السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Sunday 31 March 2019

Askep pada Klien dengan Efusi Pleura

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Anatomi dan Fisiologi Paru
Anatomi paru-paru adalah struktur atau bagian-bagian dari paru-paru. Paru-paru itu sendiri sangat penting bagi tubuh manusia, sebab salah satu fungsi paru-paru adalah memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida ketika tubuh menghirup udara.

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelebung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah yang terdapat pada paru-paru kiri dan kanan (Price, 2006).


Gambar 2.1 Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oeh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua :
  1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.
  2. Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding dada

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna unuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernafas bergerak.

  1. Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat penumpukan cairan yang tidak normal dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang berlebihan dari permukaan pleura yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis sehingga dapat membatasi fungsi paru-paru. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan (Syahruddin, dkk, 2009).

Rongga pleura dibatasi oleh pleura parietal dan pleura visceral. Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) cairan secara konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Hampir semua cairan ini dikeluarkan oleh limfatik pada pleura parietal yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2 mL/kg/jam. Cairan pleura terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura melebihi kecepatan absorbsinya (Khairan, dkk, 2012). Efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang mengganggu system pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. (Muttaqin, 2008).

Efusi pleura dapat menunjukkan terdapat penyakit paru, pleura, maupun ekstra paru. Efusi pleura dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura. Efusi pleura eksudatif terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler, obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan (Surjanto, dkk, 2014).

  1. Klasifikasi Efusi Pleura
Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat, transudat terjadi pada peningkatan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jantung kongestif. Transudasi juga dapat terjadi  hipoproteinemia, seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebut hidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat pengaruh gaya gravitasi.

Penimbunan eksudat biasanya disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening. Eksudat dibedakan dengan transudat dari kadar protein yang dikandungnya dan berat jenis. Transudat mempunyai berat jenis kurang dari 1.015 dan kadar proteinnya kurang dari 3%. Eksudat mempunyai berat jenis dan kadar protein lebih tinggi karena mengandung banyak sel. Terbentuknya transudat dan eksudat bisa juga dikarenakan adanya penyakit lain seperti trauma, neoplasma, infeksi, emboli paru, idiopatik (Djojodibroto, 2009).

  1. Etiologi Efusi Pleura
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi:
  1. Gangguan pada reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena tumor).
  2. Peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura).

Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan-keadaan:
  1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung).
  2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya hipoproteinemia).
  3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri).
  4. Berkurangnya absorbsi limfatik.
  5. Krangnya absorbsi limfatik.

Efusi pleura dapat menunjukkan terdapat penyakit paru, pleura, maupun ekstra paru. Efusi pleura dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura. Efusi pleura eksudatif terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler, obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan (Surjanto, dkk, 2014). Berikut beberapa penyebab efusi pleura dilihat dari dari jenis cairan yang dihasilkannya, antara lain:
  1. Transudat
  1. Gagal jantung kongestif ( gagal jantung kiri )
  2. Sirosis hepatis dengan ascites
  3. Hipoptoteinemia pada nefrotik sindrom
  4. Obstruksi vena cava superior
  5. Pasca bedah abdomen
  6. Dialisis peritoneal
  7. Atelektasis akut
  8. Kesalahan penempatan kateter subklavia
  9. Keganasan mediastiunum dini
  10. Emboli paru
  11. Glomerulonefritis akut
  12. Pasca bypass koroner
  13. Sindrom Meigs

  1. Eksudat
  1. Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan abses).
  2. Neoplasma (Ca. Paru-paru, metastasis, limfoma, dan leukimia).
  3. Emboli/ infark paru-paru.
  4. Penyakit kolagen (SLE dan rhematoid arthritis).
  5. Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, ruptur esofagus, dan abses hati).
  6. Trauma (hemotoraks dan khilotoraks).

  1. Efusi hemoragi
  1. Tumor
  2. Trauma
  3. Infark paru
  4. Tuberculosis

Tabel 2.1 Perbedaan cairan transudat dan eksudat (somantri, 2008)
Indikator
Transudat
Eksudat
Warna
Bekuan

Berat Jenis
Leukosit
Eritrosit
Hitung jenis
Protein Total
LDH
Glukosa
Fibrinogen
Amilase
Bakteri
Kuning pucat dan jernih
(-)

<1018
<1000 /uL
sedikit
MN (limfosit/mesotel)
<50% serum
<60% serum
=plasma
0,3-4%
(-)
(-)
Jernih, keruh, purulen, dan hemoragik
(-)/(+)
>1018
Bervariasi, >1000/uL
Biasanya banyak
Terutama PMN
>50% serum
>60% serum
= / < plasma
4-6 % atau lebih
>50% serum
(-) / (+)

  1. Patofisiologi Efusi Pleura
Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari) peradangan atau keterlibatan neoplasma.

