السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Wednesday 6 March 2019

Motivasi dan Kepuasan Kerja dalam Keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN

Teori-Teori Tentang Motivasi yang Paling Sesuai Untuk Situasi Keperawatan Saat Ini
  1. Teori Kebutuhan
Hirearki Kebutuan (A. Maslow)
Penjelasan mengenai konsep motivasi manusia menurut Abraham Maslow mengacu pada lima kebutuhan pokok yang disusun secara hirarkis. Tata lima tingkatan motivasi secara secara hierarkis ini adalah sebagai berikut:

  1. Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah)
Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.

  1. Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)
Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.

  1. Kebutuhan sosial (Social Needs)
Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.

  1. Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs)
Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya.

  1. Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization)
Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.

Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.

Aplikasi teori motivasi Maslow dalam meningkatkan kinerja perawat :
  1. Kebutuhan fisiologis seperti hak cuti
  2. Kebutuhan rasa aman akan terpenuhi apabila pemimpin menerima keluhan yang disampaikan oleh perawat
  3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang dapat diaplikasikan dengan perawat mendapatkan dukungan moral dari teman sejawat selama bekerja
  4. Kebutuhan harga diri mencakup kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan dari pihak lain, apresiasi terhadap dirinya dan respect yang diberikan orang lain. Misalnya mendapat dukungan dari pimpinan, memberikan kesempatan perawat untuk naik pangkat
  5. Kebutuhan aktualisasi diri seperti adanya pelatihan yang diadakan rumah sakit untuk perawat dalam meningkatkan kompetensinya

  1. ERG
Teori ERG adalah teori motivasi yang menyatakan bahwa orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tentang eksistensi (Existence, kebutuhan mendasar dari maslow), kebutuhan keterkaitan (Relatedness, kebutuhan hubungan antar pribadi) da kebutuhan pertumbuhan (Growth, Kebutuhan akan kreativtas pribadi, atau pengaruh produktif). Teori ERG menyatakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi mengalami kekecewaan, kebutuhan yang lebih rendah akan kembali, walaupun sudah terpuaskan.

Clayton Alderfer mengemukakan teori motivasi ERG yang merupakan simplifikasi dan pengembangan lebih lanjut dari teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Teori ERG didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (Existence), hubungan (Relatedness), dan pertumbuhan (Growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori Maslow. Ketiga kebutuhan pokok manusia ini diurai Alderfer sebagai simplifikasi teori hierarki Maslow sebagai berikut :
  1. Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman
  2. Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan ini sesuai dengan kebutuhan afiliasi dari Maslow.
  3. Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk memiliki pengaruh yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri atau lingkungan. Realisasi dari kebutuhan penghargaan dan perwujudan diri dari Maslow.

Alderfer berpendapat bahwa pemenuhan atas ketiga kebutuhan tersebut dapat dilakukan secara simultan, artinya bahwa hubungan dari teori ERG ini tidak bersifat hierarki.

  1. Tiga Macam Kebutuhan
Menurut John W. Atkinson, ada 3 macam dorongan yang mendasari diri orang yang termotivasi
  1. Kebutuhan untuk mencapai prestasi (need for achivement)
  2. Kebutuhan kekuatan (need of power)
  3. Kebutuhan untuk berafiliasi atau berhubungan dekat dengan orang lain (need for affiliation)

Sedangkan menurut McClelland, dengan menciptakan lingkungan kerja yang memadai dapat meningkatkan kebutuhan untukberprestasi dari karyawan, hal ini membantu manajer dapat mencapai tingkat tertentu.

  1. Motivasi Dua Faktor
Teori Herzberg melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (dalam Sondang, 2002 : 107). Frederick Herzberg menyatakan bahwa ada faktor-faktor tertentu di tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, sementara pada bagian lain ada pula faktor lain yang menyebabkan ketidakpuasan. Dengan kata lain kepuasan dan ketidakpuasan kerja berhubungan satu sama lain. Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg diidentifikasi sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor pemuas).

  1. Hygiene Factors
Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan. Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi.Hygiene factors (faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.
Menurut Herzberg faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995 : 139).

  1. Motivation Factors
Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang dirasakan sebagai manfaat tambahan. Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam pekerjaan. Faktor motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13).

Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible).

Berdasarkan teori Herzberg di atas, secara umum factor hygienis seperti gaji dan hubungan rekan kerja mendukung karyawan untuk bertahan di tempat bekerja. Gaji hanya hanya akan menghasilkan motivasi jangka pendek. Tetapi tidak di dukung factor motivasi seperti pengangkatan karyawan tetap. Sehingga menyebabkan penurunan motivasi karyawan dalam bekerja.

  1. Teori Keadilan
Teori proses menekankan pada bagaimana seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu. Salah satu teori proses adalah teori keadilan (Equity Theory) yang dikembangkan oleh Adams (1965). Teori ini menganggap bahwa motivasi dan kepuasan kerja adalah hasil dari perbandingan masukan dan keluaran yang diperoleh individu dengan masukan dan keluaran yang diperoleh orang lain berdasarkan jenis kelamin, masa kerja, tingkat dalam organisasi, pendidikan, dan profesionalisme (Vinchur & Koppes 2011, Limbong 2009). Model ini dapat ditulis sebagai berikut:

OA/IA=OB/IB

Ada empat faktor yang terlibat dalam teori ini:
  1. Orang: individu yang bersangkutan
  2. Masukan (Input): karakteristik yang dimiliki seseorang, baik yang diperoleh seperti pengalaman dan keterampilan maupun yang merupakan bawaan seperti usia dan jenis kelamin. Input menurut Wexley dan Yulk (2005) adalah segala sesuatu yang sangat berharga yang dirasakan oleh pekerja sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua nilai yang diterima pekerja yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan, dan lain-lain).
  3. Keluaran (Outcomes): segala sesuatu yang diterima dari pekerjaannya seperti gaji dan pengakuan. Definisi hasil menurut Wexley dan Yulk dalam Yuli (2005) adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri.
  4. Perbandingan dengan orang lain (Comparison): individu atau kelompok yang dijadikan pembanding.

Keadilan dikatakan ada jika orang yang bersangkutan menganggap bahwa rasio upaya mereka terhadap hasil yang diperolehnya seimbang dengan rasio dari orang atau kelompok yang dijadikan pembanding. Jika dari hasil perbandingan yang dilakukannya, seseorang menyimpulkan bahwa ia mengalami ketidakadilan, hal tersebut dapat menimbulkan motivasi untuk mengubah perilakunya agar rasa keadilan dapat diperoleh. Beberapa contoh perubahan perilaku untuk memperoleh rasa keadilan antara lain yaitu:
  1. Mengurangi upaya seperti mengurangi inisiatif dan penerimaan tanggung jawab
  2. Mengupayakan perubahan hasil seperti usaha untuk menuntut peningkatan gaji
  3. Mengubah situasi misalnya dengan berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain yang dirasanya dapat memberikan rasa keadilan.

Teori ini didasarkan pada penghargaan yang diberikan kepada perawat sebagai upaya peningkatan kinerja perawat. Keadilan yang dimaksudkan ialah keadilan dalam bentuk imbalan yang mereka dapatkan seimbang dengan apa yang sudah mereka lakukan. Contohnya adalah gaji yang diberikan oleh sebuah perusahaan sebanding dengan kinerja yang sudah dilakukan perawat.

Teori ini juga menyatakan bahwa tiap individu mencoba untuk membandingkan masukan (input) dan keluaran (output) pekerjaan mereka dengan orang lain. Berdasarkan hasil dari perbandingan akan timbul suatu respon dari individu terhadap hasil perbandingan. Individu akan merasa keadilan terjadi apabila perbandingan antara output dengan input mereka sama dengan perbandingan output dengan input orang lain.

  1. Teori Harapan
Teori Harapan dikemukakan oleh Victor H. Vroom yang difokuskan pada hasil (outcomes) dibanding kebutuhan (needs). Teroti ini memiliki tiga asumsi dasar, dintaranya adalah
  1. Setiap individu percaya bahwa apa yang dilakukannya dengan cara tertentu akan memperoleh hal tertentu atau disebut harapan hasil. Penilaian ini sebagai harapan subjektif seseorang bahwa ada suatu imbal balik atas apa yang dilakukan oleh orang tersebut
  2. Setiap hasil memiliki daya tarik bagi orang tertentu atau yang disebut valensi (valence). Daya terik ini akan diberikan suatu nilai oleh orang tertentu
  3. Setiap usaha yang sulit akan menghasilkan menghasilkan suatu hasil tertentu. Hal ini disebut dengan effort expectancy dimana kesulitan suatu usaha akan memberikan pencapaian tertentu

Teori ini menyatakan bahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu.

Vroom dalam Koontz (1990) mengemukakan bahwa seseorang akan termotivasi untuk melakukan usaha tertentu agar mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Terori harapan didasarkan atas :
  1. Harapan (Expectancy)
  2. Nilai (Valence)
  3. Pertautan (Instrumentality)

Teori ini menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai alternatif tingkah laku berdasarkan harapannya (apakah ada keuntungan yang diperoleh dari tiap tingkah laku). Teori harapan terdiri atas dasar sebagai berikut.

  1. Harapan hasil prestasi
Individu mengharapkan konsekuensi tertentu dari tingkah laku mereka. Harapan ini nantinya akan memengaruhi keputusan tentang bagaimana cara mereka bertingkah laku.
  1. Valensi
    Hasil dari suatu tingkah laku tertentu mempunyai valensi atau kekuatan untuk memotivasi. Valensi ini bervariasi dari suatu individu ke individu yang lain.

  1. Harapan prestasi usaha
Harapan orang mengenai tingkat keberhasilan mereka dalam melaksanakan tugas yang sulit akan berpengaruh pada tingkah laku. Tingkah laku seseorang sampai tingkat tertentu akan bergantung pada tipe hasil yang diharapkan. Beberapa hasil berfungsi sebagai imbalan intrinsik yaitu imbalan yang dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan. Imbalan ekstrinsik (misal: bonus, pujian, dan promosi) diberikan oleh pihak luar seperti supervisor atau kelompok kerja.

  1. Teori Penguat
Skinner mengemukakan suatu teori proses motivasi yang disebut operant conditioning. Pembelajaran timbul sebagai akibat dari perilaku, yang juga disebut modifikasi perilaku. Perilaku merupakan operant, yang dapat dikendalikan dan diubah melalui penghargaan dan hukuman. Perilaku positif yang diinginkan harus dihargai atau diperkuat, karena penguatan akan memberikan motivasi, meningkatkan kekuatan dari suatu respons atau menyebabkan pengulangannya.

Pendekatan ini berdasarkan atas hukum pengaruh (law of effect) yang menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi pemuasan cendrung diulang sedangkan perilaku yang diikuti dengan konsekuensi hukuman cenderung tidak diulang. Individu dimasa mendatang akan belajar dari pengalaman diwaktu lalu.

