Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Monday, 12 January 2015

Askep Addison’s Disease

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1   Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal atau kelenjar suprarenalis adalah dua struktur kecil yang terletak di atas masing – masing ginjal. Pada masing – masing kelenjar adrenal tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian dari luar ( korteks ) dan bagian tengah ( medulla ).

Fungsi kelenjar adrenal:
  1. Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam-garam.
  2. Mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang dan protein.
  3. Mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid.
Kelenjar adrenal terbagi atas 2 bagian, yaitu:
  1. Medula Adrenal
Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom. Stimulasi serabut saraf simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke dalam sel-sel pada medulla adrenal akan menyebabkan pelepasan hormon katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine.

Peranan adrenalin pada metabolism normal tubuh belum jelas. Sejumlah besar hormone ini dilepaskan dalam darah apabila seseorang dihadapkan pada tekanan, seperti marah, luka, atau takut. Jika hormone adrenalin menyebar di seluruh tubuh, hormone akan menimbulkan tanggapan yang sangat luas : laju dan kekukatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat. Kadar gula darah dan laju metabolism meningkat. Bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru – paru lebih mudah. Pupil mata membesar. Hormone adrenalin juga menyebabkan peningkatan darah.
  1. Korteks Adrenal
Korteks adrenal tersusun atas beberapa zona:
  1. Zona Glomerulosa
Zona Glomerulosa terdapat tepat di bawah sampai, terdiri atas sel polihedral kecil berkelompok membentuk bulatan, berinti gelap dengan sitoplasma basofilik. Zona glomerulosa pada manusia tidak begitu berkembang. Dan merupakan penghasil hormon mineralokortikoid. 

Hormon Mineralokortikoidpada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro intestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium atau hydrogen. Sekresi aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama disekresikan sebagai respon terhadap adanya angiotensin II dalam aliran darah. Kenaikan kadar aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal yang cederung memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan aldesteron juga ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron merupakan hormon primer untuk mengatur keseimbangan natrim jangka panjang.
  1. Zona Fasikulata
Zona fasikulata merupakan sel yang lebih tebal, terdiri atas sel polihedral besar dengan sitoplasma basofilik. Selnya tersusun berderet lurus setebal 2 sel, dengan sinusoid venosa bertingkap yang jalannya berjajar dan diantara deretan itu. Sel-sel mengandung banyak tetes lipid, fosfolipid, asam lemak, lemak dan kolesterol. Sel ini juga banyak mengandung vitamin C dan mensekresikan kortikosteroid. Dan merupakan penghasil hormon glukokortikoid.

Hormon Glukokortikoid memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme glukosa; peningkatan hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks adrenal sebagai reaksi terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan sekresi ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal. Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi pada cedera jaringan dan menekan manifestasi alergi. Efek samping glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya diabetes militus, osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan redistribusi lemak tubuh. Dalam keadaan berlebih glukokortikoid merupakan katabolisme protein, memecah protei menjadi karbohidrat dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.
  1. Zona Retikularis.
Lapisan ini terdiri atas deretan sel bulat bercabang-cabang berkesinambungan. Sel ini juga mengandung vitamin C. Sel-selnya penghasil hormon kelamin (progesteron, estrogen & androgen). ·

Hormon-hormon seks adrenal (Androgen)
Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam glandula adrenalis dirangsang ACTH, mungkin dengan sinergisme gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan efek yang serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula mensekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita. Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini disebut Sindrom Adreno Genital.

Korteks adrenal menghasilkan hormon steroid yang terdiri dari 3 kelompok hormone:
  1. Glukokortikoid
Hormon ini memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme glukosa; peningkatan hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks adrenal sebagai reaksi terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan sekresi ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal. Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi pada cedera jaringan dan menekan manifestasi alergi.

Efek samping glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya diabetes militus, osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan redistribusi lemak tubuh. Dalam keadaan berlebih glukokortikoid merupakan katabolisme protein, memecah protein menjadi karbohidrat dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.
  1. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro intestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium atau hydrogen. Sekresi aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama disekresikan sebagai respon terhadap adanya Angiotensin II dalam aliran darah. Kenaikan kadar aldesteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal yang cederung memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan aldesteron juga ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron merupakan hormon primer untuk mengatuk keseimbangan natrim jangka panjang.
  1. Hormon-Hormon Seks Adrenal (Androgen)
Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam glandula adrenalis dirangsang ACTH, mungkin dengan sinergisme gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan efek yang serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula mensekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita. Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini disebut Sindrom Adreno Genital.