Bila radang terjadi pada pleura, maka cairan radang juga dapat mengisi jaringan sehingga terjadi gelembung. Cairan yang terjadi akibat radang mengandung banyak protein sehingga berat jenisnya lebih tinggi dari pada plasma normal. Begitu pula cairan radang ini dapat membeku karena mengandung fibrinogen. Cairan yang terjadi akibat radang ini disebut eksudat. Jadi sifat-sifat eksudat ialah mengandung lebih banyak protein daripada cairan jaringan normal, berat jenisnya lebih tinggi dan dapat membeku. Cairan jaringan yang terjadi karena hal lain dari pada radang, misalnya karena gangguan sirkulasi, mengandung sedikit protein, berat jenisnya rendah dan tidak membeku, cairan ini disebut transudat. Transudat misalnya terjadi pada penderita penyakit jantung. Pada penderita payah jantung, tekanan dalam pembuluh dapat meninggi sehingga cairan keluar dari pembuluh dan masuk ke dalam jaringan. Pasien dengan efusi pleura yang awalnya normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parietalis karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura (Tambayong, 2000).

Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya efusi pleura. Peningkatan pembentukan cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskuler (tekanan osmotic yang dilakukan oleh protein).

Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan tergantung atas kekuatan relatif paru-paru dan dinding dada. Dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung rekoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk rekoil ke dalam (paru-paru tidak dapat berkembang secara maksimal melainkan cenderung untuk mengempis)(Guyton dan Hall, 1997).

  1. Manifestasi klinis Efusi Pleura
Menurut McGrath E (2011) Gejala yang sering timbul pada efusi pleura adalah sesak, dispneu. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi pleura yang luas akan menyebabkan sesak nafas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar, pekak saat diperkusi. Egofoni akan terdengar di atas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terjadi efusi pleura kecil sampai sedang, dipsnea mungkin saja tidak terdapat. Berikut tanda dan gejala:
  1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
  2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
  3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi  penumpukan cairan pleural yang signifikan.
  4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
  5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
  6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

  1. Pemeriksaan Diagnostik Efusi Pleura
Pemeriksaan diagnostik efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi paru, biospsy, dan analisa cairan pleura. Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsnea. Menurut Somantri (2007) pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar.

  1. Pemeriksaan Radiologi
Pada Fluoroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari 300cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300cc, frenicocostalis tampak tumpul dan diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikannya, perlu dilakukan dengan foto thoraks lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus). Foto ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit. Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinis yang membaik dapat lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksaan foto thoraks.

  1. Torakosintesis
Alat ini berguna dalam diagnosis efusi pleura yang meragukan, dalam penentuan stadium tumor, dalam mengangkat benda asing, dalam membantu pleurodesisi teraupetik untuk efusi ganas, dan evakuasi hemotoraks. Torakosintesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis, dan untuk menghilangkan dipsnea. Namun bila penyebab dasar adalah malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torasentesis berulang menyebabkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru.

Agens yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin, dimasukkan ke dalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut. Setelah agens dimasukkan, selang dada diklem dan pasien dibantu untuk mengambil berbagai posisi untuk memastikan penyebaran agens secara merata dan untuk memaksimalkan kontak agens dengan permukaan pleural. Selang dilepaskan klemnya sesuai yang diresepkan, dan drainase dada biasanya diteruskan beberapa hari lebih lama untuk mencegah reakumulasi cairan dan untuk meningkatkan pembentukan adhesi antara pleural viseralis dan parietalis.

Modalitas penyakit lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah pleurektomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan eksudat, posedur diagnostic yang lebih jauh dilakukan untuk menetukan penyebabnya. Pengobatan untuk penyebab primer kemudian dilakukan

  1. Pleurodesis
Pada efusi pleura karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat (tetrasiklin, kalk, dan bieomisin) melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi kembali.

  1. Pengukuran Fungsi Paru (Speromerti)
Pengukuran kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleura pada tuberculosis kronis tahap lanjut.

