BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka
bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan
yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga
seluruh sistem tubuh (Nina,2008). Luka bakar adalah trauma yang
diakibatkan oleh panas, bahan kimia, arus listrik, dan petir yang
mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luas permukaan
tubuh yang terbakar akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel tubuh
dan mengganggu semua sistem terutama sistem kardiovaskuler
(Rahayuningsih, 2012).
Luka
bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma
termal. Terdapat dua jenis luka bakar menurut ketebalannya. Luka bakar
dengan ketebalan parsial adalah luka bakar yang tidak merusak epitel
atau merusak sebagian dari epitel, sedangkan luka bakar dengan ketebalan
penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan
jika permukaan kulit yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan
cangkok kulit (Grace & Borley,2006).
Luka
bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat terbakar yang disebabkan
oleh panas yang tinggi, senyawa kimia, kistrik dan pemajanan sinar
matahari yang berlebihan. Pengobatan luka bakar harus dibedakan
berdasarkan luasnya. Pada prinsip rule of nine luka bakar dibagi menjadi
beberapa bagian yakni bagian kepala 9%, dada 18%, punggung 18%, anggota
gerak atas 18%, paha 18% dan anggota gerak bawah 18%, perineum dan
genitalia 1% (Hidayat, 2008).
Adanya
luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit yakni melindungi tubuh
dari kotoran dan infeksi. Apabila banyak permukaan tubuh yang terbakar,
maka dapat mengancam jiwa seseorang karena adanya kerusakan pembuluh
darah, ketidakseimbangan elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernapasan
serta fungsi saraf (Adibah & Winasis,2014 dalam Sari,2015).
Luka
bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini terjadi karena cairan
tubuh sebagian besar dikirim ke daerah yang terbakar sehingga volume
darah yang dialirkan ke otak dan jantung berkurang. Shock pada anak-anak
dapat terjadi jika luka bakar seluas 10%, sedangkan pada orang dewasa
seluas 20% (Mohamad,2005).
2.2 Klasifikasi Luka Bakar
American College of Surgeon Health Policy Research Institute (2011) membagi luka bakar menjadi tiga tingkatan, yakni :
- First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial, berwarna merah, terasa nyeri.
- Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh, bengkak, dan sangat nyeri.
- Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus, tembus hingga saraf, ada sensasi seperti tusukan jarum di area yang terbakar.
Menurut Di Maio & Dana (1998), luka bakar dibedakan menjadi 4 derajat berdasarkan kedalaman jaringan yang rusak, yaitu :
- Luka bakar derajat 1 (superficial burn)
Terjadi
kerusakan hanya di permukaan kulit, kulit kemerahan, tidak ada bulla,
sedikit oedem dan nyeri, dan tidak menimbulkan jaringan parut setelah
sembuh.
Gambar 2.1 Luka Bakar Derajat Satu (Sumber : www. mediskus.com)
- Luka bakar derajat 2 (partial thickness burn)
TerjAdi kerusakan pada semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Terdapat bula, sedikit oedema, dan nyeri berat.
Gambar 2.2 Luka Bakar Derajat Dua (Sumber : www. mediskus.com)
- Luka bakar derajat 3 (full partial thickness burn)
Terjadi
kerusakan pada semua lapisan kulit dan terdapat nekrosis, lesi tampak
putih, hilang sensasi rasa pada kulit dan akan menimbulkan jaringan
parut setelah sembuh.
Gambar 2.3 Luka Bakar Derajat Tiga (Sumber : www. mediskus.com)
- Luka bakar derajat 4 (charring injury)
Kulit
tampak hitam seperti arang akibat jaringan yang terbakar. Kerusakan
terjadi pada seluruh kulit, jaringan subkutan dan tulang akan hangus.
Menurut
James (1990) dalam Dewi (2013), berdasarkan derajat dan luasnya kulit
yang terkena luka bakar dikategorikan menjadi 3 yakni ringan, sedang dan
berat.
- Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar <15% atau derajat II sebesar <2%.
- Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 10-15% atau derajat II sebesar 5-10%.
- Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat II sebesar >20% atau derajat III sebesar >10% atau mengenai wajah, tangan-kaki, alat kelamin, persendian, sekitar ketiak atau akibat listrik tegangan tinggi (>1000V) atau dengan komplikasi patah tulang maupun kerusakan jaringan lunak/gangguan jalan napas.
2.3 Etiologi
- Luka bakar termal
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan atau gas panas dan bahan padat (solid).
Luka bakar paling sering disebabkan karena terpajan suhu panas seperti
terbakar api secara langsung atau terkena logam yang panas (Borley &
Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
- Luka bakar kimia
Luka
bakar kimia disebabkan oleh kontak jaringan kulit dengan asam atau basa
kuat. Derajat luka bakar karena bahan kimia berhubungan langsung dengan
lama kontak, konsentrasi zat kimia dan banyaknya jaringan yang
terpapar. Semua pakaian yang terkena harus dilepas dan kulit diperiksa
untuk melihat daerah luka. Karena kedalaman luka juga ditentukan oleh
konsentrasi agen yang ada pada kulit, maka pengenceran dengan bilasan
air yang banyak menjadi tahapan dalam penatalaksanaan pasien luka bakar
akibat basa kuat lebih merusak daripada akibat asam kuat (Sabiston,
1995; Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
- Luka bakar listrik
Luka
bakar akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi ketika arus listrik
mengalir ke dalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun
menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ dalam. Tubuh manusia
merupakan penghantar listrik yang baik. Arus listrik yang mengalir ke
dalam tubuh manusia akan menghasilkan panas yang dapat membakar dan
menghancurkan jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak ringan,
tetapi mungkin saja telah terjadi kerusakan organ dalam yang serius,
terutama pada jantung, otot atau otak. Berat ringannya luka dipengaruhi
oleh lamanya kontak, tingginya voltage, dan cara gelombang listrik
mengenai tubuh (Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
- Henti jantung (cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap jantung
- Perusakan otot, saraf dan jaringan oleh arus listrik yang melewati tubuh
- Luka bakar termal akibat kontak dengan sumber listrik.
- Luka bakar radiasi
Luka
bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Hal
ini berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari
sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran.
Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga
merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi. Awalnya luka ini dengan
kedalaman sebagian, tetapi dapat berlanjut ke trauma yang lebih dalam
(Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
2.4 Penentuan Luas Luka Bakar
Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa metode, diantaranya rule of nine, Lund and Browder, dan Hand Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
- Rule of Nine
Gambar 2.4. Penilaian Luka Bakar berdasarkan Rule of Nine
(Sumber : www.medical-dictionary.thefreedictionary.com)
(Sumber : www.medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya yang terkenal dengan rule of nine. Metode
ini dikenal sejak tahun 1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan
perkiraan luas luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi menjadi
beberapa bagian anatomi dan setiap bagian mewakili 9% kecuali daerah
genital.
- Kepala dan leher : 9%
- Ekstremitas atas : 2 x 9% (kanan dan kiri)
- Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kanan dan kiri)
- Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9% (kanan dan kiri)
- Perineum dan genitalia : 1%
- Lund and Browder
Pada metode ini total area tubuh yang terkena dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan usia. Metode lund and browder
merupakan modifikasi prosentase bagian tubuh menurut usia yang
memberikan perhitungan lebih akurat tentang luas luka bakar.
(Hardisman,2014). Pada anak di bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan
setiap pertambahan usia satu tahun , prosentase kepala tutun 1% hingga
tercapai nilai dewasa.
- Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm),
area permukaan tangan pasien adalah sekitar 1% dari total luas
permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka bakar kecil
(Gurnida & Lilisari,2011).
2.5 Patofisiologi
Luka
bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh.
Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi kulit
dengan luka bakar akan mengalami keusakan pada epidermis, dermis, maupun
jaringan subkutan tergantung lamanya kulit kontak dengan sumber panas
(Effendi, 1999).
Cidera
luka bakar mempengaruhi semua sistem organ. Besarnya respon
patofisiologis ini berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan mencapai
masa stabil ketika terjadi luka bakar kira0kira 60% seluruh permukaan
tubuh (Hudak & Gall, 1996).
Tingkat
keperawatan perubahan tergantung pada luas dan kedalaman luka bakar
yang menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan
berlangsung 24 – 72 jam pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran
cairan dari komponen vaskuler ke ruang interstisium. Bila jaringan
terbakar, vasodilatsi meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul
perubahan permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya.
Dampaknya jumlah cairan yang banyak berada pada ekstra sel, sodium
chloride dan protein lewat melalui daerah yang tebakar dan membentuk
gelembung-gelembung dan edema atau keluar melalui luka terbuka. Akibat
adanya edema luka bakar, lingkungan kulit mengalami kerusakan. Kulit
sebagai barier mekanik berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang
penting dari organisme yang masuk. Terjadinya kerusakan lingkugan kulit
akan memungkinkan mikro organisme masuk dalma tubuh dan menyebabkan
infeksi luka yang dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Dengan
adanya edema juga akan berpengaruh terhadap peningkatan peregangan
pembuluh darah dan saraf yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri
terseut dapat mengganggu mobilitas pasien.
Ketika
terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler, terjadi homo
konsentrasi dan hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada
daerah luka bakar dan nutrisi kurang. Adanya cidera luka bakar
menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat sebagai akibat respon
stress neurohomoral. Hal tersebut dapat meningkatkan afterload jantung
dan mengakibatkan penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna
curah jantung, menyebabakan metabolisme anaerob dan hasil akhir produk
asam ditahan karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis
metabolik yang menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak sempurna.
Mengikuti
periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi akut. Periode ini
ditandai dengan anemia dan malnutrisi. Anemia akan berkembang akibat
banyak kehilangan eritrosit. Keseimbangan nitrigen negatif mulai terjadi
pada waktu terjadi luka bakar yang disebabkan kerusakan jaringan
kehilangan protein dan akibat respon stress. Hal ini akan berlangsung
selama periode akut karena terus menerus kehilangan protein melalui
luka.
Gangguan
respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas bagian atas atau karena
efek syok hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan
karena inhalasi bahan yang merugikan atau udara yang terlalu panas,
menimbulkan iritasi pada saluran nafas, edema laring dan obstruksi
potensial.
Luka
bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau
radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C
tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda
untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah
merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen
pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma
dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas
yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial
menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami
defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke
jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).
Luka
bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan
organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu
terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh
darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan
protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan
intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat
mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan
terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan
perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang
menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak,
kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat
mengakibatkan kegagalan organ multi sistem
Keadaan yang memperberat luka bakar
- Syok hipovolemik
Pada
luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan
nekrosis jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap
system organ, tergantung pada ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi
jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler sehingga
cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai
dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan
tidak akan bertahan lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik.
Pada
kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini
digunakan cairan isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif menangani
syok hipovolemik dan juga dapat mengurangi kebutuhan terhadap transfuse
darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer (AR) juga dapat
digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan
beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi
dan sebagainya). Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah
cairan yang diperkirakan hilang.
Setelah
syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan
berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti
sepsis, hipoksi jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik
yang melemah merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya
kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma yang
meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan
mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki
keadaan, bahkan membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer
merupakan cairan yang secara fisiologik sama dengan RL , tanpa kandungan
laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera di metabolisme
dengan cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan
asambasa.
- Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi
luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika
terdapat kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi
jaringan invasive sering terjadi pada pasien dengan luka bakar derajat
III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya. Resiko terjadinya
infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena
komorbiditas.
SIRS
dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian
dilaporkan bahwa SIRS dan MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca
trauma.
SIRS
adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti
trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon
ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan
luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan
faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik,
menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena
menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome)
bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS
dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian
dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca
trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien
pada MODS.
Ada
5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion
injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus
American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care
Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi
berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32 mmHg) 3 ), leukopeni (< 4000 sel/mm3
Bila
diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu
berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS) atau
dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Pada
dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi
organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS
sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti
bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir
dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.
Tahap I
Patofisiologi
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka
bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan
berbagai mediator proinflamasi seperti sitokin; yang selain
membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan
luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa
pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL Tahap I 1, IL6), interferon,
Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon
inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel.
Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor
(PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi
dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga
terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui
luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan
cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah
kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan
respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi
produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah
respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar
mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti
IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth
Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon
inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating
cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika
homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS);
terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah
menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi
sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam
berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional
dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan
permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular,
aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat
dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS
merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka
bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori
yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya
terjadi secara simultan.
- Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan
sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan
sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal
khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang
berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan
sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan
glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini
berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem
integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan
produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
- Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
- Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
2.6 Manifestasi Klinis
Kedalaman dan Penyebab Luka Bakar
|
Bagian Kulit yang Terkena
|
Gejala
|
Penampilan Luka
|
Perjalanan Kesembuhan
|
Derajat Satu (Superfisial): Tersengat matahari, terkena api dengan intensitas rendah
|
Epidermis
|
Kesemutan, hiperestesia (supersensivitas), rasa nyeri mereda jika didinginkan
|
Memerah, menjadi putih ketika ditekan minimal atau tanpa edema
|
Kesembuhan lengkap dalam waktu satu minggu, terjadi pengelupasan kulit
|
Derajat Dua (Partial-Thickness): Tersiram air mendidih, terbakar oleh nyala api
2a = Superficial partial thickness
2b = Deep partial thickness
|
Epidermis dan bagian dermis.
Epidermis dan lapisan atas dari dermis
Epidermis dan lapisan dalam dari dermis
|
Nyeri, hiperestesia, sensitif terhadap udara yang dingin.
Nyeri dan sangat sensitif oleh tekanan.
Nyeri dan sensitif.
|
Melepuh, dasar luka berbintik-bintik merah, epidermis retak, permukaan luka basah, terdapat edema.
Kulit
tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat daripada luka bakar
grade I, ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah terkena
luka, bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah muda yang
basah, Luka sangat sensitive dan akan menjadi lebih pucat bila terkena
tekanan.
Disertai
juga dengan bula, permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena
variasi dari vaskularisasi pembuluh darah ( bagian yang putih punya
hanya sedikit pembuluh darah dan yang merah muda mempunyai beberapa
aliran darah.
|
Kesembuhan dalam waktu 2-3 minggu, pembentukan parut dan depigmentasi, infeksi dapat mengubahnya menjadi derajat-tiga.
Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu (bila tidak terkena infeksi ), Tapi warna kulit tidak akan sama seperti sebelumnya.
Luka
akan sembuh dalam 3-9 minggu. Organ-organ kulit seperti folikel-folikel
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
|
Derajat Tiga (Full-Thickness): Terbakar nyala api, terkena cairan mendidih dalam waktu yang lama, tersengat arus listrik
|
Epidermis, keseluruhan dermis dan kadang-kadang jaringan subkutan
|
Tidak
terasa nyeri, syok, hematuria (adanya darah dalam urin) dan kemungkinan
pula hemolisis (destruksi sel darah merah), kemungkinan terdapat luka
masuk dan keluar (pada luka bakar listrik)
|
Kering, luka bakar berwarna putih seperti bahan kulit atau gosong, kulit retak dengan bagian lemak yang tampak, terdapat edema
|
Pembentukan
skar, diperlukan pencangkokan, pembentukan parut dan hilangnya kontur
serta fungsi kulit, hilangnya jari tangan atau ekstrenitas dapat terjadi
|
2.7 Komplikasi
- Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
- Sindrom kompartemen
Sindrom
kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler,
syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam
kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan
bertambah berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap
pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
- Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien.
- Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya
peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik
akibat luka bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause.
Perdarahan lambung yang terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang
massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh darah okulta
dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini
merupakan tanda-tanda ulkus curling.
- Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah, perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
- Gagal ginjal akut
Haluran
urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang
tidak adekuat khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.
- Kontraktur
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan diagnostik pada luka bakar yaitu :
- Laboratorium
- Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah.
- Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.
- GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbondioksida (PaCO2) mungkin terlihat padaretensi karbon monoksida.
- Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awalmungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
- Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatancairan.
- Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungandengan perpindahan cairan interstisial ataugangguan pompa, natrium.
- Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
- Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.
- BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
- Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.
- EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemiamiokardial atau distritmia.
- Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhanluka bakar.
2.9 Penatalaksanaan
- Pengkajian primer
- Airway
Menurut
Moenadjat (2009), membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk
akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi
berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar
kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal)
dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama
sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan distres
pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi.
Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama
pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan
nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana
pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi
inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan.
Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan
indikasi dan pilihan.
- Breathing
Adanya
kesulitan bernafas, masalah pada pengembangan dada terkait keteraturan
dan frekuensinya. Adanya suara nafas tambahan ronkhi, wheezing atau
stridor.
Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
- Pemberian oksigen
Oksigen
diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat
ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita
trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena
patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian
oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan
menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres
oksidatif.
- Humidifikasi
Oksigen
diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk
mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses
inflamasi mukosa.
- Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif
bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi.
Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau
sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa.
Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi
akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin
sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan steroid.
- Lavase bronkoalveolar
Prosedur
lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi
permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan
humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
- Rehabilitasi pernafasan
Proses
rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa
prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
- Pengaturan posisi
- Melatih reflek batuk
- Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur
ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat
hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif
- Penggunaan ventilator
Penggunaan
ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan
secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol.
- Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary refill time, hipotensi, mukosa kering, nadi meningkat.
Menurut
Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV
line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP
untuk mempertahankan volume sirkulasi
- Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP
- Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan
perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan
parameter dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam
sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi
hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan
dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat
permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau
penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma
akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.
- Nilai ukuran luka bakar (aturan 9 dari Wallace)
Gambar Rule of nine (Cont Edu Anaesth Crit Care and Pain. 2012)
Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua jenis perawatan luka selama dirawat di bangsal yaitu:
- Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa balutan dan diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut seperti wajah, perineum, dan lipat paha.
- Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah dibeikan obat topical.
Penanganan luka bakar di unit gawat darurat
Tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien pada 24 jam pertama yaitu:
- Penilaian keadaan umum pasien, perhatikan Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi)
- Penilaian luas dan kedalaman luka bakar
- Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara dan edema saluran pernafasan
- Kaji adanya faktor – faktor lain yang memperberat luka bakar seperti adanya fraktur, riwayat penyakit sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dll)
- Pasang infus (IV line), jika luka bakar >20% derajat II / III biasanya dipasang CVP (kolaborasi dengan dokter) digunakan untuk mengetahui permeabilitas vaskular dengan monitoring nilai CVP yang semakin meningkat
- Pasang kateter urin, pasang NGT jika diperlukan, beri terapi oksigen sesuai kebutuhan
- Berikan suntikan ATS / toxoid
- Perawatan luka :
- Cuci luka dengan cairan savlon 1% (savlon : NaCl = 1 : 100)
- Biarkan lepuh utuh (jangan dipecah kecuali terdapat pada sendi yang mengganggu pergerakan
- Selimuti pasien dengan selimut steril
9. Pemberian obat – obatan (kolaborasi dokter): Antasida H2 antagonis, Roborantia (vitamin C dan A), Analgetik, Antibiotic
10. Mobilisasi secara dini dan pengaturan posisi
Keterangan:
- Pada 8 jam I diberikan ½ dari kebutuhan cairan
- Pada 8 jam II diberikan ¼ dari kebutuhan cairan
- Pada 8 jam III diberikan sisanya
Penanganan luka bakar di unit perawatan intensif.
Hal yang perlu diperhatikan pada pasien meliputi:
- Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien mengadakan perlawanan terhadap ventilator
- Observasi tanda – tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap jam dan suhu setiap 4 jam
- Pantau nilai CVP, amati neurologis pasien (GCS), pantau status hemodinamik, pantau haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam), pantau status oksigen, fisoterapi dada.
- Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
- Cek asalisa gas darah setiap hari atau bila diperlukan
- Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
- Perawatan tiap 2 jam (beri boraq gliserin)
- Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2 jam
- Ganti posisi pasien setiap 3 jam (perhatikan posisi yang benar bagi pasien)
- Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan tube setiap hari
- Ganti kateter dan NGT setiap minggu
- Observasi letak tube (ETT) setiap shift
- Observasi setiap aspirasi cairan lambung
- Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, protein (albumin), dan gula darah (kolaborasi dokter)
- Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
- Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter
Prosedur tindakan perawatan luka pada pasien luka bakar:
- Cuci / bersihkan luka dengan cairan savlon 1% dan cukur rambut yang tumbuh pada daerah luka bakar seperti pada wajah, aksila, pubis, dll
- Lakukan nekrotomi jaringan nekrosis
- Lakukan escharotomy jika luka bakar melingkar (circumferential) dan eschar menekan pembuluh darah. Eskartomi dilakukan oleh dokter
- Bullae (lepuh) dibiarkan utuh sampai hari ke 5 post luka bakar, kecuali jika di daerah sendi / pergerakan boleh dipecahkan dengan menggunakan spuit steril dan kemudian lakukan nekrotomi
- Mandikan pasien tiap hari jika mungkin
- Jika banyak pus, bersihkan dengan betadin sol 2%
- Perhatikan ekspresi wajah dan keadaan umum pasien selama merawat luka
- Bilas savlon 1% dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%
- Keringkan menggunakan kasa steril
- Beri salep silver sulfadiazine (SSD) setebal 0,5cm pada seluruh daerah luka bakar (kecuali wajah hanya jika luka bakar dalam [derajat III] dan jika luka bakar pada wajah derajat I/II, beri salep antibiotika)
- Tutup dengan kasa steril (perawatan tertutup atau biarkan terbuka (gunakan cradle bed)
Penatalaksanaan berdasarkan jenis luka bakar:
- Luka bakar berat (luka bakar >20% pada dewasa, >10% pada anak)
- Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin, berikan analgesia adekuat i.v., pertimbangan selang nasogastric (nasogastric tube, NGT), berikan profilaksis tetanus.
- Berikan cairan i.v. berdasarkan formula Muir-Barclay: %luka bakar x berat badan dalam kg/2= satu aliquot cairan. Berikan 6 aliquot cairan selama 36 jam pertama dengan urutan 4, 4, 4, 6, 6,12 jam dari waktu terjadinya luka bakar. Biasanya menggunakan larutan koloid, albumin atau plasma.
- Luka akibat terbakar diobati sebagai luka bakar ringan
- Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar
- Luka bakar ringan (luka bakar <20% pada dewasa, <10% pada anak)
- Terapi terbuka-bersihkan luka dan biarkan terpapar pada lingkungan khusus yang bersih
- Terapi tertutup-tutup luka dengan kasa yang dibasahi dengan klorheksidin atau silver sulfadiazine yang ditutup tipis
- Debridemen eskar dan split skin graft.
Resusitasi Cairan
Menurut
Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas
kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan
elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan
terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial.
Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga
sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel
atau jaringan atau organ. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan
permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan
massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume
cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan
menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini
dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu
singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab
syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa
penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan
metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang
ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukan
perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan
kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil
kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap
angka mortalitas.
- Resusitasi pada pasien yang mengalami syok hipovolemi
Resusitasi
segera melalui IV dengan larutan elektrolit isotonic, keseimbangan
larutan elektrolit (misal, Ringer’s Laktat) dianjurkan karena NaCl 0,9%
mengandung natrium dan klorida dalam jumalh yang sangat banyak (Horne, M
& Pamela L 2000).
Perbaiki
volume cairan yang bersirkulasi seperti kristaloid, koloid atau darah
melalui IV. Resusitasi cairan intravena yaitu cairan isotonic, seperti
Ringer Laktat jika pasien syok.
- Resusitasi pada pasien yang tidak syok hipovolemi
Menggunakan
regimen yang telah direkomendasi oleh unit luka bakar setempat. Secara
umum, koloid lebih baik daripada larutan elektrolit, terutama bila anak
akan dirujuk. Bila cairan yang dianjurkan tidak tersedia, gunakan plasma
dengan volume yang sama dengan larutan elektrolit (Hartmann)
untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam pertama setelah luka bakar
dan separuhnya lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya (Insley J, 2003)
Penghitungan
berat badan pada pasien menjadi langkah awal. Kateter urin ditinggalkan
sebagai indeks perfusi ginjal dan untuk mengevaluasi keefektifan
resusitasi cairan. Ada beberapa rumus yang telah dikembangkan oleh
berbagai pusat perawatan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar. Terdapat dua sistem yang sering digunakan sekarang
adalah modifikasi Brooked dan Parkland. Kedua rumus
ini menghitung kebutuhan cairan berdasarkan luas daerah luka bakar
dikali berat pasien dalam kilogram. Dikali volume larutan Ringer yang
akan diberikan dalam 24 jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan,
setengah jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama sesusitasi, dengan
seperempat dari seluruh jumlah semula diberikan tiap 8 jam berikutnya.
Pemantauan yang teliti dan cermat mengenai pengeluaran urin dan tekanan
vaskuler sentral (bila tepat) merupakan metode resusitasi yang tepat.
Bila pengeluaran urin rendah dan terjadi ketidakstabilan kardiovaskular
pada pemberian volume intravena maka perlu adanya pemasangan kateter
termodilusi Swan-Ganz untuk memantau tekanan jantung kiri dan kanan
serta curah jantung. (Sabiston, 1995)
Formula untuk Resusitasi Cairan :
- Formula Parkland untuk resusitasi klien luka bakar
24 jam pertama menggunakan cairan ringer laktat: 4ml / kgBB / %luka bakar
- Pemberian resusitasi cairan pada orang dewasa :
Contohnya pria dengan berat 75 kg dengan luas luka bakar 20%
Maka membutuhkan cairan : (4 ml) X (75kg) X (20) = 6000 ml dalam 24 jam pertama
½ jumlah cairan 3000 ml diberikan dalam 8 jam
½ jumlah cairan sisanya 3000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.
- Pemberian resusitasi cairan pada anak:
- 4 ml/kg untuk jam pertama 10 kg dari berat
- 2 ml/kg untuk jam kedua 10 kg dari berat
- 1 ml/kg untuk >20kg dari berat badan
Hasil akhir
- Urin output 0.5-1.0 ml/kg/hari untuk dewasa
- Urin output 1.0-1.5 ml/kg/hari untuk anak-anak
- Formula Evans :
- Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
- Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah plasma / 24 jam (no a dan b pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)
- 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat penguapan)
Separuh
dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah
jumlah cairan hari kedua.
- Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter yaitu :
% luka bakar x BB x 4 cc
Separuh
dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit
yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan
setengah cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan BB 60 kg dan
luka bakar seluas 25 % permukaan kulit akan diberikan 25% x 60 x 4 cc =
6000 cc yang diberikan hari pertama dan 3000 cc pada hari kedua.
Metode Baxter
Menurut
Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan
kristaloid dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit
dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium
Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan
yang hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian
kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan aman
- Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
- Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3
2cc x berat badan x % luas luka bakar ditambah kebutuhkan faal
Kebutuhan faal :
- <1 tahun : BB x 100cc
- 1-3 tahun : BB x 75cc
- 3-5 tahun : BB x 50cc
- ½ jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama
- ½ diberikan 16 jam berikutnya
Protocol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman berikut.
Pedoman
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
- Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula Curreri
Adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka bakar/hari.
Petunjuk perubahan cairan
- Pemantauan urin output tiap jam
- Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
- Kecukupan sirkulasi perifer
- Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
- Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M & Pamela L, 2000)
24 jam pertama
| |||
Formula
|
Elektrolit
|
Koloid
|
Glukosa dalam air
|
Consensus ABA
|
Cairan ringer
Laktat, 2-4 ml/kg/% luas permukaan tubuh untuk mempertahankan haluaran urin 30-50 ml/jam
| ||
Brooks
|
Cairan ringer
Laktat, 1,5 ml/kg/% luka bakar
|
0,5 ml/kg/% burn
|
2000 ml
|
Parland
|
Cairan ringer
Laktat, 4 ml/kg/%
| ||
Cairan Natrium Hipertonik
|
Volume untuk mempertahankan haluaran urin 30 ml/jam (cairan berisi 250 mEq natrium/L)
|
- WOC (terlampir)
- Prognosis
Prognosis
dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar dan penenganan syok hingga penyembuhan. Selain itu
faktor letak daerah terbakar, usia, dan keadaan kesehatan penderita juga
turut menentukan kecepetaan kesembuhan. Luka bakar pada daerah
perinium, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam perawatannya, karena
mudah mengalami kontraktur.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
- Asuhan Keperawatan Umum
Pengkajian
- Primary Survey
- Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi perawat
- Breathing
Kaji
pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya
kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun
sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring,
gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
- Circulation
Kaji
ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilar
refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.
- Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
- Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan berkelanjutan serta menilai luas dan derajat luka bakar.
- Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
- Monitor tanda-tanda vital
- Pemeriksaan fisik
- Lakukan pemeriksaan tambahan
- Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik
- Data demografi meliputi identitas pasien nama, usia, jenis kelamin, alamat, dll
- Keluhan Utama: Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
- Riwayat Penyakit Sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
- Riwayat Penyakit Dahulu: Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
- Riwayat Penyakit Keluarga: kaji riwayat penyakit keluarga yang kemungkinan bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada pasien seperti penyakit DM, hipertensi, asma, TBC dll.
- Review of System
- B1 : nafas20 x/menit, tidak ada sesak nafas, bentuk dada simetris, penggunaan otot bantu nafas tidak ada, saat diperkusi sonor, suara nafas normal.
- B2 : Tidak ada peningkatan JVP, HR : 96x/ menit, BP : 170/100 mmHg
- B3 : pupil normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik, pendengaran baik, penglihatan baik, penghidu baik, GCS : 15
- B4 : urin pekat, Osmolaritas serum >450 mOsm/kg, Natrium serum = 170 mmol/L
- B5 : kehausan dan penurunan nafsu makan
- B6 : bola mata cekung, kelemahan otot, membran mukosa mulut kering
- Pemeriksaan diagnostik
- WBC 12,0 X 103ῃ/1
- MCV 80,4 Fl
- Limphosyt 11,2%
- RDW 44,3 fL
- Analisis data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah Kep.
| |||
1.
|
DS: -
DO:
|
Luka bakar
Vasodilatasi PD
Penyumbatan sal. Nafas bagian atas
Edema paru
Hiperventilasi
Kerusakan pertukaran gas
|
Kerusakan pertukaran gas
| |||
2.
|
DS: -
DO:
|
Luka bakar
Inhalasi asap
Edema laring
Obstruksi jalan nafas
Bersihan jalan nafas inefektif
|
Bersihan jalan napas tidak efektif
| |||
3.
|
Ds: -
Do:
|
Luka bakar
Permeabilitas kapiler meningkat
Evaporasi / Penguapan
Kehilangan cairan tubuh
|
Defisit volume cairan
| |||
4
|
DS: -
DO:
|
Luka bakar
Vasodilatasi PD
Sirkulasi darah menurun
Sel mengalami hipoksia
perfusi jaringan tidak efektif
|
Gangguan perfusi jaringan tidak efektif
| |||
5
|
DS: pasien mengeluh perih, sakit
DO:
|
Luka bakar
Kerusakan kulit/ jaringan
Inflamasi, Lesi
Kerusakan integritas kulit
|
Kerusakan integritas kulit
| |||
6
|
DS: pasien mengeluh panas dan sakit
DO:
- Nadi 120x/menit
- RR 30x/menit
-Pasien nampak meringis kesakitan sambil memegang dada yang sakit.
P:trauma luka bakar
Q : terasa panas
R : sisi trauma/cidera yang sakit
S : Skala nyeri 7
T: Hilang timbul dan meningkat jika adanya aktivitas
|
Luka bakar
Kerusakan kulit/ jaringan dan edema
Nyeri
|
Nyeri
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS DIAGNOSA
- Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon monoksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran nafas atas
- Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi asap
- Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kehilangan lewat evaporasi dari luka bakar
- Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran darah arteri / vena
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi, lesi
- Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit / jaringan
- INTERVENSI
NO
|
Diagnosa
|
NOC
|
NIC
|
1
|
Dx: Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon monoksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran nafas atas
.
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mendapatkan oksigenasi yang adekuat.
Kriteria hasil:
|
|
2
|
Dx: Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi asap
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam jalan napas klien
kembali paten (terbebas dari sumbatan), dengan kriteria hasil:
|
Airway Management:
|
3
|
Dx: Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kehilangan lewat evaporasi dari luka bakar
|
Setelah
diberikan asuhan keperawatan selama …. jam tidak ditemukan tanda-tanda
kekurangan volume cairan atau dehidrasi dengan KH:
nilai elektrolit dalam batas normal.
|
|
4
|
Dx: Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran darah arteri / vena
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan aliran darah pasien ke jaringan perifer adekuat
Kriteria Hasil :
1. Nadi perifer teraba dengan kualitas dan kekuatan yang sama
2. Pengisian kapiler baik
3. Warna kulit normal pada area yang cedera
|
|
5
|
Dx: Kerusakan integritas kulit b/d kerusakan permukaan kulit sekunder destruksi lapisan kulit.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pasien menunjukkan regenerasi jaringan Kriteria hasil:
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar. |
|
|
6
|
Dx: Nyeri berhubungan dengan kerusakan kulit / jaringan
|
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…. jam tingkat kenyamanan klien meningkat, nyeri terkontrol dg KH:
|
Manajemen nyeri :
|
- Asuhan Keperawatan Khusus
Seorang
pasien bernama Tn. S berusia 27 tahun dengan BB 60 kg datang ke RSUA
jam 11.00 pagi karena terkena ledakan tabung gas. Kejadian pasien
terluka bakar pada jam 08.00. Daerah luka bakar terjadi pada sebagian
besar dada klien ( Nilai : 18%). Keluhan utama klien saat dating ke RSUA
merintih kesakitan saat di kaji skala nyeri 7. Klien juga mengeluhkan
sesak, batuk-batuk, serta klien merasa lemas. Pasien mendapatkan 500 cc
cairan.
Resusitasi cairan
Rumus Baxter : (% luka bakar) x (BB) x (4 cc)
18 x 60 x 4 = 4320 ml/24 jam
8 jam pertama = 2160 ml-500ml = 1660 ml utk 5 jam berikutnya
16 jam berikutnya 2160 ml cairan
- Pengkajian
- Anamnesa
- Nama : Tn. S
- Jenis kelamin : Laki-Laki
- Tanggal masuk : 31 Maret 2016
- Usia : 27 tahun
- Status perkawinan : Menikah
- Suku bangsa : Jawa/Indonesia
- Alamat : Surabaya
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Pegawai swasta
- Pendidikan : Tamat SMP
- Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik
- Keluhan Utama: Klien merintih kesakitan karena luka bakar 3 jam sebelum MRS.
- Riwayat Penyakit Sekarang: 3 jam sebelum masuk RSUA, Tn. S menderita luka bakar karena terkena ledakan tabung gas elpiji . Tn. S tidak memiliki riwayat Diabetes dan hipertensi. Kesadaran composmentis, TD: 100/70 mmHg, Nadi: 110x/mnt, S: 36,8oC, RR: 29x/menit, TB: 165 cm, BB: 60 kg
- Riwayat Penyakit Dahulu: Tn.S mengatakan belum pernah mempunyai riwayat masuk rumah sakit/operasi di RS sebelumnya. Riwayat Diabetes Melitus tidak ada dan Hipertensi tidak ada.
- Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada riwayat DM, hipertensi, asma, TBC
- Pemeriksaan Fisik:
- Status Generalis
KeadaanUmum : Tampak sakitberat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110x/mnt, reguler
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : 29x/menit
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 60 kg
- Kelenjar Getah Bening
Submandibula : tidak teraba
Leher : tidak teraba
Supraklavikula : tidak teraba
Ketiak : tidak teraba
Lipat paha : tidak teraba
- Kepala
Ekspresi wajah : menyeringai, menahan sakit
Rambut : hitam
Simetri muka : simetris
- Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 2-5 cmH2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak taraba membesar
- Dada
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Retraksi sela Iga : (-)
- Perut
Inspeksi : datar, tidak ada ascites
- Punggung
Terdapat luka bakar menyeluruh pada bagian dada (18%). Warnanya merah, keabu-abuan, sedikit tampak cairan.
- Analisa Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
DS: Klien merasa lemas
DO:
|
Luka bakar
Permeabilitas kapiler meningkat
Evaporasi / Penguapan cairan
Kehilangan cairan tubuh
|
Defisit volume cairan
| |
DS: Pasien mengeluh sesak
DO:
|
Luka bakar
Vasodilatasi Pembuluh Darah
Penyumbatan sal. Nafas bagian atas
Edema paru
Hiperventilasi
Gangguan pertukaran gas
|
Gangguan pertukaran gas
| |
DS: Pasien mengeluh batuk-batuk
DO:
|
Luka bakar
Inhalasi asap
Edema laring
Obstruksi jalan nafas
Bersihan jalan nafas inefektif
|
Bersihan jalan napas tidak efektif
| |
DS: klien mengeluh panas dan sakit
DO:
P: trauma luka bakar
Q : terasa panas
R : sisi trauma/cidera yang sakit
S : Skala nyeri 7
T: Hilang timbul dan meningkat jika adanya aktivitas
|
Luka bakar
Kerusakan kulit/ jaringan dan edema
Nyeri
|
Nyeri akut
| |
DS: pasien mengeluh perih, sakit
DO:
|
Luka bakar
Kerusakan kulit/ jaringan
Inflamasi, Lesi
Kerusakan integritas kulit
|
Gangguan integritas kulit
|
- Diagnosa Keperawatan
- Defisit volume cairan b.d banyaknya penguapan/cairan tubuh yang keluar
- Gangguan pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas
- Bersihan jalan nafas inefektif b.d obstruksi jalan nafas
- Nyeri akut b.d kerusakan kulit dan jaringan
- Gangguan integritas kulit b.d kerusakan kulit dan jaringan yang terkena luka bakar
- Intervensi Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Defisit volume cairan b.d banyaknya penguapan/cairan tubuh yang keluar
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x 24 jam pemulihan cairan
optimal dan keseimbangan elektrolit serta perfusi organ vital tercapai
Kriteria Hasil:
a. BP 100-140/60 –90 mmHg
b. Produksi urine >30 ml/jam (minimal 1 ml/kg BB/jam)
c. Ht 37-43 %
d. Turgor elastic
e. Mucosa lembab
f. Akral hangat
g. Rasa haus tidak ada
|
|
2.
|
Gangguan pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x 24 jam oksigenasi jaringan adekuat
Kriteria Hasil:
a.Tidak ada tanda-tanda sianosis
b. Frekuensinafas 12 - 24 x/mnt
c. SP O2 > 95
|
1.Mengkaji tanda-tanda distress nafas, bunyi, frekuensi, irama, kedalaman nafas.
2.Monitor tanda-tanda hypoxia (agitsi,takhipnea, stupor,sianosis)
3.Monitor hasil laboratorium, AGD, kadar oksihemoglobin, hasil oximetri nadi,
4.Kolaborasi dengan tim medis untuk pemasangan endotracheal tube atau tracheostomi tube bila diperlukan.
5.Kolabolarasi dengan tim medis untuk pemasangan ventilator bila diperlukan.
6.Kolaborasi dengan tim medis untuik pemberian inhalasi terapi bila diperlukan
|
3.
|
Bersihan jalan nafas inefektif b.d obstruksi jalan nafas
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x24 jam jalan nafas kembali efektif
Kriteria hasil :
a.Tidak ada sekret di saluran pernafasan
b.Pasien bisa bernafas dengan normal
|
1.Kaji status pernafasan klien 72 jam pertama
2. Latihan nafas dalam dan batuk efektif jika memungkinkan
3. Tinggikan kepala 15-30 derajat
4.Lakukan postural drainase danclaping vibrating jika memungkinkan
|
4.
|
Nyeri akut b.d kerusakan kulit dan jaringan
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam selama masa perawatan nyeri berkurang
Kriteria Hasil:
a.Skala 1-2
b.Expresi wajah tenang
c.Nadi 60-100 x/mnt
d.Klien tidak gelisah
|
1. Kaji rasa nyeri yang dirasakan klien
2.Atur posisi tidur dengan nyaman
3. Anjurkan klien untuk teknik relaksasi
4.Lakukan prosedur pencucian luka dengan hati-hati
5. Anjurkan klien untuk mengekspresikan rasa nyeri yang dirasakan
6.Beri tahu klien tentang penyebab rasa sakit pada luka bakar
7.Kolaborasi dengan tinm medis untuik pemberian analgesik
|
5.
|
Gangguan integritas kulit b.d kerusakan kulit dan jaringan yang terkena luka bakar
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama masa penyembuhan luka bakar sembuh dengan baik dan integritas kulit
Kriteria hasil:
a.Luka sembuh sesuai dengan fase penyembuhan luka
|
1. Kaji luka pada fase akut (perubahan warna kulit)
2. Cegah adanya gesekan pada kulit yang terdapat luka
3. Lakukan perawatan pada luka bakar
Prosedur:
1.Pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan.
2.
Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar
(dalam delapan jam pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam
sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement.
3.
Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar
atau jaringan nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan
menghalangi proses penyembuhan luka karena berpotensi besar untuk
berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin,
dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud
tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat
konsistensi eskar masih padat dan belum mengalami lisis, eskar yang
mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan sulit dilakukan.
Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.
4. Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.
5.Pemberian
antimikroba topikal membantu mencegah infeksi. Mengikuti prinsip
aseptik melindungi pasien dari infeksi. Kulit yang gundul menjadi media
yang baik untuk kultur pertumbuhan bakteri.
|
- Evaluasi
- S: Klien merasa tidak lemas
O: Turgor kulit baik, mukosa lembab, kadar Kalium= 4.0 mEq/L dan kadar Natrium= 135 mEq/L, intake dan output seimbang
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
- S: Klien mengatakan sesak berkurang
O: Klien kadang-kadang masih terlihat bernafas cepat, RR: 25 kali/menit, SaO2 = 95 %
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
- S: Klien mengatakan batuk-batuk berkurang
O: Klien kadang-kadang batuk dan mengeluarkan secret
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
- S: Klien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri 4
O: Klien tidak meringis dan nadi 95 kali/ detik
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
- S: Klien masih mengeluhkan perih pada luka
O: Masih ada luka terbuka
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
DAFTAR PUSTAKA
Borley R. Neil danGrase A. Pierce. 2007. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta Erlangga
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi Berbasis Klinis Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 1998. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka Bakar. Bagian Ilmu Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin,Bandung.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta. Salemba Medika
Horne, M., Pamela L. 2000. Keseimbangan Cairan Elektrolit & Asam basa. EGC : Jakarta
Insley, J. 2000. Vade-Mecum Pediatri. EGC : Jakarta
Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tatalaksana. Jakarta : Balai penerbit FKUI
Mohamad, Kartono. 2005. Pertolongan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Nina, R. 2008. Efek
Penyembuhan Luka Bakar dalam Sediaan Gel Ekstrak Etanol 70% Daun Lidah
Buaya (Aloe Vera L) pada Kulit Punggung Kelinci New Zealand. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Ortiz-Pujols SM, Thompson K, Sheldon GF, et al. 2011. Burn Care : Are There Sufficient Prociders and Facilities?. Chapel Hill, North Carolina. American College of Surgeons Health Policy Research Institute
Rahayuningsih. 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar Combustio. Akademi Keperawatan Bhaki Mulia.Sukoharjo
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga dalam Penanganan Luka Bakar di RSUD Sukoharjo. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada. Surakarta.
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga Dalam Penanganan Luka Bakar Di Rsud Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma Husada .
Thank you for your blog
ReplyDeletevimax oil pembesar penis
ReplyDeletekondom sambung
kondom berotot
kondom belalai gajah
ring mutiara
kondom berduri
kondom getar
kondom badak
kondom lele