Teknik yang digunakan untuk mengubah perilaku bawahan
  1. Penguatan positif bisa berupa penguat primer : makanan dan minuman yang memuaskan kebutuhan biologis, penguat sekunder : penghargaan berupa uang, hadiah, promosi
  2. Penguatan negatif dimana individu akan mempelajari perilaku yang membawa konsekuensi tidak menyenangkan dan akan menghindarinya dimasa dating
  3. Pemadaman dilakukan dengan peniadaan penguatan
  4. Hukuman

Pedoman penggunaan teknik pembentukan perilaku (Learning theory) W. Clay Hammer:
  1. Jangan memberi penghargaan yang sama kepada semua orang
  2. Perhatikan bahwa kegagalan untuk memberi tanggapan dapat juga mengubah perilaku
  3. Beritahu karyawan tentang apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan penghargaan
  4. Beritahu karyawan apa yang dilakukan salah
  5. Jangan memberi hukuman di sepan karyawan lain
  6. Bentindak adil

Berdasarkan teori penguatan, para manajer dapat mempengaruhi perilaku karyawan dengan memperkuat tindakan yang mereka anggap menguntungkan. Namun, karena penekanan itu terletak pada penguatan positif, bukan hukuman, para manajer seharusnya mengabaikan, bukannya menghukum perilaku yang tidak menguntungkan. Meskipun hukuman lebih cepat menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dibanding tindakan bukan penguatan, dampak hukuman itu sering hanya sementara dan dikemudian hari akan mempunyai efek samping yang tidak menyenangkan, seperti perilaku disfungsi berupa konflik di tempat kerja, ketidakhadiran, dan tingkat keluar masuknya karyawan (Robbins & Coulter, 2007).

Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
M = f ( R & C ) M = Motivasi
R = Reward (penghargaan) - primer/sekunder
C = Consequens (Akibat) - positif/negative

Motivasi seseorang bekerja tergantung pada reward yang diterimanya dan punishment yang akan dialaminya nanti (Arep Ishak & Tanjung Hendri, 2003:35-37).

Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seorang pimpinan untuk meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari perilakunya yang sekarang.

Jenis reinforcement ada empat, yaitu:
  1. Positive reinforcement (penguatan positif), yaitu penguatan yang dilakukan ke arah kinerja yang positif;
  2. Negative reinforcement (penguatan negatif), yaitu penguatan yang dilakukan karena mengurangi atau mcnghentikan keadaan yang tidak disukai. Misalnya, berupaya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan karena tidak tahan mendengar atasan mengomel terus-menerus;
  3. Extinction (peredaan), yaitu tidak mengukuhkan suatu perilaku, sehingga perilaku tersebut mereda atau punah sama sekali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan;
  4. Punishment, yaitu konsekuensi yang tidak menyenangkan dari tanggapan perilaku tertentu.

Reward adalah pertukaran (penghargaan) yang diberikan perusahaan atau jasa yang diberikan penghargaan, yang secara garis besar terbagi dua kategori, yaitu:
  1. gaji, keuntungan, liburan
  2. kenaikan pangkat dan jabatan, bonus, promosi, simbol (bintang) dan penugasan yang menarik.

Sistem yang efektif untuk pemberian reward (penghargaan) kepada para karvawan harus:
  1. memenuhi kebutuhan pegawai;
  2. dibandingkan dengan reward yang diberikan oleh perusahaan lain;
  3. di distribusikan secara wajar dan adil;
  4. dapat diberikan dalam berbagai bentuk;
  5. dikaitkan dengan prestasi.

Kelebihan :
Kelebihan dari teori ini adalah perilaku masih dapat dipengaruhi yaitu dengan adanya rangsangan. Adanya rangsangan tersebut akan menimbulkan respon pada tingkah laku seseorang yang memunculkan konsekuensi dimasa yang akan datang. Kelebihan lainnya adalah, teori penguatan ini melibatkan ingatan seseorang akan pengalaman rangsangan.

Kelemahan :
Kelemahan dari teori ini adalah lebih menekankan penguatan pada hal positif seperti memuji hal baik yang dilakukan oleh staf. Sedangkan hal buruk lebih terkesan diabaikan. Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif antara lain ketika seorang perawat sudah mendapat reward dari atasan, perawat tersebut mempunyai beban tanggung jawab yang lebih dan harus menjadi contoh baik bagi perawat lainnya yang kurang kinerjanya.

Teori ini mengatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari konsekuensi konsekuensinya. Teori penguatan mengabaikan keadaan dalam diri individu dan memusatkan perhatian pada apa yang terjadi pada seseorang apabila mengambil suatu tindakan.

  1. Teori Prestasi
Teori kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of needs) dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan pencapaian (need for achievement), kebutuhan kekuasaan (need for power), dan kebutuhan hubungan (need for affiliation). Teori kebutuhan McClelland menyatakan bahwa pencapaian, kekuasaan/kekuatan dan hubungan merupakan tiga kebutuhan penting yang dapat membantu menjelaskan motivasi. Kebutuhan pencapaian merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, dan berjuang untuk berhasil. Kebutuhan kekuatan dapat membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, dan kebutuhan hubungan merupakan keinginan antarpersonal yang ramah dan akrab dalam lingkungan organisasi.

  1. Need For Achievement
Menurut McCelland (1987) mengatakan need for achievement adalah proses pembelajaran yang stabil yang mana kepuasan akan didapatkan dengan berjuang dan memenuhi level tertinggi untuk dapat menjadi ahli dibidang tertentu. Pendapat lainnya mengatakan bahwa need for achieement adalah keinginan untuk menantang pekerjaan yang sulit, yang mana orang yang memiliki need for achievement yang tinggi memiliki kontrol terhadap prilaku mereka dan menyukai tantangan yang sulit, sementara karyawan yang memiliki need for achievement yang rendah mudah dipuaskan dengan tantang yang sedikit (Aamodt, 1991). Hal ini dijelaskan kembali oleh Santrok (2003) yang mengatakan bahwa need for achievement adalah keinginan untuk mencapai sesuatu, mencapai standar kemahiran dan meluaskan usaha untuk menjadi ahli.

Cook & Hunsaker (2001) mengatakan bahwa need for achievement adalah motif yang dipelajari yang mana kepuasan akan didapatkan saat mengerjakan tugas yang sulit untuk mendapakan sebuah keberhasilan. Need for achievement adalah keinginan untuk menguasai tantangan yang sulit, bersaing dengan orang lain, memenuhi standar yang tinggi dan memiliki keinginan untuk mahir pada bidang tertentu (Weitem, 2004). Pendapat lain mengatakan bahwa need for achievement adalah motif yang dipelajari yang bertujuan mencapai suatu standart keberhasilan dan keunggulan pribadi di suatu bidang tertentu (Wade & Tavris, 2008). Need for achievement juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk menyelesaikan suatu tugas dengan sasaran secara lebih efektif. Individu-individu yang mempunyai need for achievement yang tinggi cenderung menetapkan sasaran yang cukup sulit dan mengambil keputusan yang lebih beresiko (Grifffin &Moorhead, 2013). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa need for achievement merupakan suatu dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan tantangan yang sulit, memiliki sasaran yang tepat, memilih mengambil keputusan yang beresiko dan mempertimbangan standar keahlian dan kemahiran yang harus dicapai.

  1. Need For Affiliation
The Need for Affiliation (n-affil) (Kebutuhan akan Afiliasi / Keanggotaan). Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang didasari oleh keinginan untuk mendapatkan atau menjalankan hubungan yang baik dengan orang lain. Orang merasa ingin disukai dan diterima oleh sesamanya.Individu-individu yang termotivasi oleh afiliasi memiliki dorongan untuk lingkungan yang ramah dan mendukung. Individu tersebut yang berkinerja efektif dalam tim. Orang-orang ingin disukai oleh orang lain. Kemampuan manajer untuk membuat keputusan terhambat jika mereka memiliki kebutuhan afiliasi tinggi karena mereka lebih memilih untuk diterima dan disukai oleh orang lain, dan hal ini melemahkan objektivitas mereka. Individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi lebih memilih bekerja di lingkungan yang menyediakan interaksi pribadi yang lebih besar.

Adapun ciri-ciri dari orang yang berkebutuhan berafiliasi adalah sebagai berikut (Hamid, 2014):
  1. Selalu ingin menggalang persaudaraan dengan orang lain.
  2. Suka berkawan dengan orang lain dan memiliki rasa sosial yang tinggi.
  3. Mau mengubah pendapatnytasendiri untuk menghindari perdebatan.
  4. Suka membantu orang lain dalam setiap kesempatan.

  1. Need For Power
Kebutuhan kekuatan (need for Power) merupakan keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. Dalam bahasa sederhana, ini adalah kebutuhan atas kekuasaan dan otonomi. Individu dengan nPow tinggi, lebih suka bertanggung jawab, berjuang untuk mempengaruhi individu lain, senang ditempatkan dalam situasi kompetitif, dan berorientasi pada status, dan lebih cenderung khawatir dengan wibawa dan pengaruh yang didapatkan ketimbang kinerja yang efektif.

Individu-individu yang termotivasi oleh kekuasaan memiliki keinginan kuat untuk menjadi berpengaruh dan mengendalikan. Mereka ingin pandangan dan ide-ide mereka harus mendominasi dan dengan demikian, mereka ingin memimpin. Individu tersebut termotivasi oleh kebutuhan untuk reputasi dan harga diri. Individu dengan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar akan lebih baik dibanding mereka yang memiliki daya yang lebih kecil. Umumnya, manajer dengan kebutuhan tinggi untuk daya berubah menjadi manajer yang lebih efisien dan sukses. Mereka lebih tekun dan setia kepada organisasi tempat mereka bekerja. Perlu untuk kekuasaan tidak harus selalu diambil negatif. Hal ini dapat dipandang sebagai kebutuhan untuk memiliki efek positif pada organisasi dan untuk mendukung organisasi dalam mencapai tujuan.

Orang yang memiliki kebutuhan kekuasaan (need for power) dan kebutuhan afiliasi (need for affiliation) memiliki keterkaitan dengan keberhasilan manajerial yang baik. Seorang manajer yang berhasil memiliki n-Pow tinggi dan n-Aff rendah. Meski demikian, pegawai yang memiliki n-aff yang kuat yaitu kebutuhan akan afiliasi dapat merusak objektivitas seorang manajer, karena kebutuhan mereka untuk disukai, dan kondisi ini mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan seorang manajer. Di sisi lain, n-pow yang kuat atau kebutuhan untuk kekuasaan akan menghasilkan etos kerja dan komitmen terhadap organisasi, dan individu dengan nPow tinggi lebih tertarik dengan peran kepemimpinan dan memiliki kemungkinan untuk tidak fleksibel pada kebutuhan bawahan. Dan terkakhir, orang n-ach yang tinggi yaitu motivasi pada pencapaian lebih berfokus pada prestasi atau hasil. Teori prestasi need for power atau kebutuhan akan kekuasaan. Kebutuhan ini tampak pada seseorang yang hendak berpengaruh terhadap orang lain, senang berkompetisi, mandiri, cepat tanggap terhadap masalah, aktif menjalankan kebijakan organisasi, senang membantu orang dengan mengesankan, selalu menjaga prestasi, reputasi serta posisinya. Perawat yang bermotivasi tinggi seperti ini akan menyenangi perjuangan untuk mempengaruhi orang lain dan bekerja secara efektif (Mukhlas, 1999). Kebutuhan mempengaruhi ini tentunya sangat baik untuk meningkatkan pelayanan keperawatan.

