Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Sunday, 13 November 2016

Delirium pada Lansia

Delirium pada Lansia
Oleh: Supardi Hasanuddin, Rn

Pendahuluan
Diperkirakan populasi dari penduduk lanjut usia (lansia), berusia 65 tahun ke atas, menunjukkan kecenderungan akan terus meningkat. Peningkatan paling besar populasi lansia di dunia dipikirkan akan terjadi pada tahun 2020, yaitu sebesar 400%. Di Indonesia sendiri, jumlah populasi lansia diperkirakan akan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2025, dibandingkan tahun 1990. Saat ini terdapat sekitar kurang lebih 15 juta orang lansia di Indonesia. Secara keseluruhan, peningkatan populasi berusia 65 tahun ke atas di dunia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 3 kali lipat.


Proses pertambahan usia pada pasien geriatri juga diikuti dengan penurunan fungsi organ dan kemampuan kompensasi. Beberapa teori penuaan, menyatakan hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses penuaan secara biologis terdapat berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) sehingga terjadi kerusakan perlahan dan progresif pada sistem organ yang berdampak terjadi penurunan kapasitas faal.

Selain itu, penurunan fungsi satu organ dapat mempengaruhi fungsi organ lain ataupun terjadi penurunan fungsi secara serentak. Sehingga pasien lansia seringkali memiliki lebih dari satu permasalahan kesehatan (multipatologi). Sekitar lima puluh persen dari pasien berusia di atas 65 tahun, memiliki lebih dari satu penyakit kronis dan keduanya bisa saling mempengaruhi penatalaksanaannya. Selain itu, pasien lanjut usia juga rentan risiko polifarmasi karena banyaknya morbiditas yang dapat meningkatkan efek samping obat.

Selain itu, berbagai gejala atau kumpulan gejala juga sering dijumpai pada pasien geriatri bersamaan dengan penyakit dasarnya. Gejala-gejala atau kondisi medis tersebut tidak dapat diabaikan karena dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan pasien. Kumpulan gejala tersebut disebut sindrom geriatri. Dari sindrom geriatri tersebut terdapat empat masalah yang sering terjadi pada pasien geriatri dan menyebabkan seorang lansia harus dirawat di rumah sakit. Empat masalah tersebut adalah inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan intelektual (delirium dan demensia). Kondisi medis tersebut sering disebut sebagai geriatric giants karena dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian seorang lansia bila tidak ditangani dengan baik.

Dalam modul ini, kita akan memfokuskan pembahasan pada salah satu Geriatric Giant pada lansia, yakni delirium. Delirium pada lansia sampai sekarang masih menjadi salah satu permasalahan yang masih sulit untuk dikenali oleh para tenaga kesehatan karena manifestasi klinisnya terkadang menyerupai penyakit atau gangguan-gangguan kognitif lainnya, seperti demensia atau depresi.

Lewat modul ini kita mencoba untuk mengkaji bagaimana cara mengidentifikasi atau mengenal secara dini gejala-gejala awal dari delirium pada lansia dan faktor-faktor apas saja yang bisa mempengaruhi dan memicu terjadinya delirium. Dengan begitu sebagai perawat bisa melakukan tindakan pencegahan dan juga penatalaksanaan dengan baik dan terencana.

Delirium, sebuah masalah yang sering diremehkan
Menurut data  dari badan inspeksi kementerian kesehatan di Belanda menyebutkan bahwa delirium muncul/ terjadi pada :
  • 10 sampai 40% pada pasien-pasien lansia
  • 50 sampai 80% pada pasien yg dirawat  ICU

Dan berdasarkan data dari berbagai penelitian yg dilakukan, terlihat bahwa setengah dari jumlah kasus, ternyata delirium ini belum atau tidak dikenali, dan bahkan kadang didiagnosa salah. Tidak dikenalinya delirium pada pasien-pasien tersebut, bisa memberikan dampak yang sangat  negatif terhadap pasien, diantaranya:
  • Tingginya angka kematian 
  • Relokasi atau transfer pasien yang salah dari rumahsakit ke unit/ instansi psykiatri sebagai akibat dari diagnosa yang salah

Pasien yang delirium memiliki tingkat risiko tinggi untuk mendapatkan komplikasi , seperti inkontinensia, dekubitus , malnutrisi , dehidrasi , infeksi dan jatuh . Selama periode delirium, perilaku pasien yang muncul sebagai akbiat dari delirium biasanya menghambat proses pengobatan, perawatan dan rehabilitasi . Pasien yang delirium, juga bisa mendapatkan delusi dan halusinasi yang  mana menyebatkan pasien tersebut sering gelisah dan hiperaktif, terutama pada malam hari, sehingga siklus tidur-bangunnya juga terganggu. Hal ini membutuhkan perawatan  medis dan keperawatan  intensif.

Selain itu delirium bisa menyebabkan:
  • Hilangnya/ berkurangnya fungsi ADL
  • Waktu opname lebih lama
  • Angka kematian lebih tinggi

Pasien-pasien yang telah mengalami episode delirium sering merasakan kecemasan dan perasaan malu dan takut . Namun begitu dengan adanya perawatan yang adekuat, ini bisa mengurangi dan mencegah timbulnya delirium, dan juga meminimalisir akibar-akibat buruk yang ditimbulkan oleh delirium !

Definisi Delirium
Delirium berasal dari bahasa Latin, yakni:  delirare ~ “de” berarti dari & “lira”berarti garis atau alur. Artinya bahwa delirium adalah pergeseran dari garis atau keluar jalur.

Delirium adalah gangguan mental sementara, yang disebabkan oleh satu atau lebih gangguan somatik, atau sebagai akibat dari putus obat atau penggunaan obat-obat tertentu, yang bersifat akut dan fluktuatif.

Jadi Delirium adalah gangguan serebral akut dan bersifat sementara dengan perjalanan yang fluktuatif , seperti ada semacam “kortsluiting di otak”' yang disebabkan oleh  satu atau lebih penyakit fisik atau gangguan somatik,  atau penggunaan obat-obatan  atau alcohol dan putus obat

Atau dalam definisi lainnya bahwa delirium adalah keadaan yg bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih.


Patofisiologi
Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas antara kortikal dan subkortikal. Patofisiologinya secara pasti belum/ tidak diketahui sampai sekarang, tetapi diperkirakan karena terdapat penurunan metabolisme oksidatif otak yang menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah prefrontal dan subkortikal. Dan pada sisi lain adanya kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik. Pada umumnya delirium tidak timbul karena satu sebab saja, tetapi karena kombinasi antara:
  • Faktor etiologi (gangguan somatik),
  • Faktor predisposisi (risk factor), dan
  • Faktor presipitasi (faktor pencetus)

Etiologi
  • Pada umumnya karena gangguan atau penyakit somatik, seperti;
    • Gangguan serebral
    • Dehydratie/ gangguan metabolik/ elektrolit
    • Gangguan cardio-pulmonal
    • Infeksi
  • Intoksikasi/ keracunan obat atau putus obat
  • Multifaktoral; kombinasi beberapa penyebab

Faktor predisposisi
Faktor presdisposisi adalah faktor-faktor yg sudah ada saat opname yang mana berhubungan dgn pasien, diantaranya:

  • Faktor usia
Pada pasien usia lanjut memiliki kemungkinan mendapatkan delirium saat opname lebih besar. 
  • Kerusakan otak, seperti CVA
  • Riwayat delirium saat opname sebelumnya
  • Immobility/ ketidakmampuan fungsional ; ketidakmampuan untuk bisa berpindah tempat sendiri atau memiliki hambatan dalam pergerakan atau ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas ADL-nya secara mandiri
  • Memiliki gangguan kognitif; seperti demensia
  • Ketergantungan alkohol
  • Komorbiditas; memiliki 2 atau lebih penyakit yang berkaitan satu sama lain dan menggangu sistem organ tubuh lebih dari dua.
  • Gangguan panca indera ; seperti visus/ penglihatan dan pendengaran

Faktor pencetus (presipitasi)
Faktor-faktor yg terjadi/ muncul selama pasien tersebut di opname (yg berkaitan dengan opname pasien), seperti:
  • Operasi/ bedah dan anestesi
  • Opname di ICU
  • Stres karena opname
  • Kurang atau justru over-stimulasi pancaindra
  • Obstipasi atau retensi urin
  • Pain
  • Kateter, infus, drain
  • Kurangnya kemungkinan orientasi
  • Kurang tidur
  • Penyakit akut berat , seperti hipoglikemia, hHipoksia atau hiperkapnia
  • Polifarmasi
Kerentanan/ vulnerability   =   Faktor-faktor risiko

Faktor-faktor pencetus/ pemicu  =   Precipitating factors



Delirium dapat disebabkan oleh kombinasi dari kerentanan/ vulnerability dan faktor pencetus selama opname. Pada pasien yang sangat rentan , misalnya dengan demensia berat , hanya dengan setelah asupan sekali  obat tidur pasien tersebut dapat mendapatkan delirium. Dan bahkan pada lansia yang sehat dan fit sekalipun, operasi besar bisa jadi merupakan stress yang sangat besar buat dia sehingga terjadi delirium.

Manifestasi klinis dan perjalanan delirium
Gejala delirium datang dan pergi dan bahkan mungkin tidak ada selama beberapa jam ! atau sebaliknya, Delirium dapat berkembang/ muncul dengan cepat , dalam hitungan jam atau hari. Biasanya delirium terjadi dalam beberapa hari dan  kita bisa melihat perubahan-perubahan klinis yang muncul seiring perjalanan hari . Gejala datang dan pergi , dan kadang-kadang pasien dalam beberapa jam tidak menunjukkan gejala-gejala klinis . Hal ini membuat identifikasi delirium terkadang sulit.

Tingkat kejadian dikaitkan dengan penyebabnya : pada gangguan fisik yang tiba-tiba dan serius, seperti operasi besar akan memicu  lebih cepat munculnya delirium daripada penyebab yang muncul secara diam-diam, seperti dehidrasi. Oleh karena itu, penting buat kita untuk mengetahui gejala-gejala awal yang muncul atau yang pasien perlihatkan sebelum gejala pasti delirium terjadi.

Gejala awal (prodromal symptoms) adalah gejala-gejala yang muncul diawal sebelum delirium yang sebenarnya terjadi, seperti:
  • Perubahan perilaku
  • Sulit tidur/ insomnia
  • Kecemasan, gelisah/ restlessness
  • Mimpi buruk
  • Disorientasi ringan dan gangguan konsentrasi
  • Kesulitan dalam memahami apa yg terjadi dan dikatakan
  • Kehilangan struktur keseharian

Gangguan-gangguan penting yang sering muncul pada delirium adalah :
  • Gangguan kesadaran
  • Gangguan atensi/ fokus
  • Gangguan berpikir dan persepsi;  paranoid/ delusi, halusinasi
  • Gangguan memori/ ingatan
  • Gangguan orientasi/ disorientasi
  • Gangguan pola tidur
  • Gangguan psykomotorik
  • Gangguan lainnya: inkontinensi, tremor, takikardi, hypertensi dan berkeringat

Tipe/ Jenis delirium
Ada 3 tipe, yakni:
  1. Bentuk aktif atau hiperaktif
  2. Bentuk pasif atau hipoaktif
  3. Campuran

Kita membedakan tiga jenis delirium : yang pertama adalah delirium hiperaktif-hyperalerte dengan agitasi dan kewaspadaan yg tinggi . Yang kedua adalah bentuk delirium hypoalerte- hipoactif , juga dikenal sebagai " delirium diam/ apatis" . Hal ini ditandai dengan apatis dan perilaku menarik diri dan penurunan tingkat kewaspadaan . Bentuk ketiga adalah bentuk campuran, dimana manifestasi klinisnya bergantian antara bentuk hiperaktif dan hipoaktif satu sama lain dengan cara yang tak terduga . Bentuk ketiga ini yang paling umum dan sering terjadi.

Contoh kasus pasien delirium jenis hiperaktif: Mr. K. Saat malam hari sangat gelisah dan terus menerus membangunkan istrinya dari tidurnya. Bahkan anak-anaknya sering datang ke rumah mereka untuk menjaga ayahnya supaya ibu mereka bisa istirahat.  Jika siang harinya, Mr. K tidak tahu lagi apa yg terjadi malam itu, meskipun dijelaskan berkali-kali. Mr. K mulai berteriak dan menggunakan bahasa kotor, dimana hal ini tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Istrinya disarankan supaya urin Mr. K diperiksakan ke dokter keluarga (huisarts). Pada awalnya tidak ada yg ditemukan. Namun beberapa hari kemudian mereka mengkonsultasikannya lagi ke dokter, dan dokter memeriksa kembali urin Mr. K. Dan ternyata dari pemeriksaan itu, kelihatan bahwa ada infeksi saluran kemih. Dari dokter keluarga mereka, Mr. K mendapatkan antibiotik. Setelah seminggu, Mr. K sembuh dari infeksi kandung kemihnya dan kejadian2 yg terjadi dimalam2 sebelumnya tidak terjadi lagi.

Contoh kasus pasien delirium jenis hipoaktif/ delirium diam: Ibu M. sangat pasif.  Jika pagi hari dia tidak keluar dari tempat tidurnya. Tetap saja berada ditempat tidurnya, sampai perawat dari instansi homecare datang untuk memberikan suntikan insulinnya. Menurut dia itu semuanya sebenarnya tidak perlu, dan dia terus "menggerutu" dan tidak ingin apa-apa dan tdk mau dibantu, kecuali hanya ingin tidur/ berbaring di tempat tidur. Menurut riwayat medisnya di masa lalu ibu M sering mendapatkan infeksi kandung kemih. Ibu M kemudian disarankan untuk memeriksakan urin-nya ke dokter dan ternyata dari hasil pemeriksaan urin tersebut, ditemukan bahwa dia mendapatkan infeksi kandung kemih.  Setelah beberapa hari mendapatkan antibiotik ibu M terlihat energik kembali.

Diagnosis
Dalam men-diagnosa apakah pasien itu mengalami delirium, kriteria yang sering digunakan adalah  kriteria Diagnostic and Statictical Manual Version IV (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association. Dalam DSM-IV, disebutkan ada 4  kriteria untuk melakukan diagnosis delirium, yakni:
  • Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan merubah perhatian
  • Perubahan kognitif seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat
  • Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya
  • Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: kondisi medis umum, intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi

CAM (Confusion Assessment Method)
Selain kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV, dapat juga menggunakan algoritma The Confusion Assessment Method (CAM) dan Delirium Observation Screening (DOS). CAM merupakan metode standarisasi sehingga memungkinkan  identifikasi delirium dengan lebih cepat dan akurat. Berikut kriteria diagnostik delirium berdasarkan CAM, yakni:
Kriteria 1. Onset akut dan adanya fluktuasi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan anamnesis dari pihak keluarga dengan pertanyaan: adakah perubahan status mental/perilaku yang akut? Apakah ada perubahan (fluktuasi) perilaku yang terjadi sepanjang hari? Bila terdapat fluktuasi, apakah hilang timbul atau gradasi perbaikan dan perburukan?

Kriteria 2. Inatensi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat kesulitan berkosentrasi?

Kriteria 3. Gangguan pikir
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat inkoherensi dalam percakapan? Apakah terdapat  pemikiran/ide yang tidak masuk akal?

Kriteria 4. Gangguan tingkat kesadaran
Kriteria ini dapat didapatkan bila pasien tersebut sering tertidur tiba-tiba saat percakapan.

Diagnosis delirium ditegakkan dengan adanya kriteria 1 dan 2 ditambah kriteria 3 atau 4.

DOS (Delirium Observation Screening)
DOS adalah skrining instrumen yang dipakai untuk melakukan observasi kepada pasien selama 3 hari berturut-turut, guna mendeteksi apakah pasien tersebut menunjukkan gejala-gejala atau kriteria-kriteria klinis delirium. DOS ini biasanya dipakai oleh para perawat untuk meng-observasi pasien selama 24 jam untuk 3 hari berturut-turut. DOS ini terdiri dari 13 pertanyaan yang harus diisi oleh perawat yang melakukan observasi kepada pasien selama jadwal tugasnya (jadwal dinasnya). Jika pasien  memilki skor lebih dari 3, berarti kemungkinan besar pasien tersebut mendapatkan delirium. Sebagai perawat, kita tidak memiliki wewenang untuk menentukan diagnose, tetapi hasil dari observasi kita ini, menjadi acuan buat dokter dalam menentukan apakah pasien tersebut delirium atau tidak.

DOS ((Delirium Observation Screening )
Skala ini terdiri dari 13 pertanyaan, yang di skor dengan “YA” ( 1 poin ) atau  “TIDAK “ ( 0 poin )
  1. Tertidur sebentar selama percakapan atau aktivitas
  2. Mudah terganggu oleh rangsangan/ stimulus dari lingkungan sekitarnya
  3. Memperhatikan/ fokus pada percakapan atau tindakan yg dilakukan
  4. Bertanya atau memberikan jawaban yang tidak lengkap (belum selesai)
  5. Memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan
  6. Lambat dalam merespon perintah
  7. Berpikir kalau dia berada ditempat lain (orientasi tempat)
  8. Menyadari bahwa dia berada di bagian hari yg mana
  9. Mengingat peristiwa-peristiwa yang baru terjadi
  10. Gelisah, restless, tidak bisa diam, dll
  11. Menarik atau berusaha mencabut infus, kateter, dll
  12. Cepat atau tiba-tiba ada perubahan emosi
  13. Mendengar atau melihat hal-hal yang tidak ada

Preventif/ Pencegahan
Pencegahan primer, sebelum terjadinya delirium, merupakan strategi paling efektif mencegah terjadinya delirium dan komplikasinya. Oleh karena itu, identifikasi dan intervensi faktor-faktor risiko terjadinya delirium harus dilakukan secara cermat dan secepatnya.

Tindakan-tindakan pencegahan antara lain:
  • Melakukan indentifikasi terhadap grup-grup yang berisiko
  • Menghilangkan faktor-faktor risiko dan pencetus/ pemicu

Tindakan pencegahan ini bertujuan untuk:
  • Mencegah terjadinya delirium
  • Jika delirium sudah terjadi; meminimalisir efek negatifnya dan supaya tidak berlangsung terlalu lama
  • Mengurangi dampak keparahan/ komplikasi dari delirium

Melalui langkah-langkah pencegahan, yaitu mengenali risiko dan jika mungkin menghilangkan faktor risiko, delirium dapat dicegah atau mungkin mengurangi durasi dan tingkat keparahan dari delirium tersebut. Jadi, penting bahwa kita mengidentifikasi sejak awal mana pasien yg berpotensi mendapatkan delirium .

Catatan!
Delirium adalah gangguan yang bersifat SEMENTARA, akan tetapi bisa memberikan akibat/ gangguan yang TETAP.

Efek negatief jangka panjang dari delirium:
  1. Kelupaan
  2. Gangguan konsentrasi
  3. Cepat emosi/marah/ agitasi
  4. Mengurangi kecerdasan
  5. (jika demensia) tingkat keparahannya bertambah
  6. Gangguan fungsi eksekutif
Semua ini menyebabkan berkurangnya tingkat kemampuan kemandirian  atau hilangnya fungsi kemandirian. Bagi sebagian orang, ini berarti bahwa mereka tidak bisa lagi melakukan aktivitas keseharian mereka yang biasa mereka lakukan sebelum  mereka sakit . Untuk pasien yang lebih tua (lansia) , ini berarti bahwa mereka tidak bisa lagi hidup secara mandiri . Kadang-kadang mereka sepenuhnya harus tergantung pada perawatan  dari orang lain, atau dipindahkan ke instansi keperawatan intensif khusus lansia .
Pencegahan delirium di rumahsakit
 Pertanyaan Skrining saat opname di rumah sakit
Di Belanda semua pasien yang berusia 70 tahun keatas yang dirawat di unit perawatan harus diskrining pada saat masuk opname. Komite  inspeksi kementerian kesehatan Belanda bersama program kesehatan VMS (Veiligheidmanagement systeem/ sistem manajemen keselamatan) menyusun 3 buah pertanyaan skrining yang didasarkan atas penelitian ilmiah. Ketiga pertanyaan itu adalah:
  • Apakah Anda mengalami masalah/ gangguan dengan memori atau ingatan anda?
  • Apakah Anda selama 24 jam terkahir mendapatkan bantuan dari orang lain yang menyangkut aktifitas ADL ?
  • Apakah dalam riwayat opname anda sebelumnya, Anda  pernah mengalami periode delirium ?

Jika jawabannya “YA” dari satu atau lebih dari pertanyaan diatas, berarti pasien tersebut berisiko tinggi mendapatkan delirium selama opname. Jika seperti itu, Anda sebagai perawat harus mengisi formulir DOS (Delirium Observation Screening) selama 3 hari berturut-turut disetiap shift/ jadwal jaga/dinas. Dan melakukan upaya antisipasi dengan menerapkan intervensi-intervensi keperawatan yg bertujuan untuk mereduksi factor-faktor pencetus terjadinya delirium.

Tindakan Pencegahan
Tindakan-tindakan pencegahan yg bisa dilakukan adalah:
  • Mengurangi/ menghilangkan faktor-faktor pencetus/ pemicu
  • Mengoptimalkan iklim terapi
  • Orientasi dan struktur hari; siang-malam
  • Partisipasi keluarga
  • Usahakan keamanan
  • Observasi dan pelaporan
  • Melibatkan displin ilmu lainnya

Sumber :
Protokol dan panduan penanganan pasien Delirium di Rumahsakit, UMC Utrecht Netherland. Multidisciplines richtlijn Delier.
Nederlandse Vereniging voor Klinische Geriatrie (NVKG) 2013.  Richtlijn Delier Volwassenen. http://www.nvkg.nl/uploads/bB/zw/bBzw0YCHaGtVRSwyW-epTw/Richtlijn-Delier-Volwassenen-voor-autorisatie.pdf
Sharon K. Inouye, M.D., M.P.H 2006. Delirium in Older Persons.
Schuurmans, Marieke J, Shortridge-Baggett, Lillie M, Duursma, Sijmen A 2003. The Delirium Observation Screening Scale: A Screening Instrument for Delirium.

Menurut Mark (2006), hal yang harus dilakukan oleh tenaga medis khususnya perawat dan dokter pada pasien dengan Delirium adalah dengan memperbaiki kondisi penyakitnya dan menghilangkan faktor yang memberatkan.

Hal yang bisa dilakukan yaitu dengan menghilangkan penyebab bila memungkinkan. Misalnya jika delirium timbul karena efek obat, maka tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan setiap obat yang memperburuk keadaan delirium pasien.

Selain itu bila terjadi infeksi maka harus diberikan treatment untuk mengobati infeksi tersebut. Menjaga dan mengoptimalkan nutrisi dan hidrasi pasien juga merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Memberikan support pada pasien dan keluarga juga sangat penting untuk memberikan ketenangan psikologis.

Menciptakan lingkungan yang mendukung dan nyaman juga dapat memberikan efek positif bagi keadaan pasien. Misal, Anggota keluarga memberikan penenangan dan hal-hal lazim dari rumah untuk mengingatkan pasien kembali, mendorong kerabat atau teman untuk datang berkunjung, menghindari gangguan tidur dengan menciptakan lingkungan yang tenang dan meyakinkan, pencahayaan yang baik, serta menempatkan pasien di dekat tempat perawatan agar mudah dipantau.

Tindakan kolaboratif lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan terapi farmakologis guna mengobati agitasi yang menyertai, lebih baik dengan haloperidol (Haldol), dosis awal 0,5 sampai 2 mg IM atau IV. Jika Haldol tidak efektif, pikirkan tambahan lorazepam (Ativan) 0,5 sampai 1 mg IM atau IV. Sebagai usaha terakhir, pasien dapat dikurung demi keamanan. Perlu diingat obat benzodiazepin bisa memperburuk delirium karena efek sedasinya.

Menurut Dewanto (2009), penatalaksanaan pada pasien delirium dibedakan menjadi 2, yaitu:

Intervensi Nonfarmakologis
Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan delirium, kebingungan, dan kesalahan persepsi serta mengoptimalkan stimulasi Iingkungan.

Intervensi Farmakologis
  1. Antipsikotik Tipikal.
Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/12 jam, sementara untuk usia muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan dosis 10 mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30 menit kemudian selama tidak ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval QT memanjang pada EKGI sehingga pemberian haloperidol disertai dengan monitor EKG.

  1. Antipsikotik Atipikal.
Dosis risperidon untuk orang tua 0,25-0,5 mg/12 jam, olanzapin 2,5-5 mg malam hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT memanjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin alternatif pengganti haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum, selain itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan kontraindikasi pada delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam sediaan oral.

  1. Benzodiazepin.
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV; dapat diulang sesuai kebutuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi pada gejala putus alkohol, benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pascakejang. Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin 100 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian tiamin mendahului pemberian glukosa IV. Ben zodiazepin memberikan efek sedasi berlebih, depresi pernapasan, ataksia, dan amnesia.

  1. Preparat Anestetik.
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 pg/kg/menit. Efek samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi, peningkatan enzim pankreas, dan asam laktat.

Sumber :
Dewanto, George. (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Dampak Hospitalisasi pada Anak dan Keluarga

Menurut Supartini ( 2004, hal : 189 ), berbagai macam perilaku yang dapat ditunjukkan klien anak dan keluarga sebagai respon terhadap perawatannya di rumah sakit, sebagai berikut :

Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Setelah dikemukakan di atas, anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, system pendukung yang tersedia,dan kemampuan koping yang dimilikinya, pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak terhadap hospitalisai sesuai dengan tahapan perkambangannya.

  1. Masa bayi (0—ltahun)
Masalah utama terjadi adalah karena dampak dan perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dan 6 bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada anak ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety

  1. Masa todler ( 2-3 tahun)
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilakunya sesuai dengan tahapannya:
  1. Tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tuanya dan menolak perhatian yang diberikan oleh orang lain.
  2. Tahap putus asa, perilaku yang ditunjukan adalah menagis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis
  3. Tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingungannya.

  1. Masa prasekolah ( 3-6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dan lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannva. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secan perlahan, dan tidak kooperatif terhadap tenaga kesehatan, perawatan di rumah sakit mengakibatkan anak kehilangan kontrol terhadap dirinya

  1. Masa sekolah (6-12 tahun)
Perawatan dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama pada kelompok sosialnya yang dapat menimbulkan kecemasan Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat dirumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan control tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan social, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik.

  1. Masa remaja (12— 18 tahun)
Perawatan dirumah sakit menyebabkan timbulnya rasa cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Apabila harus dirawat dirumah sakit anak akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan control terhadap dirinya dan bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan dirumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitas ini adalah menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik din dari keluarga, sesama pasien dan petugas kesehatan (isolasi )

Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi
Berikut beberapa reaksi orang tua saat anak mereka dirawat di rumah sakit (Supartini,2004):

  1. Perasaan Cemas dan Takut
Perasaan cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua melihat anaknya mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof lainnya. Hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini perawat atau petugas kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya.
Penelitian membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua saat menunggu nformasi tentang diagnosis penyakit anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa takut muncul pada orang tua terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal (Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa cemas adalah rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas karena pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001).

  1. Perasaan Sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika anak pada saat anak berada pada kondisi termal dan orang tua mengetahui bahwa anaknya hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat sembuh. Bahkan ketika menghadapi anaknya yang menjelang ajal, orang tua merasa sedih dan berduka. Namun di satu sisi, orang tua harus berada di samping anaknya sembari memberikan bimbingan spiritual pada anaknya. Pada kondisi ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati orang lain, bahkan bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Supartini, 2000).

  1. Perasaan Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa ketika melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama namun belum mengalami perubahan kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan psikologis dari pihak-pihak luar (seperti keluarga ataupun perawat atau petugas kesehatan). 

  1. Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap dirinya telah gagal dalam memberikan perawatan kesehatan  pada anaknya sehingga anaknya harus mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus ditangani oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

Sumber :
Supartini, Y. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC


Saturday, 12 November 2016

Epilepsi

BAB 2
Tinjauan Pustaka

Definisi
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kejang epilepsi yang berulang (dua kali atau lebih) tanpa diprovokasi oleh penyebab yang jelas. Kejang epilepsi (epileptic seizure) adalah suatu manifestasi klinis yang diduga hasil dari abnormalitas dan akibat berhentinya fungsi sekelompok sel neuron di otak (Wishwadewa et al., 2008).

International League Againts Epilepsy (ILAE) mendefinisikan epilepsi secara konseptual dan praktis. Secara konseptual, epilepsi adalah gangguan otak yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan yang kuat untuk menghasilkan bangkitan epileptik dan memiliki dampak kerusakan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial (Budiman et al., 2015).

Klasifikasi
Sistem pengklasifikasian kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori utama (Batticaca, 2008):
  1. Kejang parsial
Disebabkan oleh cetusan muatan listrik yang abnormal dari fokus epileptogenik yang terbatas pada satu atau lebih daerah korteks serebri. Kejang fokal dapat timbul dari setiap area korteks serebri, tetapi lobus frontalis, temporalis, dan parietalis merupakan daerah-daerah yang paling sering terkena. Area serebral yang terserang ditunjukan oleh manifestasi klinis. Kejang parsial dibagi lagi menjadi 3 subtipe:
  1. Kejang parsial sederhana (simple partial seizures) memiliki gejala dasar atau sederhana dan tidak disertai gangguan kesadaran (disebut juga aura). Kejang parsial sederhana disertai tanda-tanda motorik yang dicirikan dengan:
  1. Gejala motorik lokal
  2. Gejala somatosensorik, psikis, otonom
  3. Kombinasi semua gejala diatas

  1. Kejang parsial kompleks (complex partial seizures) meliputi gejala-gejala yang kompleks dan gangguan kesadaran. Kejang ini dapat dimulai dengan aura, yaitu kejang parsial sederhana yang biasanya berupa hubungan yang rumit dan fungsi integrative area otak tersebut. Aura merupakan bagian dari serangan kejang dan disertai dnegan perubahan elektroensefalogram (EEG) (Van Donselaar, Geerts, dan Schimscheimer, 1990). Tampak lebih sering pada anak-anak yang berusia 3 tahun sampai usia remaja yang dicirikan dengan:
  1. Periode perubahan perilaku
  2. Gangguan kesadaran selam kejadian
  3. Gejala mengantuk atau tertidur terjadi setelah kejang
  4. Dapat berupa perasaan takut dan cemas yang kuat, penyimpangan sensasi terhadap waktu dan diri sendiri.

  1. Kejang sederhana atau kejang kompleks akibat kejang generalisata akan berubah menjadi kejang menyeluruh yang biasanya berupa kejang tonik-klonik.

  1. Kejang generalisata
Tanpa awitan fokal tampak timbul dalam formasio retikularis, dan hasil pengamatan  klinis menunjukkan bahwa lesi awal berasal dari kedua hemisfer otak. Kehilangan kesadaran sering terjadi dan merupakan manifestasi klinis awal. Berbeda dengan kejang parsial yang menjadi generalisata, pada gangguan ini tidak terdapat aura. Episodenya dapat terjadi setiap saat, siang, atau malam hari, dengan interval anatar episode selama beberapa menit, jam, minggu, bahkan tahun. Sebagian besar orang yang menderita jenis epilepsi ini, pada awalnya memperlihatkan serangannya dimulai sebelum usia 4 tahun lebih sering mengalami retardasi mental dan masalah perilaku serta masalah belajar dibandingkan anak-anak yang serangannya baru dimulai setelah 4 tahun.
Kejang generalisata memiliki beberapa jenis yaitu :

  1. Kejang Tonik-klonik (sebelumnya dikenal dengan istilah Grand Mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling sering dramatis dan sering ditemukan di antara semua manifestasi serangan epilepsi yang memiliki tanda dan gejala seperti berikut :
  1. Terjadi tanpa peringatan
  2. Fase tonik berlangsung sekitar 10 sampai 20 detik
  3. Fase klonik berlangsung sekitar 30 detik tetapi bisa bervariasi mulai dari hanya beberapa detik sampai setengah jam atau lebih
  4. Status epileptikus: serangkaian kejang epilepsi dengan interval yang terlalu singkat sehingga anak tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk sadar kembali pada masa diantara akhir satu seranagn dan permulaan serangan berikutnya.
  5. Memerlukan intervensi kedaruratan
  6. Dapat menimbulkan kelelahan, gagal napas, dan kematian
  7. Status postiktal (keadaan pasca serangan) tampak rileks
  8. Dapat tetap dalam keadaan setengah sadar dan sulit dibangunkan
  9. Dapat terjaga dalam tempo beberapa menit
  10. Gangguan gerakan motorik halus tahap ringan
  11. Dapat mengalami kesulitan penglihatan dan bicara

  1. Serangan epilepsy tanpa kejang (dikenal dengan istilah Petit Mal atau lapse) dicirikan dengan:
  1. Biasanya awitan terjadi antara usia 4 dan 12 tahun
  2. Biasanya serangan berhenti pada usia pubertas
  3. Hilang kesadaran berlangsung singkat
  4. Tidak terdapat atau sedikit perubahan tonus otot

  1. Kejang Atonik dan Akinetik (disebut juga dengan istilah Drop Attacks) dicirikan dengan:
  1. Awitan biasanya terjadi pada usia antara 2 dan 5 tahun
  2. Kehilangan tonus otot dan pengendalian postural yang mendadak dan sesat
  3. Kejadian ini sering timbul kembali sepanjang hari, terutama pada pagi hari dan sesaat setelah bangun tidur.

  1. Kejang mioklonik dicirikan dengan:
  1. Kontraktur otot atau kelompok otot yang berlangsung mendadak dan singkat
  2. Terjadi satu kali atau berkali-kali
  3. Dapat disertai atau tanpa disertai hilang kesadaran

  1. Spasme infantile (disebut juga mioklonus infantile, spasme massif, hipsaritmia, episode salaam, atau spasme mioklonik infantile) dicirikan dengan :
  1. Paling sering terjadi pada usia 6 sampai 8 bulan pertama
  2. Dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
  3. Anak dapat mengalami sejumlah kejang sepanjang hari tanpa perasaan mengantuk atau tertidur setelah serangan.

Etiologi
Gangguan kejang mempunyai beberapa penyebab beragam misalnya tumor, infeksi, neoplasma. Sebagain besar gangguan berifat ideopatik, namun factor genetic dengan cara tertentu dapat mengubah ambang kejang sehingga memengaruhi muatan neuron. Gangguan kejang juga merupakan gangguan yang didapat akibat cidera otak pada masa pranatal, perintal, pasca natal. Cidera ini dapat disebabbkan oleh trauma hipoksia, infeksi, toksik eksogen endogen dan berbagai faktor lain. Gangguan biokimia misalnya hipoglikemia, hipokalesemia, dan defisiensi nutrisi tertentu dapat menimbulkan aktivitas kejang.

Insidensi faktor-faktor kausatif yang dikaitkan dengan kejang pada masa kanak-kanak sering kali memiliki hubungan dengan usia anak. Kejang lebih sering terjadi pada usia 2 tahun pertama dibandingkan dengan periode usia kanak-kanak yang lain. Pada bayi yang sangat kecil, penyebab tersering kejang adalah cedera lahir seperti trauma intracranial, perdarahan, atau anoksia, dan defek kongenital pada otak. Infeksi akut merupakan penyebab kejang yang paling sering ditemukan pada akhir usia bayi dan awal usia kanak-kanak tetapi jarang dijumpai pada pertengahan usia kanak-kanak. Pada anak yang berusia lebih dari 3 tahun, faktor etiologi yang paling sering dijumpai adalah penyakit epilepsi idiopatik.

Aktivitas kejang dipercaya terjadi karena cetusan atau pelepasan muatan listrik yang spontan. Kondisi ini dipicu oleh sekelompok sel yang hipereksitabel, kelompok sel ini dinamakan focus epileptogenic. Sel-sel ini memperlihatkan peningkatan eksitabilitas (perangsangan) listrik sebagai reaksi terhadap setiap stimulus fisiologik seperti dehidrasi selular, abnormalitas kadar glukosa darah, gangguan keseimbangan elektrolit, keletihan, stres emosional, dan gangguan endokrin. Jika eksitasi neuron dari focus epileptogenic menyebar ke batang otak, akan terjadi serangan kejang yang menyeluruh. Kejang dibedakan menjadi serangan fokal (lokal), kejang fokal yang menjadi generalisata (fokal seizures with rapid generazition), dan kejang generalisata (generaliz seizures), yang di dasarkan pada karakteristik pelepasan muatan neuron. Pada sebagian besar anak, kejang lokal meluas ke daerah lain dan akhirnya menjadi serangan menyeluruh (general) disertai kehilangan kesadaran.

Faktor Risiko
Berikut merupakan persentase faktor risiko epilepsi berdasarkan penelitian Budiman et al. (2015) di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung:
Faktor risiko
Persentase (%)
Pasi serebral
23,1
Infeksi sistem saraf pusat
9,1
Kejang demam
46,2
Status epileptik
15,4
Gangguan keseimbangan elektrolit
43,1
Kelainan perkembangan
18,5

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung sementara seperti penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom atau psikis yang dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain (Wishwadewa et al., 2008). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan yang terjadi tiba-tiba dan berulang yang disebabkan oleh lepas muatan listrik kortikal secara berlebihan (Mustarsid et al., 2011)

Patofosiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
  1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
  2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
  3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
  4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
  1. WOC









Penatalaksanaan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat anti konvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3 tahun sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5 tahun. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Kondisi ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Jenis obat yang sering digunakan :
  1. Phenobarbital (Luminal)
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

  1. Primidone (Mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

  1. Difenilhidantoin (DPH, Dilantin, Phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berpengaruh positif terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. Tak memberikan efek maksimal terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai adalah nistagmus, ataksia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.

  1. Carbamazine (Tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkah laku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataksia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

  1. Diazepam
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian via intra muskular hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan via intra vena atau intra rektal.

  1. Nitrazepam (Inogadon)
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

  1. Ethosuximide (Zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

  1. Na-valproat (Dopakene)
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anoreksia

  1. Acetazolamide (Diamox)
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

  1. ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Risiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
  1. Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
  2. Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
  3. Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut  jika si anak tak bernapas

Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.

Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.

Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.

Diagnosa Epilepsi
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi adalah menentukan dengan benar diagnosa epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula.

Diagnosa awal
Langkah awal diagnosa adalah menentukan untuk membedakan apakah yang sedang terjadi pada klien adalah serangan kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, keluarga, orang yang merawat, dan saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi. Adapaun beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mendiagnosa epilepsi adalah (Ahmed, 2004; Hadi, 1993; Harsono, 2001; Kustiowati et al., 2003) :

  1. Kapan pasien mengalami serangan kejang pertama kali selama ini?
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada pasa perinatal, kelainan metabolik, dan malformasi kongenital. Pada usia sekitar 70 tahun, bisanya ada kemungkinan mengalami kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak. Kejang umumnya cenderung muncul pada anak-anak dan usia remaja.

  1. Apakah klien mengalami peringatan atau perasaan tidak enak sebelum serangan terjadi?
Gejala peringatan sebelum klien mengalami serangan kejang disebut dengan aura. Aura muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana yang berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu mengetahui lokasi otak yang mengalami gangguan. Pasien yang mengalami epilepsi lobus temporalis dilaporkan mengalami de javu dan atau sensasi tidak enak di lambung. Kesemutan merupakan salah satu tanda bagian lobus parietalis yang mengalami epilepsi. Gangguan penglihatan sementara menandakan epilepsi terjadi pada lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum dapat tidak didahului dengan aura karena otak terganggu pada kedua hemisfer.

  1. Apa yang terjadi selama serangan kejang terjadi?
Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis dapat menyebabkan mata dan kepala deviasi ke arah kontralateral lesi. Serangan kejang dari lobus temporalis menunjukkan gerakan mengecap bibir dan atau gerakan mengunyah. Serangan dari lobus oksipitalis akan menunjukkan garakan berkedip berlebihan dan gangguan penglihatan. Pada serangan kejang umum dijumpai juga inkontinensia urin dan lidah tergigit.

  1. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah post ictal period. Kejang tonik klonik membuat klien tertidur setelah serangan, sedangkan kejang parsial kompleks membuat klien mengalami disorientasi dan penurunan kesadaran. Hemiparese dan hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todd’s Paralysis yang menggambarkan fokus patologis di otak. Afasia tanpa penurunan kesadaran menggambarkan adanya gangguan di hemisfer dominan. Pada absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

  1. Kapan serangan kejang berlangsung dalam 24 jam?
Kejang tonik klonik dan mioklonik biasanya terjadi pada waktu klien terjaga dan pagi hari. Sedangkan serangan kejang dari lobus temporalis dapat terjadi sewaktu-waktu, dan serangan dari lobus frontalis muncul pada waktu malam hari.

  1. Apakah ada faktor pencetus?
Serangan kejang dapat terjadi karena kurang tidur, menstruasi, makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stres emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara-suara tertentu, dan drug abuse. Dengan adanya informasi ini klien dan keluarga dapat melakukan upaya agar faktor pencetus tersebut dapat dihindari.

  1. Bagaimana frekuensi serangan kejang?
Informasi ini dapat membantu mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapatkan obat anti kejang.

  1. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat.

  1. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

  1. Apakah klien mengalami luka sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini  penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada aura, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.

  1. Apakah sebelumnya klien pernah dirawat di unit pelayanan gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

  1. Riwayat medik dahulu
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat  membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed dan Spancer, 2004).
  1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya? 
  2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory distress?
  3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
  4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2% dan serangan kejang demam kompleks 13%.
  5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Di beberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
  6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
  7. Apakah ada riwayat tumor otak?
  8. Apakah ada riwayat stroke?

  1. Riwayat sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed dan Spancer, 2004).
  1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
  2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?  Pasien epilepsi yang seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh  waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas-tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.
  3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran   sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Di beberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
  4. Apakah  pasien  menggunakan  kontrasepsi  oral?  Apakah  pasien  merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya. 
  5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .

  1. Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, 2004).

  1. Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas (Ahmed, 2004)

  1. Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, 2004)

  1. Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI (Ahmed, 2004).

  1. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Pemeriksaan fisik harus mengungkap sebab-sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi di daerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. Pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti café au lait spots dan iris hematoma pada neorfibrimatosis, ash leaf spots, shahgreen patches, subungual fibromas, adenoma sebaceum pada tuberkulosis, port-wine stain (capilary hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Identifikasi bekas gigitan di lidah juga perlu dilakukan atau ada luka lain sehubungan dengan serang kejang yang telah dialami. Pemberian obat fenotin akan menimbulkan dampak seperti terjadinya hiperplasia gingiva, dan obat fenobarbital dalam jangka lama juga akan menimbulkan dupytrens contractures, dan hal tersebut harus dikaji dan diidentifikasi (Ahmed, 2004; Harsono, 2001; Oguni, 2004)

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapang pandang, papil edema dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi pada struktur di area otak. Gejala lain seperti nistagmus, diplopia atau ataksia disebabkan karena efek toksik dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Gejala dilatasi pupil juga dapat terjadi pada waktu terjadi serangan kejang. Dysmorphism dan gangguan belajar  disebabkan karena ada gangguan pada kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan sebab adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism dapat menujukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia dapat dijadikan petunjuk terhadap adanya kelainan di fokus kontralateral di lobus temporalis (Ahmed, 2004; Harsono, 2001, Sisodiya, 2000).

  1. Pemeriksaan laboratorium
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan tes fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.  Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai  adanya drug abuse (Ahmed, 2004; Oguni, 2004).

  1. Pemeriksaan EEG dan video EEG
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi  (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat,  pada  waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa  alasan sebagai berikut (Harsono 2001; Oguni 2004)
  1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
  2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz  spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
  3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis dari aura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
  1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29%-50% adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59%-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
  2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
  3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
  4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

Pemeriksaan video EEG dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50%-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Sisodiya, 2000; Stefan, 2003)

  1. Pemeriksaan radiologis
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono, 2003; Oguni, 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati et al., 2003)
  1. Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.
  2. Perubahan serangan kejang.
  3. Ada defisit neurologis fokal.
  4. Serangan kejang parsial.
  5. Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
  6. Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan  sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Kustiowati et al., 2003).

  1. Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni, 2004; Sisodiya, 2000)



Daftar Putaka
Batticaca, B Fransisca 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan, Jakarta: Salemba Medika
Budiman, MR. dkk 2008, Angka Kejadian dan Kerakteristik Faktor Risiko Pasien Epilepsi, Prosiding Penelitian Sivitas Unisba (Kesehatan)
Harsono 2001, Epilepsi Edisi 1, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy Press
Kustiowati dkk. 2003, Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi
Mardjono, M. 2003, Pandangan Umum tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayanan Epilepsi dan Neurologi, 129-148
Mustarsid dkk 2011, Pengaruh Obat Anti Epilepsi terhadap Gangguan Daya Ingat pada Epilepsi Anak, Sari Pediatri, Vol. 12, No. 5
Oguni, H. 2004, Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, Vol. 48, Hal. 13-16
Ozuna, J. dan Sirven, J.I. 2005, Diagnosing Epilepsy in Older Adults, Geriatrics, Vol. 60, No. 10, Hal. 30-35
Sisodiya, S.M. dan Duncan, J. 2000, Epilepsy: Epidemiology, Clincal Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International, Vol. 4, Hal. 36-41
Sunaryo, Utoyo 2007, Diagnosa Epilepsi, Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya, Vol. 1, No. 1
  Sylvia, A. Pierce 1999, Patofisologi Konsep Klinis: Proses Penyakit, Jakarta: EGC
Wishwadewa, WN. dkk 2008, Kualitas Hidup Anak Epilepsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, Sari Pediatri, Vol. 10, No. 4
Wong, Donna L., et al 2008, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Jakarta : EGC