BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
- Definisi Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,
yang ditandai oleh kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan
seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot maseter
dan otot rangka. Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk
batang seperti penabuh genderang, berspora, golongan gram positif,
hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf
tepi lokal. Toksin ini dapat menghancurkan eritrosit, merusak leukosit,
dan merupakan tetanospasmin yang menyebabkan ketegangan dan spasme otot
(Muttaqin, 2008).
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease"
dan pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian
dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus (Nicalaier 1884, Behring dan
Kitasato 1890).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang ditandai dengan gejala kekakuan dan kejang otot (Ritharwan, 2004).
- Etiologi
Etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tetanus adalah sebagai berikut:
- Adanya luka pada tubuh akibat tusukan kaca, paku, maupun pecahan kaleng yang diinfeksi oleh kuman tetanus.
- Anak yang belum mendapat imunisasi tetanus (DPT)
- Kebersihan lingkungan dan perorangan yang kurang terjaga
- Infeksi selama masa neonatal (pada neonatus)
- Pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak aseptik
- Tetanus pasca injeksi obat terlarang
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani
yang berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2-5
mikrometer dan lebar 0,3-0,5 mikrometer, termasuk gram positif, bersifat
anaerob, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang
efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis
dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic). Kuman tetanus tidak
invasive, tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan
berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni
dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini
melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan
kejang-kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah.
- Klasifikasi
- Tetanus Lokal (lokalited Tetanus)
Pada
lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal
inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan
biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
- Cephalic Tetanus
Tetanus
sefal adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar
1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing
dalam rongga hidung.
- Generalized Tetanus
Bentuk
ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara
diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%),
yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni
spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam
otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40ºC. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah
tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal.
- Neotal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi Clostridium Tetani,
yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan.
Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Clostridium Tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan
menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Menurut penelitian E. Hamid. dkk, bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.
Pringadi Medan, pada tahun 1981, ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40
kasus tetanus yang biasanya ditolong melalui tenaga persalianan
tradisional (TBA =Traditional Birth Attedence) 56 kasus (68,29 %),
tenaga bidan 20 kasus (24,39 %), dan selebihnya melalui dokter 6 kasus
(7, 32 %)).
Manifestsi
klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang
disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
- Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
- Tetanus lokal
Tetanus
lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus
lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
- Tetanus sefal
Bentuk
tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
- Tetanus umum
Bentuk
tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada
dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai,
rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
- Tetanus neonatorum
Tetanus
yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul
adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh
kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot
punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal.
Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi
jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s:
- Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
- Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipnea dan disfagia ringan
- Derajat III (berat)
Trismus
berat, otot spastis, spasme spontan, takipnea, apnoeic spell, disfagia
berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
- Derajat IV (sangat berat)
Derajat
III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak
berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila
pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka
derajat tetanus berat meliputi derajat III.
Sedangkan menurut PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III (2008) manifestasi tetanus dibagi menjadi berbagai derajat diantaranya:
1. Derajat I (tetanus ringan)
- Trismus (lebar antara gigi sama atau lebih 2 cm)
- Kekakuan unum
- Tidak dijumpai kejang dan gangguan respirasi
2. Derajat II (tetanus sedang)
- Trismus (lebar kurang dari 1 cm)
- Kekakuan umum makin jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
3. Derajat IIIA (tetanus berat)
- Trismus berat (kedua baris gigi rapat)
- Otot sangat spastic, timbul kejang spontan
- Takipnea, takikardia
- Apneic spell (Spasme larynx)
4. Derajat IIIB (tetanus dengan gangguan saraf otonom)
- Gangguan otonom berat
- Hipertensi berat dan takikardia, atau
- Hipotensi dan bradikardia
- Hipertensi berat datau hipotensi berat
- Patofisiologi Tetanus
Penyakit
tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka tertusuk
paku, pecahan kaca atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor
dan pada bayi dapat melalui pemotongan tali pusar. Organisme multipel
membentuk dua toksin yaitu tetanopasmin yang merupakan toksin kuat dan
atau neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot dan
mempengaruhi sistem syaraf pusat. Kemudian tetanolysin yang tampaknya
tidak signifikan.
