
Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang :
  1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanankan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu :
  • Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
  • Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua.
  • Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.
  • Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.

  1. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. 
  1. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi :
  • Terjadi keadaan gawat darurat ; kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku.
  • Bencana ; kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  • Kekhususan permasalahan kesehatan pasien ; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan.
  • Pertimbangan geografis ; dan
  • Pertimbangan ketersediaan fasilitas.

  1. Pelayanan oleh bidan dan perawat
  • Dalam keadaaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokterdan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.

  1. Rujukan parsial
  • Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di fasilitas kesehatan tersebut.
  • Rujukan parsial dapat berupa ;
1)    Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan.
2)    Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang.
  • Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

E.   Hambatan dan Tantangan Dalam System Rujukan
  1. Tantangan dalam sistem rujukan di Indonesia
            Dalam melaksanakan sistem rujukan di Indonesia banyak mengalami kendala antara lain :
1.    Banyaknya masyarakat yang belum memahami mengenai sistem rujukan
Dalam hal ini, pengetahuan masyrakat mengenai alur rujukan masih sangat kurang. Masyarakat kebanyakan cenderung mengakses pelayanan kesehatan terdekat atau mungkin paling murah tanpa memperdulikan kompetensi institusi ataupun operator yang memberikan pelayanan. Padahal sitem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.

2.    Kendala jarak
Faktor yang mempengaruhi akses masyarakat ke rumah sakit adalah faktor geografis. Dalam arti fisik, kendala geografis di darat berhubungan erat dengan kondisi jalan, ketersediaan transportasi dan pengaruh musim atau cuaca. Semakin jauh jarak secara geografis, maka pengorbanan biaya dan waktu menjadi semakin besar.

3.    Kuantitas dan kualitas tenaga pelaksana belum merata 
Masih ada puskesmas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Bahkan masih ada suatu daerah yang tidak memiliki dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis

4.    Belum meratanya tenaga kesehatan yang ada, 
Jumlah tenaga kesehatan yang ada tidak sebanding dengan jumlah masyrakat yang berobat

5.    Kesiapan tenaga kesehatan yang masih kurang. 
Pelayanan berlebihan (overuse), kurang pas (underuse), dan kurang tepat (mis- use) dalam memberikan layanan medik masih menjadi masalah. Hal itu terjadi dalam diagnosis, peresepan obat, tes laboratorium, atau prosedur layanan lain.

6.    Belum jelasnya mengenai standar pelayanan, standar tarif, dan standar biaya dalam sitem rujukan

Dari kendala diatas maka tantangan dalam menjalankan sitem rujukan sendri antara lain :
  • Kesiapan pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemrintah daerah dalam meningkatkan pengetahuan masyrakat mengenai sitem rujukan sendiri
  • Kesiapan pemerintah dalam memperbaiki akses rujukan, perbaikan transportasi dan perbaikan infrastruktur
  • Dukungan profesi untuk secara konsisten menerapkan pelayanan yang efisien, efektif dan berkualitas melalui penerapan clinical pathways dan kaidah-kaidah evidence based
  • Partisipasi aktif profesi dalam menyusun standarisasi pelayanan
  • Kesediaan untuk meningkatkan kompetensi bagi tenaga kesehatan  
  • Kesiapan untuk mengisi kebutuhan Profesi diseluruh wilayah guna pemerataan tenaga kesehatan
  • Institusi pendidikan membantu Pemerintah dalam penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten dan profesional

