BAB 2
Tinjauan Pustaka
Definisi
Epilepsi
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kejang epilepsi yang berulang
(dua kali atau lebih) tanpa diprovokasi oleh penyebab yang jelas.
Kejang epilepsi (epileptic seizure) adalah suatu manifestasi
klinis yang diduga hasil dari abnormalitas dan akibat berhentinya fungsi
sekelompok sel neuron di otak (Wishwadewa et al., 2008).
International League Againts Epilepsy
(ILAE) mendefinisikan epilepsi secara konseptual dan praktis. Secara
konseptual, epilepsi adalah gangguan otak yang dikarakteristikkan oleh
kecenderungan yang kuat untuk menghasilkan bangkitan epileptik dan
memiliki dampak kerusakan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial (Budiman et al., 2015).
Klasifikasi
Sistem pengklasifikasian kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori utama (Batticaca, 2008):
- Kejang parsial
Disebabkan
oleh cetusan muatan listrik yang abnormal dari fokus epileptogenik yang
terbatas pada satu atau lebih daerah korteks serebri. Kejang fokal
dapat timbul dari setiap area korteks serebri, tetapi lobus frontalis,
temporalis, dan parietalis merupakan daerah-daerah yang paling sering
terkena. Area serebral yang terserang ditunjukan oleh manifestasi
klinis. Kejang parsial dibagi lagi menjadi 3 subtipe:
- Kejang parsial sederhana (simple partial seizures)
memiliki gejala dasar atau sederhana dan tidak disertai gangguan
kesadaran (disebut juga aura). Kejang parsial sederhana disertai
tanda-tanda motorik yang dicirikan dengan:
- Gejala motorik lokal
- Gejala somatosensorik, psikis, otonom
- Kombinasi semua gejala diatas
- Kejang parsial kompleks (complex partial seizures)
meliputi gejala-gejala yang kompleks dan gangguan kesadaran. Kejang ini
dapat dimulai dengan aura, yaitu kejang parsial sederhana yang biasanya
berupa hubungan yang rumit dan fungsi integrative area otak
tersebut. Aura merupakan bagian dari serangan kejang dan disertai dnegan
perubahan elektroensefalogram (EEG) (Van Donselaar, Geerts, dan
Schimscheimer, 1990). Tampak lebih sering pada anak-anak yang berusia 3
tahun sampai usia remaja yang dicirikan dengan:
- Periode perubahan perilaku
- Gangguan kesadaran selam kejadian
- Gejala mengantuk atau tertidur terjadi setelah kejang
- Dapat berupa perasaan takut dan cemas yang kuat, penyimpangan sensasi terhadap waktu dan diri sendiri.
- Kejang
sederhana atau kejang kompleks akibat kejang generalisata akan berubah
menjadi kejang menyeluruh yang biasanya berupa kejang tonik-klonik.
- Kejang generalisata
Tanpa
awitan fokal tampak timbul dalam formasio retikularis, dan hasil
pengamatan klinis menunjukkan bahwa lesi awal berasal dari kedua
hemisfer otak. Kehilangan kesadaran sering terjadi dan merupakan
manifestasi klinis awal. Berbeda dengan kejang parsial yang menjadi
generalisata, pada gangguan ini tidak terdapat aura. Episodenya dapat
terjadi setiap saat, siang, atau malam hari, dengan interval anatar
episode selama beberapa menit, jam, minggu, bahkan tahun. Sebagian besar
orang yang menderita jenis epilepsi ini, pada awalnya memperlihatkan
serangannya dimulai sebelum usia 4 tahun lebih sering mengalami
retardasi mental dan masalah perilaku serta masalah belajar dibandingkan
anak-anak yang serangannya baru dimulai setelah 4 tahun.
Kejang generalisata memiliki beberapa jenis yaitu :
- Kejang Tonik-klonik (sebelumnya dikenal dengan istilah Grand Mal)
Merupakan
bentuk kejang yang paling sering dramatis dan sering ditemukan di
antara semua manifestasi serangan epilepsi yang memiliki tanda dan
gejala seperti berikut :
- Terjadi tanpa peringatan
- Fase tonik berlangsung sekitar 10 sampai 20 detik
- Fase klonik berlangsung sekitar 30 detik tetapi bisa bervariasi mulai dari hanya beberapa detik sampai setengah jam atau lebih
- Status
epileptikus: serangkaian kejang epilepsi dengan interval yang terlalu
singkat sehingga anak tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk sadar
kembali pada masa diantara akhir satu seranagn dan permulaan serangan
berikutnya.
- Memerlukan intervensi kedaruratan
- Dapat menimbulkan kelelahan, gagal napas, dan kematian
- Status postiktal (keadaan pasca serangan) tampak rileks
- Dapat tetap dalam keadaan setengah sadar dan sulit dibangunkan
- Dapat terjaga dalam tempo beberapa menit
- Gangguan gerakan motorik halus tahap ringan
- Dapat mengalami kesulitan penglihatan dan bicara
- Serangan epilepsy tanpa kejang (dikenal dengan istilah Petit Mal atau lapse) dicirikan dengan:
- Biasanya awitan terjadi antara usia 4 dan 12 tahun
- Biasanya serangan berhenti pada usia pubertas
- Hilang kesadaran berlangsung singkat
- Tidak terdapat atau sedikit perubahan tonus otot
- Kejang Atonik dan Akinetik (disebut juga dengan istilah Drop Attacks) dicirikan dengan:
- Awitan biasanya terjadi pada usia antara 2 dan 5 tahun
- Kehilangan tonus otot dan pengendalian postural yang mendadak dan sesat
- Kejadian ini sering timbul kembali sepanjang hari, terutama pada pagi hari dan sesaat setelah bangun tidur.
- Kejang mioklonik dicirikan dengan:
- Kontraktur otot atau kelompok otot yang berlangsung mendadak dan singkat
- Terjadi satu kali atau berkali-kali
- Dapat disertai atau tanpa disertai hilang kesadaran
- Spasme infantile (disebut juga mioklonus infantile, spasme massif, hipsaritmia, episode salaam, atau spasme mioklonik infantile) dicirikan dengan :
- Paling sering terjadi pada usia 6 sampai 8 bulan pertama
- Dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
- Anak dapat mengalami sejumlah kejang sepanjang hari tanpa perasaan mengantuk atau tertidur setelah serangan.
Etiologi
Gangguan
kejang mempunyai beberapa penyebab beragam misalnya tumor, infeksi,
neoplasma. Sebagain besar gangguan berifat ideopatik, namun factor
genetic dengan cara tertentu dapat mengubah ambang kejang sehingga
memengaruhi muatan neuron. Gangguan kejang juga merupakan gangguan yang
didapat akibat cidera otak pada masa pranatal, perintal, pasca natal.
Cidera ini dapat disebabbkan oleh trauma hipoksia, infeksi, toksik
eksogen endogen dan berbagai faktor lain. Gangguan biokimia misalnya
hipoglikemia, hipokalesemia, dan defisiensi nutrisi tertentu dapat
menimbulkan aktivitas kejang.
Insidensi
faktor-faktor kausatif yang dikaitkan dengan kejang pada masa
kanak-kanak sering kali memiliki hubungan dengan usia anak. Kejang lebih
sering terjadi pada usia 2 tahun pertama dibandingkan dengan periode
usia kanak-kanak yang lain. Pada bayi yang sangat kecil, penyebab
tersering kejang adalah cedera lahir seperti trauma intracranial,
perdarahan, atau anoksia, dan defek kongenital pada otak. Infeksi akut
merupakan penyebab kejang yang paling sering ditemukan pada akhir usia
bayi dan awal usia kanak-kanak tetapi jarang dijumpai pada pertengahan
usia kanak-kanak. Pada anak yang berusia lebih dari 3 tahun, faktor
etiologi yang paling sering dijumpai adalah penyakit epilepsi idiopatik.
Aktivitas
kejang dipercaya terjadi karena cetusan atau pelepasan muatan listrik
yang spontan. Kondisi ini dipicu oleh sekelompok sel yang
hipereksitabel, kelompok sel ini dinamakan focus epileptogenic.
Sel-sel ini memperlihatkan peningkatan eksitabilitas (perangsangan)
listrik sebagai reaksi terhadap setiap stimulus fisiologik seperti
dehidrasi selular, abnormalitas kadar glukosa darah, gangguan
keseimbangan elektrolit, keletihan, stres emosional, dan gangguan
endokrin. Jika eksitasi neuron dari focus epileptogenic
menyebar ke batang otak, akan terjadi serangan kejang yang menyeluruh.
Kejang dibedakan menjadi serangan fokal (lokal), kejang fokal yang
menjadi generalisata (fokal seizures with rapid generazition), dan kejang generalisata (generaliz seizures),
yang di dasarkan pada karakteristik pelepasan muatan neuron. Pada
sebagian besar anak, kejang lokal meluas ke daerah lain dan akhirnya
menjadi serangan menyeluruh (general) disertai kehilangan kesadaran.
Faktor Risiko
Berikut merupakan persentase faktor risiko epilepsi berdasarkan penelitian Budiman et al. (2015) di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung:
Faktor risiko
|
Persentase (%)
|
Pasi serebral
|
23,1
|
Infeksi sistem saraf pusat
|
9,1
|
Kejang demam
|
46,2
|
Status epileptik
|
15,4
|
Gangguan keseimbangan elektrolit
|
43,1
|
Kelainan perkembangan
|
18,5
|
Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung sementara
seperti penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom atau
psikis yang dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain
(Wishwadewa et al., 2008). Epilepsi disebabkan oleh berbagai
etiologi dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan yang terjadi
tiba-tiba dan berulang yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
kortikal secara berlebihan (Mustarsid et al., 2011)
Patofosiologi
Kejang
terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
- Neuron-neuron
hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila
terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
- Kelainan
polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
- Ketidakseimbangan
ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan
metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat,
lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000
per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktivitas kejang.
Secara
umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik,
fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
- WOC
Penatalaksanaan
Pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan
obat anti konvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah
dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek
samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk,
hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak
dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan
etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3 tahun sudah cukup, sedang
yang berat pengobatan bisa lebih dari 5 tahun. Penghentian pengobatan
selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan
terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi,
atau bahkan keterbalakangan mental. Kondisi ini bisa berlangsung seumur
hidupnya. Jenis obat yang sering digunakan :
- Phenobarbital (Luminal)
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
- Primidone (Mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
- Difenilhidantoin (DPH, Dilantin, Phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin
yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berpengaruh positif terhadap
epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. Tak memberikan efek
maksimal terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai adalah
nistagmus, ataksia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
- Carbamazine (Tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan
pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga
carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini menguntungkan
penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan
tingkah laku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus,
vertigo, disartri, ataksia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi
hati.
- Diazepam
Biasanya dipergunakan pada kejang
yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian via intra
muskular hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat.
Sebaiknya diberikan via intra vena atau intra rektal.
- Nitrazepam (Inogadon)
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
- Ethosuximide (Zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
- Na-valproat (Dopakene)
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anoreksia
- Acetazolamide (Diamox)
Kadang-kadang dipakai sebagai
obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim
carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
- ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
Pencegahan
Upaya
sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Risiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang
aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko
tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi
dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program
skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
- Meletakkan
benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan
mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak
membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah
mematahkan gigi si anak.
- Mencoba
membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki
kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba
membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
- Berupaya
menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia
mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika
serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke
mulut jika si anak tak bernapas
Prognosis
Perjalanan
dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung
pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga
serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga
akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah
serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi,
dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan
mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi,
kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan
tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih
mudah relaps sesudah remisi.
Faktor
resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16
tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi,
mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang
tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG
menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko
kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.
Prognosis
setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada
dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami
gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan
kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita
penyakit serius yang berulang.
Diagnosa Epilepsi
Salah
satu masalah dalam penanggulangan epilepsi adalah menentukan dengan
benar diagnosa epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak
dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula.
Diagnosa awal
Langkah
awal diagnosa adalah menentukan untuk membedakan apakah yang sedang
terjadi pada klien adalah serangan kejang atau bukan, dalam hal ini
memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien,
keluarga, orang yang merawat, dan saksi mata yang mengetahui serangan
kejang tersebut terjadi. Adapaun beberapa pertanyaan yang dapat diajukan
untuk mendiagnosa epilepsi adalah (Ahmed, 2004; Hadi, 1993; Harsono,
2001; Kustiowati et al., 2003) :
- Kapan pasien mengalami serangan kejang pertama kali selama ini?
Serangan kejang yang
dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada pasa
perinatal, kelainan metabolik, dan malformasi kongenital. Pada usia
sekitar 70 tahun, bisanya ada kemungkinan mengalami kelainan patologis
di otak seperti stroke atau tumor otak. Kejang umumnya cenderung muncul
pada anak-anak dan usia remaja.
- Apakah klien mengalami peringatan atau perasaan tidak enak sebelum serangan terjadi?
Gejala
peringatan sebelum klien mengalami serangan kejang disebut dengan aura.
Aura muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana yang berarti ada
fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu mengetahui lokasi otak yang
mengalami gangguan. Pasien yang mengalami epilepsi lobus temporalis
dilaporkan mengalami de javu dan atau sensasi tidak enak di
lambung. Kesemutan merupakan salah satu tanda bagian lobus parietalis
yang mengalami epilepsi. Gangguan penglihatan sementara menandakan
epilepsi terjadi pada lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum dapat
tidak didahului dengan aura karena otak terganggu pada kedua hemisfer.
- Apa yang terjadi selama serangan kejang terjadi?
Serangan
kejang yang berasal dari lobus frontalis dapat menyebabkan mata dan
kepala deviasi ke arah kontralateral lesi. Serangan kejang dari lobus
temporalis menunjukkan gerakan mengecap bibir dan atau gerakan
mengunyah. Serangan dari lobus oksipitalis akan menunjukkan garakan
berkedip berlebihan dan gangguan penglihatan. Pada serangan kejang umum
dijumpai juga inkontinensia urin dan lidah tergigit.
- Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah post ictal period. Kejang
tonik klonik membuat klien tertidur setelah serangan, sedangkan kejang
parsial kompleks membuat klien mengalami disorientasi dan penurunan
kesadaran. Hemiparese dan hemiplegi sesudah serangan kejang disebut
Todd’s Paralysis yang menggambarkan fokus patologis di otak. Afasia
tanpa penurunan kesadaran menggambarkan adanya gangguan di hemisfer
dominan. Pada absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah
serangan kejang.
- Kapan serangan kejang berlangsung dalam 24 jam?
Kejang tonik klonik dan mioklonik biasanya terjadi
pada waktu klien terjaga dan pagi hari. Sedangkan serangan kejang dari
lobus temporalis dapat terjadi sewaktu-waktu, dan serangan dari lobus
frontalis muncul pada waktu malam hari.
- Apakah ada faktor pencetus?
Serangan kejang dapat terjadi karena kurang tidur,
menstruasi, makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol,
ketidakpatuhan minum obat, stres emosional, panas, kelelahan fisik dan
mental, suara-suara tertentu, dan drug abuse. Dengan adanya informasi ini klien dan keluarga dapat melakukan upaya agar faktor pencetus tersebut dapat dihindari.
- Bagaimana frekuensi serangan kejang?
Informasi ini dapat membantu mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapatkan obat anti kejang.
- Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat
anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang
sedang digunakan spesifik bermanfaat.
- Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
- Apakah klien mengalami luka sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan
ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup
waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat
serangan kejang atau mungkin ada aura, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
- Apakah sebelumnya klien pernah dirawat di unit pelayanan gawat darurat?
Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
- Riwayat medik dahulu
Dengan
mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan
serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat
membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed dan Spancer, 2004).
- Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya?
- Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory distress?
- Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
- Apakah
ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2% dan serangan kejang demam kompleks
13%.
- Apakah ada riwayat infeksi
susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit
infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Di beberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
- Apakah
ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan
intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
- Apakah ada riwayat tumor otak?
- Apakah ada riwayat stroke?
- Riwayat sosial
Ada beberapa
aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk
bahan evaluasi (Ahmed dan Spancer, 2004).
- Apa latar belakang pendidikan
pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan
bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat
membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan
bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi
penyakit yang dialaminya itu.
- Apakah
pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh
waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran,
sebagai kasir atau tugas-tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi
pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang
mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk
memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.
- Apakah
pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran
sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa
membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Di beberapa negara
mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan
kendaraan bermotor.
- Apakah pasien
menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan
pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi
penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti
epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun
efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin,
karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil
diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko
terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
- Apakah
pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya
serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum minuman alkohol.
Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga
menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum
alkohol .
- Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat
keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi
yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor
genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, 2004).
- Riwayat allergi.
Bila
pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek
reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu
dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan
eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang
sifatnya lebih luas (Ahmed, 2004)
- Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah
minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran
obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum
selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed,
2004)
- Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu
ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI (Ahmed, 2004).
- Pemeriksaan fisik dan neurologi
Pemeriksaan fisik harus mengungkap sebab-sebab terjadinya
serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit. Pada
pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi di daerah
leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. Pemeriksaan
kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang
muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang
tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus
seperti café au lait spots dan iris hematoma pada neorfibrimatosis, ash leaf spots, shahgreen patches, subungual fibromas, adenoma sebaceum pada tuberkulosis, port-wine stain (capilary hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Identifikasi
bekas gigitan di lidah juga perlu dilakukan atau ada luka lain
sehubungan dengan serang kejang yang telah dialami. Pemberian obat
fenotin akan menimbulkan dampak seperti terjadinya hiperplasia gingiva,
dan obat fenobarbital dalam jangka lama juga akan menimbulkan dupytrens contractures, dan hal tersebut harus dikaji dan diidentifikasi (Ahmed, 2004; Harsono, 2001; Oguni, 2004)
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese,
distonia, disfasia, gangguan lapang pandang, papil edema dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi pada struktur di area otak.
Gejala lain seperti nistagmus, diplopia atau ataksia disebabkan karena
efek toksik dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin,
lamotrigin. Gejala dilatasi pupil juga dapat terjadi pada waktu terjadi
serangan kejang. Dysmorphism dan gangguan belajar disebabkan
karena ada gangguan pada kromosom dan gambaran progresif seperti
demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan sebab adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism dapat menujukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia dapat dijadikan petunjuk terhadap adanya kelainan di fokus
kontralateral di lobus temporalis (Ahmed, 2004; Harsono, 2001, Sisodiya,
2000).
- Pemeriksaan laboratorium
Hiponatremia,
hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit
bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan tes fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse (Ahmed, 2004; Oguni, 2004).
- Pemeriksaan EEG dan video EEG
Pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur,
dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah
pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi
dengan beberapa alasan sebagai berikut (Harsono 2001; Oguni 2004)
- Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik
utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau
yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat
diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan
mengenali sindrom epilepsi.
- Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
- Lokalisasi
dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan
manifestasi klinis dari aura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien
yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan
cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
- Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama
kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29%-50% adanya
gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka
persentasinya meningkat menjadi 59%-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi
tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini
hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
- Gambaran
EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
- Suatu
fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin
saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada
pasien epilepsi anak.
- Pada EEG ada
dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform,
bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus
maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan
klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.
Pemeriksaan
video EEG dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila
pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih
saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan
video EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara
terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50%-70% dari hasil rekaman
dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Sisodiya, 2000;
Stefan, 2003)
- Pemeriksaan radiologis
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono, 2003; Oguni, 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati et al., 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT
Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma
kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Kustiowati et al., 2003).
- Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan
ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi
kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya
ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni, 2004; Sisodiya,
2000)
Daftar Putaka
Batticaca, B Fransisca 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan, Jakarta: Salemba Medika
Budiman, MR. dkk 2008, Angka Kejadian dan Kerakteristik Faktor Risiko Pasien Epilepsi, Prosiding Penelitian Sivitas Unisba (Kesehatan)
Harsono 2001, Epilepsi Edisi 1, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy Press
Kustiowati dkk. 2003, Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi
Mardjono, M. 2003, Pandangan Umum tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayanan Epilepsi dan Neurologi, 129-148
Mustarsid dkk 2011, Pengaruh Obat Anti Epilepsi terhadap Gangguan Daya Ingat pada Epilepsi Anak, Sari Pediatri, Vol. 12, No. 5
Oguni, H. 2004, Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, Vol. 48, Hal. 13-16
Ozuna, J. dan Sirven, J.I. 2005, Diagnosing Epilepsy in Older Adults, Geriatrics, Vol. 60, No. 10, Hal. 30-35
Sisodiya, S.M. dan Duncan, J. 2000, Epilepsy: Epidemiology, Clincal Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International, Vol. 4, Hal. 36-41
Sunaryo, Utoyo 2007, Diagnosa Epilepsi, Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya, Vol. 1, No. 1
Sylvia, A. Pierce 1999, Patofisologi Konsep Klinis: Proses Penyakit, Jakarta: EGC
Wishwadewa, WN. dkk 2008, Kualitas Hidup Anak Epilepsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, Sari Pediatri, Vol. 10, No. 4
Wong, Donna L., et al 2008, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Jakarta : EGC