  1. Kepuasan Kerja
  1. Konsep kepuasan Kerja
Kepuasan adalan persepsi terhadap prduk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Selain itu kepuasan adalah model kesenjangan antara harapan dengan kinerja actual yang diterima pelanggan (woodruff and gardial dalam supriyanto, 2006).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001;271) kepuasan kerja adalah “suatu efektifitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan”. Davis dan Newstrom (1985;105) mendeskripsikan “kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka”. Menurut Robbins(2003;78) kepuasan kerja adalah “sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yag diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima”. Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap berbagai segi atau aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja akan merupakan konsep tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya. Kepuasan Kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap salah satu pekerjaannya, penilaian dilakukan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.Perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan kerja cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada harapan -harapan untuk masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua unsur penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar.Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja.Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja (dari setiap aspek pekerjaan) dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu. Seorang individu akan merasa puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, yaitu tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya (yang didapatnya).Sehingga dapat disimpulkan pengertian kepuasan kerja adalah sikap yang positif dari tenaga kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui penilaian salah satu pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai -nilai penting pekerjaan.

Menurut Robbins (2001) kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. kepuasan kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain (discrete job elements). Jika mengacu pada George & Jones (2002), kepuasan kerja merupakan kumpulan feelings dan beliefes yang dimiliki orang tentang pekerjaannya. Pengungkapan ketidak puasan pegawai bisa disampaikan dalam 4 cara:
  1. Respon Voice (aktif & konstruktif, memberikan saran)
  2. Respon Loyalty (pasive: tidak melakukan apapun/constructive:harapan kondisi membaik)
  3. Repon neglect (Pasive : tidak mau tau/Destructive:membiarkan kondisi memburuk)
  4. Respon Exit (Destructive:karyawan keluar/Active: mencari pekerjaan baru)

  1. Teori Kepuasan Kerja
    1. Teori yang dikemukakan oleh Edward Lawyee yang dikenal dengan "Equity model/teori kesetaraan". teori ini menjelaskan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja dipengaruhi oleh pembayaran perbedaan antara jumlah yang diterima dengan jumlah yang dipersepsikan oleh karyawan. hal tersebut merupakan penyebab utama terjadinya ketidakpuasan.
    2. Menurut konsep Value Theory, kepuasan kerja terjadi pada tingkatan di mana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Dengan terciptanya kepuasan kerja yang merupakan sikap positif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka, maka akan tercapainya kinerja individual tersebut (Wibowo, 2007). Selain itu dengan adanya kepuasan kerja dapat mengurangi turnover, dan mendorong individu Teori lain yang memperkuat hubungan kepuasan kerja dengan kinerja adalah teori dua faktor atau teori motivasi higiene, yang dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg (1923-2000). Menurut teori ini, faktor motivasi (intrinsic factor) adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible). Faktor motivasi (intrinsic factor) merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreativitas dan inovasinya (Robbins, dan Judge, 2007).
    3. Teori-teori Kepuasan Kerja menurut Maslow

  1. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)
Teori pertentangan dari locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai : a) pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang individu dengan apa yang diterima ; b) pentingnya apa yang diinginkan bagi individu.

Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersiapkan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil keluarnya.

  1. Model dari Kepuasan Bidang/ Bagian (Facet Satisfication)
Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori keadilan dari Adams, menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka jika jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan,dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding.

  1. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Proses Theory)
Teori proses bertentangan dari Landy memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium), berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja yang bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu akibatnya ialah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

  1. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)
Kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja. Teori ini juga berhubungan dengan teori motivasi yang di buat oleh Maslow tentang tingkatan kebutuhan. Teori ini berasumsi bahwa kebutuhan yang lebih rendah tingkatanya harus di puaskan terlebih dahulu sebelum kebutuhan lain yang lebih tinggi. terdapat 5 kebutuhan dasar (Maslow, Feist & Feist, 2008) meliputi :
  1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
  2. Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs)
  3.  Kebutuhan untuk Dicintai
  4. Kebutuhan untuk Dihargai
  5. Kebutuhan unutk mengaktualisasi diri (Self- Actuallitation)

Dalam pemenuhan kepuasan harus berurutan mulai dari kebutuhan yang paling rendah ‘Kebutuhan fisiologis’ hingga sampai kepada kebutuhan yang paling tinggi yaitu ‘Kebutuhan aktualisasi’. Kelemahan teori kebutuhan dari Abraham Maslow :
  1. Secara umum, riset tidak mensahihkan teori Maslow. Maslow tidak memberikan pembenaran (subtansiasi) empiris, sementara beberapa studi yang berusaha mensahihkan teori itu tidak mendukung teori itu.
  2. Menurut teori ini kebutuhan manusia itu adalah bertingkat-tingkat atau hierarkis, tetapi dalam kenyataannya manusia menginginkan tercapai sekaligus dan kebutuhan itu merupakan siklus, seperti lapar-makan-lapar lagi-makan lagi dan seterusnya. Bila mengikuti Teori Maslow maka manusia tidak akan pernah bisa meningkat ke kebutuhan yang lainnya karena sepanjang hidup manusia tidak akan pernah puas dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dan kalaupun ia sudah mencapai kebutuhan yang lebih tinggi, tidak berarti bahwa manusia itu tidak akan memikirkan lagi akan kebutuhan dasarnya.

  1. Menurut Veithzal Rivai (2004), teori kepuasan kerja antara lain:
  1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy theory).
Teori perbedaan (discrepancy theory) pertama kali dikembangkan oleh Porter (1967) yang berpendapat bahwa untuk mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara hal yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Apabila yang didapat didapat pegawai ternyata lebih besar daripada yang diharapkan, maka pegawai tersebut akan puas dan sebaliknya (Ketzel 1964). Menurut Staw (1991) teradapat tiga hal penting yang perlu mendapatkan perhatian yaitu, apa yang diinginkan pegawai, apa yang mereka rasa seharusnya mereka dapatkan, dan apa yang mereka harap untuk didapatkan. Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi apa yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat disparancy, tetapi merupakandisparancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antarasesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

  1. Teori Keadilan (Equity theory).
Teori ini mengungkapkan bahwa orang yang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatusituasi., khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya seperti penddikan, pangalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang digunakan untuk melakukan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang diangap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya seperti upah/gaji, keuntungan sampingan,simbol, status, pengahargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa serseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya dimasa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidak puasan.

  1. Teori dua faktor (Two factor theory).
Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan disatisfies. Satisfie sadalah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh pengahrgaan dan promosi. Terpenuhinya faktor-faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidak puasan. Disatisfies adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiridari : gaji/upah, pengawasan, hubungan antar personal, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

  1. Teori Motivator-Hygiene (M-H)
Salah satu teori yang menjelaskan mengenai kepuasan kerja adalah teorimotivator-hygiene (M-H) yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori H-M sebenarnya berujung pada kepuasan kerja. Namun penelitian menunjukan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan turnover SDM serta antarakepuasan kerja dan komitmen SDM. Pada intinya, teori H-M justru kurang sependapat dengan pemberian balas jasa yang tinggi, seperti strategi golden handcuff, karena balas jasa yang tinggi hanya mampu menghilangkan ketidakpuasan kerja dan tidak mampu mendatangkan kepuasan kerja (balas jasa hanyalah faktor hygiene, bukan motivator). Untuk mendatangkan kepuasan kerja, Hezberg menyarankan agar perusahaan melakukan job enrichment, yaitu suatu upaya menciptakan pekerjaan dengan tantangan, tanggung jawab, dan otonomi yang lebih besar.

  1. Faktor Kepuasan Kerja
Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut:
  1. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan
  2. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan
  3. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004: 114).

Pendapat dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut:
  1. Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja
  2. Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja
  3. Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya
  4. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan
  5. Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over
  6. Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan
  7. Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parker
  8. Aspek sosial dalam pekerjaan, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja
  9. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja
  10. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115)

Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112)

  1. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :
  1. Hubungan antara manager dengan karyawan
  2. Faktor fisis dan kondisi kerja
  3. Hubungan sosial diantara karyawan
  4. Sugesti dari teman sekerja
  5. Emosi dan situasi kerja

  1. Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :
    1. Sikap orang terhadap pekerjaannya
    2. Umur orang sewaktu bekerja
    3. Jenis kelamin

  1. Faktor luar (external), yang berhubungan dengan :
  1. Keadaan keluarga karyawan
  2. Rekreasi
  3. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu :
  1. Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja.

  1. Golongan
    Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya.

  1. Umur
    Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.

  1. Jaminan finansial dan jaminan social
Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

  1. Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113).

Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) :
  1. Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan.
  2. Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
  3. Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,umur dan sebagainya
  4.  Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.

Menurut Kreiter dan Kinichi (2001), ada 5 faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu
  1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

  1. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas.Sebaliknya individu akan puas bila menerima manfaat diatas harapan.

  1. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

  1. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.

  1. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.

Menurut Lusiati (2013) Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja adalah
  1. Faktor intrinsik yaitu yang berasal dari karyawan itu sendiri seperti harapan dan kebutuhan individu (pendidikan, masa kerja, komitmen, konflik, dan beban kerja). Dari hasil beberapa penelitian disebutkan bahwa perawat yang belum puas terhadap pekerjaannya pada umumnya disebabkan karena faktor upah atau imban yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dikerjaan.
  2. Faktor ekstrinsik, yang berasal dari luar karyawan atau merupakan faktor yang berasal dari organisasi seperti kebijakan organisasi, seleksi, tipe kepemimpinan, supervisi, afiliasi, pengembangan karir, serta faktor lingkungan (pesaing, ekonomi, dan geografis). Beberapa perawat menyebutkan bahwa faktor aturan lembaga yang mengikat seperti bahwa perawat tidak diberi kebebasan dalam menyampaikan pemikiran atau bertindak merupakan salah satu hal yang menyebabkan ketidakpuasan kerja perawat.

Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja. Diantaranya adalah sebagi berikut :
  1. Pekerjaan itu sendiri (work it self)
Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.