Exotoksin
yang dihasilkan akan mencapai pada sistem syaraf pusat dengan melewati
akson neuron atau sistem vaskular. Kuman ini menjadi terikat pada sel
syaraf atau jaringan syaraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh
antitoksin spesifik. Namun toxin yang bebas dalam peredaran darah sangat
mudah dinetralkan oleh arititosin. Hipotesa cara absorbsi dan
bekerjanya toxin; adalah pertama toxin diabsorbsi pada ujung syaraf
motorik dan melalui aksis silindrik dibawa kekornu anterior susunan
syaraf pusat. Kedua toxin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk
kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kesusunan syaraf pusat.
Toxin bereaksi pada myoneural junktion yang menghasilkan otot menjadi
kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan
dan rata-rata 10 hari. Kasus yang sering terjadi adalah 14 hari.
Sedangkan untuk neonatus biasanya 5 sampai 14 hari.
- Prognosis Tetanus
Rata-rata
angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis
luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,
prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut
memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga
memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus
dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus. (Depkes RI, 2008)
Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck. (Bleck, 1997)
Tabel sistem skoring Bleck
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini. (Depkes RI,2008)
- Pencegahan Tetanus
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
- Imunisasi Aktif
Imunisasi
dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif.Angka kegagalan relative rendah. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid disteri sebagai
DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sevagai
DPT. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah
dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena
itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus
selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang
bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT
minimal dua kali.
- Perawatan Luka
Perawatan
luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan
guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.Jaringan nekrotik dan benda
asing harus dibuang.Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat
bergantung pada pengindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta
perawatan tali pusar selain dari imunisasi ibu.Perawatan tali pusar,
penting memperhatikan hal-hal berikut:
- Jangan membungkus punting tali pusar/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusar
- Mengoleskan alcohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusar lembab
- Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis
dengan ATS hanya efektif pada luka baru (<6 jam) dan harus segera
dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU.HTIG
juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak <7
tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis anak ≥ 7 tahun : 250 U
IM dosis tunggal.
- Pemeriksaan Diagnostik Tetanus
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan beta HCG meningkat dengan batas minimal 82,5 IU/24 jam.
- Biopsi dungkul vagina.
- Foto thoraks minimal.
- Bila dicurigai metastase jauh, dilakukan CT scan sesuai dengan tempatnya untuk menetapkan terapi dan tatalaksana selanjutnya.
- Penatalaksanaan Tetanus
- Umum
Tujuan
terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai
pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-Obatan
- Antibiotika
Diberikan
parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit
/ KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ).
Bila
tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini
hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari Clostridium Tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
- Antitoksin
Antitoksin
dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah: 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
- Tetanus Toksoid
Pemberian
Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Anti kejang (antikonvulsan)
- Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).
- Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
- Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam.
3. Bayi
- Pemberian saluran nafas agar tidak tersumbat dan harus dalam keadaan bersih.
- Pakaian bayi dikendurkan/dibuka.
- Mengatasi kejang dengan cara memasukkan tongspatel atau sendok yang sudah dibungkus kedalam mulut bayi agar tidak tergigit giginya dan untuk mencegah agar lidah tidak jatuh kebelakang menutupi saluran pernafasan.
- Ruangan dan lingkungan harus tenang
- Bila tidak dalam keadaan kejang berikan ASI sedikit demi sedikit, ASI dengan menggunakan pipet/diberikan personde (kalau bayi tidak mau menyusui).
- Perawatan tali pusat dengan teknik aseptic dan antiseptic.
- Selanjutnya rujuk kerumah sakit, beri pengertian pada keluarga bahwa anaknya harus dirujuk ke RS.
- Komplikasi Tetanus
2.7.1 Kegagalan respirasi
Komplikasi
sistem pernapasan antara lain atelektasis, aspirasi pneumonia dan
bronkhopneumonia yang ada umumnya berhubungan dengan kesulitan pasien
untuk mengeluarkan secret. Spasme laring biasanya berlarut–larut dan
terus–menerus sehingga menimbulkan hipoksia.