  1. Biopsi pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura melalui biopsy jalur perkutaneus. Biopsy ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit. Pada saat biopsi pleura harus dilakukan pada saat yang sama. Specimen dikirim ke laboratorium untuk :
  1. Pemeriksaan mikroskopik
  2. Kultur bakteri, termasuk tuberkolosis
  3. Histologi
  4. Sitology untuk mencari sel ganas; dan

Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopis biasanya dapat berupa cairan hemoragi,eksudat dan transudat.
  1. Haemorrhagic pleura effusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkulosis.
  2. Yellow exudate pleural efusion, terutama terjadi pada keadaaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia dan perikarditis konstriktif
  3. Clear transudate pleural effusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner

  1. Pemeriksaan penunjang
  1. Foto Thoraks
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horisontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Disini perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus.

  1. CT Scan
Pada kasus kanker paru Ct Scan bermanfaat untuk mendeteksi adanya tumor paru juga sekaligus digunakan dalam penentuan staging klinik yang meliputi:
  1. menentukan adanya tumor dan ukurannya.
  2. mendeteksi adanya invasi tumor ke dinding thorax, bronkus, mediatinum dan pembuluh darah besar.
  3. mendeteksi adanya efusi pleura.

Disamping diagnosa kanker paru CT Scan juga dapat digunakan untuk menuntun tindakan trans thoracal needle aspiration (TTNA), evaluasi pengobatan, mendeteksi kekambuhan dan CT planing radiasi.

  1. Penatalaksanaan dan Terapi Efusi Pleura
  1. Thorakosentesis
Pengelolaan efusi pleura ditunjukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk melakukan thorakosentesis adalah:
  1. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh cairan dalam rongga pleura.
  2. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
  3. Bila terjadi reakumulasi cairan.

Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan edema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak.

Kerugian thorakosentesis adalah:
  1. Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan.
  2. Dapat menimbulkan infeksi di ronga pleura.
  3. Dapat terjadi pneumothoraks.

  1. Pemasangan WSD
WSD (Water Seal Drainage) adalah suatu tindakan pemasangan kateter pada rongga pleura untuk mengeluarkan cairan yang berupa eksudat maupun transudat secara tertutup. Sehingga cairan dari rongga pleura dapat dialirkan keluar untuk mempertahankan   tekanan negatif rongga pleura tersebut.

  1. Pleurodesis
Pleurodesis bertujuan untuk melekatkan pleura viseral dan pleura parietal sehingga mencegah akumulasi baik udara pada pneumotoraks ataupun cairan pada efusi pleura di dalam rongga pleura. Pleurodesis telah direkomendasikan oleh ATS dan BTS sebagai terapi paliatif pada pasien efusi pleura ganas yang berulang, memiliki gejala sesak napas dan prognosis lebih dari 1 bulan. Pleurodesis dilakukan bila paru telah mengembang setelah dilakukan torakosintesis terapeutik dan keluhan berkurang, tidak terdapat obstruksi bronkus dan trapped lung. Bronkoskopi sebaiknya dikerjakan sebelum pleurodesis untuk mengetahui obstruksi endobronkial (Soehardiman, dkk, 2014). Kriteria penilaian keberhasilan pleurodesis:
  1. Keberhasilan lengkap bila gejala membaik dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada reakumulasi cairan pada pemeriksaan foto toraks sampai pasien meninggal dunia.
  2. Keberhasilan sebagian bila gejala sesak timbul karena efusi pleura dan reakumulasi cairan pleura ( < 50% pada pemeriksaan foto toraks).
  3. Kegagalan pleurodesis bila tidak memenuhi kriteria di atas.

  1. Komplikasi Efusi Pleura
  1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat padajaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran pleura tersebut.

  1. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.

  1. Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.

  1.  Pemasangan WSD
Pemasangan pipa WSD ( Water Seal Drainage) yang besar dapat menimbulkan rasa sakit ayang sangat. Pemberian lidokain 200 mg mungkin dapat mengatasi rasa sakit ini untuk sementara waktu. Dapat timbul infeksi ringan yang ditandai dengan panas yang subfebril     setelah 48 jam dilakukan tindakan sklerosis, terutama bila digunakan zat quinakrin. Sklerosis yang digunakan bersama-sama dengan sitostatik tidak menunjukkan hasil lebih baik.