  1. Hubungan dengan atasan (supervision)
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama.Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

  1. Teman sekerja (workers)
Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.

  1. Promosi (promotion)
Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.

  1. Gaji atau upah (pay)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.

Dua belas kunci utama dalam kepuasan kerja (Rowland dan Rowland 1997 dalam Nursalam 2015), adalah:
  1. Input
  2. Hubungan manager dan staf
  3. Disiplin kerja
  4. Lingkungan tempat kerja
  5. Istirahat dan makan yang cukup
  6. Diskriminasi
  7. Kepuasan kerja
  8. Penghargaan penampilan
  9. Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur, dan keuntungan
  10. Mendapatkan kesempatan
  11. Pengambilan keputusan
  12. Gaya manager

  1. Pendekatan Untuk Mengukur Kepuasan Kerja
Menurut Stephen Robbins (2003:101) ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan keerja karyawan, yaitu:

  1. Angka-nilai global tunggal (single global rating)
Metode angka-nilai global tunggal (single global rating) tidak lebih dari meminta individu-individu untuk menjawab satu pertanyaan, seperti misalnya “Bila semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah anda dengan pekerjaan anda?”. Kemudian responden menjawab dari “Sangat Dipuaskan” sampai “ Sangat Tidak Dipuaskan”

  1. Skala penjumlahan (summation score)
Metode ini mengenali unsure-unsur utama dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsure Seperti sifat dasar pekerjaan, upah sekarang, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan sekerja. Faktor-faktor yang lazim akan dicakup adalah sifat dasar pekerjaan, upah sekarang, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan sekerja. Faktor-faktor ini dinilai pada suatu skala baku dan kemudian dijumlahkan untuk menciptakan skor kepuasan kerja.

Terdapat 3 pendekatan umum untuk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja
  1. Pendekatan Karakteristik Pekerjaan
Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan utk mereka dan apa yang mereka berikan utk pekerjaan. Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980).

  1. Pendekatan Proses Informasi Sosial
Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception Theory.Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.

Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak denganpekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan kepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian.

  1. Pendekatan Disposisional.
Pendekatan disposisional menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah karena kecenderungan umum untuk mengalami hal positif dan negatif yang dapat memengaruhinya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa individu-individu tertentu memiliki disposisi pada diri mereka (internal disposition/disposisi internal) yang dapat memengaruhi mereka ke arah perasaan positif umumnya dalam hidup mereka dan termasuk menjadi positif tentang pekerjaan mereka. Efektifitas negatif adalah kecenderungan untuk mengalami suasana hati negatif seperti: tertekan, permusuhan, dan depresi. Sedangkan efektifitas positif adalah kecenderungan untuk mengalami suasana hati positif menjadi: ceria, percaya diri, dan aktif.

Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.

  1. Skala Pengukuran Kepuasan Kerja
Menurut Paul E. Spector (1997), ukuran kepuasan kerja telah memiliki instrumen paten terstandarisasi yang terdiri atas :
  1. Job Satisfaction Survey (JSS);
Ukuran tingkat kepuasan kerja lsalah satunya adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

  1. Job Descriptive Index (JDI);
Dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI, kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.

Berdasarkan Job Descriptive Index (JDI), yaitu pengukuran standar terhadap kepuasan kerja seperti yang terkutip pada Riggio (1992), ” The job Descriptive Index is a self-report job satisfaction rating scale measuring five job facet: the job itself, supervision, pay, promotion and co-workers”. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi pekerjaan yang menggambarkan elemen-elemen utama dari pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang, yaitu: pekerjaan itu sendiri, supervisi, pemberian upah, promosi dan mitra kerja. Secara lebih terperinci kelima dimensi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pekerjaan itu sendiri (job itself)
Dari studi-studi tentang karakteristik pekerjaan, diketahui bahwa sifat dari pekerjaan itu sendiri adalah determinan utama dari kepuasan kerja. Hackman and Lawyer tahun 1975 seperti yang di terjemahkan oleh Muh Shobarudin (1992), yaitu “Kepuasan kerja akan tercapai jika ada kesesuaian antara keinginan dari para pekerja dan dimensi inti pekerjaan (five core job dimensions) yang terdiri dari ragam ketrampilan, identitas pekerjaan, keberartian pekerjaan, otonomi dan umpan balik.” Setiap dimensi inti dari pekerjaan mencakup sejumlah aspek materi pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Adapun kaitan dari masing-masing dimensi tersebut dengan kepuasan kerja dijelaskan bahwa dengan semakin besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang dilakukan, seseorang akan merasa pekerjaannya makin berarti, karena pekerjaan yang sama sederhana dan berulang menyebabkan karyawan menjadi bosan.

  1. Supervisi (supervision)
Menurut Halsey (1983) Supervisi adalah “memilih orang-orang yang tepat untuk tiap-tiap pekerjaan, menimbulkan minat tiap-tiap orang terhadap pekerjaan dan mengajarkan bagaimana harus melakukan pekerjaannya, mengukur dan menilai hasil kerjanya, mengadakan koreksi-koreksi bilamana perlu dan memindahkan orang kepada pekerjaannya yang lebih sesuai atau memberhentikan mereka yang ternyata tidak dapat bekerja dengan baik, memberi pujian dan penghargaan atas kerja yang baik dan akhirnya menyelaraskan setiap orang kedalam suatu kerja sama yang erat dengan teman-teman kerjanya” Dari pendapat Hasley, dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah suatu usaha untuk memimpin dengan mengarahkan orang lain sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, serta memberikan hasil yang maksimum.

  1. Imbalan (pay)
Merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi kerja, memotivasi, dan kepuasan kerja. Adapun pengertian imbalan menurut Hadi Poerwoto seperti yang ditulis oleh Heijrachman (1990) adalah, “jumlah keseluruhan pengganti jasa yang telah dilakukan oleh tenaga kerja yang meliputi gaji / upah pokok dan tunjangan sosial lainnya”. Pada beberapa studi yang telah dilakukan diketahui bahwa imbalan merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi ukuran ada tidaknya kepuasan kerja, dimana penyebab utamanya adalah ketidakadilan dalam pemberian imbalan tersebut. Ada 2 macam imbalan yaitu:
  1. Imbalan intrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena adanya pengakuan dan penghargaan.
  2. Imbalan ekstrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena adanya promosi, upah dan gaji.

  1. Kesempatan promosi (promotion)
Kesempatan untuk maju didalam organisasi disebut dengan promosi atau kenaikan jabatan. Menurut Flippo (1984), ”a career can be defined a sequence of separate but related work activities that provides continuity, order and meaning in person’s life” Hal ini memiliki nilai karena merupakan bukti pengakuan yang lain terhadap prestasi kerja yang dicapai. Seseorang yang dipromosikan umumnya dianggap prestasinya adalah baik, di samping pertimbangan lain. Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, lebih bertanggung jawab dan meningkatkan status sosial. Oleh karena itu individu yang merasakan adanya ketetapan promosi merupakan salah satu kepuasan dari pekerjaannya.

  1. Suasana tempat kerja (co-workers)
Kartono (1985) mengatakan bahwa “perasaan puas oleh bawahan akan diperoleh apabila bawahan merasa dihargai oleh atasannya, dilibatkan dalam pemecahan suatu masalah serta mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.” Hal ini berarti pekerjaan seringkali memberikan kepuasan kebutuhan sosial, tidak hanya dalam arti persahabatan saja tetapi juga dari segi yang lain seperti kebutuhan untuk dihormati, berprestasi dan berafiliasi, karena manusia adalah mahluk sosial. Pada dasarnya seorang karyawan menginginkan adanya perhatian dari atasan maupun dari rekan kerjanya serta lingkungan kerja yang mendukungnya.

  1. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);
Skala Ukuran kepuasan kerja yang juga banyak dipergunakan dan banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.

  1. Job Diagnostic Survey (JDS);
Job Diagnostic Survey dikembangkan oleh Hackman dan Oldman (1975). Hackman dan Oldman. Alat ukur ini menunjukkan kaitan kepuasan kerja dengan lima dimensi inti dari karakteristik pekerjaan, yaitu keanekaragaman keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity), keberartian tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik (feedback).
  1. Job in General Scale (JGS); dan Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ). Dikembangkan oleh Cammann, Fichman, Jenkins, & Klesh pada tahun 1979
  2. Selain itu juga ada Face scale banyak dipergunakan secara luas untuk mengukur kepuasan kerja. Face scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan tahun 1950an terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dariface scale ini adalah kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.

  1. Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja
Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu:
  1. Pekerjaan menantang secara mental
  2. Reward memadai
  3. Kondisi kerja mendukung
  4. Kolega mendukung.(Jex. 2002:192-193)

Pekerjaan yang menantang secara mental – Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.

Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status sosial.

Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.

Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan minat personal terhadap mereka.

Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:
  1. Pekerja itu sendiri
  2.  Pekerjaan itu sendiri
  3. Organisasi itu sendiri
  4. Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.

Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas:
  1. Supervisor langsung
  2. Kebijakan dan Prosedur Perusahaan
  3. Pembayaran
  4. Keuntungan
  5. Kesempatan kontribusi untuk perusahaan
  6. Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan
  7. Kesempatan promosi
  8. Keamanan
  9. Pengakuan
  10. Apresiasi
  11. Rekan kerja
  12. Demografis (usia, gender, pendidikan)
  13.  Masa jabatan
  14. Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan
  15. Kesempatan pelatihan yang berlanjut
  16. Sifat pekerjaan yang harus dilakukan
  17. Konflik tuntutan
  18. Ambiguitas peran
  19. Tekanan
  20. Kondisi kerja
  21. Alat dan perlengkapan kerja
  22. Material dan Supply
  23. Beban kerja.

  1. Kepuasan Kerja Di Bidang Keperawatan
Hubungan positif antara kepuasan kerja dengan kinerja diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2007), yang menyatakan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas cenderung lebih efektif bila dibandingkan organisasi yang mempunyai karyawan yang kurang puas. Hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja perawat diperkuat oleh sebuah studi yang dilakukan pada 366 perawat di Rumah Sakit Anak-anak Midwestern (1989). Studi tersebut menyimpulkan bahwa kepuasan kerja pada perawat ditunjukkan untuk meningkatkan kinerja. Hipotesis dari studi tersebut yang menyatakan bahwa sebuah korelasi positif antara tingkat kepuasan kerja dengan kinerja pada perawat adalah diterima (Heyman dan Martin, 1989). Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan kepada siapa saja dan profesi apa saja. intinya tadi adalah mengukur kepuasan kerja seseorang. Bahwa alat ukur yang digunakan tersebut adalah yang disetujui oleh masing perusahaan/lembaga/rumah sakit yang dianggap standart.

Banyak teori yang menyebutkan tentang kepuasan kerja, tidak ada ketentuan mana yang paling benar. Namun, menyesuaikan dengan kondisi dan bagian mana yang diukur merupakan sebuah tahapan untuk memilih alat ukur yang tepat. Bahwa masing-masing teori memiliki kelemahan serta kelebihan masing-masing. Untuk kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya dari pada balas jasa walaupun balas jasa itu penting. Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati diluar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Umunya kepuasan kerja Robbins mengetengahkan bahwa riset perilaku organisasi atau perusahaan telah memfokuskan pada tiga jenis sikap yaitu:
  1. Kepuasan kerja
Merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.

  1. Keterlibatan kerja
Merupakan ukuran derajat sejauh mana seseorang memihak secara psikologis terhadap pekerjaannya dan menganggap kinerjanya sebagai ukuran harga diri.

  1.  Komitmen organisasional
Adalah derajat sejauh mana seorang karyawan memihak suatu organisasi tertentu dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut

  1. Indikator kepuasan kerja perawat
  1. Perawat yang puas cenderung bekerja dengan kualitas yang lebih tinggi. Perawat yang menghasilkan kinerja baik, mempunyai sifat-sifat antara lain:
  1. Merasa senang
  2. Rasional
  3. Punya harga diri sebagai manusia
  4. Punya visi dan cita-cita

  1. Perawat yang puas cenderung bekerja dengan lebih produktif
    Perawat yang mempunyai motivasi tinggi akan menyenangi pekerjaannya sehingga akan lebih produktif daripada mereka yang kurang menyenangi pekerjaannya. Perawat tersebuh mempunyai sifat aktualisi diri :
  1. Realitis
  2. Dapat menerima dirinya sendiri
  3. Spontanitas, praktis, sederhana, dan alamiah.
  4. Focus pada inti masalah
  5. Otonom, bebas dari pengaruh budaya dan lingkungan
  6. Hubungan baik antar manusia
  7. Memiliki nilai dan sifat-sifat demokratis
  8. Mampu membedakan antara cara dan tujuan
  9. Filosofis dan mempunyai rasa humor yang tinggi
  10. Mempunyai nilai-nilai (values) dan harga diri (self esteem)
  11. Perawat yang puas cenderung bertahan lebih lama dalam perusahaan
  12. Perawat yang puas cenderung dapat menciptakan pelanggan/ pasien yang puas

  1. Permasalahan Kepuasan dan Motivasi Kerja Perawat
No.
Permasalahan Motivasi dan Kepuasan Kerja Perawat
Solusi Secara Teori
1.
Sebagian besar perawat ada yang tidak mempunyai kinerja yang baik, malas melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, dan sering datang terlambat
Teori Hierarki Kebutuhan menurut Maslow. Menurut Maslow, individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat bagi mereka pada waktu tertentu. Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Kapasitas tersebut merupakan pembawaan dari setiap manusia. Sehingga untuk menangani permasalahan tersebut sangat diperlukan pemenuhan kebutuhan dasar bagi perawat agar selalu termotivasi dalam bekerja
2.
Hasil survey di RSUD Jawa Tengah oleh mahasiswa residensi tahun 2009 yaitu sebesar 58,33% kepala ruangan menyatakan perlu adanya pengembangan karir bagi perawat dan 52% perawat pelaksana menyatakan belum memahami tentang sistem jenjang karir.
Hasil survey tahun 2010 di rumah sakit yang sama yaitu sebesar 88,6% kepala ruang dan 94,3% ketua tim atau perawat pelaksana menyatakan jenjang karir perawat klinik perlu dilakukan(Suroso, 2011).
Jenjang karir akan mampu meningkatkan prestasi perawat, mencegah perawat pindah kerja, meningkatkan loyalitas dan memotivasi untuk dapat mengembangkan bakat dan kemampuan perawat. Hal ini suatu kebutuhan seorang perawat sehingga mampu memotivasi diri agar dapat memenuhi kebutuhan akan harga diri. Tiga tingkatan kebutuhan di bawah kebutuhan harga diri harus dapat dipenuhi terlebih dahulu. Kebutuhan fisiologis seperti kesehatan fisik, dan kebutuhan dasar harus dipenuhi. Kebutuhan rasa aman secara mental, psikologikal dan intelektual seperti memiliki kompetensi yang baik. Kebutuhan kasih sayang seperti dukungan dari suami atau istri dan anggota keluarga lain.
3.
Gaji yang kurang sesuai dengan tindakan yang telah dilakukan perawat
Menurut teori perubahan sosial (Adams, 1965; Blau, 1964), karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan membalasnya dengan membantu rekan kerjanya, mengerjakan tugas tambahan dan mendukung tujuan dari organisasinya. Sebaliknya, apabila karyawan kurang merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan kurang bersemangat untuk mendukung tujuan dari organisasinya
4.
Adanya korelasi antara motivasi kerja perawat dengan kecenderungan mengalami burnout, yaitu rxy sebesar -0,526 pada taraf signifikansi (p) 0,000 (p
Teori harapan merupakan suatu teori yang menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai alternatif tingkah laku berdasarkan harapannya (apakah ada keuntungan yang diperoleh dari tiap tingkah laku) (Nursalam, 2015). Jadi dengan diterapkannya teori harapan diharapkan seorang perawat dapat memilih dan bertindak sesuai dengan harapannnya yang kemudian dapat memotivasi seorang perawat tersebut dalam memberikan asuhan keperawatan dan burnout dapat dihindari.
5.
Ketidakadanya pengakuan dalam prestasi
Pengakuan atas prestasi masuk dalam Teori motivator yang dikemukakan Herzberg, dan Kebutuhan aktualisasi diri pada teori Maslow, sehingga sangat memungkinkan untuk dapat diukur dan mendapatkan hubungan yang signifikan antara keduanya. Jika perawat kurang mendapat pengakuan atas prestasi dan berdampak pada kehilangan tingkat motivasinya, dapat berpengaruh pada produktifitas kerja seperti merawat luka dan memberikan pelayanan keperawatan, maka dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya kecacatan, malpraktik sampai hilangnya nyawa seseorang
6.
Faktor dominan dari isi pekerjaan yang menyebabkan kepuasan kerja perawat yaitu faktor penghargaan dan otonomi, sedangkan faktor dominan dari lingkungan pekerjaan berkaitan dengan faktor hubungan dengan rekan, hubungan dengan atasan langsung dan kondisi tempat kerja. Faktor yang paling berpengaruh dari karakteristik perawat, isi pekerjaan dan lingkungan pekerjaan terhadap kepuasan kerja perawat adalah faktor kesempatan pengembangan karier dan hubungan dengan atasan langsung
  1. Motivasi
  2. Lingkungan: faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung motivasi kerja utuk pencapaian kepuasan kerja yang meliputi: komunikasi, potensial pertumbuhan, kebijaksanaan individu, upah/gaji, kondisi kerja yang kondusif.
  3. Peran Manajer 

Dari teori tersebut solusi yang dapat diberikan adalah :
  1. Menumbuhkan rasa kebersamaan sehingga komunikasi yang efektif antar staff dapat berjalan dengan baik. Diharapkan dengan adanya komunikasi yang baik antar staff masalah dapat diatasi bersama sehingga kepuasan kerja dapat tercapai.
  2. Menciptakan kondisi tempat kerja yang kondusif dengan cara pembagian tugas untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi staf dalam melaksanakan tugasnya. Rencana pembagian tugas terdiri dari tiga aspek, yakni pengembangan tugas, keterlibatan dalam tugas, dan rotasi tugas.
7.
Gaji perawat di rumah sakit masih senilai dengan UMR, dan masih banyak rumah sakit yang tidak mengklasifikasikan gaji perawat sesuai dengan lulusan, atau gelar yang didapatkan. Bagi perawat yang bekerja pada institusi pemerintah di dalam negeri ,masih dirasa rendah bila dibandingkan di luar negeri. Hal ini dapat memengaruhi kinerja perawat dalam memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan. Apalagi asih ada rumah sakit yang menggaji perawat lulusan S1 dengan D3 dengan harga yang sama
M Menurut Rowland dan Rowland, 1997 dalam Nursalam 2015 , manager memiliki peranan penting dalam meningkatkan kepuasan kerja dan faktor-faktor motivasi adalah sebagai berikut :
  1. Keinginan untuk peningkatan ;
  2. Percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi;
  3. Memiliki kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan;
  4. umpan balik;
  5. kesempatan untuk mencoba;
  6. instrument penampilan untuk promosi, kerja sama, dan peningkatan penghasilan
2. Lingkungan
faktor lingkungan memberikan pengaruh penting pula dalam motivasi kerja perawat, diantaranya:
  1. komunikasi
  2. Potensial pertumbuhan
  3. Kebijaksanaan Individu
    1. mengakomodasi kebutuhan individu;
    2. keamanan pekerjaan;
    3. loyalitas pekerjaan;
    4. menghargai staf berdasarkan agama dan latar belakangnya;
    5. adil dan konsisten terhadap keputusan organisasi;
    6. upah / gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup;
    7. kondisikerja kerja yang kondusif.
Saran atau solusi yang dapat diajukan dan diberikan adalah:
  1. Pembuatan kebijakan pada rumah sakit atau instansi kerja untuk membeikan gaji sesuai dengan golongan dan lulusan perawat, sehingga terdapat perbedaan gaji antara perawat lulusan S1 dengan perawat lulusan D3/ SPK.
  2. Pembuat kebijakan menaikkan gaji perawat sesuai dengan kinerja perawat dan golongannya.
8.
Pimpinan yang mendorong seorang perawat bekerja sangat bervariasi dan berbeda kapabilitasnya satu dengan lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam satu unit keperawatan, ada perawat yang rajin dan tekun dalam bekerja, sangat produktif dan mempunyai kemampuan tinggi dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan asuhan keperawatan. Sebaliknya ada perawat yang malas, dan kurang memiliki semangat dan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja rendah.
Teori hirarki kebutuhan maslow dapat memecahkan persoalan motivasi diatas, yang berisi antara lain:
  1. fisiologi, yang berupa gaji pokok. perawat membutuhkan gaji yang tetap untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini juga dikarekan untuk menempuh sekolah pendidikan keperawatan pun juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
  2. Aman, yang berupa perencanaan yang regular (gaji). Penentuan besar/ tidaknya gaji nya bias berdasarkan bagaimana kinerja seseorang tersebut yang biasanya berbeda antara satu dengan yang lain
  3. Kasih sayang, yang berupa kerja sama secara tim. Hal ini dilakukan apabila terdapat masalah harus diselesaikan solusinya berlandaskan rasa kasih sayang
  4. Harga diri, yang berupa pencapaian posisi. Semakin tinggi posisi/ jabatan yang dipegang oleh perawat, akan membutuhkan sebuah harga diri
  5. Aktualisasi, berupa tantangan dalam bekerja. dalam setiap pekerjaan yang dilakukan perawat akan selalu ditemui masalah yang berbeda, hal ini karena setiap manusia itu unik (berbeda antara satu dengan yang lai), sehingga perawat dituntut harus selalu belajar.

