السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Tuesday 5 March 2019

Asuhan Keperawatan Osteoporosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


  1. Anatomi system musculoskeletal

Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot dan struktur pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia, dan bursae). Pertumbuhan dan perkembangan struktur ini terjadi selama masa kanak-kanak dan remaja (Suratun, 2008).


Gambar 1. Anatomi Tulang (Linda Williams dan Paula Hopper, 2011).

  1. Tulang. Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan fungsi muskuloskeletal sangat bergantung pada sitem tubuh yang lain. Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung, dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga strtuktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memiliki kemungkinan tubuh bergerak. Pembagian skeletal yaitu:
  • Axial skeleton terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher, tengkorak, kolumna vetrebrae, tulang iga, tulang hioid sternum
  • Apendikular skeleton terdiri dari :
  1. Kerangka tulang lengan dan kaki
  2. Ekstremitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna, radial) dan tangan (karpal, metakarpal, falang)
  3. Ekstremitas bawah (tulang pelvis, femur, patela, tibia, fibula) dan kaki (tarsal, metatarsal, falang)

  1. Jenis Tulang. Ada empat jenis tulang, yaitu tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih dan tulang tidak beraturan (Suratun, 2008).
  1. Tulang panjang
Tulang panjang (mis., femur, humerus) bentuknya silindris dan berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas tulang kanselus.  Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa tulang kompakta yang mengelilingi sebuah rongga tengah yang disebut kanal medula yang mengandung sumsum kuning. Sumsum kuning terdiri dari lemak dan pembuluh darah, tetapi suplai darah sama seperti sumsum kuning dan di bungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Bagian luar tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat yang disebut periosteum. Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang menembus tulang.

Ada tiga kelompok pembuluh darah yang menyuplai tulang panjang, terdiri dari :
  1. Sejumlah arteri kecil menembus tulang kompakta untuk menyuplai kanal dan sistem Harvers
  2. Banyak arteri lebih besar menembus tulang kompakta untuk menyuplai tulang spongiosa dan sumsum merah
  3. Satu atau dua arteri besar menyuplai kanal medula. Arteri ini dikenal sebagai arteri nutrien yang kemudian masuk melalui lubang besar pada tulang yang disebut foramen nutrien. Periosteum memberi nutrisi tulang di bawahnya melalui pembuluh darah yang terdapat pada permukaan sendi. Disini, periosteum digantikan oleh tulang rawan hialin (tulang rawan sendi).

  1. Tulang pendek
Tulang pendek (mis., falang, karpal) bentuknya hampir sama dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil daripada bagian proksimal, serta berukuran pendek dan kecil.

  1. Tulang pipih
Tulang pipih (mis., sternum, kepala, skapula, panggul) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih terdiri atas dua lapisan tulang kompakta dan di bagian tengahnya terdapat lapisan spongiosa. 

  1. Tulang tidak beraturan
Tulang tidak beraturan (mis., vetebrae, telinga tengah) mempunyai bentuk yang unik sesuai fungsinya. Tulang tidak beaturan terdiri dari tulang spongiosa yang dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Tulang ini diselubungi periosteum-kecuali pada permukaan sendinya- seperti  tulang pipih. Periosteum ini memberi dua kelompok pembuluh darah untuk menyuplai tulang kompakta dan spongiosa.

  1. Tulang sesamoid
Tulang sesamoid (mis., patella) merupakan tulang kecil yang terletak disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian, berkembang bersama tendon dan jaringan fasia. Sel-sel penyusun tulang terdiri dari :
  1. Osteoblas berfungsi menghasilkan jaringan osteosid dan menyekresi sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam pengendapan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.
  2. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
  3. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam darah (Suratun, 2008).

  1. Fisiologi system musculoskeletal
Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, otot, tendon, ligamen, kartilago, dan sendi. Fungsi sistem rangka adalah (Ethel Sloane, 2004) :
  1. Tulang memberikan topangan dan bentuk pada tubuh
  2. Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah persendian dan berfungsi sebagai pengungkit. Jika otot-otot berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit menghasilkan gerakan
  3. Perlindungan. Sistem rangka melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh
  4. Pembentukan sel darah (hematopoesis). Sumsum tulang merah, yang ditemukan pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebra, tulang pipih pada kranium, dan pada bagian ujung tulang panjang, merupakan tempat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit darah.
  5. Tempat penyimpanan mineral. Matriks tulang tersusun dari sekitar 62% garam anorganik, terutama kalsium fosfat dan kalsium karbonat dengan jumlah magnesium, klorida, florida, sitrat yang lebih sedikit. Rangka mengandung 99% kalsium tubuh. Kalsium dan fosfor disimpan dalam tulang agar bisa ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh; zat tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima.

Pertumbuhan dan Metabolisme. Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh sejumlah mineral dan hormon yang meliputi (Suratun, 2008):
  1. Kalsium dan Fosfor. Jumlah kalsium dalam tulang 99% dan fosfor 90%. Konsentrasi kalsium dan fosfor mempunyai ikatan yang erat. Jika kadar Ca meningkat jumlah fosfor berubah. Keseimbangan kalsium dan fosfor dipertahankan oleh kalsitonin dan hormon paratiroid (PTH).
  2. Kalsitonin. Diproduksi oleh kelenjar tiroid dan menurunkan konsentrasi Ca serum.  Jika jumlah kalsitonin meningkat di atas normal, kalsitonin menghambat absropsi kalsium dan fosfor melalui urine sehingga dibutuhkan Ca dan fosfor.
  3. Vitamin D. Terkandung dalam lemak hewan, minyak ikan, dan mentega. Tubuh manusia juga dapat menghasilkan vitamin D. Sinar ultraviolet sinar matahari dapat mengubah ergosterol pada kulit menjadi vitamin D. Vitamin D diperlukan agar kalsium dan fosfor dapat diabsorpsi dari usus dan digunakan tubuh, Defisiensi vitamin D mengakibatkan defisit mineralisasi, deformitas, patah tulang, penyakit rikets pada anak, dan osteomalasia pada orang dewasa.
  4. Hormon Paratiroid (PTH). Pada saat kadar Ca menurun, sekresi PTH meningkat dan menstimulasi tulang untuk meningkatkan aktivitas osteoblastik dan menyumbangkan kalsium ke darah. Jika kadar Ca meningkat dan menstimulasi tulang untuk meningkatkan aktivitas osteoblastik dan menyumbangkan kalsium ke darah. Jika kadar Ca meningkatkan sekresi PTH diminimalkan, hormon tersebut menurangi ekskresi Ca di ginjal dan memfasilitasi absorpsinya dari usus halus. Hal ini untuk mempertahankan suplai Ca di tulang. Respons ini merupakan contoh umpan-balik sistem loop yang terjadi dalam sistem endokrin.
  5. Hormon Pertumbuhan. Hormon pertumbuhan yang bertanggung jawab meningkatkan panjang tulang dan menentukan jumlah matriks tulang dibentuk sebelum masa pubertas.
  6. Glukokortikoid. Hormon glukokortikoid mengatur metabolisme protein. Pada saat dibutuhkan hormon dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau mengintensifkan matriks organik di tulang dan membantu dalam pengaturan kalsium di intestinum dan absorpsi fosfor.
  7. Hormon Seksual:
  1. Estrogen menstimulasi aktivitas osteoblastik dan cenderung menghambat peran hormon paratiroid. Jumlah estrogen menurun saat menopause sehingga penurunan kadar kalsium pada tulang dalam waktu lama menyebabkan osteoporosis
  2. Androgen, seperti testosteron, meningkatkan anabolisme dan massa tulang (Suratun, 2008).

  1. Definisi osteoporosis
Osteoporosis adalah kondisi terjadinya penurunan densitas atau matriks atau massa tulang, peningkatan porositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi disertai dengan kerusakan arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah patah. Osteoporosis merupakan hasil interaksi kompleks yang menahun antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Arif Muttaqin, 2008).

Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang ditandai oleh penurunan densitas tulang yang berat sehingga mengakibatkan tulang mudah mengalami fraktur. Osteoporosis terjadi jika laju resorpsi tulang lebih cepat dibandingkan laju pembentukan tulang. Semua tulang dapat mengalami osteoporosis meskipun osteoporosis biasanya terjadi di tulang pangkal paha, panggul, pergelangan tangan dan kolumna vertebralis (Corwin, 2009).

  1. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe (Arif Muttaqin, 2008), yaitu :
  1. Osteoporosis primer
Tipe 1, adalah tipe yang timbul pada wanita pascamenopause
Tipe 2, terjadi pada orang lanjut usia, baik pria maupun wanita

  1. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit tulang erosif (misalnya: mieloma multipel, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme) dan akibat obat-obatan yang toksik untuk tulang (misalnya glukokortikoid). Jenis ini ditemukan pada kurang lebih 2-3 juta klien.

  1. Osteoporosis idiopatik
Osteoporosis idiopatik adalah osteoporosis yang tidak diketahui pada :
  1. Usia kanak-kanak (juvenil)
  2. Usia remaja (adolesen)
  3. Wanita pra-menopause
  4. Pria usia pertengahan

  1. Etiologi Osteoporosis
Beberapa penyebab osteoporosis (Viani Harly, 2011), yaitu:

  1. Osteoporosis Pascamenopause
Terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51- 75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen  produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung  3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang  sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.


Gambar 2. Berkurangnya Tinggi Badan Pada Wanita Post Menopause (Linda Williams dan Paula Hopper, 2011).

  1. Osteoporosis  Senilis
Kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit  ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.

  1. Osteoporosis Sekunder
Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,  paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.

  1. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Junaidi, 2007).

  1. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada osteoporosis adalah:
1. Nyeri tulang
Nyeri terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya meningkat pada malam hari.

2. Deformitas tulang
Dapat terjadi fraktur traumatik pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular yang dapat menyebabkan medula spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.

Gambaran klinis sebelum terjadi patah tulang adalah Klien (terutama wanita tua) biasanya datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri tulang terutama tulang belakang yang membungkuk dan sudah menopause. Gambaran klinis sesudah terjadi patah tulang Klien biasanya datang dengan keluhan tiba-tiba punggung terasa sangat sakit (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh. Dengan pemeriksaan radiologis, dapat dilihat gambaran patah tulang pada tempat-tempat tersebut.

  1. Patofisiologi Osteoporosis
Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat meliputi, usia, jenis kelamin, ras keluarga, bentuk tubuh.  Faktor mekanis meliputi, merokok, alkohol, kopi, defisiensi vitamin dan gizi, gaya hidup, mobilitas, anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan. Kedua faktor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya massa tulang yang maksimal dengan resorpsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak daripada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunana massa tulang total yang disebut osteoporosis.

Dalam keadaan normal, pada tulang kerangka akan terjadi suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu proses resorpsi dan proses pembentukan tulang (remodeling). Setiap perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya apabila proses resorpsi lebih besar daripada proses pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan keadaan inilah yang kita jumpai pada osteoporosis.

Dalam massa pertumbuhan tulang, sesudah terjadi penutupan epifisis, pertumbuhan tulang akan sampai pada periode yang disebut dengan periode konsolidasi. Pada periode ini terjadi proses penambahan kepadatan tulang atau penurunan porositas tulang pada bagian korteks. Proses konsolidasi secara maksimal akan dicapai pada usia kurang lebih antara 30-45 tahun untuk tulang bagian korteks dan mungkin keadaan serupa akan terjadi lebih dini pada tulang bagian trabekula.

Sesudah manusia mencapai usia antara 45-50 tahun, baik wanita maupun pria akan mengalami proses penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3-0,5% setiap tahun, sedangkan tulang bagian trabekula akan mengalami proses serupa pada usia lebih muda. Pada wanita, proses berkurangnya massa tulang tersebut pada awalnya sama dengan pria, akan tetapi pada wanita sesudah menopause, proses ini akan berlangsung lebih cepat. Pada pria seusia wanita menopause massa tulang akan menurun berkisar antara 20-30%, sedang pada wanita penurunan massa tulang berkisar antara 40-50%.

Dengan teknik pemeriksaan tertentu dapat dibuktikan bahwa penurunan massa tulang tersebut lebih cepat terjadi pada bagian-bagian tubuh seperti berikut: metacarpal, kolum femoris serta korpus vertebra, sedang pada bagian tubuh yang lain, misalnya: tulang paha bagian tengah, tibia dan panggul, mengalami proses tersebut secara lambat.

Pada osteoporosis, terjadi proses pengurangan massa tulang dengan mengikuti pola yang sama dan berakhir dengan terjadinya penipisan bagian korteks serta pelebaran lumen, sehingga secara anatomis tulang tersebut tampak normal. Titik kritis proses ini akan tercapai apabila massa tulang yang hilang tersebut sudah sedemikian berat sehingga tulang yang bersangkutan sangat peka terhadap trauma mekanis dan akan mengakibatkan terjadinya fraktur. Bagian-bagian tubuh yang sering mengalami fraktur pada kasus osteoporosis adalah vertebra, paha bagian proksimal dan radius bagian distal. Osteoporosis dapat terjadi oleh karena berbagai sebab, akan tetapi yang paling sering dan paling banyak dijumpai adalah osteoporosis oleh karena bertambahnya usia.

  1. Pemeriksaan Diagnostik Osteoporosis
1. Gambaran Klinis
Tanda khas dari osteoporosis adalah fraktur yang terjadi akibat trauma ringan (pada tulang radius distal-fraktur Colles-atau kolum femur) atau bahkan tanpa trauma sama sekali, misalnya farktur (baji) pada vertebra daerah torakal, menyebabkan berkurangnya tinggi badan, kifosis tulang punggung yang berlebih (punuk janda), atau nyeri.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Sinar-X
Pemeriksaan ini penting untuk mengevaluasi kelainan muskuloskeletal. Sinar-X menggambarakan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang. Pemeriksaan sinar-X tulang tidak memerlukan persiapan khusus bagi pasien, tetapi perawat perlu menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan kepada pasien.

Foto Rontgen Polos
Berguna untuk memperlihatkan fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis

Absorpsiometri Rontgen Emisi Ganda (Dual Emission X-ray Absorptiometry [DEXA])
Alat bone densinometri digunakan untuk mengukur massa tulang terutama bagi mereka yang rentan terhadap fraktur (patah). Pemeriksaan ini bermanfaat dalam mengidentifikasi penurunan massa tulang seseorang sehingga meminimalkan resiko fraktur, mencegah terjadinya fraktur di masa yang akan datang dan dapat memonitor terapi untuk menjaga massa tulang.

Densitometri umumnya digunakan untuk mendiagnosis kepadatan tulang yang rawan keropos (osteoporosis) dengan mengukur kepadatan mineral tulang.

Pada saat ini untuk mendiagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray Absorpsiometry (DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral. Namun kelangkaan dan mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan dengan alat Ultrasound Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS) yang lebih murah, mudah dipindahkan dan tidak terdapat efek radiasi tetapi tidak dapat mengukur secara langsung BMD. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang adalah sebagai berikut:

  1. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA),  merupakan pemeriksaan gold standart untuk mendiagnosis osteoporosis. Dengan menggunakan dua sinar-X yang berbeda dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X di pancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan dengan metode ultrasound.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan DEXA adalah:
  1. Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2
  2. Perbandingan kadar rata-rata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rata-rata densitas mineral tulang orang dewasa etnis yang sama (T-score dalam %)
  3. Perbandingan kadar rata-rata densitas mineral tulang dari organ dengan umur dan etnis yang sama (Z-score dalam %)
Nilai T (T-score) merupakan unit angka (standar deviasi) dimana kepadatan massa tulang diatas atau dibawah kepadatan mineral tulang orang dewasa muda yang sehat, tanpa memandang rasa tau jenis kelamin. Jika seseorang telah mengalami keropos tulang, maka nilai T adalah negatif karena kepadatan mineral tulang kurang dari standar. Intepretasi nilai T adalah sebagai berikut:

Nilai T
Arti
Diatas -1
Kepadatan massa tulang normal
Antara -1 dan -2.5
Nilai menunjukkan tanda osteopenia, kondisi dimana kepadatan massa tulang dibawah normal dan dapat berakibat pada osteoporosis
Dibawah -2.5
Kepadatan massa tulang mengindikasikan osteoporosis

Setiap penurunan satu poin nilai T menunjukkan kehilangan tulang antara 10 sampai 15 persen, yang berarti meningkatkan risiko patah tulang pinggul 3 kali dan patah tulang belakang 2,5 kali.

Nilai Z (Z-Score)

Nilai Z adalah angka perbandingan kepadatan tulang dengan kepadatan tulang pada kelompok referensi yang memiliki usia dan jenis kelamin sama. Ras dan berat badan kadang-kadang juga ikut disertakan. Nilai Z dihitung menurut persentil, yaitu persen orang dalam populasi yang memiliki kepadatan tulang lebih rendah. Semakin besar nilai negatif Z, maka tulang semakin keropos.

Menurut WHO penilaian T-Score tersebut adalah
Tulang normal                   : T-score ≥ -1 SD
Tulang osteopeni               : T-score antara -1 SD dengan -2,5 SD
Tulang osteoporosis           : T-score ≤ -2,5 SD

  1. Ultrasounds, pemeriksaan ini lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit osteoporosis. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ulrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. salah satu kelemahan ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan ultrasounds juga lebih terbatas dibandingkan DEXA.

Uji Kalsium Serum

Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kadar kalsium di dalam serum tubuh. Bila terjadi hiperkalsemia (hasil pemeriksaan lebih dari 10,5 mg/dl atau 5,5 mg/l) maka hal tersebut bisa digunakan untuk acuan dalam menentukan stadium penyembuhan fraktur atau adanya metastase kanker pada tulang. Apabila terjadi hipokalsemia (hasil pemeriksaan kurang dari 8 mg/dl atau 4,5 mg/dl) maka dapat menjadi indikasi terjadinya osteoporosis atau osteomalasia


Gambar Gambaran arsitektur tulang normal, osteoporosis, dan osteomalasia
(Sumber: At a Glance Medicine, 2005)

  1. Penatalaksanaan Osteoporosis
Pasien yang memerlukan pengobatan umumnya telah mengalami kehilangan massa tulang yang cukup berat, sehingga pada umumnya telah mengalami satu atau beberapa kali fraktur tulang.

  1. Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan osteoporosis simptomatis adalah mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk menghambat proses resorpsi tulang dan meningkatkan proses formasi tulang untuk meningkatkankekuatan tulang serta meningkatkan sampai di atas ambang fraktur. Beberapa hormon dan obat yang memiliki efek pada tulang dan digunakan dalam pengobatan osteoporosis diklasifikasikan menjadi dua yaitu: obat-obatan yang terutama bekerja dalam mengurangi atau mencegah terjadinya resorpsi tulang dan obat-obatan yang merangsang terjadinya formasi tulang. Beberapa jenis hormon dan obat yang dapat diberikan:

  1. Hormonal
  1. Estrogen (pemberian estrogen saat ini masih pro dan kontra, sehingga pemberiannya perlu berhati-hati dan harus diberikan oleh ahlinya)
  2. Kombinasi estrogen dan progesteron
  3. Testosteron
  4. Steroid anabolik

  1. Non-hormonal
  1. Kalsitonin
  2. Bifosfonat
  3. Kalsium
  4. Vitamin D dan metabolismenya
  5. Tiasid
  6. Fitoestrogen (berasal dari tumbuhan: semangi, kedelai, kacang tunggak)

  1. Manajemen Fraktur
Fraktur pinggul dikoreksi dengan pembedahan penggantian sendi atau dengan reduksi tertutup atau terbuka dengan fiksasi internal (misalnya, dengan menjepit pinggul). Bedah, ambulasi dini, terapi fisik yang intensif, dan gizi yang adekuat akan menurunkan morbiditas dan memberi hasil yang lebih baik. Pasien osteoporosis perlu dievaluasi dan dirawat, jika diindikasikan (Brunner dan Suddart, 2009).

Fraktur kompresi pada tulang belakang akibat osteoporosis dikelola secara konservatif. Fraktur pada tulang belakang dan kyphosis yang progresif merupakan hal yang umum. Penatalaksanaan medikamentosa dan manajemen diet bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang vertebra. Sebuah prosedur baru, yaitu vertebroplasti perkutan atau kyphoplasty (injeksi semen tulang polymethylmethacrylate pada tulang belakang yang patah), dilaporkan memberikan bantuan yang cepat untuk mengatasi nyeri akut dan meningkatkan kualitas hidup. Efek jangka panjang dari prosedur ini tidak diketahui (Brunner dan Suddart, 2009)

Pencegahan Jatuh
Tulang yang mengalami osteoporosis dapat menyebabkan fraktur patologis, dimana pinggul patah bahkan sebelum terjatuh. Oleh karena itu, program pencegahan jatuh di rumah sakit dan fasilitas perawatan jangka panjang sangat penting.

Bekerja sama dengan ahli terapi fisik atau manajer kasus, atau discharge planner, perawat atau petugas kesehatan dapat menilai lingkungan rumah pasien. Pasien dan keluarga diajarkan bagaimana menciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya, seperti menghindari karpet dan lantai yang licin. Area di rumah harus dijaga bebas dari barang atau kabel yang berserakan untuk mencegah terjadinya jatuh. Jika diperlukan, walker atau tongkat dapat membantu (Linda Williams dan Paula Hopper, 2011).
              
Mengurangi Rasa Nyeri 
Mengurangi nyeri pada tulang belakang yang disebabkan oleh adanya penekanan dari fraktur dapat dilakukan dengan beristirahat di tempat tidur dalam posisi supine atau miring pada salah satu sisi beberapa kali sehari. Kasur harus keras dan tidak kendur. Memfleksikan lutut akan meningkatkan kenyamanan karena merilekskan otot punggung. Kompres hangat pada area lokal dan memijat punggung akan merelaksasi otot (Brunner dan Suddart, 2009).

Perawat mendorong pasien untuk melakukan sikap tubuh yang baik dan mengajarkan mekanika tubuh. Saat pasien dibantu beranjak dari tempat tidur, korset pada daerah lumbosakral dapat digunakan untuk sementara dan untuk tujuan mengimobilisasi, meskipun alat seperti itu sering tidak nyaman dan kurang dapat diterima oleh banyak pasien usia lanjut. Pasien secara bertahap akan mulai melakukan kegiatannya sehari-hari saat nyeri mulai berkurang. Vertebroplasti dapat dipertimbangkan untuk beberapa pasien (Brunner dan Suddart, 2009).

Latihan
Latihan pada masa kanak-kanak sangat penting untuk mencegah osteoporosis. Bagi mereka yang telah terkena osteoporosis, pola latihannya berbeda dengan program pencegahan dan harus dilakukan dengan benar, hati-hati, dan perlahan. Latihan pembebanan berat badan, terutama jalan kaki dapat meningkatkan kadar mineral tulang. Klien harus mengenakan pelindung yang baik, seperti sepatu anti selip sepanjang waktu dan menghindari permukaan yang tidak rata yang dapat mengakibatkan jatuh (Linda Williams dan Paula Hopper, 2011).

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Osteoporosis hasil Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1142/MenKes/SK/XII/2008, latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah sebagai berikut :
  1. Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah risiko fraktur pada vertebrae karena ruas tulang punggung yang lemah tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari latihan berupa lompatan, senam aerobik dan joging.
  2. Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan klien membungkuk kedepan dengan sehingga membuat punggung melengkung. Hal ini berbahaya karena dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Klien juga tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain.
  3. Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan klien menggerakkan kaki ke samping atau menyilangkan badan juga meningkatkan risiko patah tulang, karena kondisi tulang panggul yang lemah (Viani, Harly, 2011).

Sedangkan latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah :
  1. Jalan kaki secara teratur, jika memungkinkan sekitar 4,5 km/jam selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6 km/jam) akan bermanfaat untuk jantung dan paru-paru.
  2. Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat ”dumbble” kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung, lengan dan bahu.
  3. Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kelincahan.
  4. Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal ini dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap tegak, mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat punggung (Viani, Harly, 2011).

Senam pencegahan osteoporosis ditujukan untuk meningkatkan densitas tulang, dan senam osteoporosis ditujukan kepada pasien osteoporosis untuk mencegah terjadinya patah tulang dan meningkatkan densitas tulang (kepadatan massa tulang).

  1. Komplikasi Osteoporosis
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Berbagai fraktur yang terjadi akibat komplikasi dari osteoporosis antara lain ; fraktur vertebra, fraktur pinggul, fraktur femur, fraktur pergelangan tangan, dan berbagai macam fraktur lainnya.

  1. Prognosis Osteoporosis
Osteoporosis merupkan masalah kesehatan yang utama. Berdasarkan data dari Third National Health and Nutrition Examination  Survey, yang mencakup pengukuran densitas mineral tulang pada pinggul, 20% wanita dan 5% pria berusia 50 tahun keatas menderita osteoporosis. Densitas tulang yang rendah merupakan penyebab utama dari meningkatnya resiko retak atau patah tulang. Kira-kira 250,000 kasus patah tulang terjadi setiap tahun. Dari data dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita yang mengalami patah tulang pinggul mengalami tingkat mortalitas tinggi, sedangkan yang berhasil sembuh setelah dirawat memiliki resiko cacat jangka panjang.

Osteoporosis merupakan akibat dari kombinasi berkurangnya masa puncak tulang dan meningkatnya masa otot yang hilang. Masa puncak tulang biasanya dicapai pada usia 20-an dan tergantung pada faktor keturunan pada masa anak-anak dan remaja. Hal ini merupakam masalah kesehatan yang serius karena hamper 1 dari 4 wanita berusia di atas 65 tahun, 1 dari 2 wanita berusia di atas 80 tahun akan mengalami penyakit ini.




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM


  1. Pengkajian
  1. Anamnesa
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan dan sebagainya. Osteoporosis biasanya menyerang pada usia diatas 45 tahun yang mulai memasuki dewasa tua. Frekuensi tertinggi osteoporosis postmenopause pada wanita adalah pada usia 50 – 70 tahun (Helmi, 2012). Seseorang yang bekerja, kemungkinan terpapar radiasi dan bahan kimia sehingga lebih banyak terpapar radikal bebas yang mempercepat proses menopouse. Serta kemungkinan terjadi fraktur dikarenakan trauma saat bekerja (Corwin, 2009).
  1. Riwayat Pasien

  1. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien dengan osteoporosis biasanya adalah nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher, dan pinggang akibat kerapuhan tulang (Tandra, 2009).

  1. Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan keluhan-keluhan yang dirasakan pasien sehingga ia dibawa ke Rumah Sakit, seperti nyeri pada punggung. Pasien mengalami kesulitan beraktifitas karena perubahan bentuk tulang dan nyeri. Kepadatan tulang yang berkurang menyebabkan tulang menjadi keropos, tipis dan mudah mengalami patah, terutama pada tulang pergelangan, tulang belakang dan lain sebagainya. (Emma S, 2007).

  1. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mengkonsumsi alkohol, kafein, penggunaan steroid, pernah dirawat atau tidak, riwayat penyakit kronik dan menular. Riwayat penyakit yang pernah diderita pasien sebelum diagnosis osteoporosis muncul seperti reumatik, diabetes mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid, penyakit ginjal, dan insufiensi pancreas yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah status haid riwayat haid, usia menarke, dan menopause ( bagi perempuan), fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orangtua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfat, dan vitamin D, latihan yang teraturdan bersifat weight bearing.

  1. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam pengkajian, kita juga perlu mengkaji riwayat penyakit keluarga pasien, yaitu apakah sebelumnya ada salah satu keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama.

  1. Riwayat Penggunaan obat
Penggunaan obat kontrasepsi juga diperhatikan. Obat-obatan yang diminum jangka panjang harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormone tiroid, anti-konvulsan, antacid yang mengandung aluminium, natrium fluoride, dan etidronat bifosfonat, alcohol, dan merokok merupakan factor risiko terjadinya osteoporosis.

  1. Riwayat Aktivitas
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan dan toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun, koordinasi menurun, dan dexterity (kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus) menurun.

  1. Pemeriksaan Fisik
    1. B1 (Breathing)
Jika tidak terjadi fraktur costae atau tidak mengganggu sistem pernapasan biasanya pada pemeriksaan tidak ditemukan masalah
Inspeksi           : tidak ditemukan batuk, sesak napas, frekuensi pernapasan normal
Palpasi             : tidak ada nyeri tekan, massa dan patah tulang pada dada
Perkusi             : suara resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi       : tidak ditemukan adanya suara napas tambahan

  1. B2 (Blood)
Secara umum, klien dengan osteoporosis tidak mengalami gangguan pada sistem peredaran darah. Bila tidak ada gangguan pada sistem kardiovaskular, biasanya kualitas dan frekuensi nadi normal, tekanan darah normal. Pada auskultasi, tidak ditemukan bunyi jantung tambahan.

  1. B3 (Brain)
Pada sistem ini, klien dengan osteoporosis umumnya tidak memiliki masalah mendasar. Kesadaran biasanya kompos mentis. GCS klien normal yaitu 456.

  1. B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada system perkemihan.

  1. B5 (Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi.

  1. B6 (Bone)
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya fraktur satu atau lebih fraktur kompresi vertebral. Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality, dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.

  1. Pemeriksaan Diagnostik
    1. Pemeriksaan Radiologi
Dentitas atau masa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebrae spinalis. Dinding depan corpus vertebral biasanya merupakan lokalisasi yang paling berat. Penipisan cortex vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang intervertebralis dan menyebabkan deformitas biconcave.

  1. CT-Scan
Dengan alat ini dapat diukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan follow up terapi. Vertebral mineral diatas 110 mg∕cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebrae atau penonjolan, sedangkan dibawah 65 mg∕cm3 hampir semua penderita mengalami fraktur.

  1. Densitometry – DXA
Dari berbagai metode pengukuran densitas tulang yang digunakan saat ini, metode yang berdasarkan X-ray (Khususnya dual energy x-ray absorptiometry (DXA)) adalah yang terbanyak digunakan. Teknik ini secara bertahap menggantikan teknik ionisasi lain yang menggunakan radiasi gama. DXA terbukti merupakan teknologi yang paling luas diterima untuk mengetahui hubungan antara densitas tulang dengan resiko fraktur. DXA juga merupakan teknik dengan akurasi dan presisi baik, serta paparan radiasi yang rendah. Oleh karena itu, alat ini dijadikan sebagai gold standart pemeriksaan masa tulang oleh WHO karena merupakan pemeriksaan yang validasinya paling luas dalam menilai fraktur

  1. BMD (Bone Mineralo Densitometry)
Dikatakan osteoporosis apabila nilai BMD ( Bone Mineral Density ) berada dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai menurunnya kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan -1 dan normal apabila nilai BMD berada diatas nilai -1.

  1. Pemeriksaan Lab
    1. Kadar Ca, P, dan Alkali Posfatase tidak menunjukkan kelainan yang nyata
    2. Kadar HPT (pada post menopouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi estrogen merangsang pembentukan Ct)
    3. Kadar 1,15-(OH)2-D3 dan absorbsi Ca menurun
    4. Eksresi fosfat dan hydroksyproline terganggu sehingga meningkat kadarnya.

  1. Analisa Data
No
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1
DS:
  • Klien mengeluh sesak napas
DO:
  • RR diatas normal (> 24x/menit), takipnea
  • Pernafasan klien terlihat tersengal-sengal
  • Klien terlihat bernapas menggunakan cuping hidung
Osteoporosis

Deformitas Tulang

Kifosis Angular

Diafragma menekan paru

Penurunan Ekspansi paru

Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan Pola Nafas
2
DS:
  • Klien mengatakan sakit dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang
  • Klien mengatakan Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
DO:
  • Pasien terlihat menahan nyeri
  • Pasien tidak bisa bergerak bebas
  • P: nyeri berasal dari spasme otot dan akibat fraktur
  • Q: nyeri seperti ditimpa benda berat
  • R: pada area sekitar  yang fraktur
  • S: skala nyeri  8
  • T: nyeri semakin bertambah seiring dengan peningkatan aktivitas
Osteoporosis

Densitas tulang

Tulang rapuh, terjadi pada tl.belakang

rasa sakit pada punggung

Nyeri Kronis
Nyeri kronis


3
DS:
  • Pasien mengatakan aktivitasnya terganggu    
  • Pasien mengatakan kesulitan dalam bergerak
DO:
  • Klien mengalami kesulitan bergerak tempat tidur
  • Kien terlihat terbaring lemah di tempat tidur
  • Penurunan aktivitas dan kecepatan berjalan
  • Keterbatasan rentang pergerakan sendi
Osteoporosis

Tulang menjadi rapuh & mudah patah

Fraktur traumatic vertebrae

Menekan medulla spinalis

Paraparesis

Hambatan Mobilitas Fisik
Hambatan Mobilitas Fisik
4
DS:
  • Klien mengeluh lemah untuk berjalan
DO:
  • Klien mengalami tremor ketika berjalan
  • Terlihat ketidakseimbangan tubuh, kondisi jalan klien alami gangguan
  • Hasil TUGT > 14 dtk, adanya resiko jatuh
Osteoporosis

Tulang menjadi rapuh & mudah patah

kolaps vertebra

Perubahan Postural

Ketidakseimbangan tubuh

Resiko Cidera
Resiko Cidera
5
DS:
  • Klien mengeluh susah untuk BAB
DO:
  • Klien tidak mampu mengeluarkan feses
  • feses klien kering, keras dan padat
  • Adanya massa rectal ketika dipalpasi
  • Klien mengejan ketika defekasi
Osteoporosis

Fraktur kompresi vertebra lumbalis

Kompresi saraf pencernaan ileus paralitik

Konstipasi
Konstipasi


6
DS:
  • Klien mengeluh kesulitan untuk mandi
DO:
  • Kulit klien nampak kusam dan berbau tidak enak
  • Klien tidak mampu untuk pergi ke kamar mandi
  • Klien tidak mampu untuk membersihkan tubuhnya sendiri
Osteoporosis

Deformitas Tulang

Kifosis Angular

Diafragma menekan paru

Penurunan Ekspansi paru

Suplai oksigen tidak adekuat

mudah lelah

Defisit Perawatan Diri
Defisit Perawatan Diri
7
DS:
  • Klien mengatakan tidak percaya diri karena postur tubuhnya
DO:
  • Klien terlihat termenung
  • Koping individu klien tidak efektif
Osteoporosis

Tulang menjadi rapuh & mudah patah

Kolaps vertebra

Perubahan Postural

Koping individu tidak efektif

Gangguan Citra Tubuh
Gangguan Citra Tubuh
8
DS:
  • Klien mengatakan cemas terhadap penyakitnya
DO:
  • Klien terlihat gelisah
  • Klien berkeringat
  • RR > 24x/menit
Osteoporosis

Tulang menjadi rapuh & mudah patah

Kolaps vertebra torakalis

Perubahan Postural

Koping individu tidak efektif

Ansietas
Ansietas
































































































































































  1. Diagnosa Keperawatan
  1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
  2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot
  3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
  4. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakseimbangan tubuh akibat deformitas skelet
  5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus
  6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
  7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan postural tubuh
  8. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit

  1. Intervensi
  1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam setelah tindakan keperawatan klien menunjukkan pola nafas yang efektif

Kriteria Hasil:
  1. Pola nafas normal
  2. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
  3. Menunjukkan status pernapasan ventilasi tidak terganggu
  4. Menunjukkan ekspansi dada yang simetris

Intervensi:
  1. Observasi adanya sianosis khusunya membran mukosa
  2. Monitor respirasi: Kecepatan, irama, dan kedalaman respirasi serta status O2
  3. Monitor TTV, elektrolit dan status mental
  4. Perhatikan pergerakan dada amati kesimetrisan, penggunaan otot bantu serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal
  5. Ajarkan klien teknik relaksasi untuk meningkatkan pola pernafasan
  6. Posisikan pasien semifowler
  7. Kolaborasi untuk pemberian oksigen

  1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot
Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah tindakan keperawatan klien menunjukkan nyeri berkurang

Kriteria Hasil:
  1. Secara subjektif, klien melaporkan skala nyeri yang dirasakan berkuran, hilang, atau dapat diatasi oleh klien.
  2. Klien mampu mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.
  3. Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
  4. Klien tidak gelisah, skala nyeri berkurang, dan/atau nyeri teratasi.

Intervensi:
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan/durasi, frekuensi, kualitas, serta faktor presipitasi penyebab nyeri
  2. Instruksikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat mengurangi nyeri dan tawarkan saran koping
  3. Berikan posisi yang nyaman
  4. Ajarkan relaksasi, seperti teknik untuk mengurangi ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri.
  5. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut
  6. Kolaborasi : Berikan analgetik sesuai kebutuhan untuk nyeri

  1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
Tujuan: Klien mampu melakukan aktivitas dengan maksimal sesuai dengan kondisi klinis dan kemampuannya.

Kriteria Hasil:
  1. Klien mampu melakukan program latihan yang diajarkan dengan aktif dan mandiri.
  2. Klien tidak mengalami gangguan keseimbangan, gangguan performa posisi tubuh dan gangguan pergerakan sendi dan otot
  3. Klien mengalami pertambahan kemampuan dan kekuatan otot bertambah.
  4. Klien menunjukan kemajuan dan kemauan untuk meningkatkan mobilitas, baik dengan terapis dan latihan mandiri.

Intervensi:
  1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas
  2. Ajarkan klien dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas (misalkan tongkat, walker, kruk dan kursi roda)
  3. Ajarkan klien untuk berpindah tempat (misalnya dari tempat tidur ke kursi) dan fasilitasi untuk mengatur posisi
  4. Ajarkan klien untuk menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktifitas
  5. Tingkatkan mobilitas secara bertahap sesuai dengan kemampuan klien
  6. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien
  7. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk program latihan

  1. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakseimbangan tubuh akibat deformitas skelet
Tujuan: Dalam waktu 7x24 jam setelah tindakan keperawatan klien menunjukkan aman dari cidera

Kriteria Hasil:
  1. Mengidentifikasi risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cedera.
  2. Klien dapat mobilitas dengan bebas dan terhindar dari cedera
  3. Mempersiapkan lingkungan yang aman

Intervensi
  1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas
  2. Monitoring gaya jalan pasien, keseimbangan, dan tingkat kelelahan
  3. Monitoring dan Bantu pasien untuk ambulasi
  4. Beri support untuk kebutuhan ambulasi, menggunakan alat batu jalan atau tongkat
  5. Anjurkan pembatasan penahanan berat badan yang dianjurkan
  6. Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya, misalnya : tempatkan klien pada tempat tidur yang rendah, berikan penerangan yang cukup, tempatkan klien pada ruangan yang mudah untuk diobservasi

  1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus
Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan eleminasi klien tidak terganggu
Kriteria Hasil:
  1. Klien mampu menyebutkan teknik eleminasi feses
  2. Pola eliminasi dalam rentang normal 2-3x/minggu
  3. Klien dapat mengeluarkan feses lunak
  4. Tidak mengejan ketika BAB
  5. Hidrasi adekuat

Intervensi:
  1. Auskultasi bising usus
  2. Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada atau berkurang
  3. Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses
  4. Lakukan latihan defekasi secara teratur
  5. Tekankan pentingnya menghindari mengejan untuk mencegah perdarahan
  6. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan berserat dan pemasukan cairan yang lebih banyak termasuk jus/sari buah
  7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian enema, laksatif dan program tinggi serat

  1. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
Tujuan: Dalam waktu 7x24 jam setelah tindakan keperawatan klien menunjukkan perawatan diri yang adekuat
Kriteria Hasil:
  1. Mengungkapkan secara verbal kepuasan tentang kebersihan tubuh
  2. Klien tidak mengalami gangguan mandi dan hygiene oral

Intervensi:
  1. Kaji kemampuan klien untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas perawatan.
  2. Kaji kebersihan membrane mukosa oral dan kebersihan tubuh setiap hari
  3. Bantu klien memenuhi kebutuhan hygiene diri
  4. Kaji kondisi tubuh dan kulit klien saat mandi
  5. Ajarkan klien dan keluarga untuk penggunaan metode alternative untuk mandi dan hygiene oral.
  6. Pertahankan lingkungan mandi hangat
  7. Tingkatkan kemandirian seoptimal mungkin, sesuai kemampuan

  1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan postural tubuh
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat menerima kondisinya
Kriteria Hasil:
  1. Klien merasa puas tehadap penampilan dan fungsi tubuh
  2. Klien dapat bersifat realistic mengenai hubungan antara tubuh dan lingkungan

Intervensi:
  1. Diskusikan persepsi pasien tentang citra tubuhnya yang dulu dan saat ini, perasaan dan harapan yang dulu dan saat ini terhadap citra tubuhnya
  2. Bantu pasien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu
  3. Identifikasi mekanisme koping yang biasa digunakan klien
  4. Ajarkan untuk meningkatkan citra tubuh.
  5. Dorong melakukan aktifitas sehari dan terlibat dalam keluarga dan sosial keluarga dan sosial.

  1. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah tindakan keperawatan klien tidak menunjukkan kecemasan akan penyakitnya
Kriteria Hasil:
  1. Klien menunjukkan penerimaaan dan ansietas berkurang
  2. Klien mampu mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas klien sendiri

Intervensi:
  1. Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan datang
  2. Kaji adanya kecemasan akan penyakitnya pada klien
  3. Minimalkan kehawatiran, ketakutan, prasangka atau perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan sumber bahaya atau sumber ansietas pasien.
  4. Berikan support selama masa stress
  5. Berikan tehnik penenangan diri atau relaksasi  dengan cara  meredakan kecemasan pada pasien yang mengalami distres akut
  6. Membantu pasien untuk tetap beradaptasi dengan persepsi stresor keadaan dirinya.



DAFTAR PUSTAKA

Suratun. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Arif, Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Lane, Nancy E. 2001. Lebih Lengkap Tentang: Osteoporosis. Jakarta: Fajar Interpratama Offset
Corwin. E.J. 2009. Buku Saku : Patofisiologi. Jakarta: EGC
Brunner dan Suddart. 2009. Medical Surgical Nursing Ninth Edition. Philadelpia: Lippincott Company
Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC Edisi 9. Alih Bahasa Ns. Esti Wahuningsih, S.Kep dan Ns. Dwi Widiarti, S,Kep. EGC. Jakarta.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC
Tandra, Hans. 2009. Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Williams, Linda dan Paula Hopper. 2011. Understanding Medical Surgical Nursing Fourth Edition. Philadelphia: Davis Company.
Salma. 2013. Pemeriksaan Kepadatan Tulang (Densitometri). (online) http://majalahkesehatan.com/pemeriksaan-kepadatan-tulang-densitometri/. Diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 10.30 WIB.
Febriana & Lasmini. 2006. Gambaran Densitometer Tulang Belakang dan Femur Pasien di IDT. RSUP. Dr. M. Djamil Padang dari Tanggal 1 Agustus 2005 – 28 Februari 2006. (online) http://www.kalbemed.com/Portals/6/komelib/musculo-skeletal%20system/Osteo/Osteonate/tulang.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB.
Visalini. 2015. Gizi Makalah-Osteoporosis. (online) http://dokumen.tips/documents/gizi-makalah-osteoporosis.html. Diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 15.00 WIB.





















0 comments:

Post a Comment

Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.