Kendala yang mungkin terjadi dalam pemberlakuan sistem rujukan hingga kini masih sering terjadi. Meskipun Depkes telah memberikan acuan langkah yang tepat dalam pelaksanaan sistem rujukan diserta dengan upaya pemerintah seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat yang juga mengeluarkan instruksi tentang pembebasan penderita dengan resiko tinggi juga masih belum dapat berjalan. Berikut adalah beberapa hambatan dan tantangan dalam pemberlakuan sistem rujukan :
  • Kendala jarak, dalam hal ini masyarakat merasa kesulitan untuk menjangkau fasilitas kesehatan dan rujukan. Terutama masyarakat yang tinggal dipedesaan yang kemudian sulit untuk mendapatkan transportasi untuk mencapai sarana kesehatan
  • Sosio-ekonomi masyarakat yang masih kurang
  • Sosial budaya masyarakat yang dapat mempengaruhi sistem rujukan yakni sifat masyarakat yang masih takut untuk dirujuk sehingga memperlambat proses rujukan. Contohnya adalah proses persalinan, dimana masyarakat lebih mempercayai untuk melahirkan didukun ketimbang dengan tenaga kesehatan
  • Tenaga yang masih kurang
  • Pengetahuan dan keterampilan yang masih kurang 
  • Prosedur yang berbelit-belit, belum efektif dan efisien.
  • Sikap dan perilaku petugas yang kurang mendukung
  • Dukungan dari pemerintah daerah yang optimal

Kendala pendanaan juga dapat menjadi hambatan dalam proses rujukan. Berikut adalah hal-hal yang terdapat didalamnya :
a.    Adanya persepsi yang salah mengenai rumah sakit swadana
b.    Dana yang turun terkotak-kotak (fragmented)
c.    Belum ada dana khusus untuk menanggulangi pembebasan biaya penyakit
d.  Laporan jumlah dan jenis kasus pembebasan atau pengurangan biaya rumah sakit yang belum tercantum dalam RL

Kemampuan Rumah Sakit sebagai pembina puskesmas juga tidak luput dari perhatian dalam pengembangan sistem rujukan ke arah yang lebih baik. Kendala yang mungkin terjadi khususnya dalam bidang rekam medik yang antara lain dapat disebabkan oleh :
  • Tenaga profesional rekam medik masih kurang
  • Kualitas tenaga yang ada belum seperti yang diharapkan yakni terkait pengetahuan dan keterampilan yang kurang
  • Metode kerja belum efektif dan efisien
  • Belum semua status terisi dengan lengkap dan benar
  • Pengertian suatu Rumah Sakit sebagai sebuah sistem yang belum dihayati oleh semua petugas
  • Sikap dan perilaku petugas

Koordinasi dengan Dinas Kesehatan yang masih kurang meskipun berbagai upaya yang telah dilakukan baik di tingkat Provinsi antara lain diadakannya temu kerja dengan harapan akan menghasilkan upaya-upaya untuk mengendalikan kendala dan peningkatan mutu sistem pelayanan kesehatan.


Referensi Pustaka

BPJS Kesehatan. 2014. Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. binsos.jatengprov.go.id/file%20pdf/rujukan.pdf. diakses pada tanggal 8 Oktober 2014.

DINKES PEMPROV NTB. 2011. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (online). Diambil dari http://www.batukarinfo.com/ diakses pada tanggal 09/10/2014

Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2011. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

dr. Henny Djuhaeni. Kebijaksanaan Sistem Rujukan Propinsi Jawa Barat Dalam Program Audit Maternal Perinatal Dan Permasalahannya. 1994. Bandung

Depkes RI. Sistem Rujukan Terstruktur dan Berjenjang dalam Rangka Menyongsong Jaminan Kesehatan Nasional (Regionalisasi Sistem Rujukan). Online. http://buk.depkes.go.id. Diakses tanggal 10 Okt. 14

Zulhadi, Laksono T., Siti N Z. Problem dan Tantangan Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah dalam Mendukung Sistem Rujukan Maternal di Kabupaten Karimun Provinsi Kepri Tahun 2012 Volume 2. 2013. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. 

Materi Penyuluhan : Imunisasi DPT

MATERI PENYULUHAN

A. Imunisasi
1. Pengertian imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. (Ranuh, 2008)

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio). (Hidayat, 2008)

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit tapi belum kebal terhadap penyakit yang lain. (Notoatmodjo, 2003)

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit. (Atikah, 2010)

2. Tujuan imunisasi
Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. (Ranuh, 2008)

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tuberkulosis. (Notoatmodjo, 2003)

Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit.

Secara umun tujuan imunisasi antara lain: (Atikah, 2010)
  • Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular
  • Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular
  • Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita

3. Manfaat imunisasi
  • Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.
  • Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. 
  • Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.

4. Jenis-jenis imunisasi
Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada dua macam, yaitu:
a. Imunisai aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu:
  1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan, eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.
  2. Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa dan antibiotik yang biasa digunakan.
  3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya antigen telur, protein serum, dan bahan kultur sel.
  4. Adjuvan, terdiri dari garam alumunium yang berfungsi meningkatkan sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh.

b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

B. Difteri

  1. Definisi
Sebuah penyakit pada saluran pernapasan bagian atasyang ditandai dengan radang tenggorokan atau faringitis atau tonsilitis.

  1. Etilogi
Penyakit ini disebabkan oleh Coryne bacterium diphteriae. Infeksi biasanya terjadi ditenggorokan dan disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang terinfeksi maupun karier yang sehat (David & Derek). Masa inkubasi difteri adalah 2 – 7 hari.

  1. Manifestasi
Gejala nonspesifik yang mungkin muncul adalah demam dan menggigil, malaise, sakit tenggorokan, suara serak atau disfagia, edema serviks dan limfa denopati, rhinorrea (mukopurulen atau darah), batuk, stridor, mengi, mual, muntah, sakit kepala. Difteri pernapasan dapat berkembang dengan cepat sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas, Takikardia, pucat, dan napas busuk mungkin ada.

Infeksi mungkin terjadi pada palatum, faring, epiglotis, laring, trakea atau, kadang – kadang memperluas ketrakeo bronkial. Daerah dapat berdarah jika terganggu. Ditandai edema amandel, uvula, wilayah submandibular dan leher anteriot (bull neck) dapat diamati dan mungkin terkait dengan suara serak, stridor, limfa denopati servikal anterior, dan perdarahan petekie.

  1. Komplikasi
Komplikasi jantung: tanda kardiovaskular muncul 1 sampai 2 minggu setelah penyakit awal.
  • Miokarditis terjadi pada sebanyak dua pertiga dari pasien, dan sekitar 20% mengalami disfungsi jantung
  • Sistem peredaran, gagal jantung, blok atrioventrikular dan aritmia dapat terjadi
  • Endokarditis dan mikotikaneurisma juga telah dilaporkan.

Komplikasi neurologi: sekitar 70% pasien dengan infeksi berat berkembang menjadi neuropati, neuritis atau kelumpuhan motor setelah 2 sampai 8 minggu.
  • Kelumpuhan fatal yang berpotensi terjadi pada diafragma
  • Kelumpuhan biasanya sembuh sepenuhnya setelah pengobatan.

Manifestasi neurologis dari difteri meliputi:
  • Hypesthesia dan kelumpuhan palatum lunak 
  • Kelemahan faring posterior, laring, dan saraf wajah, kesulitan menelan, dan kadang-kadanga spirasi 
  • Neuropati kranial, biasanya selama minggu kelima, yang menyebabkan gangguan pada okulomotor dan kelumpuhan silia (strabismus, penglihatan kabur, dan kehilangan akomodasi)
  • Polineuropati simetris dimulai dalam waktu 10 hari sampai 3 bulan setelah infeksi, dan bermanifestasi sebagai defisitmotor dengan berkurangnya refleks tendon
  • Kelemahan otot proksimal ekstremitas distal.

  1. Bentuk lain dari difteri
Manifestasi umum lainnya termasuk infeksi saluran genitourinari, saluran pencernaan, vagina, telinga luar, dan konjungtiva, Perdarahan konjungtivitis, Nekrosis fokal pada ginjal, hati, dan kelenjar adrenal, Kasus septic arthritis, osteomyeliyis, abseslimpa, dan bakteremia telah dilaporkan.

C. Pertusis
  1. Definisi

(Gambar penyakit DPT pada anak)

Pertusis (whooping cough atau batuk rejan) adalah penyakit pernafasan yang bersifat akut dan menular mempengaruhi orang yang rentan dari segala usia, dan sangat serius pada bayi. (Crocettiet all. 2004)

  1. Etiologi
Pertusis disebabkan oleh Bordetella pertussis dan jarang disebabkan Bordetella parapertussis. Kedua bakteri ini termasuk jenis gram negatif coccobacilliaerobic yang memerlukan media khusus untuk pertumbuhan. (Crocettiet all.2004)

Bordetella pertussis merupakan satu-satunya penyebab pertussis epidemic dan merupakan penyebab biasa pertussis sporadicB. bronchiseptica merupakan pathogen binatang yang lazim. Batuk yang tidak sembuh-sembuh dapat disebabkan oleh Mycoplasma, virus parainfluenza atau influenza, enterovirus, virus sinsitial respiratori atau adenovirus. (Arvin.2000)

Manusia adalah hosthanya dikenal dari B.pertussis. Penularan terjadi dari orang ke orang melalui droplet dan rentan menular pada populasi non diimunisasi. Orang dewasa dengan penyakit batuk berkepanjangan (yaitu pertusisatipikal) merupakan sumber pentinginfeksi B.pertussisantara anak-anak non diimunisasi atau sebagian diimunisasi. (Crocettiet all. 2004)

  1. Manifestasi Klinis
Menurut Crocettiet all (2004) Pertusis dapat berlangsung selama 6 sampai 8 minggu dan ditandai dengan tiga tahap yaitu:
  1. Tahap Kataral
Tahap Kataral memiliki onset sakit halus dan menyerupai infeksi saluran pernapasan atas ringan dengan coryza, injeksi conjuctival ringan dan batuk ringan.

Secara klasik, pasca-masainkubasi yang berkisar 3 sampai 12 hari, gejala kataral tidak khas, terjadi kongesti dan rhinorrhea, secara berbeda disertai dengan demam, bersin, lakrimasi dan penurunan konjungtiva. Katika gejala semakin berkurang, batuk mulai mula-mula sebagai batuk pendek iritatif, kering, intermitten dan berkembang menjadi paroksismal yang tidak berhenti-henti yang merupakan tanda khas pertussis. (Arvin. 2000)

  1. Tahap paroksismal
Tahap paroksismal dimanifestasikan dengan batuk yang semakin kuat dalam bentuk paroxysm sepisodik, yang sangat sering di malam hari. Dalam pertusis klasik, episodics batuk parah berulang diikuti oleh inspirasi besar tunggal tiba-tiba. Hasil suara teriakan karakteristik dari inhalasi kuat dan glotis menyempit. Setiap serangan tiba-tiba batuk terdiri dari sepuluh sampai 30 batuk kuat dalam serangkaian staccato. Wajah pasien menjadi semakin sianotik, paramen jorok lidah secara maksimal dan lendir, air liur dan air mata mengalir dari hidung, mulut dan mata, masing-masing. Episode paroksismal batuk mungkin tunggal atau beberapa mungkin terjadi dalam suksesi cepat. Dua puluh atau lebih sesi dari paroksismal batuk dapat terjadi setiap hari. Episode paroksismal yang melelahkan dan anak-anak tampa kapatis dan bingung setelah serangan. Di antara serangan, pasien biasanya menunjukkan beberapa tanda-tanda penyakit dan demam tidak karakteristik kasus tanpa komplikasi. Pada bayi muda, teriakan yang kurang mungkin terjadi setelah serangan tiba-tiba.















