Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Saturday 12 September 2015

Konsep Healing Environment

Ruangan yang representatif dan nyaman
Suasana medis seringkali dikaitkan dengan keadaan yang menakutkan, mengerikan, perasaan yang tertekan dan penuh kegelisahan serta ketidak pastian. Kegagalan pasien dalam beradaptasi dan menghadapi situasi ini akan membawa dampak tekanan psikologis yang berakibat timbulnya stress mental dan tekanan batin. Dijkstra (2009) menyatakan bahwa efek fisiologis dari lingkungan sangat mempengaruhi hasil penyembuhan. Stress psikologis dapat menekan imun pasien, sehingga hal ini dapat memperpanjang proses penyembuhan yang berakibat pada semakin lamanya waktu perawatan pasien. Bahkan apabila stress psikologis tidak segera diatasi, dapat meningkatkan potensi terjadinya komplikasi dari penyakit yang diderita oleh pasien. Sehingga penerapan lingkungan yang berbasis environment healing merupakan salah satu factor yang sangat penting untuk mereduksi stress psikologis dan meningkatkan proses penyembuhan pasien.

Healing  environment  adalah  lingkungan  fisik fasilitas kesehatan yang dapat mempercepat waktu pemulihan kesehatan pasien atau mempercepat proses  adaptasi pasien dari kondisi kronis serta akut dengan melibatkan  efek  psikologis  pasien  di  dalamnya.  Penerapan  konsep  healing environment  pada  lingkungan  perawatan  akan  tampak  pada  kondisi  akhir kesehatan  pasien,  yaitu  pengurangan  waktu  rawat,  pengurangan  biaya pengobatan,  pengurangan  rasa  sakit,  pengurangan  stres  atau  perasaan  tertekan, memberikan  suasana  hati  yang  positif,  membangkitkan  semangat,  serta meningkatkan pengharapan pasien akan lingkungan. (Dijkstra, 2009)

Pengertian healing environment ialah  penyembuhan  atau terapi  yang  memanfaatkan  suasana ruang yang memulihkan baik pada ruang dalam  dan ruang luar. (Waworudeng, 2015) Konsep  healing  environment  pada  lingkungan  rumah  sakit  ditujukan  untuk menyeimbangkan  intervensi  ilmu  dan  teknologi  medik  dengan  potensi  internal pasien.

Menurut  Knecht  (2010),  healing environment  adalah  pengaturan  fisik  dan dukungan budaya yang memelihara fisik, intelektual,  sosial  dan  kesejahteraan spiritual  pasien,  keluarga  dan  staf  serta membantu  mereka  untuk  mengatasi  stres terhadap  penyakit  dan  rawat  inap.

Menurut Malkin (2005) dalam Montague (2009),  healing  environment  adalah pengaturan fisik yang  mendukung pasien dan  keluarga  untuk  menghilangkan  stres yang  disebabkan  oleh  penyakit,  rawat inap,  kunjungan  medis,  pemulihan  dan berkabung. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa healing environment adalah suatu pengaturan lingkungan fisik di sekitar pasien agar menciptakan suasana dan keadaan yang dapat mengatasi tekanan psikologis klien selama mendapatkan perawatan medis serta dapat memberikan keadaan yang kondusif sehingga mendukung proses kesembuhan pasien.

Green Garden sebagai wahana rekreasi dan relaxasi

Menurut Murphy (2008), ada tiga pende-katan  yang  digunakan  dalam  mendesain healing  environment,  yaitu  alam, indra dan psikologis. Berikut penjelasan dari masing-masing pendekatan desain :
  1. Alam (Nature)
Alam  merupakan  alat yang mudah diakses dan melibatkan pancaindra. Alam memiliki  efek  restoratif  seperti menurunkan  tekanan  darah,  memberikan konstribusi  bagi  keadaan  emosi  yang positif,  menurunkan  kadar  hormon  stres dan meningkatkan  energi.  Unsur alam yang ditempatkan  ke  dalam  pengobatan pasien  dapat  membantu  menghilangkan stres yang diderita pasien

Menurut  Kochnitzki  (2011),  ada beberapa  jenis  taman/garden  di  dalam rumah  sakit,  yaitu  contemplative  garden, restorative  garden,  healing  garden, enabling garden dan therapeutic garden. Contemplative garden bermanfaat untuk menenangkan  pikiran  dan  memperbaiki semangat. Restorative garden bermanfaat untuk  kesehatan  dan  membuat  perasaan orang  yang  sakit  menjadi  lebih  baik. Healing  garden  mengacu  pada  berbagai fitur  taman  yang  memiliki  kesamaan dalam  mendorong  pemulihan  stres  dan memiliki  pengaruh  positif  pada  pasien, pengunjung  dan  staf  rumah  sakit. Enabling  garden  merupakan  taman  yang memungkinkan semua orang dari berbagai usia  serta  kemampuan  dapat  menikmati dan  berinteraksi.  Therapeutic garden merupakan sebuah taman yang mencoba meningkatkan terapi medis lingkungan di dalam kondisi pengobatan medis.

  1. Indra (sense)
Indra  meliputi  pendengaran,  penglihatan, peraba,  penciuman  dan  perasa.  Masing-masing  indra  dapat  dijelaskan  sebagai berikut:
  1. Indra pendengaran
Suara  yang  menyenangkan  dapat mengurangi tekanan darah dan detak jantung  sehingga  menciptakan  sen-sasi  kenikmatan  yang  mempenga-ruhi  sistem  saraf.. Suara yang dapat menenangkan pikiran, antara lain:
  1. Suara  musik,  digunakan  untuk mengobati depresi, menenangkan dan  bersantai  bagi  anak-anak autis dan pasien kejiwaan.
  2. Suara hujan, angin, laut, air yang bergerak dan  burung  dapat membuat  suasana  tenang  dan menciptakan rasa kesejahteraan.
  3. Suara  air  mancur  dapat  membe-rikan  energi  spiritual  dan  mem-bangkitkan  perasaan  yang  dekat dengan  suasana  pegunungan  dan air terjun.
  1. Indra penglihatan
Sesuatu  yang  dapat  membuat  mata menjadi  santai/relax  seperti  peman-dangan,  cahaya  alami,  karya  seni dan penggunaan warna tertentu.
  1. Indra peraba
Sentuhan merupakan mekanisme dasar dalam menjelajahi dunia selama masa kanak-kanak  karena sentuhan  menegaskan  apa  yang mereka lihat, cium, rasa dan dengar.
  1. Indra penciuman
Bau yang menyenangkan dapat  menurunkan tekanan darah dan detak jantung, sedangkan bau yang tidak menyenangkan dapat meningkatkan detak jantung dan pernapasan.
  1. Indra perasa
Indra perasa menjadi terganggu pada saat pasien mengalami sakit ataupun menerima pengobatan. Hal ini biasa-nya ditunjukkan dengan berubahnya rasa makanan maupun minuman saat dikonsumsi.  Karena itu, kualitas makanan dan  minuman  yang ditawarkan harus diperhatikan.

  1. Psikologis
Secara psikologis, healing environment membantu proses pemulihan pasien men-jadi lebih  cepat,  mengurangi rasa  sakit dan stres. Perawatan pasien yang diberikan memperhatikan terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai yang menuntun pada keputusan  klinis  pasien.  Ada enam dimensi untuk perawatan pasien, antara lain (Departement of Health, 2001):
  1. Rasa  kasih  sayang,  empati  dan  tang-gapan terhadap kebutuhan;
  2. Koordinasi dan integrasi;
  3. Informasi dan komunikasi;
  4. Kenyaman fisik;
  5. Dukungan emosional;
  6. Keterlibatan keluarga dan teman-teman.

Gambar 1 Konsep dan Aplikasi Healing Environment (Lidayana, 2013)


Liteartur :
Djikstra,  K.  2009.  Understanding  Healing  Environments:  Effects  of Physical  Environmental  Stimuli  on  Patiens’  Effects  of  Health  and  Well-Being. Netherlands: University of Twente.

Putri, Debri H., Widihardjo dan Andriyanto Wibisono. 2013. Relasi Penerapan Interior Healing Environment pada Ruang Rawat Inap dalam Mereduksi Stress Psikis Pasien. ITB J. Vist Art, (Online), Vol. 5, No. 2, (http://journal.itb.ac.id/download.php?file=D11007.pdf&id=1304&up=4, diakses 12 September 2015)

Waworundeng, Jefrey I.K dan Vicky H. M. 2015. Pusat Rehabilitasi Stroke (Penerapan Prinsip-prinsip Healing Environment). Jurnal UNSRAT, (Online), (http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/daseng/article/viewFile/6444/pdf, diakses 12 September 2015)

Lidayana, Vidra., M. Ridha A. dan Valentinus P. 2013. Konsep dan Aplikasi Healing Environment dalam Fasilitas Rumah Sakit. Jurnal Teknik Sipil UNTAN, (Online), Vol. 13, No. 2, (http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jtsuntan/article/viewFile/4619/4700, diakses 12 September 2015)

Department of Health.  2001.  The expert patient: a new approach to chronic disease management for the  21st century. London: Department of Health.

Angka Kematian Ibu Masih Tinggi, Apa Masalahnya?

Angka kematian Ibu yang mencapai angka 359 orang per 100.000 kelahiran hidup masih tergolong tinggi, kendati berbagai program telah dicanangkan pemerintah untuk menekan angka tersebut. Ada banyak factor yang menyebabkan Kematian Ibu masih sering terjadi. Salah satu penyebab utamanya adalah keterlambatan keluarga dalam mengambil keputusan. Ibu hamil seringkali terlambat mengambil keputusan untuk mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan. Hal ini seringkali dihubungkan dengan tradisi/budaya mengenai pihak yang berhak mengambil keputusan, dan keraguan menerima pelayanan kesehatan akibat keterbatasan biaya. Ibu hamil rentan mengalami komplikasi kehamilan dan factor-faktor penyulit persalinan. Bila hal tersebut terjadi, seharusnya keluarga cepat mengambil keputusan untuk segera mencari pertolongan medis karena dapat membahayakan ibu dan janin.

Keterlambatan mengambil keputusan diakibatkan masih rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang bahaya kehamilan dan urgensi untuk segera mendapatkan pertolongan medis bila terdapat gangguan kehamilan. Tenaga kesehatan di tataran daerah dalam hal ini puskesmas seharusnya menjadi ujung tombak dalam upaya peningkatan pengetahuan masyarakat.

Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa hanya sekitar 45 % keluarga yang mengaku mendapat penjelasan tanda bahaya kehamilan saat ANC. Hal ini diperkuat dengan hasil Asesmen Kualitas Pelayanan Maternal tahun 2012 yang menunjukkan bahwa hanya 24 % RS dan 45 % Puskesmas yang melakukan konseling dan edukasi sesuai standar pada saat ANC. Kedua hal ini menunjukkan bahwa peran tenaga kesehatan untuk memberikan informasi dan advokasi  kepada  ibu  dan  keluarga  pada  saat  ANC  masih  lemah  sehingga  pengetahuan keluarga dan masyarakat untuk membuat rencana kehamilan dan persalinan sehat juga rendah.

Tenaga Kesehatan sebagai garda terdepan dalam upaya penurunan AKI di Indonesia seharusnya lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai educator dan care giver. Masyarakat harus mendapatkan informasi dan bimbingan yang adekuat untuk mencegah kejadian yang berbahaya selama kehamilan. Masyarakat perlu pendampingan, bimbingan dan dukungan yang baik dan intensif untuk merencanakan dan menjaga kehamilan dan persalinan yang baik. Oleh karena itu, optimalisasi program ANC dalam meningkatkan pengetahuan dan kemandirian masyarakat dalam menjaga kehamilan yang sehat merupakan hal yang sangat penting. Dengan bekal wawasan yang cukup, maka ibu dan keluarga dapat dengan cepat dan tepat mengambil keputusan yang baik untuk kehamilannya.

Oleh : Rio Cristianto

Wednesday 9 September 2015

Glomerulonefritis Akut (GNA)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Glomerulus Normal

Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdiri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”.  



Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (” crescent”).Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.
Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu :
  1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar korteks.
  2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai ke bagian dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks dan medula dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsoprsi air dan slut.

2.2 Definisi

Glomerulonefritis akut adalah inflamasi gelungan kapiler di dalam glomerulus ginjal. Glomerulonefritis akut megacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana terjadi reaksi inflamasi pada glomerulus. Penyakit ini bukan penyakit infeksi ginjal tetapi efek samping dari mekanisme pertahanan tubuh. Pada kebanyakan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi yang diakibatkan oleh streptokokus A pada tenggorokan yang mengawali awitan glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptokokus bertindak sebagai antigen, mestimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cidera ginjal.

Glomerulonefritis dapat juga disertai demam scarlet (demam yang muncul karena infeksi bakteri streptokokus sehingga muncul ruam merah dan radang tenggorokan) dan impetigo (infeksi purulen akut yang menular) serta infeksi virus akut. Contohnya, ISPA, gondongan, varisela, Epstein-barr, hepatitis B, dan infeksi HIV. Proses inflamasi ginjal yang melibatkan reaksi antigen-antibodi sekunder terhadap infeksi di tempat lain pada tubuh; faktor pencetus paling umum adalah streptokokus beta hemolitik grup A.

Glomerulonefritis adalah penyakit yang mengenai glomeruli kedua ginjal. Factor penyebabnya antara lain reaksi imunologis (Lupus eritematosus sistemik, infeksi streptokokus, cedera vascular (hipertensi), dan penyakit metabolic (diabetes mellitus). Glomerulonephritis akut yang paling lazim adalah yang akibat infeksi streptokokus. Glomerulonephritis akut biasanya terjadi sekitar 2-3 minggu setelah serangan infeksi streptokokus. Faring, tonsil, dan kulit (empetigo) merupakan tempat infeksi primer. Penyakit ini banyak mangenai anak-anak usia prasekolah dan anak-anak umur sekolah.

  1. Etiologi
Faktor penyebab yang mendasari  sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan non infeksi:
  1. Infeksi
Infeksi streptokokus beta-hemolitikus group A terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus, meliputi bakteri, virus dan parasit.
  1. Non-infeksi
Penyakit sistemik multisistem, seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis, sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener. Kondisi penyabab lainnya adalah pada kondisi sindrom Guillain-Bare.

2.4 Manifestasi Klinis

Menurut Brunner dan Suddarth. Biasanya terjadi sakit kepala, malaise, edema fasial dan nyeri tekan. Umum terjadi hipertensi ringan sampai berat dan nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA).
Tanda dan gejala yang lain sebagai berikut:
  1. Riwayat faringitis dan tonsillitis
  2. Edema perifer dan periorbital
  3. Letargi dan malaise (meriang)
  4. Oliguria
  5. Edema perifer dan periorbital
  6. Hipertensi ringan sampai berat dan nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA)
  7. Pucat
  8. Anoreksia
  9. Hipertermi
  10. Urin berwarna seperti teh
  11. Nyeri pinggang

2.5 Patofisiologi

Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan unsur membran plasma streptococcal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi di dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus, kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membrane basalis. Selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membrane basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul sub epitel pada mikroskop electron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

Menurut penelitian yang dilakukan, penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di membrane basalis glomerulus. Aktivasi komplemen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.

Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada sub endotel membrane basalis glomerulus sendiri, atau menembus membrane basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibody dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karakteristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibody seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3, C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh immunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptococcus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya Glomerulonefritis. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan system komplemen sehingga terjadi cascade dari system komplemen.

Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan membrane basalis, serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel ataus ubepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membrane basalis glomerulus berangsur- angsu rmenebal dengan masuknya kompleks-kompleks kedalam membrane basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membrane basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan dan berlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
  1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
  2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
  3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.




  1. Pemeriksaan Diagnosis
    1. Laju endap Darah (LED) meningkat
    2. Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air)
    3. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin darah meningkat bilafungsi ginjal mulai menurun
    4. Jumlah urine berkurang
    5. Berat jenis meninggi
    6. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50% pasien
    7. Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit dan hialin
    8. Titer antistreptolisin O (ASO) umumnya meningkat jika ditemukan infeksi tenggorok, kecuali kalau infeksi streptokokus yang mendahului hanya mengenai kulit saja
    9. Kultur sampel atau asupan alat pernapasan bagian atas untukidentifikasi mikroorganisme
    10. Biopsi ginjal dapat diindikasikan jika dilakukan kemungkinantemuan adalah meningkatnya jumlah sel dalam setiap glomerulusdan tonjolan subepitel yang mengandung imunoglobulin dan komplemen.

  1. Penatalaksanaan
    1. Penatalaksanaan Medis
Tidak ada pengobatan yag khusus yang memengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
  1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dahulu dianjurkan selama 6-8 minggu. tetapi penyelidikan terakhir dengan hanya istirahat 3-4 minggu tidak berakibat buruk bagi perjalanan penyakitnya
  2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotic ini tidak memengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangimenyebarnya infeksi streptococcus yang mungkin masih ada.Pemberian penisilin dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pemberian profilaksi yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap.Secara teoretis anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman neritogenlain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil.
  3. Makanan pada fase akut diberikan makanan rendah protein 1 g/kg BB/hari) dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada pasien dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhunormal kembali. Bila ada anuria atau muntah, diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. pada pasien dengan tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan,sedangkan bila ada komplikasi seperti ada gagal jantung, edema,hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
  4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative untuk menenangkan pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kg BB secara intramuscular. Bila terjadi dieresis 5-10 jam kemudian, selanjutnya pemberian sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena member efek toksis.
  5. Bila anuria berlangsung lama (5-7/hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah. Dapat dengan cara peritoneumdialysis, hemodialisisi, tranfusi tukar dan sebagainya.
  6. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut,tetapi akhir-akhir ini pemberian furosamid (Lasix) secara intravena (1mg/kg BB/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
  7. Bila timbul gagal jantung, diberikan digitalis, sedativum dan oksigen.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien GNA perlu dirawat dirumah sakit karena memerlukan pengobatan/pengawasan perkembangan penyakitnya untuk mencegah penyakit menjadi lebih buruk. hanya pasien GNA yang tidak terdapat tekanan darah tinggi, jumlah urine satu hari paling sedikit 400ml dan keluarga sanggup setra mengerti boleh dirawat diruah di bawah pengawasan dokter. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah gangguan faal ginjal, resiko terjadi komplikasi, diet, gangguan rasaaman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

Gangguan faal ginjal. Ginjal diketahui sebagai alat yang salah satu dari fungsinya adalah mengeluarkan sisa metabolism terutama proteinsebagai ureum, juga kalium, fosfat, asam urat, dan sebagainya. Karena terjadi kerusakan pada glumerolus (yang merupakan reaksi autoimunterhadap adanya infeksi streptococcus ekstrarenal) menyebabkan gangguan filtrasi glomerulus dan mengakibatkan sisa-sia metabolismtidak dapat diekskresikan maka di dalam darah terdapat ureum, dan lainnya lagi yang disebutkan di atas meninggi. Tetapi tubulus karena tidak terganggu maka terjadi penyerapan kembali air dan ion natriumyang mengakibatkan banyaknya urine berkurang, dan terjadilah oliguria sampai anuria. untuk mengetahui keadaan ginjal, pasien GNA perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk fungsi ginjal, laju endap darah (GNA), urine,dan foto radiologi ginjal. Urine perlu ditampung selama 24 jam, diukur  banyaknya dan berat jenisnya (BJ) dicatat pada catatan khusus (catatan pemasukan/pengeluaran cairan). Bila dalam 24 jam jumlah urine kurang dari 400 ml supaya memberitahukan dokter. Tempat penampung urine sebaiknya tidak dibawah tempat tidur pasien karena selain tidak sedap dipandang juga menyebabkan bau urine didalam ruangan. penampung urine harus ada tutupnya yang cocok, diberi etiket selain “nama” juga jam dan tanggal mulai urine ditampung. Hati-hati jika ada nama yang sama jangan tertukar; tuliskan juga nomor tempattidur atau nomor register pasien. Tempat penampung urine harus dicuCi bersih setiap hari; bila terdapat endapan yang sukar digosok pergunakan asam cuka, caranya merendamkan dahulu beberapa saat baru kemudian digosok pakai sikat. untuk membantu lancarnya dieresisdi samping obat-obatan pasin diberikan minum air putih dan dianjurkan agar anak banyak minum (ad libitum) kecuali jika banyaknya urine kurang dari 200 ml. berapa banyak pasien dapat menghabiskan minum air supaya dicatat pada catatan khusus dan dijumlahkan selama 24 jam. Kepada pasien yang sudah mengerti sebelum mulai pencatatan pengeluaran/pemasukan cairan tersebut harus diterangkaan dahulu mengapa ia harus banyak minum air putih dan mengapa air kemih harus ditampung. Jika anak akan buang air besarsupaya sebelumnya berkemih dahulu ditempat penampungan urine baru ke WC atau sebelumnya gunakan pot lainnya. Dengan demikian bahwa banyaknya urine adalah benar-benar dari keseluruhan urine pada hari itu.

Resiko terjadi komplikasi. Akibat fungsi ginjal tidak fisiologis menyebabkan produksi urine berkurang, sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan sehingga terjadi uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia, hidremia, dan sebagainya. Keadaan ini akan menjadi penyebab gagal ginjal akut atau kronik (GGA/GGK) jika tidak secepatnya mendapatkan pertolongan. Karena adanya retensi air dan natrium dapat menyebabkan kongesti sirkulasi yang kemudian menyebabkan terjadinya efusi ke dalam perikard dan menjadikan pembesaran jantung. Jika keadaan tersebut berlanjut akan terjadi gagal jantung. Keadaan uremia yang makin meningkat akan menimbulkan keracunan pada otak yang biasanya ditandai dengan adanya gejala hipertensi ensefalopati, yaitu pasien merasa pusing, mual, muntah, kesadaran menurun atau bahkan lebih parah atau untuk mengenal gejala komplikasi sedini mungkin pasien memerlukan:
  1. Istirahat
  2. Pengawasan tanda-tanda vital bila terdapat keluhan pusing (+)
  3. Jika mendadak terjadi penurunan haluaran urine periksalah dahulu apakah pasien berkemih di tempat lain dan keadaan umumnya.
  4. Jika pasien mendapat obat-obatan berikanlah pada waktunya dan tunggu sampai obat tersebut betul-betul telah diminum (sering terjadi obat tidak diminum dan disimpan di bawah bantal pasien). Jika hal itu terjadi penyembuhan tidak seperti yang diharapkan.
  5. Diet. Bila ureum darah melebihi 60 mg % di berikan protein 1 g/kgBB/hari dan garam 1 g/hari (rendah garam). Bila ureum antara 40-60 mg% protein diberikan 2 g/kg BB/hari dan masih rendah garam. Jika pasien tidak mau makan karena merasa mual atauingin muntah atau muntah-muntah segera hubungi dokter, siapkan keperluan infuse dengan cairan yang biasa dipergunakan ialah glukosa 5-10% dan selanjutnya atas petunjuk dokter. Jika infusediberikan pada pasien yang tersangka ada kelainan jantung atau tekanan darahnya tinggi, perhatikan agar tetesan tidak melebihi yang telah dipergunakan dokter, bahayanya memperberat kerja jantung.
  6. Gangguan rasa aman dan nayaman
Untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien disarankan agar sering kontak dan berkomunikasi dengan pasien akan menyenangkan pasien. agar pasien tidak bosan pasien dibolehkan duduk dan melakukan kegiatan ringan misalnya membawa buku (anak yang sudah sekolah), melihat buku gambar atau bermain dengan teman yang telah dapat berjalan. Sebagai perawat kita juga harus mendampingi/mengajak bermain dengan pasien yang memerlukan hiburan agar tidak bosan
  1. Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Penjelasan yang perlu disampaikan kepada orang tua pasien adalah
  1. Bila ada anak yang sakit demam tinggi disertai rasa sakit menelan atau batuk dan demam tinggi hendaknya berobat ke dokter/pelayanan kesehatan supaya anak mendapatkan pengobatan yang tepat dan tepat. 
  2. Jika anak sudah terlanjur menderita GNA selama dirawat dirumah sakit, orang tua diharapkan dapat membantu usaha pengobatannya misalnya untuk pemeriksaan atau tindakan, sering memerlukan biaya yang cukup banyak sedangkan rumah sakit tidak tersedia keperluan tersebut. (sebelumnya orang tuadiberi penjelasan mengenai perlunya pengumpulan urine dan mencatat minum anak selama 24 jam, untuk keperluan pengamatan perkembangan penyakit anaknya).
  3. Bila pasien sudah boleh pulang, dirumah masih harus istirahat cukup. Walaupun anak sudah diperbolehkan sekolah tetapi belum boleh mengikuti kegiatan olahraga. makanan, garam masih perlu dikurangi sampai keadaan urine benar-benar normal kembali (kelainan urine, adanya eritrosit dan sedikit protein akan masih diketemukan kira-kira 4 bulan lamanya). Jika makanan dan istirahatnya tidak diperhatikan ada kemungkinan penyakit kambuh kembali. Hindarkan terjadinya infeksi saluran pernapasan terutama mengenai tenggorokan untuk mencegah penyakit berulang. Kebersihan lingkungan perlu dianjurkan agar selalu diperhatikan khususnya streptococcus yang menjadi penyebab timbulnya GNA. Pasien harus kontrol secara teratur untuk mencegah timbulnya komplikasi yang mungkin terjadi seperti glomerulus kronik atau bahkan sudah terjadi gagal ginjal akut. Juga petunjuk mengenai kegiatan anak yang telah boleh dilakukan.

2.9 komplikasi
  1. GGA (Gagal Ginjal Akut)
GNA peradangan pada glomerulus apabila hal tersebut terjadi terus menerus dan tidak di tangani maka fungsi ginjal menurun untuk mengimbangi fungsinya maka ginjal tesebut akan lebih kerja dari batas kemampuan ginjal
  1. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
  2. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
  3. Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
  4. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah, pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
  5. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang menurun.

2.10 Prognosis

Prognosis penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1). Timbulnya glomerulo nephirits akut  (GNA) didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A. Faktor lain yang dapat menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi.

Pada Glomerulonefritis Akut sebagian besar pasien dapat sembuh, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7 - 10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sebab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Menurut Potter menemukan kelainan sediment urine yang menetap ( proteinuria dan hematuria ) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.

Gejala fisik menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu pada Glomerulonefritis Akut. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan. Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.
     
Glomerulonefritis kronik terjadi penurunan fungsi ginjal dan dapat berlangsung perlahan-lahan, tetapi kadang dapat berlangsung cepat sehingga berakhir dengan kematian, dalam 5 - 10 tahun kedepan tergantung pada kerusakan ginjal
2.11 Asuhan Keperawatan Teori
  1. Pengkajian
  1. Anamnesa
  1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, usia, alamat, nomor telepon, status pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, suku, bangsa, dan nama penanggung jawab klien.
  1. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri pada pinggang, urin berdarah, wajah kaki bengkak, pusing dan badan cepat lelah.
  1. Riwayat penyakit
  1. Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritemateosus
  2. Riwayat Penyakit Sekarang : klien mengeluh bengkak seluruh tubuuh, kencing berwarna seperti cucian daging atau berdarah , tidak nagfsu makan, mual, muntah, dan diare. Badan panas saat hari pertama sakit.
  3. Riwayat Penyakit Keluarga         : Adakah keluarga pasien yang memiliki penyakit serupa.
  1. Pola aktivitas sehari-hari
  1. Pola nutrisi dan metabolic : Pasien mengatakan bahwa badan panas pada hari pertama sakit. Mual, muntah, dan terjadi anoreksia juga menyebabkan intake nutrisi menjadi tidak adekuat.
  2. Pola eliminasi : Tidak terdapat gangguan eliminasi alvi. Eliminasi uri ditemukan hematuria dan terdapat protein dalam urin.
  3. Pola aktivitas : Klien mengeluh cepat lelah untuk melakukan aktivitas.
  1. Psikososial spiritual
Meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk mendapatkan hasil yang jelas terhadap status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Masalah kesehatan pada sistem perkemihan menimbulkan respon maladaptif terhadap konsep diri klien sehingga tingkat stres emosional dan mekanisme koping yang digunakan berbeda-beda. Nyeri juga memberikan stimulus akan kecemasan dan ketakutan klien.

  1. Pemeriksaan Fisik
  1. Keadaan umum
Kesadaran pasien kompos mentis namun menunjukkan kelemahan dan terlihat sakit, apabila pasien datang pada fase awal akan didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi meningkat, terjadi peningkatan pada tekanan darah.
  1. B1 (breathing)
Tidak ditemukan masalah pada pola napas
  1. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah sekunder adalah tanda dari glomerulonefritis yang disebabkan oleh retensi natrium dan air yang berdampak pada kardiovaskuler yang akan terjadi penurunan perfusi jaringan.
  1. B3 (brain)
Terdapat konjungtiva yang anemis dan edema wajah terutama periorbital. Pasien beresiko kejang sekunder akibat gangguan elektrolit.
  1. B4 (bladder)
Terdapat edema pada ektremitas dan wajah. Warna urin menjadi seperti cola karena proteinuri dan hematuri. Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan ringan      pada bagian kostovetebra. Perkusi pada sudut kostovertebra akan ditemukan    nyeri ringan lucal yang menjalar ke pinggang dan abdomen.
  1. B5 (bowel)
Mual, muntah, dan anoreksia yang menyebabkan penurunan intake nutrisi
  1. B6  (bone)
Pasien mengeluh sering cepat lelah saat melakukan aktivitas sehari-hari.
  1. Analisa Data
No.
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.
DS: pasien mengeluh nyeri bagian kostovertebra
DO:
P: glomerulonefritis akut
Q:
R: nyeri pada daerah kostovertebra
S: pasien mengatakan skala nyeri 4 (0-10)
T: nyeri hilang timbul
Vital sign:
TD : >120/80 mmHg
S  : 370C
N  :>100 x/menit
RR : normal
Glomerulonefritis akut
Terbentuk
Asam Arachidonat
Terbentuk substansi nyeri
Respon saraf sensori dan perifer
Sensitivitas pada neuron primer aferen
Nyeri akut
Nyeri akut
2
DS: Klien mengeluh mata, tangan dan kaki bengkak
Melaporkan BB meningkat dalam periode singkat
DO:
  1. tampak adanya edema (ekstremitas/periorbital/abdomen)
  2. pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria > 3,5 gr/hr
  3. Timbang berat badan  didapatkan meningkat di atas normal
Glomerulonefritis akut
Aktivasi komplemen
Menarik leukosit dan trombosit ke glomerulus
Pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan parut
Membran glomerulus menebal
Penurunan volume urin,
 retensi cairan dan natrium,
Kelebihan volume cairan
Kelebihan volume cairan
3.
DS:
Klien mengeluh tidak nafsu makan.
DO:
  1. Pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi makan.
  2. Jenis diet: tinggi kalori
  3. A : BB meningkat karena cairan edema
  4. B : hB 13,1 g/dL, Albumin<3,2 g/dL.
  5. C : klien hanya menghabiskan setengah dari porsi makan, klien tampak lemas.
  6. D : klien mnedapatkan terapi tinggi kalori .
Glomerulonefritis akut
Aktivasi komplemen
Gangguan permeabilitas selektif kapiler glomerulus
Protein plasma dan eritrosit  bocor melalui glomerulus
Proteinuria & hematuria
Respon sistemik : Mual, muntah,anoreksia
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

  1. Diagnosa Keperawatan
  1. Nyeri akut berhubungan dengan sensitivitas pada neuron primer aferen
  2. Kelebihan volume cairan berhubungaan dengan retensi cairan dan natrium
  3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,anoreksia

  1. Intervensi dan Rasional
    1. Nyeri akut berhubungan dengan sensitivitas pada neuron primer aferen
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam, skala nyeri yang dilaporkan berkurang.
Kriteria Hasil :
  1. skala nyeri 1-3
  2. wajah tidak meringis
  3. dapat melakukan tehnik relaksasi yang efektif
Intervensi
Rasional
  1. Observasi secara PQRST dan karakteristik nyeri yang dirasakan (menetap, hilang timbul, kolik) serta catat temuan yang didapat
Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi
  1. Kompres hangat pada area yang nyeri
Efek dilatasi memberikan respons spasme akan menurun
  1. Bantu klien untuk menggunakan teknik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi, visualisasi
Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping
  1. Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam saat nyeri muncul
Meningkatkan intake oksigen sehingga akan menurunkan stimulus internal
  1. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman
Tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intraabdomen
  1. Kolaborasi pemberian obat analgesik sesuai indikasi
Memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang

  1. Kelebihan volume cairan berhubungaan dengan retensi cairan dan natrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapakan terjadi keseimbangan cairan dan tidak ada udema pada tubuh serta pengeluaran urin kembali normal
Kriteria Hasil:
  1. Output dan input cairan seimbang.(1-2cc/kg BB/jam-dewasa, anak-anak ½ - 1 cc/kg BB/jam)
  2. Tekanan darah normal (100-120/60-90 mmHg)
  3. Denyut nadi normal (80-100x/menit)
  4. Tidak terjadi acites/oedema pada perut
Intervensi
Rasional
  1. Pantau input dan output urine serta hitung keseimbangan cairan


Pemantauan input dan output urine serta menghitung keseimbangan cairan dapat membantu mengevaluasi status cairan klien
  1. Pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, perhatikan hipertensi,nadi kuat, distensi vena leher
Sebagai deteksi dini untuk mengetahui timbulnya komplikasi

  1. batasi cairan tergantung pada status volume cairan
Menghindari terjadinya acites

  1. Awasi natrium serum
Sebagai deteksi dini adanya hipernatremi
  1. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium untuk kadar elektrolit
Untuk mengetahui kadar elektrolit dalam tubuh klien, sehingga ketidakseimbangan elektrolit dapat dicegah

  1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,anoreksia
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam, nutrisi dan zat gizi klien terpenuhi optimal
Kriteria Hasil :
  1. BB klien meningkat > 4kg sesuai proporsi tubuhnya
  2. Nafsu makan klien baik
  3. Nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit) dalam batas normal.
  4. Klien dapat menghabiskan porsi makan yang diberikan
Intervensi
Rasional
  1. Monitoring intake makanan setiap hari. Dan timbang berat badan setiap hari serta laporkan adanya penurunan atau kenaikan
Penurunan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi adanya gangguan pada GIT
  1. Auskultasi bising usus

Bising usus hiperaktif mencerminkan peningkatan motilitas lambung yang menurunkan atau mengubah fungsi absorbsi
  1. Berikan makanan sedikit-sedikit namun sering

Memberikan makanan sedikit namun sering akan lebih efektif guna sebagai cadangan makanan untuk klien
  1. Hindari pemberian makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus (misalnya, teh, kopi, dan makanan berserat lainnya) dan cairan yang menyebabkan diare (misalnya, apel/ jambu)
Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan gangguan absorbs nutrisi yang diperlukan

  1. Evaluasi
    1. Nyeri pasien berkurang
    2. rasa nyaman pasien bertambah
    3. Asupan dan haluaran pasien seimbang
    4. Berat badan pasien kembali normal



BAB III
ASKEP KASUS

  1. Kasus
Tn. R ( 37 tahun ) dirawat di RSUA pada tanggal 3 Maret 2015 dengan keluhan BAK agak berkurang dan air kencing berwarna seperti teh pekat. Sebelumnya, pasien pernah mengalami radang tenggorokan. Selain itu, pasien juga mengalami mual dan muntah sehingga nafsu makannya menurun danbadannya lemas. Perawat menemukan adanya konjungtiva anemis, edema pada ekstremitas dan pasien terlihat sembab disekitar mata. Pada saat dilakukan palpasi, didapatkan nyeri tekan ringan pada area kostovertebra. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD 155/100 mmHg, N 100x/menit, RR 20x/menit dan suhu 37,5 derajat Celsius. Pasein juga dilakukan pemeriksaan urinalisis yang didapatkan adanya proteinuria dan hematuria. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan BUN: 25 mg/dl, Albumin: 3 gr/dl dan Hb: 10 gr/dl.
  1. Pembahasan Kasus
  1. PENGKAJIAN
  1. Anamnesa
  1. Identitas Pasien
Nama                    : Tn. R
Umur                    : 37 tahun
Jenis Kelamin       : Laki- laki
Suku/bangsa         : Jawa/Indonesia
Alamat                  : Surabaya
Tanggal MRS        : 3 Maret 2015
  1. Keluhan utama
Pasien mengatakan bahwa BAKnya agak berkurang dan air kencingnya berwarna seperti teh pekat.
  1. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dirawat di RSUA dengan keluhan BAK agak berkurang dan air kencing berwarna seperti teh pekat. Selain itu, pasien juga mengalami mual dan muntah sehingga nafsu makannya menurun dan badannya lemas. Perawat menemukan adanya konjungtiva anemis, edema pada ekstremitas dan pasien terlihat sembab disekitar mata. Pada saat dilakukan palpasi, didapatkan nyeri tekan ringan pada area kostovertebra
  1. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami radang tenggorokan.
  1. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga tidak memiliki penyakit infeksi maupun penyakit turunan.
  1. Pemeriksaan fisik
  1. Keadaan Umum : Kesadaran pasien kompos mentis
Tanda – tanda vital :
S = 37, derajat Celsius, TD = 155/100mmHg, RR = 20x/menit, N = 100x/menit
  1. B1 ( Breating )
Tidak ditemukan masalah pada pernapasan
  1. B2 ( Blood )
Terjadi peningkatan tekanan darah, akral hangat.
  1. B3 ( Brain )
 Sadar, badan lemas, daerah di sekitar mata tampak sembab, konjungtiva anemis.,
  1. B4 ( Bladder )
Terdapat edema pada ekstremitas dan wajah, perubahan warna urin yaitu berwarna seperti teh pekat karena proteinuria dan hematuria serta frekuensi BAK berkurang, pada saat palpasi didapatkan nyeri tekan ringan pada area kostovertebra.
  1. B5 ( Bowel )
Nafsu makan menurun, mual dan muntah
  1. B6 ( Bone and Integumen )
Pasien tampak lemah, terdapat edema pada ekstremitas dan sembab di sekitar mata
  1. Pemeriksaan Penunjang
  1. Pada pemeriksaan urinalisis terdapat hematuria dan proteinuria.
  2. Pada pemeriksaan laboratorium BUN: 25 mg/dl, Albumin: 3 mg/dl dan Hb: 10 gr/dl

  1. ANALISA DATA
Data
Etiologi
Masalah
DS :Pasien mengeluh nyeri tekan ringan pada area kostovertebra saat dilakukan palpasi.

DO :
P =  glomerulonefritis akut
Q = -
R = nyeri pada daerah kostovertebra
S = pasien mengatakan skala nyeri 5 (0-10)
T = nyeri hilang timbul

Glomerulonefritis akut
Inflamasi pada glomerulus
Terbentuk substansi nyeri
Nyeri akut
Nyeri akut b.d adanya proses inflamasi pada glomerulus
DS : Pasien mengeluh mata dan kaki bengkak

DO :
  • Terdapat edema pada ekstremitas dan sembab di sekitar mata pasien.
  • Terjadi peningkatan BB pasien di atas normal
  • Terjadi hipertensi
Glomerulonefritis akut
Aktivasi komplemen
Menarik leukosit dan trombosit ke glomerulus
Pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan parut
Membran glomerulus menebal
Penurunan volume urin,
 retensi cairan dan natrium,
Kelebihan volume cairan
Kelebihan volume cairan
DS : Pasien mengeluh tidak nafsu makan dan mengalami mual dan muntah

DO :
  • A : BB meningkat karena cairan edema
  • B : Hb 10gr/dL, Albumin 3 gr/dL, BuN 25 mg/dl
  • C : klien hanya menghabiskan setengah dari porsi makan, klien tampak lemas.
  • D : klien mendapatkan terapi tinggi kalori .
Glomerulonefritis akut
Aktivasi komplemen
Gangguan permeabilitas selektif kapiler glomerulus
Protein plasma dan eritrosit  bocor melalui glomerulus
Proteinuria & hematuria
Respon sistemik : Mual, muntah,anoreksia
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DS : Pasien mengatakan dirinya merasa lemas

DO :
  • Pasien tampak pucat dan lemah
  • Proteinuria
  • Konjungtiva anemis
  • Edema ekstremitas
Glomerulonefritis
Akut
Kapiler glomerulus
Bocor
Protein yang dibentuk ginjal keluar
dalam urin
Proteinuria
Tubuh lemas
Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas b.d proteinuria


  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
  1. Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamasi glomerulus
  2. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan fungsi ginjal terganggu, retensi cairan dan natrium
  3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,anoreksia
  4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan edema ekstremitas, anemia, kelemahan fisik secara umum

  1. INTERVENSI KEPERAWATAN
  1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamasi glomerulus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam terdapat penurunan respon nyeri
Kriteria Hasil :
  • Pasien menyatakan penurunan rasa nyeri, skala nyeri 0 -1 ( 0 – 4 )
  • Didapatkan TTV dalam batas normal, wajah rileks, tidak terjadi penurunan perfusi perifer, produksi urin > 600 ml / hari
Intervensi
Rasional
  1. Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST





  1. Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera.


  1. Lakukan manajemen nyeri :
  1. Atur posisi fisiologis



  1. Istirahatkan pasien




  1. Manajemen lingkungan : berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung





  1. Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam


  1. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri






  1. Tingkatakan pengetahuan tentang : sebab – sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi manajemen nyeri keperawatan

Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak.

Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan oksigen ke jaringan yang mengalami iskemia akibat respon peradangan glomerulus.

Istirahat akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer dan akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan.

.Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan.

Meingkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan.

Distraksi ( pengalihan perhatian ) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.

Pengetahuan yang didapat membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.

Analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

  1. Dx 2 :Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan fungsi ginjal terganggu, retensi cairan dan urin
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapakan terjadi keseimbangan cairan dan tidak ada edema pada tubuh serta pengeluaran urin kembali normal
Kriteria Hasil :
  • Tidak ada tanda dan gejala kelebihan cairan yang ditandai dengan :
  1. Output dan input cairan seimbang.(1-2cc/kg BB/jam-dewasa, anak-anak ½ - 1 cc/kg BB/jam)
  2. Tekanan darah normal (100-120/60-90 mmHg)
  3. Denyut nadi normal (80-100x/menit)
  4. Edema ekstremitas berkurang
  5. Berat badan stabil
  6. Produksi urin < 600 ml/hari
  7. Pitting edema (-)
Intervensi
Rasional
  1. Kaji adanya edema ekstremitas.


  1. Pantau input dan output urine serta hitung keseimbangan cairan.


  1. Pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, perhatikan hipertensi,nadi kuat, distensi vena leher

  1. Batasi cairan tergantung pada status volume cairan

  1. Timbang berat badan setiap hari.



  1. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium untuk kadar elektrolit


  1. Kolaborasi untuk pemberian diuretic



Curiga gagal kongestif / kelebihan volume cairan.

Pemantauan input dan output urine serta menghitung keseimbangan cairan dapat membantu mengevaluasi status cairan klien

Untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat meningkatkan beban kerja jantung serta deteksi dini untuk mengetahui timbulnya komplikasi.

Menghindari terjadinya acites/ edema.


Perubahan tiba – tiba dari berat badan menunjukkan adanya gangguan keseimbangan cairan.

Untuk mengetahui kadar elektrolit dalam tubuh klien, sehingga ketidakseimbangan elektrolit dapat dicegah.

Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru.

  1. Dx 3 :Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi dan zat gizi klien terpenuhi optimal
Kriteria Hasil :
  • BB klien meningkat > 4kg sesuai proporsi tubuhnya
  • Nafsu makan klien baik
  • Nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit) dalam batas normal.
  • Klien dapat menghabiskan porsi makan yang diberikan

Intervensi
Rasional
  1. Pantau TTV dan monitoring intake makanan setiap hari serta timbang berat badan setiap hari serta laporkan adanya penurunan atau kenaikan.

  1. Hindari pemberian makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus (misalnya, teh, kopi, dan makanan berserat lainnya) dan cairan yang menyebabkan diare (misalnya, apel/ jambu)Berikan makanan yang disukai

  1. Berikan makanan sedikit-sedikit namun sering.



  1. Berikan makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diet TKTPRG ( Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Gula )
Penurunan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi adanya gangguan pada GIT.


Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan gangguan absorbs nutrisi yang diperlukan.





Memberikan makanan sedikit namun sering akan lebih efektif guna sebagai cadangan makanan untuk klien.


Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat perbaikan kondisi, serta mengurangi beban kerja jantung.

  1. Dx 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan  edema ekstremitas, anemia, kelemahan fisik secara umum
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas
Kriteria Hasil :
  • Taat pada rencana aktivitas
  • Tekanan darah dalam batasan normal
  • Mampu melakukan aktivitas secara mandiri tanpa gejala yang berat

Intervensi
Rasional
  1. Pantau kekurangan protein tubuh yang berlebihan.


  1. Berikan diet TKTP.




  1. Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat.




  1. Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.

  1. Evaluasi tanda vital saat kemajuanaktivitas terjadi.
Protein merupakan salah satu sumber energi bagi tubuh dan penurunan protein menyebabkan kelemahan

Kalori dan karbohidrat merupakan sumber energi / ATP terbesar bagi tubuh untuk melakukan aktifitas sehari – hari
.
Dengan mengurangi aktivitas, maka akan menurunkan konsumsi oksigen jaringandan memberikan kesempatan jaringanyang mengalami gangguan dapatmemperbaiki kondisi yang optimal.

Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return

Untuk mengetahui setiap perubahan
yang terjadi selama aktivitas.

  1. EVALUASI
Hasil yang diharapkan setelah mendapat intervensi, meliputi hal – hal sebagai berikut :
  1. Terjadi penurunan skalanyeri.
  2. Asupan dan haluaran pasien seimbang
  3. Kelebiham volume cairan dapat diturunkan, sehingga tidak terjadi edema dan berat badan pasien kembali normal.
  4. Terjadi peningkatan asupan nutrisi.
  5. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari



DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary, SPC, MN, dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC
Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Brunner, Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Harnowo, Sapto. 2001. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Mansjoer, Arif M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran  ed 3, jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Morgan, peer, Kathleen. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan klinikal pathways. Jakarta: EGC 
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Rachmadi, Dedi. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut
Saputra, Lyndon. 2012. Medikal Bedah Renal dan Urologi. Tangerang: Binapura Aksara Publisher
Suharyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Staf Pengajar IKA UI. 2004. Standar Pelayananan Medis IDAI. Jakarta: Erlangga