  1. Prognosis Efusi Pleura
Prognosis Harapan hidup bervariasi dari 3 bulan sampai dengan 4 tahun, dengan waktu terpanjang pada penderita limfoma. Namun, dengan semakin majunya ilmu kedokteran, dunia farmasi dan teknologi kedokteran, pada umumnya prognosis efusi pleura adalah baik, kecuali bila penyakit dasarnya adalah suatu keganasan. Prognosis sangat bervariasi dan tergantung pada faktor penyebab dan ciri efusi pleura. Pasien yang mencari pertolongan medis lebih dini karena penyakitnya dan dengan diagnosis yang tepat serta penatalaksanaan yang tepat pula memiliki angka komplikasi yang lebih rendah dan tergantung pada penyakit dasarnya. Prognosis akan buruk pada efusi pleura berat terutama Ph atau kadar gula cairan rendah. (Muttaqin, 2008).   

Secara teoritis tingkat kegawatan pleuritis eksudatif ditentukan oleh tiga faktor:
  1. Jumlah cairan yang sedemikian banyaknya sehingga terjadi perburukan fungsi restriktif.
  2. Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin memperburuk keadaan penderita.
  3. Jenis cairan. Sero hemoragik lebih berbahaya dari non sero hemoragik. Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam satuan waktu.           

  1. Asuhan Keperawatan Efusi Pleura
  1. Pengkajian
  1. Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, Bahasa yang dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan pasien.

  1. Keluhan utama
Biasanya pada pasien dengan efusi pleuradidapatkan keluhan berupa sesak napas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisir terutama pada saat batuk dan bernapas.

  1. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan efusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritic, berat badan menurun, dan sebagainya. Peru juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul, apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan tersebut.

  1. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kepada pasien apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites, dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.

  1. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti ca paru, asma, tb paru, dan lain sebagainya.

  1. Pemeriksaan fisik
B1 (breath)          : Inspeksi: batuk, sesak apas, penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi pernapasan meningkat (takipneu), ekspansi dada simetris. Palpasi: vocal fremitus menurun. Perkusi: pekak, redup. Auskultasi: bunyi napas menghilang atau tidak terdengar di atas bagian yang terkena.

B2 (blood)Inspeksi: perhatikan letak ictus kordis yang normal berada pada ICS 5 pada midclavicular line kiri selebar 1 cm untuk mengetahui pergeseran jantung. Palpasi: perhatikan kedalaman dan keteraturan denyut jantung untuk mengetahui HR. Perkusi: untuk menentukan batas jantung cari daerah yang terdengar pekak sehingga dapat diketahui apakah ada pergeseran jantung akibat efusi pleura. Auskultasi: dengarkan apakah ada bunyi jantung III.

B3 (brain): perhatikan tingkat kesadaran (GCS), kaji apakah terjadi gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan.

B4 (bladder): pengukuran volume urin output dihubungkan dengan banyaaknya intake cairan, perlu memonitor adanya oliguria, tanda awal syok.

B5 (bowel): apakah abdomen mendatar atau buncit, umbilicus menonjol atau tidak, pada klien biasanya dapat muncul mual muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (bone) : perhatikan adanya edema peritibial, rasakan pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta lakukan pemeriksaan CRT. Selanjutnya lakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dengan bagian kanan.

  1. Diagnosa keperawatan
  1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ekspansi paru, kerusakan membrane alveolar kapiler
  2. Gangguan pola napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru-hiperventilasi.
  3. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
  4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
  5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan
  6. Hipertermia berhubungan dengan
  7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan
  8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

  1. Intervensi keperawatan
No
Dx keperawatan
NOC
NIC
Ket.
1.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ekspansi paru, kerusakan membrane alveolar kapiler

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam tidak terjadi gangguan pertukaran gas.
NOC: respiratory status: gas exchange
  1. PaO2 = 80-100 mmHg
  2. PaCO2 = 35-45 mmHg
  3. pH arteri = 7.35-7.45
  4. SaO2 = 94-98 mmHg
  5. Tidak terjadi dyspnea saat istirahat
Oxygen Therapy (3320)
  1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
  2. Berikan oksigen tambahan sesuai advis
  3. Anjurkan klien untuk mendapat oksigen tambahan sebelum kebutuhan oksigen meningkat
  4. Monitoring adanya pucat atau sianosis
  5. Monitoring efektifitas terapi oksigen (pulse oxymetry, BGA)
  6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
  7. Monitoring aliran O2 liter
  8. Monitoring posisi dalam oksigenasi
  9. Monitor tanda-tanda keracunan oksigen dan atelektasis
  10. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa tidak mengganggu klien dalam bernafas

2.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru-hiperventilasi
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam pola pernafasan efektif
NOC: Respiratory Status (0415)
  1. Tidak ada ronchi atau wheezing
  2. TTV normal (TD 100-120/ 60-90 mmHg, RR 20 x/mnt, N : 60-100 x/mnt, S : 36,2 – 37,5 oC)
  3. Suara napas vasikuler
  4. Saturasi Oksigen: >95%

Airway Management (3140)
  1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (semi fowler)
  2. Identifikasi klien yang membutuhkan insersiaktual atau potensial nafas
  3. Berikan terapi fisik dada yang sesuai
  4. Ajarkan nafas dalam
  5. Berikan bronkodilator
  6. Berikan pengobatan nabulaizer
Oxygen therapy (3320)
  1. Bersihkan mulut, hidung dan sekresi trakea yang sesuai
  2. Pertahankan kepatenan jalana nafas
  3. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan advis
  4. Monitoring liter aliran oksigen
  5. Monitoring posisi perangkat pemberian oksigen
  6. Monitoring efektifitas terapi oksigen, misalnya pulse oksimetri, BGA yang sesuai
Respiratory Monitoring (3350)
  1. Monitoring pola irama kedalaman, serta usaha klien pada saat respirasi
  2. Catat perubahan pergerakanan dada, kesimetrisan otot bantu nafas
  3. Monitoring kepatenan jalan nafas
  4. Monitoring saturasi oksigen
  5. Auskultasi suara nafas
  6. Catat adanya perubahan SaO2, Co2 tidal, SVO2, dan nilai BGA

3.
Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam nyeri hilang
NOC: Selama perawatan nyeri klien dapat teratasi/ hilang
Pain level (2102)
  1. Ekspresi wajah tampak tenang/ tidak gelisah (5)
  2. Skala nyeri 0 (5)
  3. RR normal (12-20 x/ menit) (5)
Pain Control (1605)
  1. Pasien dapat mengontrol nyeri (5)
Comfort Status (2008)
  1. Pasien merasa lebih baik dwngan kondisinya/ nyeri sudah hilang (5)

Pain management
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
  2. Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
  3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
  4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
  5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
  6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
  7. Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
  8. Tingkatkan istirahat

4.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan seama 1 x 24 jam intoleransi aktivitas tertangani
NOC: activity tolerance (0005)
  1. Oksigen terpenuhi saat beraktivitas
  2. Nadi normal (60-100x/menit)
  3. RR normal (12-20x/menit)
  4. TD normal (S: 100-120 mmHg, D: 60-90 mmHg)
  5. Kemudahan ADL
  6. Kekuatan otot ekstremitas atas dan  bawah meningkat
Exercise promotion (0200)
  1. Menilai kemampuan individu dalam latihan fisik
  2. Motivasi individu untuk memulai program latihan
  3. Menginformasikan tentang manfaat latihan fisik bagi kesehatan
  4. Memantau kepatuhan untuk melaksanakan latihan fisik

5.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam perawatan diri klien terpenuhi
NOC:
Self care: bathing
  1. Klien diseka
  2. Membasuh bagian atas
  3. Membasuh bagian bawah
  4. Daerah perineal dibersihkan
Self care: toileting
  1. Klien mampu mengosongkan bowel
  2. Klien mampu mengosongkan bladder
Self care: eating
  1. Makanan disiapkan
  2. Makanan dikonsumsi oleh klien
  3. Klien mampu menelan makanan secara mandiri
Bathing
  1. Gunakan air dengan suhu yang tepat
  2. Monitoring kondisi kulit ketika mandi
  3. Gunakan perawatan hygiene lainnya
Perineal hygiene
  1. Lakukan dengan hygiene
  2. Jaga perineum agar tetap kering
  3. Bersihkan perineum dengan teratur
  4. Lakukan perineal care dengan posisi dan privasi senyaman mungkin
Toileting
  1. Fasilitasi toileting
  2. Monitoring integritas kulit
Feeding
  1. Identifikasi kebutuhan makanan klien
  2. Identifikasi kemampuan menelan
  3. Identifikasi alat yang digunakan
  4. Ikuti makanan dengan air bila perlu
  5. Apabila menggunakan sonde perlu cek sode apakah benar masuk ke lambung

6
Hipertermi berhubungan dengan  peningkatan metabolisme

Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam hipertermi pada pasien teratasi
NOC
Thermoregulasi
  1. Suhu tubuh dalam batas normal (35,5ᵒ-37,5ᵒ C)
  2. Nadi dalam batas normal (60-199 x/ menit)
  3. RR dalam batas normal (12-20 x/ menit)
  4. Pasien tidak merasa pusing
  5. Pasien merasa nyaman
  6. Tidak ada perubahan warna kulit
Fever treatment
  1. Monitor suhu sesering mungkin
  2. Monitor warna dan suhu kulit
  3. Monitor penurunan tingkat kesadaran
  4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
  5. Monitor intake dan output
Temperature regulation
  1. Berikan anti piretik:
  2. Kelola Antibiotik:
  3. Selimuti pasien
  4. Berikan cairan intravena
  5. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
  6. Tingkatkan sirkulasi udara
  7. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Vital sign monitoring
  1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
  2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
  3. Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa)

7.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan fisiologis: sesak nafas
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam  gangguan pola tidur pasien teratasi dengan kriteria hasil:
NOC:
Sleep : Extent ang Pattern
  1. Jumlah jam tidur dalam batas normal ( 6-8 jam)
  2. Pola tidur,kualitas dalam batas normal (tidak sering bangun)
  3. Perasaan fresh sesudah tidur/istirahat
  4. Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
Sleep Enhancement
  1. Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur
  2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
  3. Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca)
  4. Ciptakan lingkungan yang nyaman
  5. Kolaburasi pemberian obat tidur


8.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurng dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekurangan intake nutrisi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam nutrisi klien terpenuhi
NOC
Nutritional Status (1004)
  1. IMT >18,5
  2. Porsi makan dari rumah sakit habis
  3. BUN (7-18 mg/dL)
  4. Hb (10,8-14,2 g/dL)
  5. Albumin (3,8-4,4 g/dL)
  6. HCT (37,7-53,7 %)
Nutrition Management (1100)
  1. Kaji adanya alergi makanan
  2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
  3. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  4. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
  5. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
  6. Monitor lingkungan selama makan
  7. Jadwalkan pengobatan  dan tindakan tidak selama jam makan
  8. Monitor turgor kulit
  9. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
  10. Monitor mual dan muntah
  11. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
  12. Monitor intake nuntrisi
  13. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
  14. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
  15. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
  16. Kelola pemberan anti emetik
  17. Anjurkan banyak minum
  18. Pertahankan terapi IV line
  19. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval







DAFTAR PUSTAKA

Annisa, R. (2005) At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Bulechek, G . M. Howard K. B., Joanne M. D. (2013) Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition United Station Of America : Mosby. E
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada praktik Klinis. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal 25.
Djojodibroto, Darmanto R. 2009. Resiprologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC. Hal 175.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Graber, Mark, dkk. 2006. Dokter Keluarga University of Lowa. Jakarta : EGC
Herdman, T. H. (2014). Nursing Diagnosis : Definition and Classification 2015/2017 Tenth Edition. Oxford : Wilky Blackwell
Jonathan, G. (2007) At a Glance Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta. Erlangga
Moorhead, S. Marion. J. Meridehan, L. M. Ellisabeth, S. (2013) Nursing Outcome Classification (NOC): Meassurement of Health Outcomes Fifth Edition United America : Mosby Elsevier.
McGrath E. 2011. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach. American Journal of Critical Care 2011; 20: 119-128.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam. 2011. Proses dan Dokumentasi Keperawatan, Konsep dan Praktika, ed.2. Jakarta: Salemba Medika.
Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC
Pradip, R. Patel. (2007) Lecture Notes : Radiologi. Jakarta : Erlangga
Price, Sylvia A., & Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses–Proses  Penyakit  Vol. 1 Ed 6. Jakarta : EGC.
Rubenstein, David. 2005. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.Surjanto, Eddy, Yusup Subagyo, Jatu Aphridasari, Leonardo. 2014. Penyebab Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RS Dr.Moewardi Surakarta
Soehardiman, Dicky, Wiendo Syah Putra Yahya, Fathiyah Isbaniyah. 2014.  Pleurodesis pada Efusi Pleura Ganas.  Jurnal Respir Indo Vol. 34 No. 4 Oktober 2014. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba medika. Hal 95-96.
Speicher, Carl E  Jawl W Smith. 1996. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Jakarta: EGC. Hal 189.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Hal 107.
Wilkinson, Judith M., & Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (9th ed.). Jakarta: EGC.





0 comments:

Post a Comment

Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.