Gambar Paroxysmal Cough

  1. Tahap Konvaselen
Setelah tahap paroksismal, yang berlangsung dari 1 sampai 4 minggu atau lebih, tahap penyembuhan akan didahului dengan berkurangnya dalam berat dan frekuensi paroxysms. Durasi tahap penyembuhan bervariasi. Paroxysmal - jenis batuk sering terjadi selama 6 bulan atau lebih setelah terjadinya pertussis dalam hubungan dengan infeksi saluran pernapasan. Berat badan atau kegagalan untuk menambah berat badan adalah fitur mencolok dari pertusis parah, terutama pada bayi. Studi menunjukkan bahwa hanya 50% sampai 60% dari kasus pertusis pada anak-anak memiliki gambaran klasik dan bahwa kasus-kasus lain yang ringan dengan jangka waktu batuk kurang dari 4 minggu.

  1. Komplikasi
Komplikasi pertusis yang umum dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: pernapasan, sistem saraf pusat dan efek tekanan sekunder (Crocetti et all. 2004). Komplikasi pertussis utama adalah apnea, infeksi sekunder (seperti otitis media dan pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif dan ventilasi atifisial biasanya terbatas pada bayi sebelum umur 36 bulan. Apnea, sianosisdan pneumonia bakteri sekunder merupakan kejadian-kejadian yang mempercepat intubasi dan ventilasi. Pneumonia bakteri dan/atau sindrom distress pernapasan dewasa merupakan penyebab kematian yang lazim pada setiap umur; perdarahan paru terjadi pada neonates. Demam, takipnea atau distress pernapasan antara paroksismal dan neutrofilia absolute merupakan tanda dan gejala dari pneumonia. Bronkietaksis jarang terjadi pada paska pertussis. Kelainan fungsi paru mungkin menetap selama 12 bulan pasca pertusis tidak berkomplikasi pada anak sebelum umur 2 tahun. (Arvin. 2000)

Komplikasi sistem saraf pusat relatif umum selama tahap paroksismal pertusis. Data menunjukkan bahwa 1,9% bayi mengalami kejang dengan pertusis, dan sekitar 0,2% menderita ensefalopati. Setelah penyakit encephalitis seperti, gejala sisa permanen yang umum. Sekitar sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga bertahan hidup dengan sisa dan sepertiga bertahan dan tampak normal. Gejala sisa termasuk keterbelakangan mental, gangguan kejang, dan perubahan kepribadian dan perilaku. Efek tekanan sekunder selama tahap paroksismal pertusis berat dapat menyebabkan epistaksis, melena, petechiae, hematomasubdural, pusar atau inguinal hernia dan prolaps rektum. (Crocettiet all. 2004)

Kenaikan tekanan intrathoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sclera, ptekie pada tubuh bagian atas, epistaksis, perdarahan pada system saraf sentral dan retina, pneumothoraks dan emfisema subcutan dan hernia umbilikalis serta inguinalis. (Arvin. 2000)

D. Tetanus
  1. Definisi
Tetanus berasal dari bahasa Yunani yaitu Teinein yang artinya menegang, disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani (Cahyono, 2010). Tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan otot seluruh tubuh. Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Hendrawan cit Soeparman, 1987)

  1. Penyebab
Infeksi tetanus ini disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, berbentuk batang panjang, tipis (2-5 µm x 3-8 µm), dan merupakan bakteri gram positif, bakteri berspora yang sifatnya anaerob murni. Kuman ini akan tersebar luas di tanah, debu jalanan, kotoran hewan (kuda, ayam, babi, anjing), dan juga tinja manusia dalam bentuk spora.

  1. Tanda dan gejala
Gejala kliniknya dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk melalui luka, racun Clontridium tetani akan merusak system saraf dan segera memunculkan gejala serta tanda-tanda tetanus, seperti kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut mengeras, gangguan menelan, dan muka seperti tertawa (risus sardonicus). Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan seperti suara berbisik, terkejut, sinar, dll. Sehingga pasien tersebut perlu diisolasi dalam ruang tersendiri. Tetanus pada bayi baru lahir disebut tetanus neonatorum, yang penularannya terjadi padasaat pemotongan tali pusat yang dilakukan secara tidak steril. Tetanus neonatorum ini akan lebih mudah terjadi apabila bayi tidak mendapat imunisasi pasif atau bila pada saat ibunya hamil tidak pernah mendapat imunisasi.

  1. Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan oleh tetanus, antara lain:
  • Hipoksia yang disebabkan oleh gangguan pernapasan, pneumonia sebagai akibat atelektasis, aspirasi dan/atau ventilasi mekanis
  • Trombosis vena dan emboli paru
  • Aritmia jantung, hipertensi dan hipotensiyang disebabkan oleh ketidakstabilan autonom, miokarditis, dan/atau kekurangan volume intravaskuler
  • Fraktur tulang punggung
  • Infeksi yng berkaitan dengan luka awal (Muliawan, 2008)

  1. Pencegahan
Pencegahan tetanus dilakukan melalui sterilisasi alat, misalnya saat pemotongan tali pusat, pembersihan dan perawatan luka dan segera mengobati luka infeksi. Upaya pencegahan tetanus yang paling efektif adalah melalui imunisai pasif dan imunisasi aktif. Pada penyakit tetanus berat, resiko terjadinya kematian sangat tinggi. Obat antibiotik dan imunisasi pasif atau antitetanus belum tentu mampu memperbaiki keadaan penyakit. Cara yang paling efektif adalah mencegah sebelum terkena tetanus melalui vaksinasi.

E. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus
  1. Fungsi
Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, tetanus. Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas. Penularannya bisa karena kontak langsung dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung karena adanya makanan yang terkontaminasi bakteri difteri. Penderita akan mengalami beberapa gejala seperti demam lebih kurang 38°C, mual, muntah, sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran putih keabu-abuan di faring, laring dan tonsil, tidak mudah lepas dan mudah berdarah, leher membengkak seperti leher sapi disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak napas disertai bunyi (stridor). Pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri. Pada proses infeksi selanjutnya, bakteri difteri akan menyebarkan racun kedalam tubuh, sehingga penderita dapat menglami tekanan darah rendah, sehingga efek jangka panjangnya akan terjadi kardiomiopati dan miopati perifer. Cutaneus dari bakteri difteri menimbulkan infeksi sekunder pada kulit penderita.

Difteri disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di mulut, tenggorokan dan hidung. Difteri menyebabkan selaput tumbuh disekitar bagian dalam tenggorokan. Selaput tersebut dapat menyebabkan kesusahan menelan, bernapas, dan bahkan bisa mengakibatkan mati lemas. Bakteri menghasilkan racun yang dapat menyebar keseluruh tubuh dan menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti kelumpuhan dan gagal jantung. Sekitar 10 persen penderita difteri akan meninggal akibat penyakit ini. Difteri dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang terkena penyakit ini.

Pertusis, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Bordetella Perussis. Kuman ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang batuk menjadi rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi batuk yang hebat dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk menarik napas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Batuk bisa mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga “batuk seratus hari”. Penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita. Pada stadium permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu, gejala belum jelas. Penderita menunjukkan gejala demam, pilek, batuk yang makin lama makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium paroksismal, baru timbul gejala khas berupa batuk lama atau hebat, didahului dengan menarik napas panjang disertai bunyi “whoops”Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada bayi batuk tidak khas, “whoops” tidak ada tetapi sering disertai penghentian napas sehingga bayi menjadi biru (Muamalah, 2006). Akibat batuk yang berat dapat terjadi perdarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan disekitar mata (oedema periorbital). Pada pemeriksaan laboratorium asupan lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).

Batuk rejan adalah penyakit yang menyerang saluran udara dan pernapasan dan sangat mudah menular. Penyakit ini menyebabkan serangan batuk parah yang berkepanjangan. Diantara serangan batuk ini, anak akan megap-megap untuk bernapas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah-muntah dan serangan batuk dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Dampak batuk rejan paling berat bagi bayi berusia 12 bulan ke bawah dan seringkali memerlukan rawat inap dirumah sakit. Batuk rejan dapat mengakibatkan komplikasi seperti pendarahan, kejang-kejang, radang paru-paru, koma, pembengkakan otak, kerusakan otak permanen, dan kerusakan paru-paru jangka panjang. Sekitar satu diantara 200 anak di bawah usia enam bulan yang terkena batuk rejan akan meninggal. Batuk rejan dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang berkena penyakit ini.

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Clostridium tetani. Kuman ini bersifat anaerob, sehingga dapat hidup pada lingkungan yang tidak terdapat zat asam (oksigen). Tetanus dapat menyerang bayi, anak-anak bahkan orang dewasa. Pada bayi penularan disebabkan karena pemotongan tali puat tanpa alat yang steril atau dengan cara tradisional dimana alat pemotong dibubuhi ramuan tradisional yang terkontaminasi spora kuman tetanus. Pada anak-anak atau orang dewasa bisa terinfeksi karena luka yang kotor atau luka terkontaminasi spora kuman tetanus, kuman ini paling banyak terdapat pada usus kuda berbentuk spora yang tersebar luas di tanah.

Penderita akan mengalami kejang-kejang baik pada tubuh maupun otot mulut sehingga mulut tidak bisa dibuka, pada bayi air susu ibu tidak bisa masuk, selanjutnya penderita mengalami kesulitan menelan dan kekakuan pada leher dan tubuh. Kejang terjadi karena spora kuman Clostridium tetani berada pada lingkungan anaerob, kuman akan aktif dan mengeluarkan toksin yang akan menghancurkan sel darah merah, toksin yang merusak sel darah putih dari suatu toksin yang akan terikat pada syaraf menyebabkan penurunan ambang rangsang sehingga terjadi kejang otot dan kejang-kejang, biasanya terjadi pada hari ke 3 atau ke 4 dan berlangsung 7 - 10 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan lengkung) pada umur diatas 1 bulan.

Tetanus disebabkan oleh bakteri yang berada di tanah, debu dan kotoran hewan. Bakteri ini dapat dimasuki tubuh melalui luka sekecil tusukan jarum. Tetanus tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Tetanus adalah penyakit yang menyerang sistem syaraf dan seringkali menyebabkan kematian. Tetanus menyebabkan kekejangan otot yang mula-mula terasa pada otot leher dan rahang. Tetanus dapat mengakibatkan kesusahan bernafas, kejang-kejang yang terasa sakit, dan detak jantung yang tidak normal. Karena imunisasi yang efektif, penyakit tetanus kini jarang ditemukan di Australia, namun penyakit ini masih terjadi pada orang dewasa yang belum diimunisasi terhadap penyakit ini atau belum pernah disuntik ulang (disuntik vaksin dosis booster).

  1. Cara pemberian dan dosis
Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular. Suntikan diberika pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc.
Cara memberiakn vaksin ini, sebagai berikut:
1.      Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan seluruh kaki telanjang
2.      Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
3.      Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
4.      Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat
5.      Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk ke dalam otot. Untuk mengurangi rasa sakit, suntikkan secara pelan-pelan.
Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan sampai 11 bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali karena pemberian pertama antibodi dalam tubuh masih sangat rendah, pemberian kedua mulai meningkat dan pemberian ketiga diperoleh cukupan antibodi. Daya proteksi vaksin difteri cukup baik yiatu sebesar 80-90%, daya proteksi vaksin tetanus 90-95% akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis masih rendah yaitu 50-60%, oleh karena itu, anak-anak masih berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari atau pertusis, tetapi lebih ringan.

  1. Efek samping
Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat bayi menangis hebat kerana kesakitan selama kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok.


Daftar Pustaka

Cahyono, J.B. Suharjo B. 2010. Vaksinasi: Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem di Klinik. Jakarta: EGC
Arvin, Behrman Kliegman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Jakarta: EGC
Crocetti, Michael, Michael A. Barone. 2004. Oski’s essential pediatrics 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Beger, Stephen A. 2010.  Infectious Diseases of Haiti - 2010 Edition. Los Angeles: GIDEON E-book series
Hull, David and Derek I. Johnston. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC