Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Monday 18 August 2014

Update PPNI : Perkembangan Terbaru Nasib UU Keperawatan

Jakarta, 8 Juni 2013 - Setelah aksi bersama secara nasional pada tanggal 21 Mei 2013 yang dihadiri hampir 10.000 perawat se-Jawa dan perwakilan PPNI daerah diluar Jawa, beberapa kemajuan telah terjadi. Namun upaya pengawalan terhadap pemerintah dan DPR perlu dilakukan secara ketat.  Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diketahui oleh para sejawat diseluruh dunia.
  1. Pimpinan DPR telah menunjuk Komisi IX untuk membahasa RUU Keperawatan. Hal ini adalah berita baik, karena komisi tersebut yang mengawali pengusulan, sehingga informasi dan pemahaman Komisi IX akan mempercepat proses pembahasan bersama pemerintah. Bila mekanisme Panja atau Pansus yang akan digunakan, proses bisa lebih lama. Namun demikian, belum jelas siapa yang akan manjadi ketua tim yang membahas RUU ini dalam tubuh Komisi. 
  2. Kementrian Kesehatan telah marathon membahasan DIM (daftar inventaris masalah) atas draft RUU Keperawatan yang diajukan oleh DPR. Isyu tentang penambahan kata Kebidanan dalam nama RUU, sehingga menjadi RUU Keperawatan dan Kebidanan akhirnya terbukti saat tim PPNI diundang dalam rapat pembahasan DIM bersama tim kementrian pada pertemuan tanggal 29 Mei 2013. Tim merasa terjebak dalam pertemuan tersebut, karena belum ada kesepakatan tentang subtansi dasar, seperti nama, tetapi sudah harus membahasa isi teknis. Akhirnya tim tidak hadir dalam pertemuan berikutnya.
Pada tanggal 4 Juni 2013, PPNI diundang oleh Sekjend Kemkes untuk membahas kesepakatan tentang usulan penambahan nama dalam RUU Keperawatan yang diajukan oleh DPR. Pertemuan dipimpin langsung oleh Sekjend, bersama staf ahli bidang Medikolegal, Dirjend BUK, Kabiro Hukor dan Direktur Keperawatan. PPNI dihadiri oleh Ketua Umum dan Ketua Dewan Pertimbangan serta Ketua Departemen Kerjasama. Dari Pihak IBI dihadiri oleh PJ Ketua Umum dan 4 Pengurus pusat lainya.   Dalam pertemuan terebut IBI menerima tawaran dari Kemkes untuk dimasukan dalam RUU Keperawatan dengan syarat subtansi harus jelas perbedaanya. Berbagai argumentasi di sampaikan oleh IBI terkait dengan sikap tersebut. Terhadap tawaran Kemkes tentang penambahan nama tersebut, PP PPNI tidak bisa menjawabnya, karena dari 3 kali Munas, amanatnya adalah sama UU Keperawatan, bukan UU yang lain.

RUU Keperawatan dianggap sudah diatas angin oleh Kemkes, karena surat dari DPR dan amanat Presiden sangat jelas, RUU Keperawatan saja tanpa kata lain. Sehingga, sangat terkesan Kemkes hanya berupaya mengadvokasi PPNI untuk menerima usulan penambahan nama tersebut. Proses advokasi tidak berkembang kearah yang lebih kreatif. Seperti apakah satu nama dua esensi atau harus dua nama terpisah sebagai judul UU. Seperti UU Praktek Kedokteran, didalamnya ada dokter dan dokter gigi. Esensi terpisah yang diminta IBI tidak dikembangkan dalam proses advokasi. Usul nama RUU Keperawatan dan Kebidanan oleh kemenkes seperti harga mati.  Terkesan dengan kuat menekan satu pihak dan memanjakan pihak lain. Pertemuan tidak berhasil menyepakati usulan penambahan nama. Hingga akhirnya pimpinan rapat berkesimpulan, tentang nama akan dikembalikan kepada Menkes. Selanjutnya, karena secara kelembagaan RUU adalah usulan DPR, maka PPNI tidak sepakat untuk terlibat dalam tim pembahasan RUU di Kemenkes.  Tetapi bersifat independen, agar bisa mengawal proses di kedua belah pihak secara aktif. 
Hari-hari kedepan adalah hari penuh kewaspadaan, berbagai elemen PPNI harus menggunakan segala indera dan instink bawah sadar serta naluri politik untuk mengawal proses perudangan UU Keperawatan. BILA TIDAK, kemungkinan proses akan sangat lama, momen politik habis. Dan habislah perjuangan belasan tahun kita. 

Tetaplah dalam koordinasi, satu langkah, satu visi, banyak aktifitas, dan beragam upaya masif dilakukan untuk UU Keperawatan. Seperti lazimnya sebuah pertandingan babak akhir, energy telah terkuras, stamina sudah nyaris habis, konsentrasi tak lagi focus dan bisa mudah lengah. Tanpa semangat dan kewaspadaan, kemenangan yang sudah hampir diraih bisa lepas begitu saja oleh strategi lawan. 
Mari tetap waspada dan semangat!
Hidup Perawat Indonesia !!!!
Ditulis oleh Masfuri – Team Satgas RUU Keperawatan [www.inna-ppni.or.id]

Sunday 17 August 2014

Cerita Motivasi : Belalang dalam Kotak

Belalang dalam Kotak



Seekor belalang lama terkurung dalam satu kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat lompat menikmati kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan belalang lain, namun dia heran mengapa belalang itu bisa lompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran dia bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku,padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?” Belalang itu menjawabnya dengan pertanyaan, “Dimanakah kau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.”

Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

“Sering kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman,tradisi, dan semua itu membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita”.

“Sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir dalam bahwa apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acap kali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri”.

Jadilah belalang yang bisa melompat dengan bebas, kembangkan potensi diri anda seoptimal yang anda bisa. Ekspresikan diri anda kembangkan kapasitas anda. Jangan biarkan lingkungan yang kurang kondusif dan support system yang buruk menghambat anda menjadi pribadi yang hebat. Kuatkan idealisme positif anda, jadilah pribadi merdeka.

Neuralgia Trigeminal (NT)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Anatomi dan Fisiologi Nervus Trigeminus
Saraf trigeminal atau saraf kranial ke 5 terutama memberi persarafan pada kulit muka, konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung , sinus-sinus dan bagian frontal dari rongga mulut, juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar dari bagian lateral pons berupa akar saraf motoris dan saraf sensoris. Akar saraf yang lebih kecil, yang disebut juga portio minor nervi trigemini, merupakan akar saraf motoris. Berasal dari nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari serabut-serabut motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah. Secara fisiologis perjalanannya akar saraf ini melalui ganglion disebelah medial dari akar sensoris yang jauh lebih besar, sebelum bergabung dengan saraf mandibularis pada saat melalui foramen ovale dari os. Sphenoid. Akar sensoris saraf trigeminal yang lebih besar disebut dengan portio major nervi trigemini yang memberi penyebaran serupa dengan akar-akar saraf dorsalis dari saraf spinal. 


Akar-akar saraf sensoris ini akan melalui ganglion trigeminal (ganglion gasseri) dan dari sini keluar tiga cabang saraf tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan cabang mandibularis. Cabang pertama yaitu saraf optalmikus berjalan melewati fissura orbitalis superior dan memberi persarafan sensorik pada kulit kepala mulai dari fissura palpebralis sampai bregma (terutama dari saraf frontalis) dan suatu cabang yang lebih kecil ke bagian atas dan medial dari dorsumnasi. Konjungtiva, kornea dan iris, mukosa dari sinus frontalis dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari duramater dan pia-arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf ophtalmikus. 

Cabang kedua, yaitu saraf maksilaris memasuki fossa pterygopalatina melalui foramen maksilaris superior memberikan cabang saraf zygomatikus yang menuju ke orbita melewati fissura orbitalis inferior. Batang utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju ke dasar orbita melewati fissura yang sama. Sewaktu keluar dari foramen infra orbitalis, saraf ini terbagi menjadi beberapa cabang yang menyebar di permukaan maksila bagian atas dari wajah bagian lateral dari hidung dan bibir sebelah atas. Sebelum keluar dari foramen infra orbitalis, didapat beberapa cabang yang mensarafi sinus maksilaris dan gigi-gigi molar dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut yang bersebelahan. Cabang yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf mandibularis. 

Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os sphenoid, selain terdiri dari akar-akar saraf motoris dari saraf trigeminal, juga membawa serabut-serabut sensoris untuk daerah buccal, ke rahang bawah dan bagian depan dari lidah, gigi mandibularis, ginggiva. Cabang aurikulo temporalis yang memisahkan diri sejak awal, mensarafi daearah didepan dan diatas daun telinga maupun meatus akustikus eksternus dan membrana tympani. Serabut-erabut sensoris untuk duramater yang merupakan cabang-cabang dari ketiga bagian saraf trigeminal berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang berasal dari intrakranial. Terdapat hubungan yang erat dari saraf trigeminal dengan saraf otonomik/simpatis, dimana ganglia siliaris berhubungan dengan saraf ophtalmikus , ganglion pterygopalatina dengan saraf maksilaris sedangkan ganglion otikus dan submaksilaris berhubungan dengan cabang mandibularis (Leksmono, 1997).

Nervus trigeminus merupakan saraf otak terbesar. Nervus trigeminus adalah urat saraf sensorik yang bekerja pada sebagian besar kulit kepala dan wajah; selaput lendir mulut, hidung, sinus paranasalis serta gigi. Nervus trigeminus mempersarafi otot-otot pengunyah melalui sebuah cabang motorik kecil (Pearce.2009).

Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut motoriknya mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus.

Inti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung dengan serabut-serabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri. Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba dan perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif, terutama berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular sampai ke ganglion Gasseri.
Nervus trigeminus terbagi menjadi tiga cabang utama yaitu  (Pearce.2009) :
  1. Nervus Optalmikus
Sifatnya sensorik dan fungsinya mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
  1. Nervus Maksilaris
Sifatnya sensoris dan fungsinya mensarafi gigi-gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, rongga hidung, dan sinus maksilaris.
  1. Nervus Mandibularis
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris), serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot pengunyah, serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu. Serabut rongga mulut dan lidah dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
Fungsinya sebagai saraf kembar 3 dimana saraf ini merupakan saraf otak terbesar yang mempunyai 2 buah akar saraf besar yang mengandung serabut saraf penggerak. Dan diujung tulang belakang yang terkecil mengandung serabut saraf penggerak. Di ujung tulang karang bagian perasa membentuk sebuah ganglion yang dinamakan simpul saraf serta meninggalkan rongga tengkorak.
Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui berbagai pemeriksaan sebagai berikut  (Pearce.2009)
  1. Pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria).
  2. Pemeriksaan refleks kornea
  3. Pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. Misalnya dengan menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang atas, sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.
  4. Fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva. Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke gigi diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris superior ke gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.


  1. Definisi Neuralgia trigeminal
Neuralgia adalah nyeri seperti ditusuk yang timbul sesekali, namun singkat dan berat yang terjadi di sepanjang distribusi suatu saraf. Neuralgia trigeminal (NT) adalah neuralgia pada saraf trigeminal (saraf kranial kelima) yang bertanggung jawab untuk sensasi di wajah. Trigeminal neuralgia (Nyeri Wajah) ditandai oleh episode singkat nyeri wajah yang kuat, menusuk, dan seperti aliran listrik.

Dalam Konsensus Nasional II kelompok studi nyeri kepala Perdossi, neuralgia trigeminal dideskripsikan sebagai suatu serangan nyeri wajah dengan gejala khas berupa nyeri unilateral, tiba – tiba, seperti tersengat aliran listrik berlangsung singkat, jelas terbatas pada satu atau lebih distribusi cabang nervus trigeminus. Nyeri umumnya dicetuskan oleh stimulus ringan dan timbul spontan. Terdapat “ trigger area” diplika nasolabialis dan atau dagu. Pada umumnya terjadi remisi dalam jangka waktu yang bervariasi.

Menurut Dr. Dito Anurogo, Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.

  1. Klasifikasi Neuralgia trigeminal
Menurut klasifikasi IHS (International Headache Society) membedakan NT klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang etiologinya belum diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT simptomatik dapat akibat tumor, multipel sklerosis atau kelainan di basis kranii. Sebagai indikator NT simptomatik adalah defisit sensorik n. Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus bilateral atau kelainan refleks trigeminus. Tidak dijumpai hubungan antara NT simptomatik dengan terlibatnya nervus trigeminus cabang pertama, usia muda atau kegagaralan terapi farmakologik.
Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik.
  1. Neuralgia Trigeminus Idiopatik.
  • Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang maksilaris, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.
  • Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul antara beberapa detik sampai menit.
  • Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.
  • Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering mengidap dibanding laki-laki.
  1. Neuralgia Trigeminus simptomatik.
  • Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus atau nervus infra orbitalis.
  • Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul kembali.
  • Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf kranial, berupa gangguan autonom (Horner syndrom).
  • Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak terbatas pada golongan usia.

  1. Etiologi Neuralgia Trigeminal
Mengenai etiologi sampai sekarang juga masih belum jelas, seperti yang disebutkan diatas tadi tetapi ada beberapa penyebab yang berhubungan dengan gigi, dari berbagai kepustakaan disebut sebagai berikut. Seperti diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang kemungkinan selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan sepsis tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi oleh berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan dapat menjadi penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak juga penderita dengan infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak menderita NT. Disisi lain, tidak jarang pula penderita NT yang ditemukan tanpa menderita infeksi seperti tersebut diatas. (Meliala, 2001)

Etilogy neuralgia trigeminal masih tidak sepenuhnya dipahami. Ada satu teori yang menyebutkan bahwa terjadinya karena pembuluh darah, terutama arteri serebral superior, menjadi dekompresi, sehingga iritasi kronis dari saraf trigeminal masuk ke bagian akar. Iritasi ini menyebabkan peningkatan penyalahan kontrol aferen atau saraf sensorik. Faktor risiko yang dapat memicu adalah multiple sclerosis dan hipertensi. Faktor lain yang dapat menyebabkan neuralgia termasuk infeksi virus herpes, infeksi pada gigi dan rahang, dan infark batang otak. (Miller, 2009 dalam Lewis 2011).

Beberapa penyebab trigeminal neuralgia, yang paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh darah disekitar saraf trigeminal (sekitar 95 %). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit multiple sclerosis. (Rumah Sakit Mitra Keluarga, 2011)

Pada intinya etiologi dari NT (Neuralgia Trigeminal) masih belum diketahui secara pasti tapi ada beberpa hal yang dapat menyebabkan NT atau dapat dikatakan sebagai faktor resiko yang menimbulkan NT.

  1. Patofisiologi Neuralgia Trigeminal
Patofisiologis terjadinya suatu neuralgia trigeminal adalah sesuai dengan etiologi penyakit tersebut. Penyebab terjadinya neuralgia trigeminal adalah penekanan mekanik oleh pembuluh darah, malformasi arteri vena disekitarnya, penekanan oleh lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan secara fisik dari nervus trigeminus yang disebabkan karena pembedahan atau infeksi, dan yang paling sering yaitu secara idiopatik.

Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke brainstem yang paling sering terjadi, sedangkan di atas bagian nervus trigeminus atau portio minor jarang terjadi. Secara normal, pembuluh darah tidak bersinggungan dengan nervus trigeminus. Penekanan ini dapat disebabkan oleh arteri atau vena baik besar maupun kecil yang mungkin hanya menyentuh atau tertekuk pada nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan akar nervus ini adalah arteri serebelar superior. Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut saraf. Akibatnya terjadi peningkatan aktifitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus trigeminus dan menimbulkan gejala neuralgia trigeminal. Teori ini sama dengan patofisiologi terjadinya neuralgia trigeminal akibat suatu lesi atau tumor yang menekan atau menyimpang ke nervus trigeminus (Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004).

Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika sudah melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala neuralgia trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya sklerosis multipel. Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan menimbulkan potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf. Aktivitas ektopik ini terutama disebabkan karena terjadinya perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium sehingga menurunnya nilai ambang membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan ephaptic antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang rendah dapat mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after discharge. Selain itu, aktivitas aferen menyebabkan dikeluarkannya asam amino eksitatori glutamat. Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-amino-3-hidroxy-5- methyl-4-isaxole propionic acid (AMPA) di post-sinap sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi. Aktivitas yang meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat lain N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium yang menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan menyebabkan saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi peningkatan kalsium intra seluler. Mekanisme inilah yang menerangkan terjadinya sensitisasi sentral sehingga timbul nyeri.

  1. Manifestasi Klinis Neuralgia Trigeminal
Menurut Baughman (2000) Manifestasi klinis yang muncul pada kasus neuralgia trigeminal adalah sebagai berikut:
  1. Nyeri dirasakan pada kulit, bukan pada struktur yg lebih dalam, lebih gawat pada area perifer dari distribusi dari syaraf yang terkena, yaitu pada bibir, dagu, lobang hidung, dan pada gigi.
  2. Paroksisme dirangsang oleh stimulasi dari terminal dari cabang-cabang saraf yang terkena, yaitu mencuci muka, mencukur, menyikat gigi, makan dan minum.
  3. Aliran udara dingin dan tekanan langsung pada saraf trunkus dapat juga menyebabkan nyeri. Hal tersebut terjadi karena aliran udara dingin mengenai trigger area atau area nyeri pada bagian percabangan dari saraf trigeminus (saraf kranial kelima). Aliran udara dingin termasuk stimulus non-noksius (stimulus yang berupa perabaan ringan, getaran atau stimulus mengunyah).
  4. Titik pencetus adalah area pasti dimana sentuhan yang paling ringan dengan segera mencetuskan paroksisme.
Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut : (olesen, 1988; Passon, 2001; Sharav, 2002; Brice, 2004)
  1. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam, seperti menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau terbakar yang berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari dua menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan biasanya ada interval bebas nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan.
  2. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan yang karakteristik nyeri unilateral.Tersering nyeri didaerah distribusi nervus mandibularis (V2) 19,1% dan nervus maksilaris (V3) 14,1% atau kombinasi keduanya 35,9% sehingga paling sering rasa nyeri pada setengah wajah bawah. Jarang sekali hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%. Sebagian pasien  nyeri terasa diseluruh cabang nervus trigeminus (15,5%) atau kombinasi nervus maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang ditemukan kombinasi nyeri pada daerah distribusi nervus optal mikus dan mandibularis (0,6%). Nyeri bilateral 3,4%, nyeri jarang terasa pada kedua sisi bersamaan, umumnya diantara kedua  sisi tersebut dipisahkan beberapa tahun. Kasus bilateral biasanya berhubungan dengan sklerosis multipleatau familial.
  3. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus non-noksius seperti perabaan ringan, getaran, atau stimulus mengunyah. Akibatnya pasien akan mengalami kesulitan atau timbul saat gosok gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur wajah, tersentuh wajah, membasuh muka bahkan terhembus angin dingin. Biasanya daerah yang dapat mencetuskan nyeri (triger area) diwajah bagian depan, sesisi dengan nyeri pada daerah percabangan nervus trigeminus yang  sama. Bila triger area didaerah kulit kepala, pasien  takut untuk berkeramas atau bersisir.
  4. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami remisi dalam satu tahun atau lebih. Pada periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan beratnya serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu.
  5. Sekitar 18% penderita dengan trigeminal neuralgia, pada awalnya nyeri atipikal yang makin lama menjadi tipikal, disebut preneuralgia trigeminal. Nyeri terasa tumpul, terus-menerus pada salah satu rahang yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan nyeri berdenyut sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental. Pemberian terapi anti konvulsan dapat meredakan nyeri preneuralgia trigeminal sehingga cara ini dapat dipakai untuk membedakan kedua nyeri tersebut.
  6. Pada pemeriksaan fisik dan neurologik biasanya normal atau tidak ditemukan defisit neurologik yang berarti. Hilangnya sensibilitas yangbermakna pada nervus trigeminal mengarah pada pencarian proses patologik yang mendasarinya, seperti tumor atau infeksi yang dapat merusak syaraf. Pada tumor selain nyerinya atipikal dan hilangnya sensibilitas, disertai pula gangguan pada syaraf kranial lainnya.

  1. Karakteristik Neuralgia Trigeminal
Ciri khas neuralgia trigeminal adalah nyeri seperti tertusuk-tusuk singkat dan paroksismal, yang untuk waktu yang lama biasanya terbatas pada salah satu daerah persarafan cabang nervus V. Nyeri cenderung menyebar ke daerah persarafan cabang lain. Penampakan klinis yang khas adalah nyeri dapat dipresipitasi oleh sentuhan pada wajah, seperti saat cuci muka atau bercukur, berbicara, mengunyah dan menelan. Nyeri yang timbul biasanya sangat berat sehingga pasien sangat menderita. Nyeri seringkali menimbulkan spasme reflex otot wajah yang terlibat sehingga disebut ‘tic douloreaux’, kemerahan pada wajah, lakrimasi dan salvias (Walton,1985).

Pada neuralgia trigeminal seringkali tidak ditemukan berkurangnya sensibilitas tetapi dapat ditemukan penumpulan rangsang raba atau hilangnya refleks kornea walaupun jarang. Serangan yang timbul dapat mengurangi nafsu makan, rekurensi dalam jangka lama dapat menyebabkan kehilangan berat badan, depresi hingga bunuh diri. Untungnya, serangan biasa berhenti pada malam hari, walaupun pasien dapat juga terbangun dari tidur akibat serangan. Remisi dari rasa sakit selamam berminggu-minggu hingga berbulan-bulan merupakan tanda dari penyakit tahap awal.(Walton,1985).

  1. Pemeriksaan Diagnostik Neuralgia Trigeminal
Tidak ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal. Diagnosa neuralgia trigeminal dibuat berdasarkan anamnesa pasien secara teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat. Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan test sensibilitas untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral.Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot masseter (otot pengunyah) dan fungsi otot pterygoideus (Rabinovich,et al,2000).

Adapun pemeriksaan diagnostic yang bisa dilakukan pada kasus neuralgia trigeminal antara lain adalah:
  1. Pemeriksaan radiologis
CT scan dan MRI atau pengukuran elektrofisiologis periode laten kedipan dan refleks rahang dikombinasikan dengan elektromiografi masseter dapat digunakan untuk membedakan kasus-kasus simtomatik akibat gangguan struktural dari kasus idiopatik.
  1. Pemeriksaan tambahan baru diperlukan kalau ada keluhan neuralgia trigeminal pada orang-orang muda; karena biasanya ada penyebab lain yang tersembunyi. Itu pun perannya terbatas untuk eliminasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan: Rontgen TMJ (temporomandibular joint) dan MRI otak (untuk menyingkirkan tumor otak dan multiple sclerosis).
  2. Pengukuran potensial somatosensorik yang timbul setelah perangsangan nervus trigeminus dapat juga digunakan untuk menentukan kasus yang disebabkan oleh ektasis arteri sehingga dapat ditangani dengan dekompresi operatif badan saraf pada fossa posterior.

  1. Penatalaksanaan Neuralgia Trigeminal
  1. Terapi Medikamentosa
Berdasarkan kesepakatan bahwa penanganan lini pertama untuk trigeminal neulalgia adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan (Losser,2001).

Setiap pasien memiliki toleransi yang berbeda terhadap obat-obatan dan rasa sakitnya. Oleh karena itu, banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian obat anti konvulsan untuk pengobatan trigeminal neuralgia. Pemberian obat diberikan secara bertahap, diawali dengan dosis minimal, jika terjadi peningkatan progresivitas rasa sakit maka dosis dinaikkan sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi tubuh. Pada penggunaan dosis diatas minimal, dalam pengurangan dosis, juga harus dilakukan secara bertahap.

Terapi Medikamentosa pada kasus Neuralgia Trigeminal antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Obat antikonvulsan
Obat anti konvulsan dapat mengurangi serangan trigeminal neuralgia dengan menurunkan hiperaktifitas nukleus nervus trigeminus di dalam brainstem (Ganiswara, 1995; Peterson, 1998; Kaufmann AM, 2001; Sharav, 2002; Brice, 2004).

Obat-obatan jenis ini seperti karbamazepin (Tegretol) dan fenitoin (Dilantin) berfungsi untuk mengurangi transmisi impuls pada ujung saraf tertentu, selain itu juga bisa melegakan nyeri pada kebanyakan pasien. Cara yang dilakukan dalam penanganan kasus neuralgia trigeminus adalah dengan memberikan tegretol yang diminum bersamaan dengan makan, dengan dosis yang secara bertahap ditingkatkan sampai diperoleh rasa lega. Setiap obat pasti memiliki efek samping, sehingga kita harus mengamati efek samping termasuk mual, pusing, ngantuk, dan disfungsi hepar (Baughman & Hackley, 2000).

Monitoring pasien terhadap depresi sumsum tulang belakang selama terapi oleh jangka panjang juga sangat penting. Selain efek samping dari obat tegretol, obat fenitonin juga sering menimbulkan efek samping seperti  mual-mual, pusing, somnolen, ataksia, dan alergi kulit.
Obat antikonvulsan secara rinci akan dibahas di bawah ini:
  1. Karbamazepine (Tegretol)
Karbamazepine memperlihatkan efek analgesik yang selektif misalnya pada dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Sebagian besar penderita trigeminal neuralgia mengalami penurunan sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini. Namun, potensi untuk menimbulkan efek samping sangat luas khususnya gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan agranulositosis maka pasien yang akan diterapi dengan obat ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nilai basal dari darah dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan. Efek samping yang timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness, mental confusion, dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea dan anorexia. Terdapat juga reaksi serius yang tidak berhubungan dengan dosis yaitu allergic skin rash, gangguan darah seperti leukopenia atau agranulocytosis, atau aplastic anemia, keracunan hati, congestive heart failure (CHF), halusinasi dan gangguan fungsi seksual.

Pemberian karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit abnormal (rendah). Jika efek samping yang timbul parah, dosis karbamazepine perhari dapat dikurangi 1-3 perhari, sebelum mencoba menambah dosis perharinya lagi. Karbamazepine diberikan dengan dosis berkisar 600-1200 mg, dimana hampir 70% memperlihatkan perbaikan gejala. Meta analisa tegretol yang berisi karbamazepine mempunyai number needed to treat (NNT) 2,6 (2,2-3,3). Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2 pil perhari, yang secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau mulai timbul efek samping. Selama periode remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap. Karbamazepine dapat dikombinasi dengan fenitoin atau baklofen bila nyeri belum bisa diatasi, atau diubah ke obat oxykarbazepine.
  1. Oxykarbazepine (Trileptal)
Oxikarbazepine merupakan ketoderivat karbamazepine dimana mempunyai efeksamping lebih rendah dibanding dengan karbamazepine dan dapat meredakan nyeri dengan baik. Trileptal atau oxikarbazepine merupakan suatu bentuk dari trigretol yang efektif untuk beberapa pasien trigeminal neuralgia. Dosis umumnya dimulai dengan 2x300mg yang secara bertahap ditingkatkan untuk mengontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 2400-3000mg perhari. Efek samping yang paling sering adalah nausea, mual, dizziness, fatique dan tremor. Efek samping yang jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran pernafasan, pandangan ganda dan perubahan elektrolit darah. Seperti obat anti-seizure lainnya, penambahan dan pengurangan obat harus secara bertahap.
  1. Phenytoin (Dilantin)
Phenitoin merupakan golongan hidantoin dimana gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk pengendalian bangkitan tonik-klonik. Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat antikonvulsan obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus kebagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Phenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini khususnya dengan lebih mengaktifkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna.

Phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan karbamazepine karena dapat menurunkan dan kadang-kadang menaikkan kadar phenitoin dalam plasma, sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma. Phenitoin dengan kadar dalam serum 15-25 g/mL pada 25% pasien trigeminal neuralgia dapat meredakan nyeri. Kadar obat tersebut diatas dipertahankan selama 3 minggu, jika nyeri tidak berkurang sebaiknya obat dihentikan karena dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan toksisitas. Phenytoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal neuralgia dengan dosis 300-500 mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Phenytoin dapat juga diberikan secara intra vena untuk mengobati kelainan ini dengan eksaserbasi yang berat. Dosis maksimum tergantung keparahan efek samping yang ditimbulkannya adalah nystagmus, dysarthria, ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta kebingungan. Efek lainnya adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis. Komplikasi serius tapi jarang terjadi adalah allergic skin rashes, kerusakan liver dan gangguan darah.
  1. Baklofen (Lioresal)
Baklofen tidaklah seefektif karbamazepine atau phenytoin, tetapi dapat dikombinasi dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada pasien yang baru terdiagnosa dengan rasa nyeri relatif ringan dan tidak dapat mentoleransi karbamazepine. Dosis awalnya 2-3x5 mg dalam sehari, dan secara bertahap ditingkatkan. Dosis untuk menghilangkan rasa sakit secara komplit 50-80 mg perhari. Baklofen memiliki durasi yang pendek sehingga penderita trigeminal neuralgia yang berat membutuhkan dosis setiap 2-4 jam. Efek samping yang paling sering timbul karena pemakaian baklofen adalah mengantuk, pusing, nausea dan kelemahan kaki. Baklofen tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba setelah pemakaian lama karena dapat terjadi halusinasi atau serangan jantung.
  1. Gabapentin (Neurontin)
Gabapentin dengan struktur seperti neurotransmiter inhibitor gammaaminobutyric acid (GABA). Obat ini kemungkinan bekerja dengan memodulasi saluran kalsium pada alfa-2 delta subunit dari voltage-dependent calcium chanel. Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama efektifnya dengan karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit. Dosis awal biasanya 3x300 mg/hari dan ditambah hingga dosis maksimal. Reaksi merugikan paling sering adalah somnolen, ataksia, fatique dan nystagmus. Seperti semua obat, penghentian secara cepat harus dihindari.
  1. Injeksi alkohol
Selain menggunakan obat-obat di atas biasanya juga menggunakan injeksi alkohol. Cara melakukan injeksi alkohol pada kasus neuralgia trigeminal adalah sebagai berikut:
  1. Injeksi pada ganglion gasserian dan cabang perifer dari saraf trigeminal.
  2. Mengurangi nyeri selama beberapa bulan.

  1. Terapi Non Medikamentosa
 
  1. Pembedahan
    Terapi non-medis (bedah) dipilih jika kombinasi lebih dari dua obat belum membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter menyebutkan bahwa pembedahan disiapkan untuk mereka yang tidak dapat mentoleransi efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi medis tidak efektif. Terdapat beragam cara pembedahan, dari yang paling kuno, yang dapat menimbulkan kecacatan (biasanya pendengaran dan gerak otot wajah) cukup besar, sampai cara yang lebih modern yang hanya sedikit atau hampir tidak pernah dijumpai efek samping.
  2. Radiofrequency rhizotomy
Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah, tetapi cara ini mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang dapat muncul adalah terjadinya anestesi kornea, rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang kadang-kadang bisa mengganggu.
Prosedur ini akan memasukkan sebuah introducer elektroda (jarum) melalui kulit pipi ke saraf, dipilih pada dasar tengkorak. Serabut saraf tak bermielin kecil dan yang bermielin tipis yang menghantarkan nyeri rusak oleh panas dari elektroda. Cara ini dapat meredakan neuralgia (nyeri saraf) dengan menghancurkan beberapa bagian dari saraf yang menyebabkan rasa sakit dan dengan menekan sinyal rasa sakit ke otak.
  1. Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik dan bekerja pada serabut saraf yang sudah mengalami demielinisasi, menghasilkan cedera relatif ringan ke saraf sehingga menghilangkan compound action potential pada serabut Trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri dengan resiko minimal mati rasa permanen pada wajah.
  1. Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife
Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Tekniknya dengan cara memfokuskan sinar Gamma pada akar saraf trigeminal sehingga berlaku seperti prosedur bedah, dengan menghancurkan beberapa bagian dari saraf yang menyebabkan rasa sakit dan dengan menekan sinyal rasa sakit ke otak namun tanpa membuka kranium sehingga jaringan sehat di sekitarnya tidak ikut rusak.
  1. Ballon Compression
 Prosedur ini bertujuan untuk melukai bagian dari ganglion Trigeminus menggunakan kompresi balon. Kompresi balon dilakukan di bawah anestesi umum. Menggunakan kontrol X-ray atau yang biasa dikenal sebagai fluoroscopy. Ahli bedah menempatkan jarum panjang melalui pipi sampai ke dasar otak, dan melalui lubang kecil di tengkorak untuk mencapai ganglion.
  1. Microvascular Decompression
Mikrovaskuler dekompresi (MVD) adalah prosedur bedah yang paling umum untuk pengobatan neuralgia trigeminal akibat kompresi vascular pada saraf. MVD melibatkan pembedahan tengkorak (kraniotomi) dan mengekspos saraf di dasar batang otak untuk menyisipkan spons kecil antara saraf dan pembuluh darah yang mengkompresi saraf tersebut. Spons ini mengisolasi saraf dari efek berdenyut dan tekanan pembuluh darah.
  1. Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan
Hal lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan pembedahan adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti depresan yang dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak dan mempengaruhi neurotransmitter baik pada depresi maupun sensasi nyeri, juga dapat dilakukan teknik konsultasi biofeedback (melatih otak untuk mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik relaksasi.

Infark serebri
Kompresi nervus trigeminus
Eksresi asam amino eksitatori glutamat
Potensial aksi & aktivasi reseptor glutamate lain N-methyl-D-aspartate (NMDA)
Pe ↑ Ca2+ di CIS
Sensitifitas sentral
MK. Nyeri akut
Letupan spontan intraneuron N. Trigeminus
MK. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Peningkatan aktifitas aferen serabut saraf
MK. Gangguan perfusi jaringan serebri
Idiopatik
Abses dental
Sklerosis Multipel
Kompresi pembuluh darah arteri-vena
NEURALGIA TRIGEMINUS
Malformasi pembuluh darah arteri-vena
Tumor (Neurinoma akustik, osteoma, angioma, dsb)
Pencabutan gigi yang tidak benar
Adanya plak demielinasi
Oksigen tidak bisa masuk ke otak
Infeksi mandibula dan atau maxila
Sinusitis dan trauma pada hidung
Abses orofasial
Kompresi Nervus opikus
Nyeri mengunyah
Penurunan sensari kornea
MK. Risiko cedera mata
MK. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
Medikamentosa  yang terlalu jangka lama dengan antikonvulsan
Web of Causation (WOC) Neuralgia Trigeminal



BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN NEURAGIAL TRIGEMINAL

  1.  Pengkajian Keperawatan
Berikut ini adalah tahap pengkajian keperawatan klien dengan trigeminal neuralgia menurut Doenges, Marylinn E. (2000).
  1. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa, pekerjaan, suku/kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit.
  2. Keluhan utama
Nyeri pada bibir, dagu, lobang hidung, dan pada gigi (daerah perifer, bukan pada struktur yang lebih dalam). Nyeri bersifat tajam seperti tertusuk atau tersetrum listrik yang terjadi di sepanjang satu atau lebih cabang inervasi N. V. Nyeri dapat tercetus oleh rangsangan ringan (alodinia) seperti terpapar angin, berbicara,mengunyah atau cuci muka.
  1. Riwayat penyakit sebelumnya
Mengkaji apakah ada penyakit pada bagian sistem saraf pusat yang mengarah pada penyebab peradangan saraf trigeminal.
  1. Anamnesis
Terdapat serangan nyeri paroksismal dengan awitan tiba-tiba yang berlangsung selama beberapa detik sampai kurang dari 2 menit. Nyeri bersifat tajam seperti tertusuk atau tersetrum listrik yang terjadi di sepanjang satu atau lebih cabang inervasi N. V. Nyeri dapat tercetus oleh rangsangan ringan (alodinia) seperti terpapar angin, berbicara,mengunyah atau cuci muka. Pada anamnesa yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri, kapan dimulainya nyeri, menentukan interval bebas nyeri, menentukan lamanya, efek samping, dosis dan respons terhadap pengobatan, menanyakan riwayat penyakit lain seperti ada penyakit herpes atau tidak, dsb.
  1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan diluar serangan tampak normal. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
  1. Pada B3 ditemukan gangguan sensorik berupa hiperalgesi dan aldonia.
  2. Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (termasuk refleks kornea).
  3. Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu)
  1. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti CTscan kepala atau MRI kepala. MRI dan CT-scan hanya dilakukan atas indikasi, misalnya terdapat kecurigaan penekanan radiks N. V oleh aneurisma. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Rontgen TMJ (Temporomandibular Joint). CTscan kepala dari fossa posterior bermanfaat untuk mendeteksi tumor yang tidak terlalu kecil dan aneurisma. MRI sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat dildihat hubungan antara saraf dan pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang masih kecil.

 MRI juga diindikasikan pada penderita dengan nyeri yang tidak khas distribusinya atau waktunya maupun yang tidak mempan pengobatan. Indikasi lain misalnya pada penderita yang onsetnya masih muda, terutama bila jarang-jarang ada saat-saat remisi dan terdapat gangguan sensibilitas yang obyektif. Selain itu harus diingat, bahwa neuralgia trigeminal yang klasik dengan hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda abnormal ternyata bisa merupakan gejala-gejala dari tumor fossa posterior.
  1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan trigeminal neuralgia menurut Muttaqin, Arif (2010) dan Ackley, Betty J., Gail B. Ladwig (2013) adalah sebagai berikut.
  1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal dan inflamasi arteri temporalis.
  2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
  3. Koping individu tak efektif b/d nyeri berat, ancaman berlebih pada diri sendiri.
  4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
  5. Ansietas (cemas) b/d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
  6. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri b/d kurang pengetahuan tentang pencegahan rangsangan pemicu rasa nyeri.
  7. Risiko cedera pada mata b/d faktor resiko :  kemungkinan penurunan sensasi kornea

  1. Intervensi Keperawatan
  1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal dan inflamasi arteri temporalis.
Tujuan           : Dalam waktu 3 x 24 jam, nyeri berkurang atau dapat diadaptasi oleh
klien.
Kriteria hasil :
  1. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
  2. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
  3. Ekspresi wajah pasien tidak nampak kesakitan
  4. Klien tidak gelisah
  5. Skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
IntervensiRasional
Tindakan Mandiri
  1. Kaji terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien meliputi:
P = pencetus nyeri yang dirasakan klien
Q = kualitas nyeri yang dirasakan klien apakah tertusuk, tertimpa batu
R = daerah yang mengalami nyeri
S =  skala nyeri yang dirasakan klien (0-10)
T = Waktu timbulnya nyeri


  1. Dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan pada pasien.

Pastikan durasi/ episode nyeri

Memudahkan pilihan intervensi yang sesuai
Teliti keluhan nyeriNyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien
Bantu klien dalam identifikasi faktor pencetusNyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan berbaring lama
Evaluasi perilaku nyeriDapat diperkuat karengan persepsi pasien tentang nyeri tidak dapat dipercaya
Anjurkan pada klien untuk mengurangi aktivitas yang berat dan menambah waktu istirahatMenghindari stimulus nyeri dan meningkatkan rasa nyaman

Kompres hangat atau dingin pada daerah yang nyeri

Kompres dingin dapat mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan nyeri. Kompres hangat dapat meningkatkan sirkulasi darah dan menurunkan tegangan otot

Ajarkan relaksasi: teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masaseRelaksasi dapat melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan oksigen oleh jaringan akan terpenuhi sehingga akan mengurangi nyerinya
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut

Mengalihkan perhatian ke hal-hal yang menyenangkan
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung

Pengetahuan akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik
Sampaikan perhatian anda atas respon pasien terhadap nyeri. Berukan kesempatan kepada pasien untuk membicarakan ketakutan, kemarahan, dan rasa frustasinya secara pribadi, pahami sulitnya situasi yang dihadapi.
  1. Benarkan adanya rasa nyeri.
  2. Dengarkan dengan penuh perhatian mengenai nyeri yang dikeluhkan.
  3. Sampaikan bahwa perawat mengkaji nyeri karena ingin mengerti lebih tentang nyeri yang dialami (bukan untuk memulai apakah nyeri tersebut benar-benar ada).

Memberikan rasa nyaman pada pasien untuk mengekspresikan nyerinya dan mengurangi rasa nyeri secara psikologis (memberikan dukungan  emosi)

Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien 30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya. Setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hariPengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat
Tindakan kolaborasi
  1. Obat anti konvulsif karbamazepin (tregetol) dan fenitoin (dilantin)

  1. Berikan tregetol yang diminum bersama makan, dengan dosis secara bertahap ditingkatkan sampai diperoleh rasa lega.





  1. Injeksi Alkohol :
a). Injeksi alkohol dilakukan pada ganglion gasserian dan cabang perifer dari saraf trigeminal yang terganggu
b). Injeksi alkohol perifer memiliki peran dalam pengelolaan neuralgia trigeminal

  1. Mengurangi transmisi impuls pada ujung saraf tertentu, melegakan nyeri pada kebanyakan pasien.
  2. Cara kerjanya pada membran permeabilitas menunjukkan bahwa kandungan tegretol dalam carbamazepine menutup saluran natrium pada konsentrasi terapi dan dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif, menghalangi kerusakan neuron yang berulang dan mengurangi perambatan sinaptik impuls.

a). Berfungsi untuk mengurangi nyeri selama beberapa bulan.
b). Berguna pada mereka yang refrakter terhadap manajemen medis dan pada mereka yang tidak mampu atau tidak mau menjalani perawatan bedah saraf. Alkohol blok ini sifatnya tidak permanen karena nyeri kembali setelah saraf berregenerasi.

  1. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
Tujuan : Dalam 1 minggu berat badan pasien meningkat
Kriteria Hasil :
  1. Meningkatkan BB dalam batas ideal
  2. Pasien terlihat tidak lemas
  3. Hasil Lab Albumin normal
IntervensiRasional
Observasi kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi sekresiFaktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi
Timbang berat badan sesuai indikasi

Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
Mencatat intake dan output makanan pasienMengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi pasien
Edukasikan pada pasien tentang makan makanan yang lunakMakanan yang lunak dapat meminimalisir rangsang nyeri
Menganjurkan pada pasien menguyah pada sisi yang tidak sakitAgar asupan nutrisi tetap terpenuhi

Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.

Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
Ciptakan lingkungan yang nyaman unutk pasienLingkungan yang nyaman disekitar pasien dapat meningkatkan nafsu makan pasien
Kolaborasi dengan ahli gizi unutk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakitMerupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasikan kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh dan keadaan penyakit.

  1. Koping individu tak efektif b/d nyeri berat, ancaman berlebih pada diri sendiri.
Tujuan           : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, koping pasien baik
Kriteria hasil :
  1. Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
  2. Menyatakan kesadaran kemampuan koping/kekuatan pribadi
  3. Mengidentifikasi situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari
  4. Mendemonstrasikan keterampilan metode koping efektif
IntervensiRasional
Kaji kapasitas fisiologi yang bersifat umumNyeri dapat mengurangi kemampuan koping
Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatianMenemukan kebutuhan psikologis yang akan meningkatkan harga diri
Bantu pasien dalam memahami perubahan konsep citra tubuhPasien mungkin menganggap dirinya sebagai seseorang “yang mengalami nyeri” dan mulai melihat dirinya sebagai seorang yang tidak mengalami nyeri
Kaji keefektifan strategi kopingMekanisme adaftif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang , menghindari hipertensi kronis, mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari – hari.
Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, konsentrasi, peka rangsangan, toleransi sakit kepalaManifestasi mekanisme koping maladaftif mungkin merupakan indikator, marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu tekanan darah diastolik
Bantu pasien mengidentifikasi stressorPengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respons seseorang terhadap stressor
Libatkan pasien dalam perencanaan perawatanKeterlibatan memberikan  pasien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan, memperbaiki keterampilan koping, dan dapat meningkatkan kerja sama dalam regimen terapiutik.
Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas/tujuan hidupFokus realitas pasien pada situasi yang ada relatif terhadap pandangan pasien tentang apa yang diinginkan
Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidupPerubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistik untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya

  1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
Tujuan            :  Dalam waktu 2 x 24 jam, kecemasan klien hilang atau berkurang
Kriteria Hasil :
  1. Klien mampu mengenal perasaannya,
  2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya
  3. Klien menyatakan ansietas berkurang atau hilang
Intervensi Rasional
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien dan lakukan tindakan bila timbul perilaku merusakReaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahatMengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
Tingkatkan kontrol sensasi klienKontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber–sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik pengalihan serta memberikan respon balik yang positif
Memberi kesempatan pada klien mengungkapkan kecemasannyaDapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan
Bantu klien mengekspresikan marah, kehilangan, dan takutCemas yang berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung sselanjutnya.
Hindai konfrontasiKonfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekatMemberi waktu untuk mengekspresikan perasaan menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

  1. Ansietas (cemas) b/d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
Tujuan        : Dalam jangka waktu 1 x 30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya
Krieria Hasil :
  1. Klien mengatakan mengetahui tentang penyakit, pengobatan pada gejala-gejala yang timbul
  2. Klien dapat mengikuti instrukasi yang diberikan secara akurat
IntervensiRasional
Jelaskan tentang penyakit yang di derita klien.Memberi pemahaman pada klien
Berikan pendidikan kesehatan tentang nama obat, dosis, waktu dan cara pemakian, efek samping, cara mengukur intake output.Memberi pemahaman kepada pasien. Meningkatkan partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkanMeningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan
Kaji ulang resiko efek samping pengobatanMengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien
Mendorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkanMemberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan

Jelaskan pentingnya tindak lanjut rawat jalan yang teratur.Agar pasien tahu pentingnyapemantauan penyakit

  1. Evaluasi Keperawatan
Dx 1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal
S: Klien mengatakan rasa nyeri telah hilang dan klien merasa nyaman
O:Ekspresi klien kembali normal (tidak gelisah); TTV dalam batas normal (HR: 60x/menit; RR: 18x/menit; TD:110/80 mmHg)
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan

Dx 2. Ketidakseimbangan nutrisi: : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
S:Klien mengatakan mampu untuk makan seperti biasa tanpa rasa sakit saat mengunyah
O:BB meningkat; porsi makan habis
A:Masalah teratasi sebagian (BB belum mencapai batas ideal)
P:Intervensi dilanjutkan

Dx 3. Koping individu tidak efektif b/d krisis situasional (nyeri akut)
S: Klien mengatakan mampu memanajemen koping dengan baik
O: Kebutuhan tidur klien cukup; klien turut terlibat dalam perencanaan asuhan keperawatan
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan

Dx 4. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
S: Klien mengatakan tidak lagi merasa cemas karena penyakitnya
O: Ekspresi wajah klien tampak tenang dan nyaman; klien mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dihentikan
Dx 5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan  pengobatan b/d informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
S: Klien mengatakan paham tentang penyakit yang diderita dan pengobatannya
O: Klien mampu mengikuti intruksi yang diberikan; klien mampu mengulang edukasi yang telah diberikan
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan




DAFTAR PUSTAKA


Ackley, Betty J., Gail B. Ladwig. 2013. Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based Guide to Planning Care, Tenth Edition. United State of America : Elsevier
Anurogo, Dito. 2008. NEURALGIA TRIGEMINAL: Penatalaksanaan dan Kesimpulan (Bagian III–Tamat). http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080414210453, Akses tanggal 11-04-2014.
Baughman, Diane C., Hackley, JoAnn C., 2000. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Burchiel, J. Kim., 2002. Surgical Management of Pain. New York: Thieme.
Carpenito-Moyet. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Ginsberg, Lionel., 2005. Lecture Notes: Neurologi Edisi 8. Jakarta: Erlangga.
Lewis, Sharon L. 2011. Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problem. 8th ed. United State of America : Elsevier
Loeser JD, 2001, Cranial Neuralgia, In : Banica’s Management of Pain, Philadelphia, Lipincott William & Wilkins, co : 855-61.
Lozano, M. Andres et all. 2009. Textbook of Stereotactic and Functional Neurosurgery. Berlin: Springer.
Marjono, Mahar & Priguna, Sidharta., 1998. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. p.149-59
Meliala dkk .2001.Nyeri Neuropatik: Patofisiologi dan Penatalaksanaan. hal 129-137
Muttaqin, Arif. (2010). Pengantar Asuhan Keperawatan KLien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Pearce, Evelyn c. 2009.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
P, Leksmono.1997.Neuralgia Trigeminal, PKB III Ilmu Penyakit Saraf, Nyeri : Diagnosis dan Penatalaksanaannya.Surabaya.hal : 19-35
Rabinovich, A. Fang Y., Scrivani, S., 2000. Diagnosis and Management of Trigeminal Neuralgia. Columbia: Dental Review.
Riawan, Lucky. 2011. Pada http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/10/pustaka_unpad_terapi_medikamentosa_pada_trigeminal_neuralgia.pdf. Diakses pada 11 april 2014. Pukul 14.00 WIB.
Ropper AH and Robert H B. Adams And Victor’s., 2006. Principles Of Neurology 8th ed. New York: McGraw-Hill; p.161-3.
Rubenstein, David dkk., 2003. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi 6. Jakarta: EMS (Erlangga Medical Series).
Rumah Sakit Mitra Keluarga Group. 2011. Trigeminal Neuralgia and Hemifacial Spasm Care Center. Diakses pada tanggal 11 April 2014 dari Website : www.mitrakeluarga.com.
http://www.perdossi.or.id/doc/cpd/attachment/308/3026/NEURALGIA%20TRIGEMINAL%20naskah.doc (diakses pada 13 april 2014 pukul 13.38 WIB).
Siqueira et al.2004.Idiopathic Trigeminal Neuralgia: Clinical Aspects and Dental Procedures, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radio Endod. 98:311-315.
Turkingston, Carol A. 2006. Trigeminal Neuralgia. In: Stacey L C and Brigham N, editors. The Gale Encyclopedia Of Neurological Disorder. Detroit: Thomson Gale
Walton, E. Richard, Torabinejad, Mahmoud., 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Jakatra: EGC.
Walton, Sir John. 1985. Brain’s Disease of Nervous System. New York: Oxford Universiy Press.
Wirawan RB. 2009.Manajemen Neuralgia Trigeminal, dalam Sjahrir H, Anwar Y, Kadri A.S, Neurology Up Date. hal : 69-72.
http://www.scribd.com/doc/212663223/Neuralgia-Trigeminal-Naskah diakses pada 13 April 2014 pukul 11.08 WIB
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/10/apa-itu-neuralgia-trigeminal-190519.html diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB
http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/OverseasReferral/bh/Conditions/Pages/Trigeminal-Neuralgia-Facial-Pain.aspx diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB
http://kamuskesehatan.com/arti/neuralgia-trigeminal/ diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB

Fasial Paralisis (Bell's Palsy)


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasial
Saraf fasialis juga merupakan saraf sensorik yang menghantarkan rasa pengecap dari lidah. Saraf ini terutama motorik untuk otot-otot mimik (pada wajah) dan kulit kepala. Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
  1. Serabut somato motorik
    Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
  2. Serabut visero-motorik (parasimpatis)
    Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
  3. Serabut visero-sensorik
    Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
  4. Serabut somato-sensorik
    Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.


Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depanlidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatoriussuperior. Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleusini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dandiperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus kekaudal dan menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglionsubmandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis , dimana impuls merangsang salivasi.

Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) darisebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus.Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpangtindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, danbagian luar membran timpani.

  1. Definisi Fasial Paralisis
Kelumpuhan wajah adalah hilangnya gerakan wajah karena kerusakan saraf. Otot-otot wajah terkulai atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi pada salah satu sisi wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi pada kedua sisi wajah dan ini biasanya disebabkan oleh: infeksi atau peradangan dari nervus facialis, trauma kepala, tumor kepala atau leher, dan stroke.

Bell’s palsy (paralisis wajah) adalah paralisis saraf fasialis (Nervus VII) yang dikarenakan keterlibatannya pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau bahkan kelumpuhan otot wajah. Penyebanya idiopatik, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemik vaskuler, penyakit virus seperti herpes zoster, penyakit autoimun, atau bahkan kombinasi dari semua faktor ini (Smeltzer dan Bare, 2002). Bell’s Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-degeneratifprimer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis di foramen stilomastoideus. suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. (Iwantono, 2008).

  1. Etiologi Fasial Paralisis
Bell palsy (paralisis fasial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf kranial bagian perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi kemungkinan penyebab dapat mencakup iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasinya. Paralisis bell menunjukkan tipe paralisis tekanan yang menyebabkanpenyimpangan wajah, peningkatan lakrimasi (mata berair), dan sensasi yang sangat menyakitkan pada wajah, di belakang telinga, dan mata. Pasien mungkin mengalami kesulitan berbicara dan tidak mampu untuk makan pada sisi yang sakit. (Baughman, 2000)

Menurut Muttaqin (2008) Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.

Selain itu, tekanan pada saraf fasial selama persalinan dapat mengakibatkan cedera pada saraf kranial VII. Manifestasi klinis primer adalah hilangnya gerakan sisi yang terkena, seperti ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, jatuhnya sudut mulut, dan tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Paralisis akan terlihat jelas ketika bayi menangis. Mulut tertarik ke arah sisi sehat, kerutan lebih dalam pada sisi yang normal, dan mata pada sisi yang sakit tetap terbuka. Tidak ada intervensi medis yang diperlukan. Paralisis ini biasanya hilang secara spontan dalam beberapa hari tetapi mungkin juga beberapa bulan. (Wong, 2008)

Kelemahan otot wajah akan tampak karena timbulnya lipatan nasolabial mendatar, salah satu sisi mulut turun ke bawah dan  penurunan kelopak mata bawah. Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral baah pons sehingga lesi di daerah batang otak sering menimbulkan disfungsi  nervus fasialis. Nervus fasialis masuk ke tulang temporal dan letaknya dekat dengan telinga tengah sehingga saraf ini mudah terkena trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal akibat pembedahan atau akibat penyakit-penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat mengakibatkan kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis dan sindrom Guillain-Barre. (Sylvia A. Price, 2005)

  1. Faktor Resiko Fasial Paralisis
Priguna Sidharta (1985) dalam Muttaqin (2009) mendefinisikan bahwa Bell’s Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat tumor jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut. Bell’s Palsy sebenarnya penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), namun kemungkinan penyebab dapat meliputi :
  1. Iskemia Vaskuler
  2. Penyakit virus seperti herpes simplek, herpes zoster
  3. Penyakit Autoimun, atau kombinasi semua faktor

  1. Patofisiologi Fasial Paralisis
Fasial paralisis dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Saraf yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien mengalami kesukaran bicara dan kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibanding dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Fenomena tersebut dikenal sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan, mendatar. Pada saat mengembangkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah yang sehat.

Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy. Tetapi dua hal harus disebut sehubungan dengan ini. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. Gejala yang tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu, dan sebagainya.

Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu dinamakan sinkinesis.

Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh perifer itu dapat terlampau giat berkontraksi tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai pada spasmus fasialis. Dalam hal ini, diluar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Karena itu banyak kekhilafan dibuat mengenai sisi mana yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama apabila klien yang pernah mengidap Bell’s palsy kemudian mengalami stroke.

Berbeda dengan Bell’s palsy atau paralis fasial, dimana kelemahan otot wajah sesisi timbul tanpa diketahui, adalah paresis fasialis unilateral akibat otitis media, dimana nyeri didalam telinga sudah mendorong orang sakit untuk berobat. Setelah itu, kelumpuhan otot wajah sesisi dapat terjadi. Jadi, dalam hal paresis fasialis akibat otitis media, klien dapat membantu perawat dengan memberikan informasi bahwa mulut mengok-nya bersangkutan dengan penyakit didalam telinga.
Tidak semua otitis media menimbulkan paresis fasialis. Terlibatnya nervus fasialis dalam proses dalam proses radang di kavum timpani harus melalui pengrusakan tulang yang melindungi kanalis fasialis. Otitis media akut merupakan penyakit anak-anak, bahkan bayi. Bayi dan anak kecil belum dapat mengeluh, tetapi demam dan tangisan (karena sakit kepala atau nyeri di dalam telinga) sudah cukup indikatif untuk meneliti membran timpani.

Jika pada bayi atau anak dengan otitis media akut terjadi paresis fasialis, maka secara langsung dapat disimpulkan bahwa infeksi bakterial yang dihadapi ialah infeksi streptokokus mukosus, oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum timpani. Pada otitis media, akut membran timpani memperlihatkan tanda-tanda inflamasi tanpa perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di dalam kavum timpani. Dalam keadaan itu, proses infeksi dapat melibatkan perios dan kemudian menimbulkan pengrusakan tulang. Bila dilakukan parasentesis, cairan berdarah encer yang meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan.

Otitis media akut yang disebabkan oleh kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada umumnya jarang menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media akut dapat berkembangmenjadi otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan evakuasi sekresi dari kavum timpani masih ke mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis fasialis yang ikut rusak oleh proses matoiditi, nervus fasialis mengalami gangguan dan timbullah paresis fasialis.

Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan olfaktorius dapat terlibat dalam infeksis tersebut. Gambaran penyakit dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga.

Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf olfaktorius. Nomor dua dalam urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut hampir selamanya mengenai kanalis fasalis, yaitu fraktur os temporal, yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan liquor mengiringi paresis fasialis perifer traumatik. Dengan jalan auroskopi dapat diketahui adanya hematotimpani dengan/tanpa tersobeknya membran timpani.

Pada leukemia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit mengeluh tentang lesu-letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama beberapa minggu. Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukemia diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah dilakukan leukemia akan dikenal. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembekakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi di susunan saraf dan tulang tengkorak
.
  1. Manifestasi Klinis Fasial Paralisis
Manifestasi klinis Bell’s Palsy secara umum:
  1. Terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada salah satu sisi wajah, menyebabkan pasien sulit tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata
  2. Beberapa jam sebelum terjadi kelemahan pada otot wajah, penderita merasakan nyeri di belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi bisa ringan sampai berat, tetapi selalu pada sisi wajah. Sisi wajah yang mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekpresi, tetapi penderita seolah – olah wajahnya terpuntir.
  3. Sebagian besar penderita mengalami mati rasa atau merasa ada beban di wajahnya, meskipun sebetulnya sensasi wajah adalah normal
  4. Wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi
  5. Dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang terpengaruh.
  6. Sensitivitas terhadap suara akan meningkat pada sisi wajah yang terpengaruh
  7. Kadang timbul nyeri kepala
  8. Penurunan kemampuan indera pengecap pada sisi yang lumpuh
  9. Penurunan jumlah air mata dan liur yang diproduksi pada sisi yang terkena
  10. Pada beberapa kasus, Bell’s Palsy dapat mempengaruhi saraf kedua sisi wajah, walaupun hal tersebut jarang terjadi

  1. Karakteristik Fasial Paralisis
Ciri khas dari Fasial paralisis adalah sebagai berikut:
  1. Hilangnya kontrol otot secara tiba-tiba pada satu sisi wajah, dan memberikan tampilan wajah yang kaku.
  2. Sulit untuk tersenyum, menutup mata, mengedip, atau menaikkan alis.
  3. Vertigo dan tinnitus
  4. Hipersaliva akibat ujung mulut tertarik ke bawah
  5. Bicara menjadi tidak jelas dan adanya perubahan fungsi pengecapan.
  6. Ulserasi pada konjungtiva akibat palpebra tidak dapat tertutup sehingga kekeringan.
  7. Asimetri wajah
  8. Tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Jika pada bayi terlihat jelas ketika menangis.
  9. Rasa baal/kebas di wajah
  10. Peningkatan lakrimasi (mata berair)
  11. Sensasi menyakitkan pada wajah, belakang telinga dan mata
  12. Tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena
  13. Sudut mulut turun
  14. Kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata
  1. Pemeriksaan Diagnostik Fasial Paralisis
  1. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
  1. Diagnosa Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer adalah sebagai berikut
  1. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. 
  2. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
    gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.
  1. Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
  1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
  2. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
  3. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

  1. Diagnosa Fasial Paralisis
  1. Anamnesa
Pada inspeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasobial pada sisi yang terkena. Ketika pasien diminta menaikkan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar. Ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi ke sisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell.

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya infeksi atau trauma, penurunan sensibilitas rasa nyeri di daerah auricular posterior.

Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiperakusis. Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun di situ. Selain itu juga didapatkan:
  1. Rasa nyeri
  2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
  3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan   terbuka atau di luar ruangan.
  4.  Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

  1. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
  1. Mengerutkan dahi
  2.  Memejamkan mata
  3. Mengembangkan cuping hidung
  4. Tersenyum
  5.  Bersiul
  6. Mengencangkan kedua bibir

  1. Pemeriksaan Klinis
  1. Test Lakrimasi
  2. Fungsi sensorik :
Glukosa 5 % manis, as sitrat 1 % asam, sod kloride 2.5 % asin, quinine HCl 0,075 % pahit
  1. Test refleks stapedius
  2. Pemeriksaan fungsi motorik

  1. Pemeriksaan motoris
Pemeriksaan fungsi motorik N. Fasial yang sistematik yaitu dengan mengamati kelainan asimetri yang timbul pada wajah akibat kelumpuhan salah satu otot wajah.
  1. Pemeriksaan sensoris
Pemeriksaan fungsi sensorik yaitu dengan menilai dengan daya pengecapan (citarasa). Hilangnya atau mengurangnya daya pengecapan dinamakan ageusia dan hipogeusia . Bilamana pengecapan asin dirasakan sebagai asam -manis dan sebagainya, maka daya pengecapan yang abnormal itu dinamakan Pargeusia.
  1. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Darah, Dibeberapa kasus terjadi peningkatan ringan dari limfosit dan sel -sel mononuklear sehingga diikuti dengan peningkatan tekanan darah.
  1. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

  1. Diagnosa Banding Fasial Paralisis
  1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
    Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.  Tanda dan gejala RHS meliputi:
    • Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
    • Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
    • Kesulitan menutup satu mata
    • Sakit telinga
    • Pendengaran berkurang
    • Dering di telinga (tinnitus)
    • Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
    • Perubahan dalam persepsi rasa
  1. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated  Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot-otot mata. Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkann rasa kebas, pusing dan mual.

  1. Penatalaksanaan Fasial Paralisis
  1. Terapi Non-Farmakologis
  1. Stimulasi listrik
Stimulasi listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot. Stimulasi listrik yang diberikan pada pasien dengan bell's palsy ini menggunakan metode individual (motor point). Metode individual ini merupakan suatu stimulasi elektrik yang ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point. Motor point sendiri adalah titik peka rangsang yang terletak di superficial kulit. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk merangsang fungsi otot secara individual baik yang letaknya superficial maupun dalam (deep).
Cara pemberian stimulasi listrik (prosedur pelaksanaan):
  1. Posisi pasien tidur terlentang di atas tempat tidur dengan rileks
  2. Posisi terapis berada di sebelah kanan atau pada sisi yang terdapat lesi
  3. Pelaksanaan
  1. Periksa alat, kabel, tombol menu, dan intensitas harus dalam keadaan nol
  2. Memasangkan alat dengan menaruh katode dibagian cervikal dan anode diletakkan pada masing-masing titik motor poin otot-otot wajah.
  3. Dalam setiap pelaksanaan, titik motor poin yang dituju oleh arus intensitas  harus direndahkan atau dalam posisi nol dan saat menaikkan intensitas pelan-pelan sampai terlihat kontraksi yang terjadi, tanyakan pada pasien apakah sudah pas, terlalu rendah atau tinggi. Setelah selesai matikan alat dan alat ditata kembali. Untuk dosis terapi menggunakan arus faradik dengan intensitas toleransi pasien yaitu 3 mA dan waktu 15 menit.
  1. Rehabilitasi Fasial
Rehabilitasi fasial secara komprehensif dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan,dan relaksasi.
  1. Kontrol gerakan
Kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
  1. Relaksasi
Relaksasi ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
  1. Pendidikan klien
Pada paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya reflek berkedip. Penutupan mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Klien yang mengalami paralisis diajarkan untuk menutup kelopak mata secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, menggembungkan pipi ke luar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
  1. Penggunaan air mata buatan
Menggunakan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan lateral kelopak mata atas dan bawah). Hal ini dilakukan karena kornea mata memiliki resiko mongering dan terpapar benda asing.
  1. Kemodenervasi
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastic
  1. Konsultasi ke bagian lain
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
  1. Terapi Farmakologis
  1. Terapi Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid yaitu prednison dan prednisolon dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskular dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau menimbulkan denevarsi. Dosis pemberian prednisone (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikti empat hari tapering off.
  1. Antiviral
Antiviral yang biasa diberikan pada pasien fasialis paralisis adalah asiklovir. Pemberian antiviral pada pasien ini karena ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh. Pada penggunaan asiklovir tunggal tidak efektif dibandingkan dengan kortikosteroid. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian asiklovir/valasiklovir dan prednisosn lebih baik jika dibandingkan dengan terapi prednisolon saja. Kombinasi dari terapi valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2.000-4.000 mg/hari dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1.000-3.000 mg/hari secara ora dibagi 2-3 kali selama 5 hari.


  1. Web of Causation (WOC) Fasial Paralisis

Sistem imun
Herpes Simpleks Virus (HSV)
Inflamasi akut di n. Fasialis
Peningkatan diameter n. Fasialis
Kompresi saraf
Gangguan impuls motorik dari n. Fasialis
n. fasialis terjepit
Suhu  dingin
Lapisan endotelium pembuluh darah rusak
Proses transdusi
Foramen sternokleidomastoideus bengkak
Ketidakstabilan otonom
Respons simpatis
Vasospasme
Spasme spontan
Gerakan wajah tidak terkendali
Kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju glandula lakrimalis
Air mata keluar dari sisi mata yang lesi/ lemah
MK: Cemas
Penatalaksanaan
Ansietas
MK: Defisit pengetahuan
Iskemia
Fasialis paralisis
MK: Gangguan citra diri
MK: gangguan komunikasi verbal
MK: Nyeri



BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN

  1.  Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
  1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
  1. Riwayat penyakit saat ini
Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
  1. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan dan tempat rujukan klien untuk meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang.
  1. Pengkajian psiko-sosio –spiritual
  1. Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
  2. Pengkajian mekanisme koping untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
  3. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukann dana yang tidak sedikit.
  4. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.

  1. Pemeriksaan fisik
Fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
  1. B1 (Breathing) :
  1. Inspeksi : Irama dan frekuensi napas normal serta tidak ada penggunaan otot bantu napas.
  2. Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri.
  3. Perkusi : Resonan pada seluruh lapangan paru.
  4. Askultasi : Tidak terdengar bunyi napas tambahan.
  1. B2 (Blood) : Frekuensi dan irama nadi normal. Tekanan darah dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
  1. B3 (Brain) : Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.
1) Tingkat Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien composmentis. Fungsi Serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status mental klien mengenai perubahan.
2) Pemeriksaan saraf kranial
  1. Saraf I : Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
  2. Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
  3. Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
  4. Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
  5. Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali adema nervus fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
  6. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
  7. Saraf IX dan X : Paralisis Otot orofaing, kesukaran berbicara, mengunya, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
  8. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
  9. Saraf XII : Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3) Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4) Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
5) Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis.
6) Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kalainan.
  1. B4 (Bladder) : Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
  2. B5 (Bowel) : Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot mengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
  3. B6 (Bone) : Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

  1. Diagnosa keperawatan
  1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
  2. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
  3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral
  4. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan
  5. Nyeri yang berhubungan dengan peradangan saraf fasial
  6. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

  1. Intervensi Keperawatan
  1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
Tujuan             : Body image kembali baik setelah perawatan
Kriteria hasil    :
a. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya menerima kondisi yang ada pada dirinya (kelumpuhan otot wajah)
b. Pasien tidak mengalami kecemasan
c. Pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua fungsi bio-psiko-sosial
IntervensiRasional
Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.Penentuan faktor – factor secara individu membantu dalam mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi.

Identifikasi arti dari disfungsi atau perubahan pada pasienKadang – kadang pasien menerima dan mengatasi gangguan fungsi secara efektif dengan sedikit penanganan, di lain pihak ada juga orang yang mengalami kesulitan dalam menerima dan mengatasi kekurangannya.
Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marahMendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan mulai memahami perasaan ini.
Catat apakah pasien menunjuk daerah yang sakit ataukah pasien mengingkari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut “telah mati”Menunjukkan penolakan terhadap bagian tubuh/perasaan negative terhadap citra tubuh dan kemampuan, menandakan perlunya intervensi dan dukungan emosional
Akui pernyataan perasaan tentang pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada kenyataan yang ada tentang realita bahwa pasien masih dapat menggunakan bagian tubuhnya yang tidak sakit dan belajar untuk mengontrol bagian tubuh yang sakit. Gunakan kata – kata (lemah, sakit, kanan-kiri) yang tidak mengasumsikan bahwa bagian tersebut sebagai bagian dari seluruh tubuh.Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian tubuh tersebut merupakan suatu bagian yang utuh dari seseorang Memberikan kesempatan pasien untuk merasakan pengharapannya secara penuh dan mulai menerima keadaan yang dialami saat sekarang ini.

Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik menganai penyembuhan fungsi tubuhataupun kemandirian pasien.Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan
Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan pada pasien untuk melakukan kegiatan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiriMembangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan mingkatkan proses rehabilitasi.
Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti peningkatan minat/partisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitasiMengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi, pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi dan menarik diri.Mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang mungkin memerlukan evaluasi dan intervensi lebih lanjut.
Rujuk pada evaluasi neuropsikologis atau konseling sesuai kebutuhan.Dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/merasa menjadi orang yang produktif.

  1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Tujuan             :Nyeri berkurang
Kriteria hasil    :Pasien menyatakan sudah tidak merasa nyeri atau nyeri sudah berkurang dalam 3x24 jam, pasien tidak menunjukkan ada tanda-tanda merasa nyeri.
IntervensiRasional
Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0 – 10)Berguna dalam pengawasan kefektifan obat, kemajuan penyembuhan
Berikan istirahat dengan posisi semifowlerDengan posisi semi-fowler dapat menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang
Anjurkan klien untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan kerja asam lambung.dapat menghilangkan nyeri akut/hebat dan menurunkan aktivitas peristaltik
Anjurkan klien untuk tetap mengatur waktu makannyamencegah terjadinya perih pada ulu hati/epigastrium
Observasi TTVsebagai indikator untuk melanjutkan intervensi berikutnya
Diskusikan dan ajarkan teknik relaksasiMengurangi rasa nyeri atau dapat terkontrol
Kolaborasi dengan pemberian obat analgesikMenghilangkan rasa nyeri dan mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain


  1. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam pasien mampu menunjukkan kemampuan komunikasi
Kriteria hasil    :
  1. Pasien dapat menggunakan bahasa tertulis, berbicara, atau nonverbal, menggunakan bahasa isyarat, pasien dapat bertukar pesan dengan orang lain.
IntervensiRasional
Kaji kemampuan komunikasi klien.Kelamahan otot bicara pada klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi.
Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klienTeknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangan jari-jari kaki untuk menjawab ya atau tidak. Setelah periode krisis miastenik dipecahkan, klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus bila perluUntuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.Membantu menurunkan frustasi karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” dan perhatikan respon klien.Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
Kolaborasi: konsulkan ke ahli terapi bicaraMengkaji kemampuan verbar individual, sensotik, motorik, serta fungsi kognotof untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi.

  1. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan
Tujuan                         : Kontrol kecemasan
Kriteria hasil    :
  1. Koping telah dilakukan asuhan selama 2x 24 jam klien kecemasan teratasi
  2. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
  3. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
  4. Vital sign dalam batas normal
  5. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi
NIC :
  1. Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
  1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
  2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
  3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
  4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
  5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
  6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
  7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
  8. Dengarkan dengan penuh perhatian
  9. Identifikasi tingkat kecemasan
  10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
  11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
  12. Kelola pemberian obat anti cemas




DAFTAR PUSTAKA

Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI
Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada University Press
Kaygusuz,Irfan. The Role of Viruses in Idiopathic Peripheral Facial Palsy and Cellular Immune Response. American Journal of Otolaryngology, Vol 25, No 6 (November-December), 2004: pp 401-406
Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Marjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat
Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia
Suharsono,Darto. 2012. Bell’s Palsy. Surabaya : Divisi Neuropediatri, SMF Ilmu Kesehatan Anak, RSU Dr.Soetomo.
Sunaryo, Utowo. 2013. Bell’s Palsy. Surabaya: Neurologi FK Universitas Wijaya Kusuma
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
Wong, Donna L., 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Jakarta: EGC
http://www.facialpalsy.org.uk/about-facial-palsy/what-is-facial-palsy/1395/ Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 16.01
http://www.healthline.com/health/facial-paralysis#Overview diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 16.03
http://eresources.pnri.go.id:2058/pagepdf.openpdfinviewercopy [13 April 2014]
http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf diakses pada tanggal 11 April 2014 pukul 17.00 WIB.