  1. Peran Pimpinan dalam Meningkatkan Motivasi dan Kepuasan Perawat
Menurut Tjiptono (2001), gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pimpinan dalam berinteraksi dengan bawahannya. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerjasama dan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Gaya kepemimpinan pada penelitian ini menggunakan teori Fiedler dimana gaya kepemimpinan dibentuk oleh dua dimensi yaitu ; gaya yang berorientasi kepada tugas dan gaya yang berorientasi kepada hubungan kemanusiaan.

Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh seseorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang di pergunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Masing-masing gaya tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Seorang pemimpin akan menggunakan gaya kepemimpinan sesuai dengan kemampuan dan kepribadiannya (Sukarno & Marzuki, 2002).

Disamping faktor kepemimpinan, faktor motivasi yang akan mempengaruhi kinerja pegawai yang dimiliki seseorang adalah merupakan potensi, seseorang belum tentu bersedia untuk mengerahkan segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai hasil yang optimal, sehingga masih diperlukan adanya pendorong agar seseorang perawat RS PKU Muhammadiyah Bantul dapat menggunakan seluruh potensinya. Daya dorong tersebut sering disebut motivasi (Handoko, 2002).

Salah satu konsep proses motivasi yang penulis kaji adalah konsep dari Hasibuan (2010 : 101 - 102) Dalam pelaksanaannya pemimpin harus konsisten dan adil dalam memberikan motivasi serta sesuai dengan konsep motivasi yakni tujuan , mengetahui kepentingan, menggunakan tekhnik komunikasi efektif, integrasi, dan fasilitas.

Berdasarkan teori dan konsep kepemimpinan pemimpin memiliki andil besar dalam meningkatkan motivasi kerja pegawai. penguasaan teknik-teknik kepemimpinan akan mendorong setiap pemimpin dan anggota kelompok untuk melaksanakan tugas dan kewajiban serta tanggung jawab yang tinggi. Sehingga pemimpin dapat mengetahui kualitas apa yang akan merangsang mereka untuk bekerja sebaik mungkin dan mampu membangkitkan semangat kerja yang tinggi, sehingga tercapainya kualitas kerja, khususnya dalam mencapai visi dan misi organisasi atau instansi tempat mereka bekerja.

Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja karyawan. Hal ini berarti seorang pemimpin melakukan aktivitas memimpinnya secara strategis maka hal tersebut memengaruhi motivasi kerja perawat yang dipimpinnya secara langsung. Sebagai seorang pemimpin, direktur dipandang mampu memengaruhi dan memberi motivasi positif terhadap karyawannya melalui kewenangan dan posisinya, kemampuannya mempertahankan budaya organisasi dan menciptakan keteraturan, ketertiban bagi karyawannya. Orientasi kepemimpinan akan nampak dari sikap, dan perilaku pemimpin yang memahami visi, misi dan strategi organisasi, pribadi yang integratif dan proaktif serta terlihat pada perubahan dan selalu meng-update informasi dengan membangun jejaring secara luas.

Kepemimpinan yang diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Bianco dan Schermerhorn (2004) menyebutkan bahwa karakteristik kepemimpinan yakni selalu mendorong terciptanya perubahan perilaku secara positif dan mandiri, dengan sendirinya memungkinkan orang lain termotivasi melakukan hal yang sama serta berani mengambil resiko.

Suyanto (2008), menyatakan bahwa dalam proses kepemimpinan, motivasi merupakan sesuatu yang esensial dalam kepemimpinan, karena memimpin adalah memotivasi. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi, sebab keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat bergantung kepada kewibawaan, dan peran pemimpin dalam menciptakan motivasi di dalam diri setiap staff, kolega maupun atasan pemimpin itu sendiri. Gaya kepemimpinan memiliki pengaruh yang besar terhadap motivasi perawat, karena gaya kepemimpinan mempengaruhi dan mengarahkan orang lain supaya mereka memiliki motivasi untuk mencapai tujuan yang akan dicapai dalam situasi tertentu, sehingga akhirnya harus disadari bahwa peranan kepemimpinan dalam suatu organisasi sangatlah penting dan sangat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Jika gaya kepemimpinan baik, maka motivasi kerja staff semakin tinggi, dan sebaliknya jika gaya kepemimpinan kurang baik maka motivasi kerja akan semakin rendah, sehingga ada ketergantungan antara motivasi kerja terhadap pimpinan dimana pimpinan dapat mempengaruhi moral, kepuasan kerja dan kualitas kehidupan kerja dalam rangka meningkatkan motivasi kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dapat dilihat bila mampu menciptakan motivasi sesuai dengan keadaan staff dan pekerjaannya.

Tingkah laku pemimpin yang istimewa, pertama adalah kemampuan memberi inspirasi bersama atau pemimpin sebagai inspirational motivation, yaitu memberikan gambaran ke masa depan dan membantu orang lain. Kedua, adalah kemampuan membuat model pemecahan (idealized influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan keberhasilan-keberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami tentang transformational leadership, yaitu bahwa seorang pemimpin dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat cara: idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation dan individualized consideration (Bass 1997).

Peran pemimpin dapat memengaruhi faktor motivasi dan lingkungan. Secara umum, peran pemimpin dapat dinilai dari kemampuannya dalam memotivasi dan meningkatkan kepuasan staf (perawat khususnya). Kepuasan staf dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis. Kebutuhan psikis tersebut dapat terpenuhi melalui peran pemimpin dalam memperlakukan staf nya. Hal ini perlu ditanamkan dalam diri pemimpin agar menciptakan suatu keterbukaan dan memberikan kesempatan kepada staf untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Pemimpin mempunyai lima dampak terhadap faktor lingkungan dalam tugas profesional, yaitu komunikasi, potensial perkembangan, kebijaksanaan, gaji atau upah, dan kondisi kerja (Nursalam, 2015).

  1. Komunikasi : penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan; pengetahuan tentang kegiatan organisasi; rasa percaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
  2. Potensial pertumbuhan : kesempatan untuk berkembang, karier, dan promosi; dukungan untuk tumbuh dan berkembang (pelatihan, beasiswa pendidikan dan pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan)
  3. Kebijaksanan individu :
  1. Mengakomodasi kebutuhan individu ;  jadwal kerja, liburan, dan cuti sakit serta pembiayaannya
  2. Keamanan pekerjaan
  3. Loyalitas organisasi terhadap staf
  4. Menghargai staf berdasarkan agama dan latar belakangnya
  5. Adil dan konsisten terhadap keputusan organisasi

  1. Upah/gaji : gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup
  2. Kondisi kerja yang kondusif : Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abd Rahman A tentang kinerja perawat (2013) yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja perawat. Dalam hal ini berarti gaya kepemimpinan dalam mengarahkan, membina, berpartisipasi, dan mendukung bawahan dalam bekerja mampu memberikan kepuasan kerja dan meningkatan kinerja perawat pelaksana yang lebih baik dalam mencapai tujuan yaitu memberikan pelayanan keperawatan di RSUD AWS. Gaya kepemimpinan berperan penting dalam memberikan petunjuk kepada karyawan secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas - tugasnya.

Sedangkan Menurut Herzberg dalam Mathis & Jackson (2006) dan Gomes (2003) faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepuasan Kerja, yaitu :
  1. Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Dengan kata lain kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pemimpin tersebut.  Kepemimpinan manajerial ditandai dengan sifat manajerial dan keterampilan manajerial yang mengarah ke pemberdayaan. Pembuatan keputusan pemimpian dalam sebuah organisasi tergantung pada gaya kepemimpinan (Siagian, 2005)

  1. Kompensasi (insentif)
Kompensasi merupakan istilah luas yang berkaitan dengan imbalan - imbalan yang diterima oleh orang - orang melalui hubungan kepegawaian mereka dalam organisasi. Terminologi –terminologi dalam kompensasi adalah sebagai berikut :

1) Upah dan Gaji
Upah (wages) biasanya berhubungan dengan tarif per jam (semakin lama jam kerja, semakin besar pula bayarannya) yang kerap digunakan bagi pekerja –pekerja produksi dan pemeliharaan ( pekerjaan-pekerjaan kerah putih ) biasanya di gaji.

2) Insentif
Insentif adalah tambahan – tambahan diluar gaji atau upah yang diberikan oleh organisasi. Tujuan utama program insentif adalah mendorong dan mengimbangi produktifitas karyawan dan efektifitas biaya.

  1. Kondisi Lingkungan Kerja
Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor lain yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Demikian pula yang dinyatakan Flippo (2000), kondisi kerja yang nyaman aman dan menarik merupakan keinginan karyawan untuk dipenuhi perusahaan. Teori hubungan manusiawi menggunakan faktor kondisi lingkungan kerja sebagai salah satu variabel motivator. Asumsi manajemen yang dipakai adalah orang ingin bekerja dalam suatu lingkungan kerja yang aman dan menyenangkan dengan seorang atasan yang adil dan penuh pengertian. Karyawan yang bahagia akan bekerja lebih giat karena kepuasan kerja meningkat.

  1. Kesempatan Promosi
Promosi memberi kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil, kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka. Hal ini dapat mendorong motivasi perawat untuk senantiasa meningkatkan komitmen bekerja di rumah sakit tersebut (Transyah, 2012)

  1. Supervisi
Untuk mencapai tujuan pelayanan rumah sakit, khususnya pelayanan keperawatan diperlukan supervisi keperawatan. Supervisi keperawatan adalah proses pemberian sumber–sumber yang dibutuhkan perawat untuk menyelesaikan tugas dalam rangka pencapaian tujuan. Adapun tujuan dari supervisi keperawatan adalah pemenuhan dan peningkatan kepuasan pelayanan pada klien dan keluarganya. Kegiatan supervisi merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilaksanakan oleh pengelola (manajer) dari yang terendah, menengah dan atas. Tanggung jawab supervisor dalam manajemen pelayanan keperawatan adalah menetapkan dan mempertahankan standar praktek pelayanan dan asuhan keperawatan, menilai kualitas pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan, mengembangkan peraturan dan prosedur yang mengatur pelayanan keperawatan, bekersama dengan tenaga kesehatan lain yang terkait, memantapkan kemampuan perawat dan memastikan praktek keperawatan professional dijalankan (Bachtiar, 2002).

Kepuasan kerja adalah keadaan  emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkandimana karyawan memandang pekerjaanya (Handoko, 2001). Menurut Kreitner dan Kinicki, 2001(dalam Wibowo, 2011) terdapat lima faktor yang menyebabkan kepuasan kerja, yaitu :
  1. Need Fulfillment (pemenuhan keubutuhan) Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan, memberikan kesempatn kepada individu  untuk memenuhi kebutuhannya.
  2. Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan.  Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan  antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari  pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima,  orang akan merasa tidak  puas. Sebaliknya diperkirakan individu  akan puas apabila menerima manfaat diatas harapan.
  3. Value attainment (pencapaian nilai) Gagasan  value attainment adalah bahwa kepuasan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individal  yang penting.
  4. Equity (keadilan) Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi  dari seberapa adil individu diperlakukan ditempat kerja. Kepuasan  merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara  hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan  dengan perbandingan antara keluaran dan masu kkan pekerjaan  lainnya.
  5. Dispositional/genetic component (komponen genetik) Beberapa individu tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja,  sedangkan yang lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan  pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian  merupakan fungsi  sifat pribadi dan faktor genetic

Pengaruh kepuasan kerja akan berdampak pada kinerja, kemangkiran dan keterlambatan, pindah kerja, komitmen terhadap organisasi dan kesehatan fisik dan mental pekerja itu sendiri(Noe, dkk, 2011). Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam menyelenggarakan berbagai kegiatannya terutama terlihat dalam kinerja para pegawainya (Siagian, 2004).

Menurut Gomes (2003), pertimbangan subjektif seseorang tentang kepuasan kerja berhubungan dengan gaji/insentif, kondisi lingkungan kerja, supervisi, hubungan antar perorangan dalam bekerja (pimpinan dan teman sejawat) dan peluang-peluang di masa yang akan datang (promosi). Oleh karena itu kepuasan kerja perawat perlu mendapat perhatian serius dari pihak manajemen rumah sakit karena tenaga keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara menyeluruh dan sebagai penjalin kontak pertama dan terlama dengan pasien dan keluarga.

Dalam buku karangan Nawawi (2003:46-57) menjabarkan beberapa peran dan fungsi dari pemimpin. Peran dan fungsi ini dapat berjalan dengan baik dan hal ini akan mempengaruhi motivasi dan kepuasan dari pekerja atau perawat yang baik pula.
  1. Fungsi Pengambil Keputusan : Pemimpin harus berani dalam mengambil keputusan, Karena jika pemimpin tidak berani mengambil keputusan, pemimpin tidak akan dapat menggerakan anggotanya. Keberanian mengambil keputusan menunjukan bahwa pemimpin mengetahui cara mencapai tujuan organisasi yang nantinya akan bermanfaat bagi semua pekerja. Sebagai pelaksana kepemimpinan, seorang pemimpin perlu mengikutsertakan pekerja, sesuai posisi dan tujuannya masing-masing. Sehingga pearawat dapat meningkatkan motivasinya dalam bekerja dan mencapai kepuasan dalam bekerja.
  2. Fungsi Instruktif : Wewenang pemimpin dalam memerintahkan anggotanya untuk melakukan tanggungjawabnya. Peran pemimpin tidak boleh bersikap otoriter atau bersikap sewenang-wenang terhadap anggotanya. Pemimpin harusnya memberikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kemampuan anggotanya. Dengan demikian diharapkan perintah akan dilaksanakan dengan lebih hatihati dan teliti dan pekerjatidak merasa terintimidasi dengan tugas yang diberikan, dan melaksanakan tanggung jawabnya.
  3. Fungsi Konsultatif : Peran pemimpin dalam hal ini adalah pemimpin bersedia memberikan kesempatan untuk berkonsultasi bagi anggotanya Setiap pemimpin dinilai sebagai seseorang yang memiliki kelebihan dibanding dengan pekerja yang lain. Berdasarkan penilaian tersebut, pemimpin harus siap dan bersedia memberikan kesempatan kepada pekerja untuk berkonsultasi. Konsultasi tersebut berguna untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun masalah pribadi. Selain itu pekerja juga diberi kesempatan menyampaikan saran, kritik, dan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan dan organisasi. Hal ini akan meningkatkan pekerja untuk bekerja lebih baik lagi dan kepuasan dalam bekerja akan meningkat.
  4. Fungsi Partisipatif : Peran partisipasi ini dibagi menjadi dua hal. Partisipasi yang pertama dengan mengikutsertakan pekerja sesuai posisi dan kewenangannya dalam berbagai kegiatan yang relevan. Sedangkan partisipasi yang kedua adalah kesediaan pemimpin untuk berpartisipasi dalam membantu pekerja menyelesaikan masalah yang dihadapi.
  5. Fungsi Delegatif : Pemimpin harus mampu membagi pekerjaan dan melimpahkan wewenang dan tanggung jawab pelaksanaannya, termasuk juga dalam mengambil keputusan sesuai batas kekuasaan dan tanggung jawab yang telah dilimpahkan itu secara adil sehingga pekerjaakan merasa bekerja sesuai dengan kemampuannya dan memicu semangat motivasi untuk bekerja secara maksimal.

Peran pemimpin yang proaktif dalam kerja tim dan pemimpin selalu memberikan inspirasi serta melibatkan semua perawat dalam setiap kegiatan merupakan salah satu peran yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam menciptakan sebuah tim yang bagus, karena apabila seorang pemimpin tidak melakukan perannya dalam membangun sebuah tim dengan baik maka untuk membangun sebuah tim yang bagus dirasa akan sangat sulit, dikarenakan dalam membangun sebuah tim dibutuhkan seorang role model untuk menciptakan suatu tujuan yang sama. Dalam pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan, para perawat diatur dan dipimpin oleh kepala ruangan. Kepala ruang tersebut akan menjalankan peran sebagai seorang manajer sekaligus menjalankan peran seorang pemimpin, mengatur dan mengarahkan para perawat bertugas (Suyanto,2009). Serta peran pimpinan dapat memberikan reward atau penghargaan bagi karyawannya untuk dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan dalam kinerja perawat.

Pemimpin (manajer) adalah orang yang memilki peranan penting dalam kualitas kinerja pegawai (perawat). Hal tersebut erat kaitannya dengan beberapa hal yaitu motivasi dan kepuasan kerja. Pemimpin perlu melakukan kegiatan yang dapat menciptakan suasana yang motivatif, diantaranya :
  1. Mengkomunikasikan harapan yang jelas pada stafnya
  2. Adil dan konsisten kepaa semua staf
  3. Keputusan harus tepat dan sesuai.
  4. Mengembangkan konsep kerja tim.
  5. Mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan staf terhadap tujuan organisasi.
  6. Memahami perbedaan dan keunikan dari masing-masing staf.
  7. Menghindarkan perbedaan antar staf.
  8. Mengijinkan staf untuk mengerjakan tugas yang dapat menambah pengalaman.
  9. Meminta tanggapan dari staf tentang keputusan yang akan diambil di organisasi.
  10. Memastikan staf memahami dampak dari keputusan atau tindakan yang akan diambil.
  11. Memeberi kesempatian setiap orang untuk mengambil keputusan sesuai tugas limpah yang diberikan.
  12. Menciptakan situasi saling percaya dan kekeluargaan dengan staf
  13. Memberikan kesempatan pada staf untuk melakukan koreksi dan pengawasan terhadap tugas.
  14. Memeberikan dukungan yang posistif.
  15. Menjadi role model bagi staf.

Peran pimpinan dalam meningkatakn motivasi kerja perawat sebagai berikut ( Darling, 1984 dikutip oleh Marquis dan Huston,1998:246)
  1. Model : seseorang yang perilakunya menjadi contoh dan panutan
  2. Energizer : seseorang yang selalu dinamis dan memberikan stimulasi kepada staf untuk partisipasi terhadap progam kerjanya
  3. Investor : seseorang yang menginvestasikan waktu dan tenaga dalam perkembangan profesi dan organisasi
  4. Teacher coach : seseorang yang mengajarkan kepada anda tentang kemampuan skill interpersonal, dan politik yang penting dalam pengembangan
  5. Feedback giver : seseorang yang memberikan umpan balik, baik secara tulus positif atau positif dalam perkembangan
  6. Problem solver : seseorang yang akan membantu anda dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
  7. Challenger : seseorang yang mendorong anda untuk menghadapi perubahan/tantangan secara kritis dan pantang menyerah
Nursalam menjelaskan dalam bukunya “Manajemen Keperawatan Edisi 5”, bahwa peran manajer dapat dilihat dari kemampuannya dalam memotivasi dan meningkatkan kepuasan staf. Terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis merupakan salah satu indicator penilaian kepuasan kerja staf. Manajer memperlakukan staf dengan baik merupakan salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan psikis tersebut.

Menurut Rowland (1997) ada dua belas kunci utama dalam kepuasan kerja, diantaranya sebagai berikut :
  1. Input
  2. Disiplin kerja
  3. Lingkungan termpat kerja
  4. Diskriminasi
  5. Hubungan manajer dengan staf
  6. Istrahat dan makan yang cukup
  7. Klarifikasi kebijaksanaan, prosedur dan keuntungan
  8. Kepuasan kerja
  9. Penghargaan penampilan
  10. Mendapatkan kesempatan
  11. gaya manajer
  12. Pengambilan keputusan

Dalam upaya meningkatkan motivasi menurut Rowland (1997), (dalam S. Suarli, Manajemen Keperawatan, 2004:44), fungsi pemimpin dalam meningkatkan kepuasan kerja staf, didasarkan pada faktor motivasi, yang meliputi:
  1. Keinginan untuk peningkatan
  2. Percaya bahwa gaji yang didapat sudah mencukupi
  3. Memiliki kemampuan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan
  4. Umpan balik
  5. Kesempatan untuk mencoba
  6. Instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama, dan peningkatan penghasilan

Kinerja adalah upaya (aktivitas) ditambah hasil kerja (Supriyanto dan Ratna, 2007). Sedangkan, Kepuasan adalah model kesenjangan antara harapan (standar kinerja yang seharusnya) dengan kinerja actual yang diterima pelanggan (Woodruff and Gardial dalam Supryanto, 2006). Menurut keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepuasan kinerja perawat dapat dicapai jika pemimpin sudah memenuhi atau melakukan beberapa kegiatan yang tertera.
Kinerja staff tidak dapat terlepas dari peran pemimpinnya. Menurut Bass dan Avolio (1990), peran kepemimpinan atasan dalam memberikan kontribusi pada staff untuk pencapaian kinerja yang optimal dilakukan melalui lima cara yaitu:
  1. Pemimpin mengklarifikasi apa yang diharapkan dari staff, secara khusus tujuan dan sasaran dari kinerja mereka,
  2. Pemimpin menjelaskan bagaimana memenuhi harapan tersebut,
  3. Pemimpin mengemukakan kriteria dalam melakukan evaluasi dari kinerja secara efektif,
  4. Pemimpin memberikan umpan balik ketika staff telah mencapai sasaran, dan
  5. Pemimpin mengalokasikan imbalan berdasarkan hasil yang telah mereka capai.

Teori Path Goal menyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi staffnya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan staff yang tinggi. Teori ini menyatakan bahwa situasi yang berbeda mensyaratkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Staff dengan locus of control internal menunjukkan bahwa kepuasan kerjanya akan lebih tinggi dengan gaya kepemimpinan yang partisipatif, sedangkan staff dengan locus of control eksternal menunjukkan bahwa kepuasan kerjanya akan lebih tinggi dengan gaya direktif. Teori Path Goal menjelaskan tentang perilaku pemimpin gaya direktif, gaya suportif, gaya partisipatif, gaya pengasuh dan gaya orientasi prestasi mempengaruhi prestasi kerja dan kinerja staff. Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para staff dan mampu memberikan motivasi kepada mereka tentang kejelasan tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan efektif.

Menurut Kron(2010), seorang manajer keperawatan/ pimpinan keperawatan harus terampil dalam mengorganizir kegiatan antara lain :
  1. Perencanaan dan pengorganisasian, manajer keperawatan dituntuk untuk mampu membuat rencana kegiatan baik yang bersidat teknik atau non teknik keperawatan
  2. Penugasan dan pengarahan, manajer keperawatan bertanggung jawab dalam hal ketepatan dan kebenaran pelaksanaan proses pelayanan keperawatan pasien
  3. Pemberian bimbingan, manajer keperawatan mampu menjadi media konsultasi dan fasilitator pelaksanaan proses pelayanan keperawatan
  4. Mendorong kerjasama dan partisipasi, manajer keperawatan dituntuk agar dapat membangun kinerja dalam tim
  5. Koordinasi, diperlukan sebagai sarana konsolidasi proses pelayanan keperawatan yang dilaksanakan
  6. Evaluasi penampilan kerja, manajer keperawatan perlu melakukan penilaian terhadap efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi bawahannya sehingga tujuan keperawatan tercapai (Swanburg,2000).

Perawat merupakan salah satu tim pelayanan kesehatan terbesar yang dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan, maka kinerja dari seluruh perawat pelaksana senantiasa dipacu untuk ditingkatkan (Robbins, 2007). Menurut Suarli dan Bahtiar (2009), ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu meliputi minat dan sikap positif. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi upah dan gaji, keamanan kerja, kehormatan dan pengakuan, perlakuan yang adil, gaya kepemimpinan, serta suasana kerja. Dari beberapa faktor tersebut, gaya kepemimpinan memiliki pengaruh yang besar terhadap motivasi perawat.

Dalam proses kepemimpinan, motivasi merupakan sesuatu yang esensial dalam kepemimpinan, karena memimpin adalah memotivasi. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi, sebab keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat bergantung kepada kewibawaan, dan juga pemimpin itu di dalam menciptakan motivasi di dalam diri setiap orang staff, kolega maupun atasan pemimpin itu sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa motivasi merupakan masalah yang sangat penting dalam setiap usaha kelompok orang yang bekerjasama dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dapat dilihat bila mampu menciptakan motivasi sesuai dengan keadaan staff dan pekerjaannya (Suyanto, 2008). Sebagai kepala ruangan, pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk memahami bahwa seseorang memiliki motivasi yang berbeda-beda.

Dalam hal tersebut, gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan diharapkan mampu membangkitkan motivasi perawat. Motivasi ini menjadi penting karena dapat meningkatkan kapasitas pekerjaan staffnya setelah dilakukan motivasi dari kepala ruangannya. Gaya kepemimpinan kepala ruangan untuk memimpin staff akan mempengaruhi semangat kerja staffnya. Gaya kepemimpinan yang baik adalah gaya kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan kematangan staffnya sehingga dapat meningkatkan motivasi kerja dari staffnya dan mampu mendorong staffnya dalam mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan yang ada. Tujuan tersebut harus dapat dicapai dengan sebaik-baiknya jika kepala ruangan dapat bekerjasama dengan staffnya (Sugiyarti, 2008).

Peran pemimpin untuk meningkatkan motivasi kerja perawat menurut Kerr, motivasi kerja yang tinggi bukan sesuatu yang bisa diwarisi begitu saja, dapat dipengaruhi situasi sekitarnya, maka motivasi kerja yang tinggi dapat dibentuk mengikuti cara tertentu. Individu dengan kebutuhan tinggi untuk berprestasi lebih menyukai situasi pekerjaan dengan memiliki tanggung jawab pribadi, memikul resiko, memiliki tujuan, memiliki rencana kerja, memafaatkan umpan balik, serta mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana. Bila karakteristik-karakteristik ini ada, peraih prestasi tinggi akan termotivasi.

Salah satu keadaan atau situasi yang mampu untuk meningkatkan motivasi kerja adalah peran pemimpin untuk menunjukan kecerdasan emosional, dimana kecerdasan emosional seseorang merupakan penentu terhadap kepemimpinan yang efektif. Presepsi bawahan terhadap efektivitas pemimpin berkaitan dengan kecerdasan emosional pemimpin menurut hasil penilitian Kerr dan kawan-kawan. Pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai sikap terbuka, transparan, akomodatif, konsisten, satu kata dengan perbuatan, menepati janji, jujur, adil, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, lebih mengutamakan rasio daripada emosi daripada emosi, tidak reaktif bila mendapat kritik, dan berwibawa. Kewajibannya ditegakkan dengan arif dan bijaksana, bukan semata-mata dengan power atau kekuasaan.

Dalam Nursalam (2015) disebutkan bahwa upaya untuk mencapai peningkatan kepuasan kerja perawat ialah dengan menciptakan suatu situasi yang kondusif dalam lingkungan kerja. Salah satu strategi yang perlu dipertimbangkan ialah menyusun rencana kerja yang bertujuan untuk meningkatkan efektiviktas dan efisiensi staf dalam melaksanakan tugas. Rencana pembagian tugas terdiri dari : pengembangan tugas, keterlibatan dalam tugas dan rotasi tugas.




DAFTAR PUSTAKA

Alfiana Indah Muslimah, Nadiatul Wahdah. Maret 2013. Hubungan Antara Attachment Dan Self Esteem Dengan Need For Achievement Pada Siswa Madrasah Aliyah Negeri 8 Cakung Jakarta Timur. Jurnal Soul, Vol. 6, No.1. http://ejournalunisma.net/ojs/index.php/soul/article/view/736 diakses pada 15 desember 2015 pukul 11.30 WIB.
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Universitas Trisakti
Hamid, S. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia Lanjutan . Yogyakarta: Deepubliser.
Hasanah, Nurul. 2014. Pengaruh Budaya Organisasi dan Persespsi Dukungan Organisasi terhadap Need for Achievement pada Polisi Wanita di Polda Sumatera Utara. Master Theses (MT) Psychology Universitas Sumatera Utara. Tersedia: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/41572
http://saptini.weblog.esaunggul.ac.id2013/12/24/teori-2-faktor-herzberg/
http://teorionline.net/teori-motivasi-kebutuhan-mcclelland/ diakses pada 15 desember 2015, pukul 15.19 WIB
http://www.justelsa.com/2010/05/teori-motivasi-david-c-mcclelland.html diakses pada 15 desember 2015, pukul 15.00 WIB
Indriyo, Gitosudarmo dan Agus, Mulyono. 1999. Prinsip Dasar Manajemen. Edisi Ketiga.Yogyakarta : BPFE
Limbong, Dessy Pauba Yanti. 2009. Pengaruh Faktor-Faktor Motivasi Kerja Terhadap Kinerja yang Dipersepsikan Karyawan Departement Front Office di Hotel Grand Quality. Yogyakarta.S1 Thesis UAJY.
Lusianah. 2008. Hubungan Motivasi dan Supervisi dengan Kualitas Dokumentasi Proses Keperawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127217-TESIS0480%20Lus%20N08h-Hubungan%20motivasi-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 15 Desember 2015
Mitchell, T. R. 1999. People In Organization : Under Standing Their Behaviors. New York : Mc Grow-Hill
Murtiningrum, Dina. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Karyawan pada PT Bank Ocbc Nisp Tbk Metro. Medan. Geladikarya Sekolah Pascasarjana USU
Nursalam. 2015. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawtan Profesional. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam; Effendi, Ferry. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Robbins, S. P. 1996. Organizational Behaviour. Prentice Hall: Newyork
Vinchur, A.J., & Koppes, L.L. (2011). A historical survey of research and practice in industrial and organizational psychology. In S. Zedeck (Ed.), APA handbook of industrial and organizational psychology (pp. 9-36). Washington: APA
Wahyuni, Isra, dan Dian Arruum. 2012. Motivasi dan kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Bhayangkara Medan. http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/download/176/130 diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pukul 06.45 WIB
Wijayanti, Feny Chandra. 2014. Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap Keinginan untuk Keluar (Intensi keluar) dari Suatu Organisasi pada Perawat di RSI Hidayatullah Yogyakarta. Jurnal STMIK AMIKOM Yogyakarta
Yuli, Sri Budi Cantika. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang. UMM Press
Yuliana, Baiq Khaulah. 2012. Perilaku Organisasi Teori Keadilan (Equity Theory) materi dalam bentuk prezi.
Amir, M. Abdul Azis. 2014. Chapter Report Theories and Research on Job Satisfaction. Diakses pada http://www.academia.edu/17747602/THEORIES_AND_RESEARCH_ON_JOB_SATISFACTION 16 Desember, 19:30 WIB.
Ayunda Fatmasari. Teori Kepuasan Kerja.https://www.academia.edu/4484430/Teori_Kepuasan_Kerja)
Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee Satisfaction of Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002
Hartati, Sri, et al. (2011). “Hubungan Kepuasan Kerja dengan Prestasi Kerja Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Klaten”. KES MAS Vol 5, No. 1 Januari 2011 : 1-67
Hasan, L 2012, ‘PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN DISIPLIN TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN PERTAMBANGAN DAN ENERGI KOTA PADANG’, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Volume 3, Nomor 1, pp. 57-92.
Heijdrachman, Suad Husnan. 1992. Manajemen Personalia, Edisi empat. BPPFE: Yogyakarta.
Kartono. 1985.Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, C.V. Rajawali:Jakarta.
Maslow, A. 2008. “Teori Dinamika Holistik”. Dalam Jess Feist dan Gregory J. Feist (Ed.).Theories of Personality. Edisi Keenam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Moh. As’ad. 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta : LIBERTY
Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997
Nursalam. 2015. Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam,2015, Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalm Praktik Keperawatan Profesional Edisi 5, Salemba Medika, Jakarta.
Paramarta, Vip, Tendi Haruman. 2005. Kepuasan Kerja: Konsep, Teori, Pendekatan, dan Skala Pengukurnya. Jurnal Bisnis, Manajemen dan Ekonomi, 6(3), pp.487-502
Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997
Puspa Ayu Maharani. 2012. Kejenuhan Kerja (Burnout) Dengan Kinerja Perawat Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan. Volume 5 ,nomer 2. Kediri. Jurnal Stikes.
Robbins, Stephen P dan Judge, Timothy A, 2007, Perilaku Organisasi "Organizational Behavior", Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Shobaruddin.1988. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, Cetakan pertama, P.T. Bina Aksara, Jakarta.
Stewart, M. (2010). Theories X and Y, Revisited. Oxford Leadership Journal, Volume 1 Issue 3, June , 1-5.
eprints.uny.ac.id/7518/3/BAB 2-09409131010.pdf diakses pada 15 Desember 2015 pukul 16.22 WIB
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois
Yanidrawati, K. 2012. Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.






0 comments:

Post a Comment

Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.