Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Thursday 30 June 2016

Shock & Kegagalan Multi Organ: DIC, SIRS, SEPSIS, MODS

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


Shock
  1. Definisi
Shock adalah kondisi darurat yang mengancam jiwa yang terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan aliran darah yang cukup. Kurangnya aliran darah berarti sel-sel dan organ tubuh tidak mendaptkan cukup oksigen dan nutrisi. Hal tersebut akan menyebabkan kegagalan fungsi dan organ akan mengalami kerusakan sebagai hasilnya. Shock memerlukan penanganan segera dan dapat memburuk dengan cepat (Heller, 2014).

Shock juga dapat disebut dengan kegagalan sirkulasi perifer akut akibat tidak terkontrolnya peredaran darah atau terganggunya peredaran cairan dalam tubuh. Hal ini ditandai dengan hipotensi, kulit dingin, takikardi dan kecemasan. Shock yang tidak diobati aka berakibat kematian, disebut juga dengan kolaps sirkulasi (Miller & Keane, 2003)

  1. Klasifikasi
shock yang berhubungan dengan tekanan darah rendah dapat dipicu oleh faktor-faktor yang menyerang kekuatan jantung dalam memompa, berkurangnya volume darah dalam sistem tubuh atau meningkatnya diameter pembuluh darah.
Menurut Klaus & Lessnau (2015) ada 4 jenis Shock, diantaranya:

Hypovolemic Shock (Volume rendah).
terjadi ketika darah atau plasma hilang dalam jumlah besar. Sehingga, darah yang tersisa tidak mampu mengisi sistem peredaran darah yang lain meskipun pembuluh darah mengalami vasokontriksi.
Faktor presipitasi:
  1. Absolut Hipovolemia: Perdarahan eksternal (perdarahan dari cidera, pembedahan, GI bleeding). Kehilangan cairan tubuh (nuntah-muntah, diare, diabetes insipidus, diabetes militus.
  2. Relatif Hypovolemia: pengumpulan darah atau cairan (obstruksi saluran pencernaan), perpindahan cairan (luka bakar, asites), internal bleeding (faktur tulang panjang), hemothoraks, Vasodilatasi (sepsis)
Manifestasi Klinis:
  1. CRT ↓
  2. Urin Output ↓
  3. Kulit: pucat, dingin, lembab
  4. Ansietas, bingung
  5. Suara Peristaltic usus tidak ada

Cardiogenic Shock
Kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Faktor presipitasi dari syok Kardiogenik:
  1. Disfungsi sistolik: ketidakmampuan jantung untuk memompa darah. Contonya: infrak miokard, cardiomiopati, cidera tumpul yang mengenai jantung, gangguan sistemik parah atau hipertensi pulmonal, gangguan miokard.
  2. Disfungsi diastolick: ketidakmampuan jantung untuk mengisi selama diastole. Contoh: hipertropy ventrikel, cardiomiopati, pericardial tamponade.
  3. Disritmia
  4. Faktor structural.Contoh: stenosis atau regugirtasi, ventricular septal rupture. Tension pneumothorax.
Manifestasi Klinis:
  1. Tekanan darah sistol <90 mmHg
  2. HR >100x/menit
  3. Suara jantung lemah
  4. Urin output <30 ml/hr
  5. Nyeri dada
  6. Disritmia
  7. Crackles
  8. Penurunan cardiac output
  9. Cardiac index <2,2 L/min/m2
  10. Peningkatan arteri pulmonal

Obstructive Shock
obstruksi adalah terdapat halangan untuk aliran darah di pembulu darah. Penyumbatan pada pembulu darah balik vena yang akan menyebabkan strock volume  menurun dan mengakibatkan penurunan  cardiac output dan suplai darah dalam jaringan.
Faktro presipitasinya adalah obstruksi fisik yang menghambat pengisian atau aliran darah sehingga mengurangi  cardiac output. Contoh : tamponade jantung, tension pneumothorax , sindrom vena kava superior, kompartemen sindrom pada abdomen, emboli paru.
Manifestasi klinis:
  1. Tekanan darah turun
  2. Urin output turun
  3. Kulit: pucat, dingin, lembab
  4. Perfusi serebral menurun: ansietas, bingung
  5. Penurunan suara sampai suara tidak ada peristaltik usus

Distributive Shock
Shock yang terjadi karena gangguan penmakaian oksigen sehingga produksi energi oleh sel terganggu (“Peate, Ian, Wild, Karen, and Nair, Muralitharan, 2014).
distributif dapat disebabkan oleh kehilangan tonus simpatis atau pelepasan mediator kimia ke sel-sel. Kondisi yang menempatkan pasien dalam Shock distributif yaitu, Shock neurogenic, Shock anafilaktik dan Shock septik. Berbagai mekanisme yang mengarah pada keadaan awal dalam Shock distributif lebih kauh membagi klasifikasi Shock ini ke dalam 3 tipe :

  1. Shock Neurogenik.
Pada Shock neurogenic terjadi vasodilatasi sebagai akibat dari hilangnya tonus simpatis. Tekanan dalam pembuluh darah menjadi terlalu rendah untuk mendorong nutrisi melintasi membran kapiler, dan metabolisme sel terganggu.
Faktor presipitasi:
  1. Efek hemodinamik akibat adanya cedera tulang belakang dan/atau penyakit pada atau diatas T5
  2. Anastesi spinal
  3. Depresi pusat vasomotor. Contoh : nyeri hebat, obat-obatan, hipoglikemia, cedera
Manifestasi:
  1. Penurunan tekanan darah
  2. Suhu tubuh tidak stabil naik dan turun
  3. Brakikardi
  4. Disfungsi kandung
  5. Perfusi kulit menurun

  1. Shock anafilaktik.
Shock ini disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) tersebut.
Faktor presipitasinya adalah reaksi hipersensitifitas (alergi) terhadap bahan-bahan sensitif. Contoh : media kontras, darah/produk darah, obat-obatan, gigitan serangga, agen anastesi, makanan/bahan makanan tambahan, vaksin, agen lingkungan, lateks
Tanda dan gejala
  1. Gatal dari meatus auditorius eksternal
  2. Dyspnea
  3. Laring edema (stridor) dan mengi (bronkospasme).
  4. Palpitasi dan takikardia
  5. Mual, muntah dan sakit perut
  6. Merasa pingsan
  7. Kehilangan kesadaran.

  1. Shock septik.
Shock septik adalah bentuk paling umum dari Shock distributif oleh infeksi yang menyebar luas dalam pembuluh darah. Penurunan tekanan darah adalah reaksi terhadap infeksi serius yang berkembang di dalam darah. Hal ini menyebabkan respon dari tubuh dikenal sebagai sepsis.
Faktor presipitasi
  1. Infeksi. Contoh : Pneumonia, peritonitis, saluran kemih, saluran napas, prosedur invasive, kateter menetap
  2. Pasien berisiko. Contoh : lansia, pasien dengan penyakit kronis (mis. Diabetes mellitus,penyekit ginjal kronis, gagal jantung), pasien yang menerima terapi imunosupresi atau pasien malnutrisi atau lemah

  1. Patofisiologi
Etiologi penyebab shock seperti ketidakmampuan pompa jantung, invasi dari mikroorganisme, maldistribusi dari volume sirkulasi, kehilangan volume sirkulasi, aktivasi sel imun, kehilangan otot simpatik. Kemudian timbul fase awal shock dimana CO berkurang dan perfusi jaringan terganggu. Setelahnya akan terjadi homeostasis untuk mengembalikan CO, tekanan darah, dan perfusi jaringan. Mekanisme kompensasi dimediasi oleh system syaraf simpatik dan termasuk neural, hormonal, dan respon kimia. Respon neural termasuk peningkatan HR dan kontraktilitas, vasokonstriksi vena dan arteri, dan pemusatan darah ke organ vital.

Kompensasi seperti itu dapat dikaji dengan pemeriksaan adanya takikardi, kulit pucat dan dingin, RR yang meningkat, CRT yang lebih lama, dan perubahan level kesadaran. Kompensasi hormonal termasuk respon renin, stimulasi pituitary anterior dan medulla adreanal. Aktivasi respon renin akan menghasilkan angiotensin 2 yang berespon terhadap vasokonstriksi , pelepasan aldosterone, dan ADH, yang menyebabkan retensi air dan sodium. Kompensasi neural dan kompensasi hormonal menyebabkan inefektif perfusi jaringan dan kegagalan kompensasi (yang mampu dideteksi dengan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmhg)  menyebabkan metabolisme aerob menjadi metabolism anaerob dengan produksi asam laktat. Hal itu menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan meningkatkan kematian seluler yang memicu MODS.

Stimulasi dari pituitary anterior menghasilkan sekresi ACTH, yang menstimulasi korteks adrenal untuk memproduksi glukokortikoid yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah dan pengeluaran katekolamin. Hal tersebut masih bersambung dengan terjadinya MODS dan kompensasi berupa  naiknya serum laktat, deficit basa, output urin yang rendah, dan serum kreatinin yang naik. Stimulasi medulla adrenal menyebabkan pengeluaran dari epineprin dan norepineprin, yang lebih lanjut akan menigkatkan mekanisme kompensasi (Urden,2014).

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan (Talbot, 1997):

Shock kardiogenik
  1. Tes radiologik: Radiografi dada mungkin normal atau terdapat edema paru-paru
  2. GDA: Alkalosis respiratori awal yang berlanjut menjadi asidosis metabolik; terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
  3. Pemeriksaan laboratorium: Penurunan konsentrasi natrium urin, peningkatan osmolalitas urin, peningkatan berat jenis urin; hitung sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit normal; leukositosis, peningkatan BUN, kreatinin serum, K+ dan Ca+.
  4. EKG: Takikardia, disritmia ventrikular

Shock neurogenik
  1. Tes radiologik: Radiografi spinal memperlihatkan fraktur servikalis atau cedera tulang belakang.
  2. GDA: Alkalosis respiratori awal yang berlanjut menjadi asidosis metabolik; mungkin terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
  3. Pemeriksaan laboratorium: Penurunan konsentrasi natrium urin, peningkatan osmolalitas urin, peningkatan berat jenis urin; hitung sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit normal; peningkatan BUN, kreatinin serum.
  4. EKG: Frekuensi nadi jantung normal atau pelan.

Shock anafilaktik
  1. Tes radiologik: Radiografi dada menyatakan edema paru-paru, bronkokonstriksi, edema faring dan laring.
  2. GDA: Alkalosis respiratori ada pada awalnya,  tetapi asidosis metabolik terjadi sebagai shock lanjut; terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
  3. Pemeriksaan laboratorium: Hitung sel darah merah, hemoglobin dan hematokrit meningkat; peningkatan sirkulasi histamin, K+ dan Ca+, peningkatan berat jenis urin, penurunan konsentrasi natrium urin, dan leukositosis.
  4. EKG: Perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, disritmia

  1. Penatalaksanaan
 
  1. Airway
Pastikan jalan napas pasien tidak terhalang; periksa napas mereka. Berikan oksigen seperti yang ditentukan menggunakan masker wajah atau kanul hidung dan pantau efeknya.

  1. Breathing
Perawat harus waspada dalam mendeteksi hiperventilasi terjadi di alkalosis respiratorik yang menyebabkan kelelahan otot pernafasan. Jika ini terjadi, pasien mungkin perlu ventilasi untuk membantu pernapasan

  1. Circulation
  1. Pantau tanda-tanda vital (suhu tubuh, denyut nadi dan laju respirasi, tekanan darah, saturasi oksigen - menggunakan pulse oksimeter) setiap setengah jam untuk pasien berisiko terkena shock dan melaporkan setiap perubahan segera sehingga tindakan bisa cepat diambil. pemantauan terus menerus akan memberikan informasi tentang status pernapasan pasien
  2. Pasien dapat dihubungkan ke monitor EKG untuk menilai status jantung. Perawat harus akrab dengan EKG penelusuran normal jantung sehingga mereka mampu mendeteksi dan melaporkan setiap aritmia kepada orang yang bertanggung jawab
  3. Periksa CRT. Pengisian kapiler lambat menunjukkan bahwa ada vasokonstriksi, yang akan mengakibatkan menurunnya pengiriman oksigen ke jaringan
  4. Periksa nyeri dada dan amati bibir dan kuku jari jika terdapat sianosis, kecemasan dan kegelisahan
  5. Memantau kondisi kulit terutama warna dan suhu, karena dapat menunjukkan keparahan syok. Jika kulit pucat dan berkeringat, ini menunjukkan over aktif aktivitas syaraf simpatik
 
  1. Disability
Kaji status kesadaran pasien (AVPU). Berkomunikasi secara lisan dengan pasien karena sangat penting untuk memastikan bahwa pasien sadar dan waspada. Jika perfusi serebral rendah, menyebabkan hipoksia otak, pasien akan secara bertahap menjadi kurang responsif dan akhirnya pingsan.

  1. Exposure/Enviroment
Pertahankan suhu tubuh pasien. Dengan cara memberikan pakaian atau pun selimut


DIC (Dissaminated Intravascular Coagulation)
  1. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Disseminated Intravascular Coagulation merupakan gangguan umum akibat dari koagulasi atau penggumpalan darah. DIC dapat terjadi dalam bentuk akut, kronis. Proses akut terlihat paling sering pada penyakit kritis (Saunders, 2009). The International Society on thrombosis and hemostatis juga mendefinisikan DIC merupakan sebagai sindrom yang diperoleh dan ditandai dengan adanya aktivasi koagulasi pada intravaskular.

  1. Klasifikasi DIC
1). Acute DIC
Penggumpalan darah yang terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu sampai dua hari dan hal ini mengakibatkan sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan ( I sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau defibrinolysis syndrome.

2). Chronic DIC
Terjadi dalam waktu yang lama, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pada DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah (tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada pada nilai normal, meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC kronik. DIC kronik lebih seringdialami pada pasien dengankanker, perempuan yang membawa dead fetus danpada mereka dengan aneurisma aorta yang besar.

  1. Etiologi
Beberapa penyakit dapat menyebabkan perkembangan DIC, biasanya melalui 1 dari 2 jalur berikut (Levi, 2004):
  1. Respon inflamasi sistemik, yang menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan aktivasi berikutnya koagulasi (misalnya, pada sepsis atau trauma besar).
  2. Pelepasan atau paparan bahan prokoagulan ke dalam aliran darah (misalnya, kanker, cedera otak menghancurkan, atau dalam kasus-kasus kebidanan).
Dalam beberapa situasi (misalnya, trauma besar atau pankreatitis nekrosis berat), kedua jalur dapat hadir.

Tabel penyebab terjadinya DIC (Disseminated Intravascular Coagulation, 2014)
JENIS
PENYEBAB
Infeksi
  1. Bakteri (misalnya, sepsis gramnegative, infeksi grampositive, rickettsial)
  2. Viral (misalnya, HIV, cytomegalovirus [CMV], virus varicellazoster [VZV], dan virus hepatitis)
  3. Jamur (misalnya, Histoplasma)
  4. Parasit (misalnya, Malaria)
Keganasan
  1. Hematologi (misalnya, leukemia mielositik akut)
  2. Metastatik (misalnya, mucinsecreting adenokarsinoma)
Obstetris
  1. Plasenta abruption
  2. Emboli cairan ketuban
  3. Perlemakan liver akut pada kehamilan
  4. Eklampsia
Trauma

  1. Luka Bakar
  2. Kecelakan kendaraan bermotor
  3. Gigitan ular
Transfusi

  1. Reaksi hemolitik
  2. Transfusi

  1. Patofisiologi
Saat terjadi luka, protein dalam darah yang membentuk gumpalan darah perjalanan ke situs cedera untuk membantu menghentikan perdarahan. Jika terjadi DIC, protein ini menjadi aktif di seluruh tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peradangan, infeksi, atau kanker. Gumpalan darah kecil terbentuk di pembuluh darah. Beberapa bekuan ini dapat menyumbat pembuluh dan memotong suplai darah ke organ-organ seperti hati, otak, atau ginjal. Kurangnya aliran darah dapat merusak organ dan mungkin berhenti bekerja dengan benar.

Seiring waktu, protein pembekuan dalam darah akan dikonsumsi atau "habis." Ketika ini terjadi, maka dapat mengakibatkan risiko tinggi perdarahan yang serius, bahkan dari cedera kecil atau tanpa cedera. Dapat juga terjadi pendarahan yang dimulai secara spontan (sendiri). Penyakit ini juga dapat menyebabkan sel-sel darah merah yang sehat untuk memecah ketika mereka melakukan perjalanan melalui pembuluh kecil yang dipenuhi dengan gumpalan (Chen, 2013).

Pada keadaan disseminated intravascular coagulation (DIC), terjadi empat mekanisme secara bersamaan. Mekanisme tersebut adalah (Levi. 2014):

  1. Pembentukan trombin dan tissue factor(TF)
Pembentukan trombin yang terdeteksi pada 3-5 jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia. Paparan TF dalam sirkulasi terjadi melalui gangguan endotel, kerusakan jaringan, atau ekspresi sel inflamasi atau tumor molekul prokoagulan (termasuk TF). TF mengaktifkan koagulasi melalui jalur ekstrinsik melibatkan faktor VIIa. TF-VIIA kompleks mengaktifkan trombin, fibrinogen yang membelah menjadi fibrin sekaligus menyebabkan agregasi platelet. Intrinsik (atau kontak) jalur juga dapat diaktifkan di DIC, meskipun kontribusi lebih untuk hemodinamik ketidakstabilan dan hipotensi daripada aktivasi pembekuan.

  1. Gangguan sistem koagulasi inhibitor
Pembentukan trombin biasanya diatur secara ketat oleh beberapa mekanisme hemostatik. Namun, setelah koagulasi intravaskular dimulai, mekanisme kompensasi kewalahan atau tidak mampu.Fungsi Gangguan berbagai jalur mengatur alam aktivasi koagulasi dapat memperkuat generasi trombin lebih lanjut dan berkontribusi untuk pembentukan fibrin.
Kadar plasma dari inhibitor yang paling penting dari trombin, antitrombin, biasanya nyata berkurang pada pasien dengan DIC. Penurunan ini disebabkan oleh berikut:
  1. Antitrombin terus dikonsumsi oleh aktivasi koagulasi berkelanjutan
  2. Elastase diproduksi oleh neutrofil aktif menurunkan antitrombin serta protein lainnya
  3. Hilangnya Antitrombin yang terus berlanjut karena kebocoran kapiler
  4. Produksi antitrombin terganggu
 
  1. Fibrinolisis tidak sempurna
Fibrin yang diproduksi oleh trombin normalnya dieliminasi melalui proses yang disebut fibrinolisis. Model eksperimental menunjukkan bahwa pada saat aktivasi maksimal koagulasi, sistem fibrinolitik sebagian besar mematikan.

  1. Aktivitas inflamasi
Jalur inflamasi dan koagulasi berinteraksi dengan cara yang cukup besar. Jelas bahwa ada cross-komunikasi antara 2 sistem, dimana peradangan menimbulkan aktivasi pembekuan dan koagulasi yang dihasilkan merangsang aktivitas inflamasi yang lebih kuat.
Banyak faktor koagulasi yang aktif diproduksi di DIC berkontribusi terhadap penyebaran peradangan dengan merangsang pelepasan sel endotel sitokin proinflamasi. Faktor Xa, trombin, dan kompleks TF-VIIA masing-masing telah ditunjukkan untuk memperoleh tindakan proinflamasi. Selain itu, mengingat tindakan anti-inflamasi aktif protein C dan antitrombin, depresi antikoagulan ini di DIC kontribusi untuk disregulasi lanjut peradangan.

  1. Manifestasi Klinis
Terdapat keadaan yang bertentangan yaitu trombosis dan pendarahan secara bersama-sama. Perdarahan lebih umum terjadi daripada trombosis, tetapi trombosis dapat mendominasi bila koagulasi lebih teraktivasi daripada fibrinolisis. Trombosis umumnya ditandai dengan iskemia jari – jari tangan dan ganggren, mungkin pula nekrosis kortekrenal dan infark adrenal hemoragik. Secara sekunder dapat mengakibatkan anemia hemolitik mikroangiopati.

Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat dilihat sebagai petekie, ekimosis dan hematoma di kulit, hematuria, melena, epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisis dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat trombosis mikrovaskuler dapat berupa kesadaran menurun sampai koma, gagal ginjal akut, gagal napas akut dan iskemia fokal dan gangren pada kulit. Jika dalam situasi akut yang mungkin ditemukan:
  1. Perdarahan dan kemungkinan lokasinya meliputi:
  1. Telinga, hidung dan tenggorokan
  2. Saluran cerna
  3. Saluran pernafasan
  4. Infus IV
  1. Kebingungan atau disorientasi.
  2. Demam.
  3. Tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan dewasa (ARDS).
  4. Kulit dapat menunjukkan berbagai tanda-tanda termasuk:
  1. Petekie
  2. Purpura
  3. Berdarah bula
  4. Acral sianosis
  5. Nekrosis kulit dari tungkai bawah (fulminans purpura)
  6. Tanda-tanda thrombosis
  7. Lokalisasi infark dan gangren

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukkan:
  1. Prothrombin time (PT) memanjang (75%)
  2. Activated Partial Thromboplastin time (aPTT) memanjang
  3. Thrombin time ( TT) memanjang
  4. Kadar fibrinogen menurun
  5. Jumlah trombosit menurun
  6. Kadar D-dimer (yang berasal dari fibrin) meningkat yang mengindikasikan trombosis, aktivasi prokoagulan)
  7. Kadar FDP (aktivasi fibrinolitik) meningkat
  8. Kadar antitrombin (AT) yang merupakan pembentuk antitrombin III menurun (dibuktikan oleh konsumsi inhibitor) (90%)
  9. Morfologi sel darah merah menunjukan adanya sitosit pada hitung darah lengkap
  10. Uji faktor pembekuan biasanya ikut mengalami penurunan (Sivula, 2005)
Tabel Nilai normal uji laboratorium
Test
Nilai Normal
Aptt
30-40 detik
d-Dimer
< 250 ng/ml atau <250 mcg/L
Fibrin degradation products (FDP)
<10 mcg/ml
Fibrin monomers
Negatif
Fibrinogen
200-400 mg/dl
Hemoglobin
14-18 g/dl
INR
1,0: normal
2,0-3,0: moderate level anticoagulation
2,5 - 3,5: High level anticoagulation
Thrombin time
15 detik
Platelet count
150.000 – 400.000/mm3
Red blood cell peripheral smear
Normal

Kombinasi peningkatan kadar D- dimer FDP adalah spesifik dan sensitif dalam diagnosis DIC. AT dapat membantu dalam pengkajia keparahan DIC. PT dan PTT yang memanjang serta penurunan kadar fibrinogen merupakan bukti tahab konsumtif awal DIC lanjut. PT, PTT, dan TT yang dapat berubah dengan penggunaan terapi antikoagulan. Trobositopenia, indiktor tidak langsung pembentukan jendalan fibrin merupakan suatu tanda lanjut DIC dan tidak spesifik terhadap proses.uji faktor pembekuan tidak tersedia pada sebaian bear laboratorium standar.

Sistem skoring untuk mendiagnosa DIC antara lain:
  1. Menganalisa faktor resiko DIC, lakukan pengkajian lanjutan jika pasien mempunyai kelainan yang berhubungan dengan DIC
  2. Melakukan screening test yaitu hitung platelet, FDP, d-dimer, PT/INR dan Fibrinogen.
  3. Hasil tes
  1. Platelet counts: >100.000 = 0, sedangkan < 100.000 = 1, < 50.000 = 2
  2. Fibrin-related marker: tidak bertambah= 0, moderate= 2, strong = 3
  3. PT/INR: normal = 0, diatas normal = 1, 2x normal = 2
  4. Fibrinogen: normal = 0, kurang dari normal = 1
  1. Menjumlahkan skor yang didapat dari hasil tes. Jika lebih dari atau sama dengan 5 maka skor sesuai dengan diagnosis DIC. Sedangkan jika kurang dari 5 maka masih belum memenuhi diagnosis DIC perlu dikaji lebih lanjut.

  1. Penatalaksanaan
Pengobatan cenderung sulit karena adanya kombinasi pendarahan dan pembekuan darah. Hal yang sebisa mungkin dilakukan adalah pencegahan DIC dan identifikasi dini. Bila DIC terjadi terapi yang dilakukan bertujuan(DeLoughery, 2009):
  1. Menyingkirkan faktor pencetus atau mengobati penyakit primer. Dengan mengatasi masalah yang mendasari, DIC dapat dikendalikan sehingga koagulasi dapat ulih kembali.
  2. Pengobatan terhadap infeksi , shock, asidosis, dan hipoksia harus dijadikn prioritas.
  3. Terapi heparin dapat mulai diberikan jika terjadi kegagalan organ akibat hipoksia iminen. heparin tidak dianjurkan apabila DIC disebabkan sepsis atau apabila terjadi pendarahan pada sistem saraf pusat ataupun pada kasus pendarahan lain yang parah.
  4. Penggantian cairan untuk mempertahankan perfusi organ semaksimal mungkin. penggantian cairan dapat diberikan dengan memberikan cairan kristaloid untuk mengatasi tahap awal shock. Meskipun terapi penggantian darah dengan darah lengkap, kriopresipitat, sel darah merah, plasma beku segar, dan trombosit sering kali diperlukan, tetapi hl ini tetap saja beresiko karena produk produk darah tersebut dapat meningkatkan proses pembekuan. Pada kondisi tertentu, plasma yang mengandung faktor VIII, sel darah merah dan trombosit dapat diberikan
  5. Transfusi trombosit atau plasma pada pasien DIC untuk pasien dengan perdarahan. Pada pasien DIC yang mengalami perdarahan atau beresiko perdarahan misalnya pasien pasca operasi atau pasien yang mengalami prosedur invasive dan jumlah trombositnya kurang dari 50x90/L maka transfuse trombosit harus dipertimbangkan.
  6. Secara umum pasien dengan DIC tidak harus ditangani dengan agen antifibrinolitik, pasien dengan DIC yang ditandai dengan keadaan hyperfibrinolyticprimer dan dengan perdarahan yang parah dapat diobati dengan analog lisin seperti asam traneksama.

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
  1. Definisi
Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS terdiri dari rangkaian kejadian sistemik yang terjadi sebagai bentuk respons inflamasi. Respons yang terjadi pada SIRS merupakan respons selular yang menginisiasi sejumlah mediator-induced respons pada inflamasi dan imun (Burns M. & Chulay, 2006). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respon klinis terhadap rangsangan (insult) spesifik dan nonspesifik (Leksana, 2013). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan (insult) spesifik dan nonspesifik. Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4 variabel berikut:
1. Suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36 oC.
2. Denyut jantung lebih dari 90 x/menit.
3. Frekuensi napas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) kurang dari 32 mmHg.
4. Leukosit >12.000/μL atau <4.000/μL atau >10% bentuk imatur

  1. Etiologi
Selain infeksi, penyebab lain SIRS meliputi pankreatitis, iskemia, perdarahan, syok, kerusakan organ yang diperantarai oleh reaksi imun, luka bakar. Penyebab bedah tersering (Grace&Borley, 2007) :
  1. Pankreatitis akut
  2. Perforasi viskus dengan peritonitis
  3. Colitis fulminan
  4. Trauma multiple
  5. Transfuse darah massif
  6. Pneumonia aspirasi
  7. Trauma reperfusi pada iskemia
 
  1. Patofisiologi
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
  1. Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi sistemik.
  2. Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
  3. Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
 
  1. Manifestasi Klinis
Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4 variabel berikut (Leksana, 2013) :
  1. Suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36 oC.
  2. Denyut jantung lebih dari 90 x/menit.
  3. Frekuensi napas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) kurang dari 32 mmHg.
  4. Leukosit >12.000/μL atau <4.000/μL atau >10% bentuk imatur

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis SIRS (Burns M. & Chulay, 2006), yaitu:
  1. Pemeriksaan sel darah lengkap
Jumlah sel darah putih > 12.000 sel/ mm3 atau < 4.000 sel/mm3 atau > 10% berbentuk imatur.
  1. Arterial Blood Gas
PaCO2< 32 mmHg
  1. Chest X-ray
Mungkin terlihat normal atau menunjukkan tanda infiltrate.
  1. Kultur dan sensitivitas
Secara umum positive dari sumber yang steril pada keadaan normal.
  1. Computed axial tomography scan
Mungkin negatif atau menunjukkan pengumpulan abses.

  1. Penatalaksanaan
Perbaikan hemodinamik—preload (terapi cairan), afterload, dan contractility—dilakukan pada tahap akhir. Preload: dapat diawali dengan pemberian cairan kristaloid (Ringer’s lactate), dapat dilanjutkan dengan cairan koloid (HES [hydroxyethyl starch]) bila tidak terjadi perbaikan.

Larutan seimbang (balanced solution) adalah cairan yang memiliki komposisi mendekati komposisi cairan tubuh, mengandung elektrolit fi siologis (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan Cl-) yang memberikan kontribusi terhadap osmolalitas, dan dapat mempertahankan keseimbangan asam-basa yang normal dengan bikarbonat atau metabolisable anions.

Cairan koloid HES tersedia dalam beberapa pelarut: NaCl, larutan seimbang, dan Ringer’s acetate. McFarlane dkk. membandingkan pemberian NaCl 0,9 % dengan dosis 15 mL/kgBB/jam pada 30 pasien yang akan menjalani pembedahan pankreas atau hepatobilier. Asidosis metabolik terjadi lebih cenderung terjadi di kelompok salin dibandingkan dengan kelompok elektrolit seimbang. Scheingraber dkk. melakukan studi pada 24 pasien yang akan menjalani operasi ginekologik yang diberi NaCl 0,9 % atau Ringer’s lactate dengan dosis 30 mL/kgBB/jam; pemberian NaCl volume besar dapat mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik karena penurunan SID (strong ion difference).

Pemakaian salin dalam jumlah besar mengakibatkan asidosis hiperkloremik. Wilkes dkk. membandingkan pemberian cairan intravena (HES dalam elektrolit seimbang + Ringer’s lactate) atau salin (HES dalam 0,9% NaCl + salin normal) pada pasien yang akan  menjalani pembedahan mayor.
Kejadian asidosis hiperkloremik lebih tinggi secara bermakna (p=0,0001) di kelompok salin jika  dibandingkan dengan di kelompok yang diberi cairan elektrolit seimbang, sehingga British Consensus Guideline on Intravenous Fuid Therapy for Adult Surgical Patient merekomendasikan pemakaian cairan balanced crystalloid atau cairan koloid (HES) di dalam larutan elektrolit seimbang dibanding cairan salin.

Sepsis
  1. Definisi
Kata sepsis berasal dari istilah Yunani yaitu  busuk atau "untuk membuat busuk". Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi (Widodo, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Martin et al memperkirakan insidens sepsis di Amerika Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000 orang. Insiden diproyeksikan meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Peningkatan mortalitas yang dilaporkan pada studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai 28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang lebih 750.000 episode baru untuk sepsis berat, dengan mortalitas tahunan berkisar 220.000 (29%) di AS.

Tahun 1992 dua konferensi telah mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dengan mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif. Kriteria SIRS dilampirkan pada tabel 1. Sepsis sendiri mewakili SIRS yang diinduksi oleh infeksi, sepsis berat adalah sepsis dengan disfungsi salah satu organ atau system organ dan syok sepsis adalah sepsis berat dengan hipotensi.

Tabel Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine.
Dua atau lebih dari kriteria berikut dibutuhkan :
  1. Suhu tubuh >38°C atau <36°C
  2. Laju nadi >90 kali per menit
  3. Laju pernapasan >20 kali per menit atau pCO2 <32mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik
  4. Leukosit >12.000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% bentuk imatur


Sepsis adalah SIRS yang diikuti oleh terjadinya infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau sering kali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi  atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada:
  1. Asidosis laktat
  2. Oliguria
  3. Atau perubahan akut pada status mental
Berdasarkan pada konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CPR), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult infection, response, and organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.


  1. Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60 sampai 70 % kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphlococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Seain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.

Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infuse substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksik. Peptidoglikan diketahui dapat memberikan agregasi trombosit. Eksotoksik yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya α-hemolisin (S. Aurens), E. Coli hemolisin (E. coli) dapat merusak integritas membrane sel imun secara langsung. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksik gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan system imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan  polipeptida, yang disebut factor nekrosis tumor (Tumor nekrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan SIRS.
  1. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.
  2. Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli, malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
  3. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.
  4. Perawatan antenatal yang tidak memadai.
  5. Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus.
  6. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
  7. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
  8. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus.
Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung kedalam aliran darah. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyebar ke hampir segala sistim organ lain. Kriteria SIRS muncul ketika tubuh mencoba untuk melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini. Penyebab-penyebab bakteri yang umum dari sepsis adalah gram-negative bacilli(contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenis Streptococcus dan jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar jenis bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis. Jenis-jenis Candida adalah beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis. Pada umumnya, seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga tindakan-tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung-sarung tangan steril, masker-masker, dan penutup baju harus dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien.

  1. Patofisiologi
Reaksi inflamasi, dipicu oleh berbagai injury events yang disebut sebagai activators, terdiri atas: 1) mikroorganisme, 2) produk dari mikroorganisme (endotoksin dan eksotoksin), 3) jaringan nekrotik, 4) trauma pada jaringan lunak dan 5) ischemic-reperfusion. Seluruh activator tersebut dapat bertindak sendiri atau bersama-sama sebagai pemicu untuk mulai terjadinya reaksi inflamasi yang memicu reaksi berantai yang disebut sebagai inisiators sehingga menghasilkan respons reaksi inflamasi LIRS dan SIRS (Fry, 2000).

Terminologi sepsis syndrome adalah respons inflamasi dan respon hipermetabolik di tingkat sel, organ, dan sistem organ akibat berbagai pemicu, baik berasal dari mikroorganisme dan produknya atau stimuli eksogen (accidental blunt, trauma penetrasi, surgical trauma, luka bakar, pankreatitis, inflamatory bowel disease, dll). Jika bakteri, fungi atau virus sebagai penyebab terjadinya sepsis syndrome, dipakai istilah sepsis. Infeksi mikroorganisme menghasilkan respons inflamasi secara lokal terhadap mikroorganisme atau invasinya ke jaringan yang pada awalnya steril. Istilah bacteremia berarti adanya bakteri yang terlepas/lolos kedalam sirkulasi. Kondisi viremia dan fungemia merupakan hal yang serupa dengan kejadian bacteriemia, tetapi mikroorganismenya saja yang berbeda. Walaupun pemicu yang berbentuk activator berbeda-beda untuk terjadinya reaksi inflamasi tersebut, akan tetapi patofisiologinya terlepas penyebab apakah infeksi atau non-infeksi, bentuk akhirnya sam. Karena itu, pada saat ini disebut sebagai common pathway of inflamatory respons. Mekanisme pertahanan norma tubuh agar tidak terjadi infeksi, terdiri atas: 1) kulit membran mukosa, 2) sistem fagosit, 3) humoral immunity, dan 4) imunitas selular.

Faktor-faktor penentu untuk terinfeksi atau tidak oleh mikroorganisme, tergantung pada: 1) patogenitas dari mikroorganisme, 2) status pertahanan tubuh host, 3) lingkungan mikroorganisme, dan 4) adanya benda asing.

Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdirir atas lapisan membran terdalam dan mebran terluar. Pada lapisan membran terluar terdapat protein yang disebut LPS (lipopolysaccharide, endotoksin), mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor. Yang sangat penting adalah kemampuan endotoksin/LPS sebagai pemicu terlepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor, yaitu mediator primer. Target sel utama atau efektor utama yang terpicu oleh endotoksin adalah sel endotel pembuluh darah. endotoksisn sendiri dapat menghasilkan efek toksis langsung terhadap sel. Sedangkan mediators yang terlepas akibat terpicu oleh endotoksin disebut sebagai secondary mediators, yang terdiri dari berbagai cytokine yang diproduksi dan dilepaskan secara luas oleh sel efektor: makrofag, monosit dan bermacam jenis sel lainnya yang menghasilkan gejala sepsis. Pada infeksi berat dapat terjadi respons sitokin yang berlebihan serta tidak terkontrol secara baik. Sekresi sitokin yang berlebihan dan diikuti sekresi antagonisnya dalam beberapa hari berturut-turut akan menghasilkan akibat-akibat yang sangat berbahaya, dan hal tersebut disebut dengan auto toxicus (Fry, 2000). 

Respons fisiologis tubuh pada peritonitis umum sekunder terdiri atas interaksi kompleks anatara respons hemodinamik sistemik dan mkrosirkulasi, respons metabolik dan  immunologik yang dikenal sebagai SIRS. Akibat langsung atau tidak langsung respons-respons tersebut, akan terjadi the state of physiological deragment atau “tingkat kekacauan fisiologis”, merupakan konsekwensi dari kontaminasi masif bakteri atau andotoksin yang berakibat selanjutnya terjadi respons inflamasi hebat di rongga peritoneum, sehingga terjadi hal-hal sebagai berikut:
  1. Hilangnya cairan ke rongga ketiga dalam bentuk sekuster, cairan edema dan ekstravasasi cairan ke rongga perotoneum dan kedalam lumen usus, atau keluar melalui muntah atau slang lambung akibat terdapatnya ileus paralitik pada peritonitis.
  2. Akibat selanjutnya terjadi hipovolemia dan shock yang diikuti dengan terjadinya kompensasi viscero-kutaneous vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, berakibat terjadinya disfungsi organ tunggal atau multipel, disebut sebaga single or Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS pada organ-organ splangnik yang dikorbankan perfusinya, taitu pada hati, limpa, ginjal, pankreas dan organ viskus lainnya.
  3. Mikroorganisme dan endotoksin tersebut merupakan pemicu kuat terbentuknya respons imunologik, menghasilkan mediator dan bermacam sitokin serta chemoattratan cytokines atau chemokines, sehingga terjadi respons reaksi inflamasi lokal atau Local Inflammatory Respons Syndrome (LIRS).
  4. Bila pemicu tersebut dalam jumlah masif, segera dihasilka mediator dan sitokin dalam jumlah besar, sehingga berikutnya terjadi respons inflamasi sistemik atau SIRS.
Ganggguan fisiologi yang terjadi sebagai akibat dari reaksi inflamasi hebat tersebut, menyebabkan terjadinyak shock hipovolemik dan berakibat terjadinya gangguan hemodinamik sistemik, terganggunya perfusi pada mikrosirkulasi pada organ terakhir yang berakibat munculnya MODS serta terjadinya metabolik asidosis (physiological deragment) (Siegel et al, 1979).

  1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya di dahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi
  1. Demam,
  2. Menggigil,
  3. Gejala konstitutif seperti lelah, malaise gelisah dan kebingungan.
Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, fraktur digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.

  1. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rectal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, prostatitis.

  1. Pemeriksaan laboratorium
    1. Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada.biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
    2. Lakukan Gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (1-5ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broyh dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam intermiten, bakterimia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotic sudah dimulai, beberapa macam antibiotic dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan
    3. foto abdomen,
    4. CT Scanning,
    5. MRI,
    6. elektrokardiografi,
    7. dan/atau lumbar puncture.

Temuan laboratorium lain :
  1. Sepsis Awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
  2. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum.
  3. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator
  4. Hipoksemia tidak dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlan gejala SIRS dan berat proses penyakit.

  1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
  1. Resusitasi
Mencakup tindakan 
  1. airway (A),
  2. breathing (B),
  3. circulation (C)
Dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).

  1. Eliminasi sumber infeksi
Tujuannya untuk menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.

  1. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

  1. Terapi suportif
  1. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

  1. Terapi cairan
  1. Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
  2. Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
  3. Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
 
  1. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone)

  1. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik

  1. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.

  1. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.

  1. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.

  1. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.

  1. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

  1. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.

Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septik.

Penanganan berdasarkan SSC:
  1. Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h)
Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden hours” merupakan kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab infeksi.

  1. Resusitasi Hemodinamik
Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP ≥ 65mmHg, produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior ≥ 70% atau saturasi mixed vein ≥ 65%

  1. Terapi inotropik dan Pemberian PRC
Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC dapat dipertimbangkan. Hematokrit ≥ 30% diinginkan untuk menjamin oxygen delivery. Meningkatkan cardiac index dengan pemberian dobutamin sampai maksimum 20ug/kg/m.

  1. Terapi Antibiotik
Antibiotik segera diberikan dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik sebaiknya mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti Bahwa pemberian antibiotik yang adekuat dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi dengan mortalitas.

  1. Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi
Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam pertama. Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen jaringan nekrotik atau melepas alat yang potensial terjadi infeksi.

  1. Sepsis Management Bundle (24 h bundle)
  1. Steroid
Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (<300mg/hari) dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan dan vasopressor.

  1. Ventilasi Mekanik
Lung Proteti ve strategies untuk pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan ventilasi mekanik sudah diterima secara luas. Volume tidal rendah (6cc/kg) dan batas plateau pressure ≤ 30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS. Pola pernapasan ini dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif. Pemberian PEEP secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan yang optimal.

  1. Kontrol Gula Darah
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICU dengan menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti  menemukan target GD < 180mg/ dl menurunkan mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl.

  1. Recombinant Human-Activated Protein C (rhAPC)
Pemberian rhAPC tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang rendah atau pada anak-anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan risiko kematian tinggi (APACHE II≥25 atau gagal organ multipel)

  1. Pemberian Produk darah
Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan.

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis:
  1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa  (ABC: airway, breathing, circulation). Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas klien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotop/vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norefinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP (central venous arteri) normal 10-15 cm dari NaCLl; PAW normal (wedge pressure artery paru) 14-18mmHg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infuse cairan.

Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkankan dialysis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, missal, dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.

  1. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Agen antimicrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimicrobial yang tidak menyebabkan pasien memperburuk adalah: karbapenem, seftriakson, safepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon.

Perlu segera diberikan perawatan empiric dengan antimicrobial. Pemberian antimicrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimicrobial dengan spectrum aktivitas luas. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis di identifikasi.

Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis adalah:
  1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.
Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepin) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
  1. Pneumonia nosokomial: sefipin atau iminemsilastatin dan aminoglikosida
  2. Infeksi abdomen : iminepem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida.
Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan amfoterisin-B.
  1. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau pipersilin-tazobaktam.
  2. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
  3. Infeksi SPP: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem.
  4. Infeksi SSP nosokomial SSP: meropenem dan vankomisin.
Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa bahan antimicrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotic menunjukkan macam antimicrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.

  1. Fokus Infeksi Awal Harus Diobati
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic. Angkat organ yang tak terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang ganggren.

MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome)
  1. Definisi
Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS) didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan >2 sistem organ) pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Kejadian MODS sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Penyebab lain adalah trauma dan proses inflamasi non-infeksi. Deskripsi MODS pertama kali menegaskan hubungan kejadiannya dengan infeksi laten atau tidak terkontrol, yang tersering adalah peritonitis dan pneumonia. Namun, infeksi tidak harus selalu ada dan sifatnya lebih sering mengikuti, daripada mendahului, terjadinya MODS. Pada lebih dari 1/3 pasien MODS, tidak ditemukan fokus infeksi. (Tabrani Rab, 2007).
  1. Etiologi
Beberapa jenis jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat menyebabkan MODS, antara lain (Aryanto Suwoto, 2007) :
a. Infeksi (bakteri, virus)
b.Trauma (trauma multiple, pasca operasi, heat injury, iskemia visceral)c. Inflamasi (HIV, eklamsia, gagal hati, tranfusi masif)
d. Non infeksi (reaksi obat, reaksi tranfusi)

  1. Patofisiologi
Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha menjelaskan patofisiologi terjadinya MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi. Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannya peningkatan nyata kadar TNF-a dan IL-1b. Sitokin-sitokin ini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer dan bahwa ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau paling tidak mengurangi terjadinya MODS-like syndrome.9 Hipotesis “gut-as motor,” teori yang paling banyak dibahas saat ini, menyatakan bahwa translokasi bakteri atau produknya menembus dinding usus memicu terjadinya MODS. Malnutrisi dan iskemia intestinal diketahui sebagai penyebab translokasi toksin bakteri ini.

Hipotesis yang terkuat dibanding dua hipotesis patogenesis MODS sebelumnya adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler. Pada kasus sepsis dan SIRS, terdapat penurunan curah jantung, penurunan tekanan perfusi sistemik, atau perubahan selektif perfusi sistem organ, yang mengakibatkan hipoperfusi atau iskemia sistem organ. Perfusi jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan distribusi aliran darah yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya. Ada pula hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel sebenarnya memadai tetapi oksigen tersebut tidak dapat digunakan oleh sel, mungkin disebabkan abnormalitas jalur fosforilasi oksidatif di mitokondria.  Kerusakan endotel vaskuler akibat mediator SIRS menyebabkan defek permeabilitas dan mengganggu integritas endotel, menimbulkan edema atau gangguan fungsi sistem organ. 

Eritrosit yang rusak dengan perubahan bentuk atau property rheologik juga memudahkan terjadinya sumbatan atau obstruksi mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan iskemia seluler.  Hipotesis “two-hit” menyatakan bahwa terdapat 2 pola MODS, dini (dalam 72 jam setelah jejas) dan lambat. MODS dini disebabkan oleh proses “one hit”, sedangkan MODS tipe lambat disebabkan oleh proses “two hit”. Pada model “one hit”, jejas primer sedemikian masifnya sehingga mempresipitasi SIRS berat, menyebabkan MODS yang dini dan seringkali letal. Pada model “two hit”, terjadi jejas akibat pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first hit), menyebabkan SIRS yang moderat. Adanya presipitasi infeksi/ jejas non-infeksi dapat mengamplifikasi keadaan inflamasi awal tersebut menjadi SIRS yang berat, yang cukup untuk menginduksi MODS tipe lambat (umumnya 6-8 hari setelah jejas awal). Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat ditelusuri satu penyebab sebagai pemicu MODS. Oleh karena itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa tampaknya MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasis yang melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah diuraikan di atas.

  1. Manifestasi Klinis (Aryanto Suwoto, 2007)
  1. Disfungsi kardiovaskular; edema dan restribusi cairan
  2. Disfungsi respirasi; takipnea, hipoksemia, hiperkarbia
  3. Disfungsi ginjal; gagal ginjal akut
  4. Disfungsi gastrointestinal; perdarahan stress ulcer, pancreatitis, hiperglikemia
  5. Disfungsi neurologis; ensefalopati

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic MODS bisa dilakukan dengan Pendekatan Klinis dengan Sistem Skoring. Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan status pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas (kecuali Logistic Organ Dysfunction System/ LODS) (Herwanto & Amin, 2009).

Parameter
MODS
SOFA
LODS
Respirasi
PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
Dukungan ventilasi
PaO2/FiO2
Status ventilasi/ CPAP
Koagulasi
Hitung trombosit
Hitung trombosit
Hitung Leukosit
Hitung trombosit
Hati
Konsentrasi bilirubin
Konsentrasi bilirubin
Konsentrasi bilirubin
Waktu protombin
Kardio-vaskular
Frekuensi jantung X (CVP/MAP)
Tekanan darah
Dukungan adrenergik
Frekuensi jantung
Tekanan darah sistolik
SSP
GCS
GCS
GCS
Ginjal
Konsentrasi kreatinin
Konsentrasi kreatinin atau volume urin
Konsentrasi ureum dan kreatinin volume urin

  1. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dibagi atas 2 yakni prevensi dan pengobatan dengan hal ingin dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan, mengobati infeksi, adekuat nutrisional support dan bila mungkin melakukan tindakan seperti hemodialisis. Adapun tindakan yang perlu dilaksanakan:
  1. Pencegahan; teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena penelitian didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan, ruangan isolasi serta pelapisan kateter IV dengan silikon/ zat antibakteri dapat mengurangi insiden MODS.
  2. Resusitasi untuk mengatasi shock dan monitor kulit, tekanan darah, temperature, aliran urin, O2 saturasi dan asam laktat dan pH.
  3. Debridement dari jaringan yang telah membusuk
  4. Mengatasi infeksi yang terjadi baik infeksi intraabdominal, sepsis, infeksi oleh karena pemasangan kateter, infeksi yang berasal dari usus dan infeksi dari daerah lainnya.
  5. Memberikan nutrisi yang cukup baik dengan enteral, parenteral, bila perlu memberikan kalori yang berlebih. Pada MOSF non kalori intake 23-35 kalori/kg/hari (3-5 gr/kg/hari glukosa ditambah dengan 0,5-1 gm/kg/hari protein), untuk memberikan kalori digunakan keseimbangan harris benedict.
  6. Terapi yang diberikan kortikosteroid dan prostaglandin-1 inhibitor. Kemudian diberikan pula imunoterapi, fibronisentin yang merupakan suatu glikoprotein kompleks yang merangsang fagositosis, dan dapat pula diberikan ibuprofen.
  7. Control kausa; hal terpenting dalam penatalaksanaan MODS adalah menghilangkan factor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.


BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

  1. Kasus
Tuan Sardi 46 Tahun dengan BB 55kg dirawat diruang intensive dengan internal bleeding+ post laparotomi+ sepsis+ hemothoraks+ CF 2-6 lateral dextra. Riwayat sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas motor dengan mobil dari arah berlawanan. Sekarang terpasang drainase pada daerah perut hari keenam. Data tanda-tanda vital TD: 114/70 mmHg (Hipotensi), RR: 22x/menit, Nadi: 110x/menit, Suhu: 37o C, Terpasang ventilator dengan data CPAP, FiO2: 40%, PEEP: 8, SaO2: 97%, Hasil Lab: BUN: 30 mg/dl, Albumin: 2,9 g/dl, Platelet: 9,3 (nilai normal: 150.000 – 400.000mm3 ), Na: 140 mmol/dl, Kalium: 4 mmol, Hb: 11,7, leukosit: 14000.

Primary Survey
  1. Airway : Tidak ada sumbatan pada jalan napas
Manajemen: -
  1. Breathing : RR 22x/mnt, Takipnea,
Manajemen: Terpasang ventilator dengan mode CPAP, FiO2= 40%, PEEP: 8, SaO2 = 97%
  1. Circulation : Akral (dingin, basah, pucat), sianosis (+), CRT: >2dt, perdarahan interna (+) pada abdomen dan thorax, TD 114/70; HR 110x/m; S 37 C
Manajemen :
  1. Memonitoring terjadinya edema
  2. Internal bleeding pada :
Thorax: lakukan chesttube WSD
Abdomen: Laparotomy
  1. Memonitoring Capilary Refiil Time
  2. Resusitasi cairan : Normal saline atau albumin atau keduanya untuk mempertahankan PAWP 10 – 17 mmHg
  3. Tranfusi darah : Sesuai kebutuhan untuk mempertahankan Hgb 7-9 g/dl
  1. Disability : kesadaran apatis
Manajemen :
A (allert) : klien sadar
V (verbal) :ketika dipanggil klien tidak berespons, hanya merintih
P (pain) : klien berespons terhadap rangsang nyeri yang diberikan
U (unresponsive) : klien masih dalam keadaan responsive
  1. Exposure : Deformitas (-), Edema (-), adanya jejas di daerah Thorax
Manajemen : -

Secondary Survey
  1. Pemeriksaan fisik
B1 (Breath) : Klien mengalami sesak napas dengan RR 22x/menit
B2 (Blood) : TD 114/70; HR 110x/m; S 37 C
B3 (Brain) : Apatis, Akral (dingin, basah, pucat)
B4 (Bladder) : Prod urin 220 cc/8 jam. Imbang cairan + 1320 cc/ 24 jam
B5 (Bowel) : Post op laparotomy, terpasang drainage di daerah perut hari ke 6 dengan karakteristik berwarna merah kehitaman dan terdapat pus.
B6 (Bone) : Fraktur costae 2-6 lateral dextra.
  1. Pemeriksaan penunjang
  1. Pemeriksaan Lab: BUN : 30 mg/dL, Albumin: 2,9 g/dL, Platelet: 9,3 , Na: 140 mmol, K: 4 mmol, Hb: 11,7, Leukosit: 14000
(pada pasien ini telah mengalami sepsis sehingga harus dilakukan kultur darah).
  1. Pemeriksaan X ray: Adanya fraktur costa 2-6 lateral dextra dan ada (Haemothorax)

Analisis Data
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
Data Subyektif: -
Data Obyektif:
  1. TD 114/70 mmHg
  2. Nadi 110x/menit, iregular
Perdarahan
Shock
Reduksi volume intravaskuler
Ketidakadekuatan sirkulasi volume darah
venus return ke jantung
cardiac output
Penurunan cardiac output
Data Subyektif:-
Data Obyektif:
  1. Konjungtiva pucat
  2. Akral dingin, pucat
  3. Penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi
  4. Penurunan urine output

Kecelakaan lalulintas

Trauma tumpul





Internal Bleeding





Kehilangan cairan berlebih


Defisit volume cairan
Defisit volume cairan
Data subyektif: -
Data Obyektif:
  1. CRT >2 detik
  2. Kulit dingin dan pucat
  3. Bibir berwarna biru
  4. Tekanan darah 114/70 mmHg

Shock
       ↓ CO ke jantung
           Hipotensi
         Tonus simpatik ↑
Vasokonstriksi pembuluh darah
            Hipoksia
Gangguan perfusi jaringan
Gangguan perfusi jaringan


Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
  1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan venous return ke jantung
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan venous return ke jantung
DS:-
DO:
  • TD 114/70 mmHg
  • Nadi 110x/menit, iregular
NOC :
-Cardiac pump effectiveness
-Circulation status
-Vital sign status
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama perawatan penurunan curah jantung klien teratasi dengan kriteria hasil:
-Tanda vital dalam rentang normal
-Tidak ada disritmia yang mengancam nyawa
-Kardiomegali(-), edema paru(-), asites(-)
-Tidak ada distensi vena leher
NIC:
-Evaluasi adanya nyeri dada
-Catat adanya disritmia jantung
-Catat adanya tanda dan gejala penurunan curah jantung
- Beri terapi cairan intravena
-Kolaborasi pemberian obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin, dan vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan afterload sesuai dengan program medis atau protocol.
-Berikan terapi oksigen 6-8 lpm
-Monitor tanda vital

  1. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan


Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
DS:-
DO:
  • Konjungtiva pucat
  • Akral dingin, pucat
  • Penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi
  • Penurunan urine output

NOC:
-Fluid balance
-Hydration
-Nutritional Status:Food and Fluid intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama perawatan defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah (120/80 mmHg) dan nadi 100x/ menit
- Masukan (20 ml/kg BB) dan haluaran seimbang (urin 1000-1500/24 jam) dan berat badan ideal

NIC:
-Pertahankan intake dan output cairan yang akurat
-Monitor vital sign setiap 15menit-1jam
-Kolaborasi penggantian cairan intravena dengan menggunakan cairan koloid, kristaloid atau produk darah sesuai instruksi.
-Monitoring peristaltik usus
-Berikan cairan oral
-Pantau kondisi kulit: warna, kelembapan, dan turgor
-Pantau terhadap kemungkinan kelebihan sirkulasi selama penggantian cairan  (misal; distensi vena leher, rales, dipsneu, peningkatan CVP).


3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia darah

Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan


Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia darah
DS:-
DO:
  • CRT >2 detik
  • Kulit dingin dan pucat
  • Bibir berwarna biru
  • Tekanan darah 114/70 mmHg

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama perawatan klien menunjukkan keadekuatan perfusi jaringan dengan kriteria hasil :
-CRT < 2detik, tidak ada sianosis, sensasi membaik
-Akral hangat
-TTV dalam batas normal
-Urin output 1ml/kgBB/jam

-Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer
- Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.
-Dorong latihan kaki aktif/pasif.
-Pantau pernafasan
-Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.
-Pantau masukan dan perubahan keluaran urine.








DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the  United  States:  analysis  of  incidence,  outcome,  and  associated  costs  of  care.  Crit  Care  Med 2001;29:1303-10.
Anon, 1800. The Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma Patient. , p.1800.
Behrman R. E., Kliegman R.M., Jenson H.B. 2003. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. China: Saunders Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. Chest 1992;101:1644-55.
Brunner dan Suddarth. Textbook of Medical-Surgical Nursing. (diterjemahkan oleh: Yasmin Asih). Jakarta:EGC Ehrlich, Steven D, 2015, Solutiont Acupuntur, a private practice specializing in complementary and alternative medicine, Phonix, VeriMed Health Care
Bone RC, Sibbald WJ, Sprung CL. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis and organ failure. Chest 1992;101:1481-3.
DeLoughery TG. Thrombocytopenia and other hot topics. Am J Clin Oncol. 2009 Aug;32(4 Suppl):S13-7.
Elaine Bishop Kennedy, EdD, RN. 2014. Critical Care Nursing Diagnosis and Management 7th
Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.
Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.
Grace, Pierce A & Neil R. Borley. 2007. At a Glace Ilmu Bedah Ed. 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
Heller, Jacob L, 2014, Emergency Medicine, Virginia Mason Medical Center, Seattle, Washington
Klaus, Lessnau, 2015, Distributive Shock, dilihat 8 Maret 2016, http://emedicine.medscape.com/article/168689-overview
Leksana, Ery. 2013. Systemic Inflammatory Response Syndrome. Continuing Medical Education 40(1):1-11
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003;31:12506.
Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.
Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003;348:1546-54.
Matsuda N, Y Hattori (2006). "Sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS): patofisiologi molekul dan terapi gen". J. Pharmacol. Sci. 101 (3): 189-98. DOI: 10.1254/jphs.CRJ06010X.PMID 16823257.
Mehta, Manish, and Mathew, Arun, eds. Hospitalist Manual. Shelton, CT, USA: PMPH USA, Ltd., 2010. ProQuest ebrary. Web. 8 March 2016. Copyright © 2010. PMPH USA, Ltd.. All rights reserved. (2016), (March).
Metheny, Norma Milligan. Fluid and Electrolyte Balance (4th Edition). Philadelphia, PA, USA: LWW (PE), 2000. ProQuest ebrary. Web. 8 March 2016. Copyright © 2000. LWW (PE). All rights reserved. (2016), (March).
Miller, Keane, 2003, Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health, Seventh Edition. Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
Peate, Ian, Wild, Karen, and Nair, Muralitharan, eds. Nursing Practice. Somerset, GB: Wiley-Blackwell, 2014. ProQuest ebrary. Web. 8 March 2016. Copyright © 2014. Wiley-Blackwell. All rights reserved. (2016), (March).
Rudolph A.M., Kamei R.K., Overby K.J. 2002. Rudolph’s fundamental of pediatrics. 3rd ed. New York: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Saunders. 2009. Medical surgical nursing clinical management for positive   outcomes. Eight edition. Elsevier Inc
 Septic Shock. New York, US: Nova Biomedical, 2012. ProQuest ebrary. Web. 8 March 2016. Copyright © 2012. Nova Biomedical. All rights reserved. (2016), (March).
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner  & Suddart. Jakarta : EGC.
Urden, Linda D at al. 2014. Critical Care Nursing Diagnosis and Management 7th Edition. Canada. Elsevier Inc.
Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta.