BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Diabetes Melitus
Pada 1552 sebelum masehi di Mesir telah
dikenal adanya suatu penyakit dengan gejala sering kencing dalam jumlah banyak
yang disebut poliuria serta penurunan berat badan yang cepat tanpa
disertai rasa nyeri. Kemudian pada tahun 400 sebelum masehi, penulis asal India
Sushruta menyebut penyakit itu sebagai penyakit kencing madu (honey urine
disease).
Celcus dan Areteus pada tahun 200
sebelum masehi, merupakan orang yang pertama kali memberi nama “diabetes” yang
berarti mengalir terus dan “melitus” yang berarti manis. Disebut “diabetes”
karena selalu minum dalam jumlah banyak yang kemudian keluar dalam bentuk urine
yang banyak. Disebut “melitus” karena urine yang dikeluarkan mengandung sejenis
gula yang disebut glukosa.
Penyakit Diabetes Melitus (DM) dikenal
juga di masyarakat sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah.
Penyakit ini merupakan golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem
metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon
insulin sesuai kebutuhan tubuh.
Beberapa sumber menyebutkan definisi
mengenai penyakit gula darah ini sebagai berikut:
“Diabetes Melitus ( DM ) adalah
penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda
hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik
akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di
dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang
biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein” ( Askandar,
2000).
“Diabetes Melitus (DM) didefinisikan
sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi
yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel- sel tubuh terhadap
insulin” (WHO, 1999).
Walaupun Diabetes melitus merupakan
penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat
berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan
penanganan secara multidisiplin yang mencakup pemberian asuhan keperawatan yang
tepat.
2.2
Klasifikasi
Penyakit Diabetes Mellitus
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma:
a.
Diabetes
tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam
pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik.
Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau
defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
b.
Diabetes
tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin
c.
Diabetes
gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT dan
gestational diabetes mellitus, GDM. dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan
patogenesis, dibuat menjadi Insulin requiring for survival diabetes, seperti
pada kasus defisiensi peptida-C.
Pada tahap ini, sekresi insulin
endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai
dengan tambahan hormon dari luar tubuh.Kelas empat pada tahap klinis serupa
dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus),
sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (bahasa
Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM merupakan
klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of Diseases pada
tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of Diseases pada tahun
1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes
mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh karena, walaupun malnutrisi dapat
memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini belum ditemukan
bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan diabetes.
Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD,
PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes
mellitus dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain,
Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD, diklasifikasikan sebagai penyakit
pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi
diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance,
IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat regulasi glukosa, sebagaimana
dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis.Namun tidak lagi
dianggap sebagai diabetes. Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG,
diperkenalkan sebagai simtoma rasio gula darah puasa yang lebih tinggi dari
batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah rasio yang ditetapkan
sebagai dasar diagnosa diabetes.
2.3
Gejala
Penyakit Diabetes Mellitus
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut
menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
a.
poliuria
- sering buang air kecil
b.
polidipsia
- selalu merasa haus
c.
polifagia
- selalu merasa lapar
Penurunan berat badan, seringkali hanya
pada diabetes mellitus tipe 1 dan setelah jangka panjang tanpa perawatan
memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
a.
gangguan
pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
b.
gangguan
pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
c.
gangguan
kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan
pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,
d.
gangguan
pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot
joint dan disfungsi seksual,dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis,
ketonuria dan hiperosmolar non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan
koma.
Kata diabetes mellitus itu sendiri
mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi
jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
2.4
Komplikasi
Diabetes Mellitus
Komplikasi jangka lama termasuk
penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama
dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan
saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Pada penderita diabetes tipe I,
gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam
suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam
darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan
gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain.
Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun
yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari
ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah,
lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan
cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas
penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum
bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan
setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin
atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering
kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat
tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya
infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang
bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang
disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
2.5
Cara
Pengobatan Diabetes Mellitus
Tujuan utama dari pengobatan diabetes
adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Namun,
kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan.Meskipun
demikian, semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya
komplikasi sementara maupun jangka panjang menjadi semakin berkurang. Untuk itu
diperlukan pemantauan kadar gula darah secara teratur baik dilakukan secara
mandiri dengan alat tes kadar gula darah sendiri di rumah atau dilakukan di
laboratorium terdekat.
Pengobatan diabetes meliputi
pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Seseorang yang obesitas dan
menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka
menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur.Namun, sebagian besar
penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga yang
teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat
hipoglikemik (penurun kadar gula darah) per-oral.Diabetes tipe 1 hanya bisa
diobati dengan insulin tetapi tipe 2 dapat diobati dengan obat oral. Jika
pengendalian berat badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian
memberikan obat yang dapat diminum (oral = mulut) atau menggunakan insulin.
Berikut ini pembagian terapi
farmakologi untuk diabetes, yaitu:
a.
Obat
Hipoglikemik Oral (OHO)
Golongan
sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada
penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I.
Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.Obat lainnya, yaitu metformin, tidak
mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap
insulinnya sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di
dalam usus.
