Delirium pada Lansia
Oleh: Supardi Hasanuddin, Rn
Pendahuluan
Diperkirakan
populasi dari penduduk lanjut usia (lansia), berusia 65 tahun ke atas,
menunjukkan kecenderungan akan terus meningkat. Peningkatan paling besar
populasi lansia di dunia dipikirkan akan terjadi pada tahun 2020, yaitu
sebesar 400%. Di Indonesia sendiri, jumlah populasi lansia diperkirakan
akan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2025, dibandingkan tahun 1990.
Saat ini terdapat sekitar kurang lebih 15 juta orang lansia di
Indonesia. Secara keseluruhan, peningkatan populasi berusia 65 tahun ke
atas di dunia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 3 kali
lipat.
Proses
pertambahan usia pada pasien geriatri juga diikuti dengan penurunan
fungsi organ dan kemampuan kompensasi. Beberapa teori penuaan,
menyatakan hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses penuaan secara
biologis terdapat berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) sehingga terjadi kerusakan perlahan dan progresif pada sistem organ yang berdampak terjadi penurunan kapasitas faal.

Selain
itu, berbagai gejala atau kumpulan gejala juga sering dijumpai pada
pasien geriatri bersamaan dengan penyakit dasarnya. Gejala-gejala atau
kondisi medis tersebut tidak dapat diabaikan karena dapat menimbulkan
komplikasi yang akan memperburuk keadaan pasien. Kumpulan gejala
tersebut disebut sindrom geriatri. Dari sindrom geriatri tersebut
terdapat empat masalah yang sering terjadi pada pasien geriatri dan
menyebabkan seorang lansia harus dirawat di rumah sakit. Empat masalah
tersebut adalah inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan
intelektual (delirium dan demensia). Kondisi medis tersebut sering
disebut sebagai geriatric giants karena dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian seorang lansia bila tidak ditangani dengan baik.
Dalam
modul ini, kita akan memfokuskan pembahasan pada salah satu Geriatric
Giant pada lansia, yakni delirium. Delirium pada lansia sampai sekarang
masih menjadi salah satu permasalahan yang masih sulit untuk dikenali
oleh para tenaga kesehatan karena manifestasi klinisnya terkadang
menyerupai penyakit atau gangguan-gangguan kognitif lainnya, seperti
demensia atau depresi.
Lewat
modul ini kita mencoba untuk mengkaji bagaimana cara mengidentifikasi
atau mengenal secara dini gejala-gejala awal dari delirium pada lansia
dan faktor-faktor apas saja yang bisa mempengaruhi dan memicu terjadinya
delirium. Dengan begitu sebagai perawat bisa melakukan tindakan
pencegahan dan juga penatalaksanaan dengan baik dan terencana.
Delirium, sebuah masalah yang sering diremehkan
Menurut data dari badan inspeksi kementerian kesehatan di Belanda menyebutkan bahwa delirium muncul/ terjadi pada :
- 10 sampai 40% pada pasien-pasien lansia
- 50 sampai 80% pada pasien yg dirawat ICU
Dan
berdasarkan data dari berbagai penelitian yg dilakukan, terlihat bahwa
setengah dari jumlah kasus, ternyata delirium ini belum atau tidak
dikenali, dan bahkan kadang didiagnosa salah. Tidak dikenalinya delirium
pada pasien-pasien tersebut, bisa memberikan dampak yang sangat
negatif terhadap pasien, diantaranya:
- Tingginya angka kematian
- Relokasi atau transfer pasien yang salah dari rumahsakit ke unit/ instansi psykiatri sebagai akibat dari diagnosa yang salah
Pasien
yang delirium memiliki tingkat risiko tinggi untuk mendapatkan
komplikasi , seperti inkontinensia, dekubitus , malnutrisi , dehidrasi ,
infeksi dan jatuh . Selama periode delirium, perilaku pasien yang
muncul sebagai akbiat dari delirium biasanya menghambat proses
pengobatan, perawatan dan rehabilitasi . Pasien yang delirium, juga bisa
mendapatkan delusi dan halusinasi yang mana menyebatkan pasien
tersebut sering gelisah dan hiperaktif, terutama pada malam hari,
sehingga siklus tidur-bangunnya juga terganggu. Hal ini membutuhkan
perawatan medis dan keperawatan intensif.
Selain itu delirium bisa menyebabkan:
- Hilangnya/ berkurangnya fungsi ADL
- Waktu opname lebih lama
- Angka kematian lebih tinggi
Pasien-pasien
yang telah mengalami episode delirium sering merasakan kecemasan dan
perasaan malu dan takut . Namun begitu dengan adanya perawatan yang
adekuat, ini bisa mengurangi dan mencegah timbulnya delirium, dan juga
meminimalisir akibar-akibat buruk yang ditimbulkan oleh delirium !
Definisi Delirium
Delirium
berasal dari bahasa Latin, yakni: delirare ~ “de” berarti dari &
“lira”berarti garis atau alur. Artinya bahwa delirium adalah pergeseran
dari garis atau keluar jalur.
Delirium adalah gangguan mental sementara, yang disebabkan oleh satu atau lebih gangguan somatik, atau sebagai akibat dari putus obat atau penggunaan obat-obat tertentu, yang bersifat akut dan fluktuatif.
Jadi
Delirium adalah gangguan serebral akut dan bersifat sementara dengan
perjalanan yang fluktuatif , seperti ada semacam “kortsluiting di otak”'
yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit fisik atau gangguan
somatik, atau penggunaan obat-obatan atau alcohol dan putus obat
Atau
dalam definisi lainnya bahwa delirium adalah keadaan yg bersifat
sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita
mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi
linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih.
Patofisiologi
Gambaran
klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas antara
kortikal dan subkortikal. Patofisiologinya secara pasti belum/ tidak
diketahui sampai sekarang, tetapi diperkirakan karena terdapat penurunan
metabolisme oksidatif otak yang menyebabkan perubahan neurotransmiter
di daerah prefrontal dan subkortikal. Dan pada sisi lain adanya kejadian
penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik. Pada
umumnya delirium tidak timbul karena satu sebab saja, tetapi karena
kombinasi antara:
- Faktor etiologi (gangguan somatik),
- Faktor predisposisi (risk factor), dan
- Faktor presipitasi (faktor pencetus)
Etiologi
- Pada umumnya karena gangguan atau penyakit somatik, seperti;
- Gangguan serebral
- Dehydratie/ gangguan metabolik/ elektrolit
- Gangguan cardio-pulmonal
- Infeksi
- Intoksikasi/ keracunan obat atau putus obat
- Multifaktoral; kombinasi beberapa penyebab
Faktor predisposisi
Faktor presdisposisi adalah faktor-faktor yg sudah ada saat opname yang mana berhubungan dgn pasien, diantaranya:
- Faktor usia
Pada pasien usia lanjut memiliki kemungkinan mendapatkan delirium saat opname lebih besar.
- Kerusakan otak, seperti CVA
- Riwayat delirium saat opname sebelumnya
- Immobility/ ketidakmampuan fungsional ; ketidakmampuan untuk bisa berpindah tempat sendiri atau memiliki hambatan dalam pergerakan atau ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas ADL-nya secara mandiri
- Memiliki gangguan kognitif; seperti demensia
- Ketergantungan alkohol
- Komorbiditas; memiliki 2 atau lebih penyakit yang berkaitan satu sama lain dan menggangu sistem organ tubuh lebih dari dua.
- Gangguan panca indera ; seperti visus/ penglihatan dan pendengaran
Faktor pencetus (presipitasi)
Faktor-faktor yg terjadi/ muncul selama pasien tersebut di opname (yg berkaitan dengan opname pasien), seperti:
- Operasi/ bedah dan anestesi
- Opname di ICU
- Stres karena opname
- Kurang atau justru over-stimulasi pancaindra
- Obstipasi atau retensi urin
- Pain
- Kateter, infus, drain
- Kurangnya kemungkinan orientasi
- Kurang tidur
- Penyakit akut berat , seperti hipoglikemia, hHipoksia atau hiperkapnia
- Polifarmasi
Kerentanan/ vulnerability = Faktor-faktor risiko
Faktor-faktor pencetus/ pemicu = Precipitating factors
Delirium dapat disebabkan oleh kombinasi dari kerentanan/ vulnerability dan faktor pencetus selama opname. Pada pasien yang sangat rentan , misalnya dengan demensia berat , hanya dengan setelah asupan sekali obat tidur pasien tersebut dapat mendapatkan delirium. Dan bahkan pada lansia yang sehat dan fit sekalipun, operasi besar bisa jadi merupakan stress yang sangat besar buat dia sehingga terjadi delirium.
Manifestasi klinis dan perjalanan delirium
Gejala
delirium datang dan pergi dan bahkan mungkin tidak ada selama beberapa
jam ! atau sebaliknya, Delirium dapat berkembang/ muncul dengan cepat ,
dalam hitungan jam atau hari. Biasanya
delirium terjadi dalam beberapa hari dan kita bisa melihat
perubahan-perubahan klinis yang muncul seiring perjalanan hari . Gejala
datang dan pergi , dan kadang-kadang pasien dalam beberapa jam tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis . Hal ini membuat identifikasi delirium
terkadang sulit.
Tingkat
kejadian dikaitkan dengan penyebabnya : pada gangguan fisik yang
tiba-tiba dan serius, seperti operasi besar akan memicu lebih cepat
munculnya delirium daripada penyebab yang muncul secara diam-diam,
seperti dehidrasi. Oleh karena itu, penting buat kita untuk mengetahui
gejala-gejala awal yang muncul atau yang pasien perlihatkan sebelum
gejala pasti delirium terjadi.
Gejala awal (prodromal symptoms) adalah gejala-gejala yang muncul diawal sebelum delirium yang sebenarnya terjadi, seperti:
- Perubahan perilaku
- Sulit tidur/ insomnia
- Kecemasan, gelisah/ restlessness
- Mimpi buruk
- Disorientasi ringan dan gangguan konsentrasi
- Kesulitan dalam memahami apa yg terjadi dan dikatakan
- Kehilangan struktur keseharian
Gangguan-gangguan penting yang sering muncul pada delirium adalah :
- Gangguan kesadaran
- Gangguan atensi/ fokus
- Gangguan berpikir dan persepsi; paranoid/ delusi, halusinasi
- Gangguan memori/ ingatan
- Gangguan orientasi/ disorientasi
- Gangguan pola tidur
- Gangguan psykomotorik
- Gangguan lainnya: inkontinensi, tremor, takikardi, hypertensi dan berkeringat
Tipe/ Jenis delirium
Ada 3 tipe, yakni:
- Bentuk aktif atau hiperaktif
- Bentuk pasif atau hipoaktif
- Campuran
Kita
membedakan tiga jenis delirium : yang pertama adalah delirium
hiperaktif-hyperalerte dengan agitasi dan kewaspadaan yg tinggi . Yang
kedua adalah bentuk delirium hypoalerte- hipoactif , juga dikenal
sebagai " delirium diam/ apatis" . Hal ini ditandai dengan apatis dan
perilaku menarik diri dan penurunan tingkat kewaspadaan . Bentuk ketiga
adalah bentuk campuran, dimana manifestasi klinisnya bergantian antara
bentuk hiperaktif dan hipoaktif satu sama lain dengan cara yang tak
terduga . Bentuk ketiga ini yang paling umum dan sering terjadi.
Contoh kasus pasien delirium jenis hiperaktif:
Mr. K. Saat malam hari sangat gelisah dan terus menerus membangunkan
istrinya dari tidurnya. Bahkan anak-anaknya sering datang ke rumah
mereka untuk menjaga ayahnya supaya ibu mereka bisa istirahat. Jika
siang harinya, Mr. K tidak tahu lagi apa yg terjadi malam itu, meskipun
dijelaskan berkali-kali. Mr. K mulai berteriak dan menggunakan bahasa
kotor, dimana hal ini tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Istrinya
disarankan supaya urin Mr. K diperiksakan ke dokter keluarga (huisarts).
Pada awalnya tidak ada yg ditemukan. Namun beberapa hari kemudian
mereka mengkonsultasikannya lagi ke dokter, dan dokter memeriksa kembali
urin Mr. K. Dan ternyata dari pemeriksaan itu, kelihatan bahwa ada
infeksi saluran kemih. Dari dokter keluarga mereka, Mr. K mendapatkan
antibiotik. Setelah seminggu, Mr. K sembuh dari infeksi kandung kemihnya
dan kejadian2 yg terjadi dimalam2 sebelumnya tidak terjadi lagi.
Contoh kasus pasien delirium jenis hipoaktif/ delirium diam:
Ibu M. sangat pasif. Jika pagi hari dia tidak keluar dari tempat
tidurnya. Tetap saja berada ditempat tidurnya, sampai perawat dari
instansi homecare datang untuk memberikan suntikan insulinnya. Menurut
dia itu semuanya sebenarnya tidak perlu, dan dia terus "menggerutu" dan
tidak ingin apa-apa dan tdk mau dibantu, kecuali hanya ingin tidur/
berbaring di tempat tidur. Menurut riwayat medisnya di masa lalu ibu M
sering mendapatkan infeksi kandung kemih. Ibu M kemudian disarankan
untuk memeriksakan urin-nya ke dokter dan ternyata dari hasil
pemeriksaan urin tersebut, ditemukan bahwa dia mendapatkan infeksi
kandung kemih. Setelah beberapa hari mendapatkan antibiotik ibu M
terlihat energik kembali.
Diagnosis
Dalam men-diagnosa apakah pasien itu mengalami delirium, kriteria yang sering digunakan adalah kriteria Diagnostic and Statictical Manual Version IV (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association. Dalam DSM-IV, disebutkan ada 4 kriteria untuk melakukan diagnosis delirium, yakni:
- Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan merubah perhatian
- Perubahan kognitif seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat
- Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya
- Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: kondisi medis umum, intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi
CAM (Confusion Assessment Method)
Selain kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV, dapat juga menggunakan algoritma The Confusion Assessment Method
(CAM) dan Delirium Observation Screening (DOS). CAM merupakan metode
standarisasi sehingga memungkinkan identifikasi delirium dengan lebih
cepat dan akurat. Berikut kriteria diagnostik delirium berdasarkan CAM,
yakni:
Kriteria 1. Onset akut dan adanya fluktuasi
Kriteria
ini dapat didapatkan dengan anamnesis dari pihak keluarga dengan
pertanyaan: adakah perubahan status mental/perilaku yang akut? Apakah
ada perubahan (fluktuasi) perilaku yang terjadi sepanjang hari? Bila
terdapat fluktuasi, apakah hilang timbul atau gradasi perbaikan dan
perburukan?
Kriteria 2. Inatensi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat kesulitan berkosentrasi?
Kriteria 3. Gangguan pikir
Kriteria
ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat
inkoherensi dalam percakapan? Apakah terdapat pemikiran/ide yang tidak
masuk akal?
Kriteria 4. Gangguan tingkat kesadaran
Kriteria ini dapat didapatkan bila pasien tersebut sering tertidur tiba-tiba saat percakapan.
Diagnosis delirium ditegakkan dengan adanya kriteria 1 dan 2 ditambah kriteria 3 atau 4.
DOS (Delirium Observation Screening)
DOS
adalah skrining instrumen yang dipakai untuk melakukan observasi kepada
pasien selama 3 hari berturut-turut, guna mendeteksi apakah pasien
tersebut menunjukkan gejala-gejala atau kriteria-kriteria klinis
delirium. DOS ini biasanya dipakai oleh para perawat untuk
meng-observasi pasien selama 24 jam untuk 3 hari berturut-turut. DOS ini
terdiri dari 13 pertanyaan yang harus diisi oleh perawat yang melakukan
observasi kepada pasien selama jadwal tugasnya (jadwal dinasnya). Jika
pasien memilki skor lebih dari 3, berarti kemungkinan besar pasien
tersebut mendapatkan delirium. Sebagai perawat, kita tidak memiliki
wewenang untuk menentukan diagnose, tetapi hasil dari observasi kita
ini, menjadi acuan buat dokter dalam menentukan apakah pasien tersebut
delirium atau tidak.
DOS ((Delirium Observation Screening )
Skala ini terdiri dari 13 pertanyaan, yang di skor dengan “YA” ( 1 poin ) atau “TIDAK “ ( 0 poin )
- Tertidur sebentar selama percakapan atau aktivitas
- Mudah terganggu oleh rangsangan/ stimulus dari lingkungan sekitarnya
- Memperhatikan/ fokus pada percakapan atau tindakan yg dilakukan
- Bertanya atau memberikan jawaban yang tidak lengkap (belum selesai)
- Memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan
- Lambat dalam merespon perintah
- Berpikir kalau dia berada ditempat lain (orientasi tempat)
- Menyadari bahwa dia berada di bagian hari yg mana
- Mengingat peristiwa-peristiwa yang baru terjadi
- Gelisah, restless, tidak bisa diam, dll
- Menarik atau berusaha mencabut infus, kateter, dll
- Cepat atau tiba-tiba ada perubahan emosi
- Mendengar atau melihat hal-hal yang tidak ada
Preventif/ Pencegahan
Pencegahan
primer, sebelum terjadinya delirium, merupakan strategi paling efektif
mencegah terjadinya delirium dan komplikasinya. Oleh karena itu,
identifikasi dan intervensi faktor-faktor risiko terjadinya delirium
harus dilakukan secara cermat dan secepatnya.
Tindakan-tindakan pencegahan antara lain:
- Melakukan indentifikasi terhadap grup-grup yang berisiko
- Menghilangkan faktor-faktor risiko dan pencetus/ pemicu
Tindakan pencegahan ini bertujuan untuk:
- Mencegah terjadinya delirium
- Jika delirium sudah terjadi; meminimalisir efek negatifnya dan supaya tidak berlangsung terlalu lama
- Mengurangi dampak keparahan/ komplikasi dari delirium
Melalui
langkah-langkah pencegahan, yaitu mengenali risiko dan jika mungkin
menghilangkan faktor risiko, delirium dapat dicegah atau mungkin
mengurangi durasi dan tingkat keparahan dari delirium tersebut. Jadi,
penting bahwa kita mengidentifikasi sejak awal mana pasien yg berpotensi
mendapatkan delirium .
Catatan!
Delirium adalah gangguan yang bersifat SEMENTARA, akan tetapi bisa memberikan akibat/ gangguan yang TETAP.
Delirium adalah gangguan yang bersifat SEMENTARA, akan tetapi bisa memberikan akibat/ gangguan yang TETAP.
Efek negatief jangka panjang dari delirium:
- Kelupaan
- Gangguan konsentrasi
- Cepat emosi/marah/ agitasi
- Mengurangi kecerdasan
- (jika demensia) tingkat keparahannya bertambah
- Gangguan fungsi eksekutif
Semua
ini menyebabkan berkurangnya tingkat kemampuan kemandirian atau
hilangnya fungsi kemandirian. Bagi sebagian orang, ini berarti bahwa
mereka tidak bisa lagi melakukan aktivitas keseharian mereka yang biasa
mereka lakukan sebelum mereka sakit . Untuk pasien yang lebih tua
(lansia) , ini berarti bahwa mereka tidak bisa lagi hidup secara mandiri
. Kadang-kadang mereka sepenuhnya harus tergantung pada perawatan dari
orang lain, atau dipindahkan ke instansi keperawatan intensif khusus
lansia .
Pencegahan delirium di rumahsakit
Pertanyaan Skrining saat opname di rumah sakit
Di
Belanda semua pasien yang berusia 70 tahun keatas yang dirawat di unit
perawatan harus diskrining pada saat masuk opname. Komite inspeksi
kementerian kesehatan Belanda bersama program kesehatan VMS
(Veiligheidmanagement systeem/ sistem manajemen keselamatan) menyusun 3
buah pertanyaan skrining yang didasarkan atas penelitian ilmiah. Ketiga
pertanyaan itu adalah:
- Apakah Anda mengalami masalah/ gangguan dengan memori atau ingatan anda?
- Apakah Anda selama 24 jam terkahir mendapatkan bantuan dari orang lain yang menyangkut aktifitas ADL ?
- Apakah dalam riwayat opname anda sebelumnya, Anda pernah mengalami periode delirium ?
Jika jawabannya
“YA” dari satu atau lebih dari pertanyaan diatas, berarti pasien
tersebut berisiko tinggi mendapatkan delirium selama opname. Jika
seperti itu, Anda sebagai perawat harus mengisi formulir DOS (Delirium
Observation Screening) selama 3 hari berturut-turut disetiap shift/
jadwal jaga/dinas. Dan melakukan upaya antisipasi dengan menerapkan
intervensi-intervensi keperawatan yg bertujuan untuk mereduksi
factor-faktor pencetus terjadinya delirium.
Tindakan Pencegahan
Tindakan-tindakan pencegahan yg bisa dilakukan adalah:
- Mengurangi/ menghilangkan faktor-faktor pencetus/ pemicu
- Mengoptimalkan iklim terapi
- Orientasi dan struktur hari; siang-malam
- Partisipasi keluarga
- Usahakan keamanan
- Observasi dan pelaporan
- Melibatkan displin ilmu lainnya
Sumber :
Protokol dan panduan penanganan pasien Delirium di Rumahsakit, UMC Utrecht Netherland. Multidisciplines richtlijn Delier.
Nederlandse Vereniging voor Klinische Geriatrie (NVKG) 2013. Richtlijn Delier Volwassenen. http://www.nvkg.nl/uploads/bB/zw/bBzw0YCHaGtVRSwyW-epTw/Richtlijn-Delier-Volwassenen-voor-autorisatie.pdf
Sharon K. Inouye, M.D., M.P.H 2006. Delirium in Older Persons.
Schuurmans, Marieke J, Shortridge-Baggett, Lillie M, Duursma, Sijmen A 2003. The Delirium Observation Screening Scale: A Screening Instrument for Delirium.
Protokol dan panduan penanganan pasien Delirium di Rumahsakit, UMC Utrecht Netherland. Multidisciplines richtlijn Delier.
Nederlandse Vereniging voor Klinische Geriatrie (NVKG) 2013. Richtlijn Delier Volwassenen. http://www.nvkg.nl/uploads/bB/zw/bBzw0YCHaGtVRSwyW-epTw/Richtlijn-Delier-Volwassenen-voor-autorisatie.pdf
Sharon K. Inouye, M.D., M.P.H 2006. Delirium in Older Persons.
Schuurmans, Marieke J, Shortridge-Baggett, Lillie M, Duursma, Sijmen A 2003. The Delirium Observation Screening Scale: A Screening Instrument for Delirium.
Menurut Mark (2006), hal yang harus dilakukan oleh tenaga medis khususnya perawat dan dokter pada pasien dengan Delirium adalah dengan memperbaiki kondisi penyakitnya dan menghilangkan faktor yang memberatkan.
Hal
yang bisa dilakukan yaitu dengan menghilangkan penyebab bila
memungkinkan. Misalnya jika delirium timbul karena efek obat, maka
tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan setiap obat yang
memperburuk keadaan delirium pasien.
Selain itu bila terjadi infeksi maka harus diberikan treatment untuk
mengobati infeksi tersebut. Menjaga dan mengoptimalkan nutrisi dan
hidrasi pasien juga merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Memberikan support pada pasien dan keluarga juga sangat penting untuk memberikan ketenangan psikologis.
Menciptakan
lingkungan yang mendukung dan nyaman juga dapat memberikan efek positif
bagi keadaan pasien. Misal, Anggota keluarga memberikan penenangan dan
hal-hal lazim dari rumah untuk mengingatkan pasien kembali, mendorong
kerabat atau teman untuk datang berkunjung, menghindari gangguan tidur
dengan menciptakan lingkungan yang tenang dan meyakinkan, pencahayaan
yang baik, serta menempatkan pasien di dekat tempat perawatan agar mudah
dipantau.
Tindakan
kolaboratif lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan terapi
farmakologis guna mengobati agitasi yang menyertai, lebih baik dengan
haloperidol (Haldol), dosis awal 0,5 sampai 2 mg IM atau IV. Jika Haldol
tidak efektif, pikirkan tambahan lorazepam (Ativan) 0,5 sampai 1 mg IM
atau IV. Sebagai usaha terakhir, pasien dapat dikurung demi keamanan.
Perlu diingat obat benzodiazepin bisa memperburuk delirium karena efek
sedasinya.
Menurut Dewanto (2009), penatalaksanaan pada pasien delirium dibedakan menjadi 2, yaitu:
Intervensi Nonfarmakologis
Target
utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan delirium,
kebingungan, dan kesalahan persepsi serta mengoptimalkan stimulasi
Iingkungan.
Intervensi Farmakologis
- Antipsikotik Tipikal.
Haloperidol
masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium hipoaktif
dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/12 jam, sementara untuk usia muda dan
keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan dosis 10
mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30
menit kemudian selama tidak ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap
jantung memberikan gambaran interval QT memanjang pada EKGI sehingga
pemberian haloperidol disertai dengan monitor EKG.
- Antipsikotik Atipikal.
Dosis
risperidon untuk orang tua 0,25-0,5 mg/12 jam, olanzapin 2,5-5 mg malam
hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai
indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT
memanjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin alternatif pengganti
haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum, selain
itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan
kontraindikasi pada delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam
sediaan oral.
- Benzodiazepin.
Pada
pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi
antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV; dapat diulang sesuai
kebutuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi pada gejala
putus alkohol, benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pascakejang.
Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin 100 mg/hari
dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian tiamin mendahului pemberian glukosa
IV. Ben zodiazepin memberikan efek sedasi berlebih, depresi pernapasan,
ataksia, dan amnesia.
- Preparat Anestetik.
Propofol
dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap psikotropik
tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol bekerja
cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 pg/kg/menit. Efek
samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi, peningkatan enzim
pankreas, dan asam laktat.
Sumber :
Dewanto, George. (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC
0 comments:
Post a Comment
Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.