2.7.2 Sepsis
Komplikasi
yang paling berat adalah sepsis dengan atau tanpa bakteriemi dengan
sindroma sepsis yang berkembang cepat. Sumber potensial dari sepsis
adalah luka tracheostomi, pemberian cairan intravena, kateter,
tubeventilator, nebulizer dan dekubitus.
2.7.3 Gangguan keseimbangan cairan elektrolit
Berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan melalui hyperhidrasi dan yang lebih jarang sekrelis saliva yang berlebihan.
2.7.4 Fraktur
Terutama
pada tulang vertebra thorakal 4–6. Kadang–kadang vertebra lumbal dan
manubrium. Disebabkan oleh karena kejang yang sangat kuat. (Batticaca,
2008)
BAB 3
WEB OF CAUTION (WOC)
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI (TETANUS)
4.1 Studi Kasus Tetanus
Ny.S
bersama suaminya pergi ke rumah sakit membawa bayinya yang masih
berusia 12 hari karena mulut bayinya mencucu seperti ikan dan disertai
dengan kejang. Keluarga mengatakan bahwa bayinya sesak, panas dan tidak
mau menyusu sejak 2 hari yang lalu, bayinya sangat rewel dan susah
tidur sejak 3 hari yang lalu. Ny.S bersama suaminya mengatakan bahwa
mereka tidak pernah menderita penyakit menular ataupun penyakit
keturunan, juga belum pernah melakukan imunisasi TT. Setelah ditanyakan
perawat tentang riwayat kelahiran bayinya, ibu sang bayi menceritakan
bahwa bayinya adalah anak pertama mereka, dan pada saat kelahirannya
Ny.S melakukan persalinan di dukun beranak di desanya karena
keterbatasan transportasi dan biaya jika harus melahirkan di rumah
sakit. Jenis persalinannya spontan dan tidak ada komplikasi pasca
persalinan.
Pada
pemeriksaan awal di RS didapatkan hasil bayi terlihat lemah dan
terkadang menangis, serta tali pusat bayi Ny.S kotor, setelah
ditanyakan, Ny.S memotong tali pusat bayinya dengan menggunakan ramuan
untuk menutup luka tali pusat dengan kunyit dan abu dapur, kemudian tali
pusatnya dibalut dengan menggunakan kain pembalut. Dan hasil dari
tanda-tanda vital bayi Ny.S sebagai berikut nadi 124x/menit, RR
48x/menit dan suhunya 38,6 oC. Bayi Ny.S didiagnosis sementara dengan tetanus neonatorium sedang karena perawatan tali pusat yang tidak tepat.
4.2 Analisa Kasus
Pengkajian
- Anamnesis
- Identitas Diri
Nama : Si fulan
Jenis kelamin ` : Laki-laki
Umur : 12 hari
Alamat : Jalan Kemuning, Surabaya
No. RM : 123456
- Keluhan Utama
Ny
S mengeluh kalau bayinya yang masih berusia 12 hari mulutnya mencucu
seperti ikan disertai kejang. Keluarga mengatakan bahwa bayinya sesak,
panas dan tidak mau menyusu sejak 2 hari yang lalu, sangat rewel dan
susah tidur sejak 3 hari yang lalu.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Ny.S
melakukan persalinan di dukun beranak, jenis persalinannya spontan dan
tidak ada komplikasi pasca persalinan. Saat setelah lahir, tali pusat
bayinya ditutup dengan kunyit dan abu dapur, kemudian dibalut dengan
menggunakan kain pembalut. Bayinya adalah anak pertama, Ny.S bersama
suaminya mengatakan bahwa mereka tidak pernah menderita penyakit menular
ataupun penyakit keturunan, juga belum pernah melakukan imunisasi TT.
- Riwayat penyakit dahulu : -
- Riwayat penyakit keluarga : -
2. Pemeriksaan Fisik
- B1 (Breathing) : An. Ny S mengalami dispnoe dengan RR 48x/menit
- B2 (Blood) : dbn (N 124x/menit, T 38,6 oC)
- B3 (Brain) : An. Ny S mengalami kejang-kejang
- B4 (Bladder) : -
- B5 (Bowel) : -
- B6 (Bone) : Lemah
- Analisa Data
No.
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah keperawatan
|
||||||
1.
|
Data Subjektif :
-
Ibu klien mengatakan bayinya dispnoe (sesak nafas)
Data objektif :
-
RR klien meningkat
dari normal : 48x/menit
|
Kejang
![]()
Gangguan proses pertukaran gas
Hipoksia
Dispnoe (sesak nafas)
|
Ketidakefektifan Pola nafas
|
||||||
2.
|
Data subjektif:
-
Ibu klien mengatakan bayinya lemas karena kurang energi
Data objektif:-
-
Bayinya terlihat lemas
|
![]()
Infeksi
Inflamasi
Demam disertai kejang
Kehabisan energi
Tidak mau menyusu
Nutrisi tidak terserap maksimal
|
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Resiko Cedera
|
||||||
3.
|
Data subjektif:
- Ibu klien
mengatakan anaknya demam, kejang
Data objektif:
-Suhu
tubuh meningkat dari keadaan normal: 38,6°C
|
Perawatan luka tali pusat yang salah
Clostridium tetani masuk tubuh
Infeksi
Inflamasi
Pembengkakan
Demam
|
Hipertermi
|
- Diagnosa Keperawatan
- Ketidakefektifan pola nafas b/d sianose asfiksia
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan menelan makanan
- Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC
- Resiko Cedera b/d Kejang
- Intervensi
DX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan menelan makanan
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil: a. BB optimal
b. Intake adekuat
c. Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makan bagi tubuh
|
Dampak
dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien
mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul reflek balik atau kesedak.
Dengan tingkat pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat
berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
|
2.
|
Sebelum
mulai memberikan makan, kaji apakah pasien cukup sadar dan responsive,
apakah dapat mengontrol mulutnya, memiliki reflex batuk/muntah, dan
dapat menelan ludahnya.
| |
3.
|
Pastikan peralatan pengisap tersedia di tempat dan berfungsi sebagaimana mestinya
| |
4.
|
Posisikan pasien dengan benar:
| |
5.
|
Upayakan pasien tetap focus dengan memberikan arahan sampai ia selesai menelan setiap suapan.
| |
6.
|
Mulai dengan jumlah kecil, dan tingkatkan secara bertahap sambil pasien belajar menguasai setiap langkah.
| |
7.
|
Kolaboratif :
Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
Pemberian carian per IV line
Pemasangan NGT bila perlu
|
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
Pemberian
cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak
atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat
|
- Evaluasi
- Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
- Pola nafas anak dapat kembali efektif
- Anak tidak menunjukkan kekurangan volume cairan, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik
- Status nutrisi anak terpenuhi, berat badan sesui usia, dapat meminum asi dengan baik
- Tidak terjadi kerusakan integritas kulit, tidak ada kemerahan, lesi dan edema
- Anak tidak mengalami kenjang, cidera tidak terjadi
- Orang tua mempunyai pengetahuan cara merawat tali pusar dengan benar
DAFTAR PUSTAKA
Bleck ,et al.1997. Infections of the central nervous system. 2nd ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven Publishers
Batticaca fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Cahyono, Suharjo B. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: KANISIUS
Carpenito, L.J., Moyet. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawtan. Ed.13. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI.2008. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak:metode HTA. Jakarta (hal 28-29)
Manuba Ida BG. 2004. Kepaniteraan klinik obsetri dan ginekologi (edisi 2). Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2012. Diagnosa Keperawatan: Defifnisi dan Kalsifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
SKFT. 2008. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III, RSUD Dr. Soetomo : Surabaya, hal 118-122, 152-154)
Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
Sumarno, dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis : Tetanus Ed 2. IDAI
Wilkinson & Nancy.2013. Buku saku diagnose keperawatan edisi 9. Jakarta: EGC
World Health Organization. 2001. Vaccine-Preventable Disease : Monitoring System. Geneva
0 comments:
Post a Comment
Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.