Obat
hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika
diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan cukup.Obat ini
kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita
memerlukan 2-3 kali pemberian.Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat
mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan
insulin.
b.
Terapi
Sulih Insulin
Suntik
insulin pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin
sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat
dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak
dapat diberikan per-oral (ditelan).Bentuk insulin yang baru (semprot hidung)
sedang dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum
dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan
masalah dalam penentuan dosisnya.Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam
lapisan lemak, biasanya di lengan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum
yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri.
Insulin
terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja
yang berbeda:
1.
Insulin
kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang
bekerja paling cepat dan paling sebentar.Insulin ini seringkali mulai
menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4
jam dan bekerja selama 6-8 jam.Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh
penderita yang menjalani beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan
15-20 menit sebelum makan.
2.
Insulin
kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng
atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai
puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini
bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan
dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3.
Insulin
kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng
yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama
28-36 jam. Sediaan insulin stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan
sehingga bisa dibawa kemana-mana. Pemilihan insulin yang akan digunakan
tergantung kepada:
a)
Keinginan
penderita untuk mengontrol diabetesnya
b)
Keinginan
penderita untuk memantau kadar gula darah dan menyesuaikan dosisnya
c)
Aktivitas
harian penderita
d)
Kecekatan
penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
e)
Kestabilan
kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari
Sediaan yang paling mudah digunakan
adalah suntikan sehari sekali dari insulin kerja sedang. Tetapi sediaan ini
memberikan kontrol gula darah yang paling minimal.Kontrol yang lebih ketat bisa
diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat dan
insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan pada saat makan malam atau
ketika hendak tidur malam.
Kontrol yang paling ketat diperoleh
dengan menyuntikkan insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan
malam hari disertai suntikan insulin kerja cepat tambahan pada siang
hari.Beberapa penderita usia lanjut memerlukan sejumlah insulin yang sama
setiap harinya; penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis insulinnya
tergantung kepada makanan, olah raga dan pola kadar gula darahnya. Kebutuhan
akan insulin bervariasi sesuai dengan perubahan dalam makanan dan olah
raga.Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh
bisa membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini mempengaruhi
aktivitas insulin sehingga penderita dengan resistansi terhadap insulin harus
meningkatkan dosisnya.
Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi
kulit dan jaringan dibawahnya pada tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi
alergi yang menyebabkan nyeri dan rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan selama beberapa jam.Suntikan sering
menyebabkan terbentuknya endapan lemak (sehingga kulit tampak berbenjol-benjol)
atau merusak lemak (sehingga kulit berlekuk-lekuk). Komplikasi tersebut bisa
dicegah dengan cara mengganti tempat penyuntikan dan mengganti jenis insulin.
Pada pemakaian insulin manusia sintetis jarang terjadi resistensi dan
alergi.Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu
banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita
diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan
untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya.Tetapi cara terbaik untuk
menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat
badan.Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olah raga
untuk mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana cara menghindari
terjadinya komplikasi.Penderita juga harus memberikan perhatian khusus terhadap
infeksi kaki sehingga kukunya harus dipotong secara teratur.Penting untuk
memeriksakan matanya supaya bisa diketahui perubahan yang terjadi pada pembuluh
darah di mata.
2.6
Penyebab
Jumlah Penderita Diabetes Melitus Meningkat
a.
Banyak
Mengkonsumsi Makanan yang Mengandung Gula
Kita semakin sulit menghindari makanan
yang mengandung gula, hal tersebut sangat mudah di jumpai seperti es krim,
sirup, minuman dalam kemasan, permen, aneka jajanan kue dan lain-lain. Semua
makanan dan minuman tersebut kadang tanpa kita sadari mengandung banyak gula.
Yang patut diwaspadai adalah gula yang terkandung dalam makanan dan minuman
tersebut tidak pernah kita ketahui berapa takarannya. Berbeda jika kita minum
teh atau kopi buatan sendiri, yang sudah diketahui berapa sendok teh
takarannya. Kita boleh minum teh manis dan kopi selama dalam batas yang wajar.
b.
Kurang
tidur
Kurang tidur dapat menyebabkan
berkurangnya sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh mudah terserang penyakit.
Selain itu kebiasaan begadang sambil minum kopi dan merokok mempunyai resiko
terkena penyakit diabetes. Kebiasaan inilah yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Indonesia khususnya kaum laki-laki. Kebiasaan begadang sudah menjadi
sebuah fenomena tersendiri di masyarakat. Tuntutan pekerjaan juga seringkali
membuat masyarakat Indonesia harus bangun pagi dan merelakan beberapa jam waktu
istirahat untuk sampai di tempat kerja sesuai jadwal. Kebiasaan-kebiasaan ini
dapat meningkatkan risiko terkena diabetes.
c.
Makan
terlalu banyak karbohidrat dari nasi atau roti
Perlu diketahui bahwa tubuh mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam mengolah makanan yang Anda makan. Jika memakan
terlalu banyak karbohidrat, maka tubuh akan menyimpannya dalam bentuk gula
dalam darah (glikogen). Jika hal ini berlangsung setiap hari, maka dapat
dibayangkan besarnya penumpukan glikogen yang disimpan dalam tubuh. Inilah
pemicu awal terjadinya gejala diabetes. Indonesia yang sebagian besar penduduknya
menjadikan nasi sebagai bahan makanan pokok sehari-hari memiliki angka risiko
yang tinggi terkena diabetes mellitus. Bahkan dapat dikatakan nasi adalah
makanan wajib bagi masyarakat Indonesia sehingga setiap hari masyarakat
Indonesia tidak pernah lepas dari karbohidrat. Menurut penelitian Indofood
riset, konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kilogram per orang per kapita.
kelebihan karbohidrat akan membuat masyarakat akan jauh lebih beresiko terkena
Diabetes Melitus.
d.
Merokok
Merokok merupakan salah satu kebiasaan
yang tidak baik selain minum minuman beralkohol. Merokok dapat menjadi pemicu
terjadinya diabetes. Selain merusak paru-paru, merokok juga dapat merusak hati
dan pankreas dimana hormon insulin diproduksi sehingga dapat mengganggu
produksi insulin di dalam kelenjar pankreas. Merokok merupakan salah satu
kebiasaan buruk yang telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia khususnya
kaum laki-laki. Menurut survey yang dilakukan Global Adult Tobacco Survey
(GATS), perokok aktif laki-laki di Indonesia mencapai 67 persen dan merupakan
yang paling tinggi di antara Negara lain seperti India, Thailand, dan Filipina
yang persentasenya tidak sampai menembus angka 50 persen. Hal ini juga menambah
risiko terkena diabetes mellitus semakin tinggi.
e.
Kurangnya
Aktivitas Fisik
Gaya hidup naik mobil ketika berangkat
kerja, naik lift ketika berada dikantor, duduk terlalu lama di depan komputer
serta kurangnya aktivitas fisik lainnya membuat sistem sekresi tubuh berjalan
lambat. Akibatnya terjadilah penumpukan lemak di dalam tubuh yang lambat laun
berat badan menjadi berlebih.
Memperbanyak aktivitas fisik selama
bekerja. Misalnya jalan kaki ketika berangkat ke kantor, naik tangga, melakukan
senam ringan sehabis duduk terlalu lama dan lain-lain akan mengurangi risiko
terkena penyakit Diabetes Melitus.
f.
Faktor
Keturunan
Diabetes juga dapat disebabkan karena
faktor keturunan atau genetika. Biasanya jika ada anggota keluarga yang
menderita diabetes, maka kemungkinan besar anaknya juga menderita penyakit yang
sama. Para ahli diabetes telah sepakat menentukan persentase kemungkinan
terjadinya diabetes karena keturunan. Jika kedua orang tuanya (bapak dan ibu)
menderita diabetes, maka kemungkinan anaknya menderita penyakit diabetes yaitu
83%. Jika salah satu orang tuanya (bapak atau ibu) adalah penderita diabetes,
maka kemungkinan anaknya menderita penyakit diabetes yaitu 53%. Sedangkan jika
kedua orang tuanya normal/tidak menderita diabetes, maka kemungkinan anaknya
menderita penyakit diabetes yaitu 15%.
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menderita
penyakit diabetes, yaitu : pola makan yang salah, gaya hidup yang kurang sehat,
umur, dan kelainan genetik. Sedapat mungkin kita harus mengurangi atau bahkan
menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat memicu terjadinya diabetes.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani:
διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa
manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula
adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma
berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein.
Komplikasi jangka lama termasuk
penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama
dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan
saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Pasien yang cukup terkendali dengan
pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang
cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk
berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan
obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum
berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai
insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang
harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa
dalam bulan Ramadhan.
3.2
Saran
Bagi perawat haruslah penting menjaga
kebutuhan gizi pasien dan harus memperhatikan diet apa saja yang harus di
berikan kepada pasien. Jagalah kesehatan anda sejak dini sebelum tumbul gejala
penyakit yang kita takuti. Mulailah memilah-milah makanan yang baik untuk
kesehatan kita dan hindari stress yang dapat memperparah penyakit yang
diderita. Bukan hanya perawat saja yang perlu menjaga kesehatan, tetapi kita
mnasyarakat luas juga perlu memperhatikan kesehatan, dengan pola hidup sehat
dan olah raga yang teratur serta menjaga makanan yang dimakan.
Sumber:
Lanywati, Endang. 2001. Diabetes
Mellitus Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta: Kanisius.
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Sidartawan, Soegondo. 2005. Penatalaksanaan
Pasien Diabetes Mellitus. Jakarta: Penerbit FK UI.
Suyono, S. 2004. Patofisiologi
Diabetes Mellitus. Dalam Soegondo S, Soewondo P dan Subekti I (eds).
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid
RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo-FKUI.
Tjokroprawiro, Askandar. 2006. Hidup
Sehat dan Bahagia bersama Diabetes Mellitus. Jakarta: PT. SUN Printing.