2.2   Definisi Addison Disease
Penyakit Addison atau lebih dikenal dengan nama Addison’s Disease adalah suatu hipofungsi dari adrenal yang timbul secara spontan dan berangsur-angsur, dimana ketidakmemadaian adrenal, dapat menjadi penyakit yang mengancam jiwa. Penyakit ini terjadi sebagai hasil dari kerusakan pada kelenjar adrenal (juga dikenal sebagai kekurangan adrenalin kronik, hipokortisolisme atau hipokortisisme) adalah penyakit endokrin langka dimana kelenjar adrenalin memproduksi hormon steroid yang tidak cukup.

Penyakit Addison adalah gangguan yang melibatkan terganggunya fungsi dari kelenjar korteks adrenal. Hal ini menyebabkan penurunan produksi dua penting bahan kimia (hormon) biasanya dirilis oleh korteks adrenal yaitu kortisol dan aldosteron (Liotta EA et all, 2010).

2.2   Etiologi
Etiologi penyakit Addison terus mengalami perubahan sepanjang tahun. Prior, 1920, tuberculosis merupakan penyebab utama adrenal insufisiensi. Sejak 1950, adrenal autoimun dengan adrenal atrofi dijumpai pada sekitar 80% dari kasus.

Autoimun pada penyakit Addison semakin meningkat seiring meningkatnya penyebab autoimun pada penyakit metabolic lainnya. Tampilan yang paling sering pada autoimun adrenokortikal insufisiensi ialah berhubungan dengan kerusakan pada HLA (human leucocyte antigen) termasuk diabetes tipe I, penyakit tiroid autoimun, alopecia areata dan vitiligo (Gardner DG et all, 2007).

Bilateral adrenal hemoragik saat ini relative sering dijumpai sebagai penyebab adrenal insufisiensi. Faktor anatomic yang merupakan predisposisi terjadinya adrenal hemoragik. Adrenal glandula memiliki banyak arteri untuk mensuplai darah, namun hanya memiliki single vena untuk drainase. Adrenal vein thrombosis dapat terjadi periode statis atau aliran turbulen. Ini merupakan penyebab dari hemoragik pada kelenjar adrenal yang menyebabkan insufisiensi adrenal kortikal (Cooper MS et all, 2003).

Infeksi Human Immunodefisiensi Virus (HIV) memiliki efek yang kompleks pada hipotalamik pituitary adrenal axis (Gardner DG et all, 2007). Adrenal infeksi dan peningkatan penggunaan obat seperti rifampisin, ketokonazole dan megestrol asetat meningkatkan resiko hipoadrenalisme (Bornstein SR, 2009). Insufisiensi adrenal pada pasien HIV mulai sering dijumpai. Adrenal nekrosis sering dijumpai pada data postmortem pasien AIDS (accured immune defisiensy syndrom). Adrenal insufisiensi pada AIDS biasanya disebabkan oleh infeksi oportunistik seperti cytomegalovirus dan mycobacterium avium kompleks (Cooper MS et al, 2003). Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal dengan menghalangi biosintesis yaitu metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya amfenon, amino- glutetimid dan lain lain.

Penyebab paling umum penyakit Addison adalah kerusakan dan/ atau atrofi dari korteks adrenal. Pada sekitar 70% dari semua kasus, atrofi ini diduga terjadi karena adanya gangguan autoimun. Pada sekitar 20% dari semua kasus,kerusakan korteks adrenal disebabkan oleh tuberculosis. Kerusakan kelenjar Adrenal akibat tuberkulosis didapatkan pada 21% dari penderita . Tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serbukan sel-sel limfosit, kadang kadang dapat dijumpai tuberkel serta kalsifikasi Seringkali didapatkan proses tuberkulosis yang aktif pada organ-organ lain, misalnya tuberkulosis paru, tuberkulosis genito-urinari, tuberkulosis vertebrata(Pott s disease), hati, limpa serta kelenjar limpa. Dan kasus lainnya dapat disebabkan oleh infeksi jamurseperti histoplasmosis, coccidiomycosis dan kriptokokosis yang memengaruhi glandula adrenal (Gardner DG et all, 2007).

2.3   Manifestasi Klinis
  1. Depresi karena kadar kortisol memengaruhi mood dan emosi.
  2. Keletihan, yang berkaitan dengan hipoglikemia, dan penurunan glukoneogenesis.
  3. Anoreksia, muntah, diare dan mual.
  4. Hiperpigmentasi kulit apabila kadar ACTH tinggi (insufisiensi adrenal primer) karena ACTH memiliki efek mirip hormone perangsang melanin (melanin stimulating hormon) pada kulit.
  5. Rambut tubuh yang tipis pada wanita apabila sel adrenal penghasil androgen rusak atau apabila kadar ACTH sangat rendah.
  6. Ketidakmampuan berespons terhadap situasi stress, mungkin menyebabkan hipotensi berat dan syok.
2.4   Patofisiologi
Penyakit Addison (Addison’s Disease) merupakan gangguan autoimun yang mana lapisan dari korteks adrenal rusak akibat inflamasi dan akibat dari antibodi IgG justru menyerang seluruh maupun sebagian kelenjar adrenal. Penyebab lainnya antara lain tuberculosis (yang dapat menyebabkan tersebarnya bakteri Bacillus tubercele dari paru-paru ke organ lainnya melalui media aliran darah) dan tumor kelenjar adrenal yang destruktif, kanker limfa, kanker payudara, kanker paru-paru, kanker gastrointestinal (mengakibatkan penyebaran metastase) dan gangguan hati yang menyebabkan perdarahan bilateral adrenal.

Penyakit Addison terjadi akibat kekurangan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks kelenjar adrenal (kortikosteroid). Penyakit ini juga sering disebut melasma suprarenal atau penyakit kulit perunggu (bronze skin disease). 

Penyakit Addison dikarakteristikan dengan level glukokortikoid yang rendah ditemani dengan kadar ACTH  dan CRH yang tinggi.  Keseluruhan adrenal insufisiensi juga menyebabkan kekurangan hormon androgen dan aldosteron. Defisiensi aldosteron memicu peningkatan natrium yang dikeluarkan melalui urin menyebabkan hiponatremia (kekurangan natrium dalam darah), dehidrasi, dan hipotensi (karena kehilangan air akibat kehilangan natrium ). Penurunan ekskresi kalium melalui urin akan menyebabkan hiperkalemia (peningkatan kadar kalium dalam darah). Kekurangan hormon steroid ini, akan merangsang kelenjar hipofisis untuk memproduksi hormon perangsang korteks adrenal (ACTH), yang berfungsi merangsang kelenjar adrenal. Dalam keadaan normal, produksinya dihambat oleh hormon steroid adrenal. Oleh karena itu, produksi ACTH menjadi berlebihan. ACTH yang berlebihan akan menimbulkan bercak-bercak pigmentasi kehitaman pada kulit muka, leher, dahi, siku, punggung, dan parut bekas luka. Pigmentasi juga terjadi di selaput lender dubur, mulut, usus besar dan vagina.

Penyakit Addison sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari hipopituitarism maupun disfungsi hipotalamus. Adrenal insufisiensi hormon ACTH tidak dikeluarkan, sehingga adrenal tidak akan mensekresi glukokortikoid maupun androgen. Pembentukan aldosteron pun mungkin juga bisa terpengaruh. Keadaan kekurangan ACTH tidak menimbulkan bercak pigmentasi pada kulit.

Insufisiensi adrenal dapat terjadi karena pemakaian obat-obatan kortikosteroid. Karena kortikosteroid akan menghambat sekresi ACTH dari pituitary dalam feedback negatif. Selain itu, terapi glukokortikoid oral dapat menyebabkan kadar ACTH menurun, dan menyebabkan insufisiensi adrenal sekunder.  

2.5   Web of Caution
           


2.6   Pemeriksaan Penunjang
  1. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan:
    1. Penurunan konsentrasi glukosa darah (hipoglikemia)
    2. Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
    3. Kekurangan kortikosteroid (terutama kortisol)
    4. Kadar natrium yang rendah (hiponatremia)
    5. Peningkatan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia).
  2. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya klasifikasi di adrenal:
  1. CT Scan
Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi malignan dan non malignan dan hemoragik adrenal.
  1. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolik.
  1. Tes stimulating ACTH
Kortisol darah dan urin diukur sebelum dan setelah suatu bentuk sintetik dari ACTH diberikan dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendekcepat. Penyukuran cortisol dalam darah di ulang 30 sampai 60 menit setelah suatu suntikan ACTH adalah suatu kenaikan tingkatan – tingkatan cortisol dalam darah dan urin.
  1. Tes Stimulating CRH
Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, suatu tes stimulasi CRH “Panjang” diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidak cukupan adrenal. Pada tes ini, CRH sintetik di suntikkan secara intravena dan cortisol darah diukur sebelum dan 30, 60 ,90 dan 120 menit setelah suntikan. Pasien – pasien dengan ketidak cukupan adrenal seunder memp. Respon kekurangan cortisol namun tidak hadir / penundaan respon – respon ACTH. Ketidakhadiran respon – respon ACTH menunjuk pada pituitary sebagai penyebab ; suatu penundaan respon ACTH menunjukan pada hypothalamus sebagai penyebab.

2.7   Penatalaksanaan
Pengobatan cepat diarahkan untuk melawan syok.
  1. Pulihkan sirkulasi darah, berikan cairan, pantau tanda-tanda vital, dan baringkan pasien dalam posisi rekumben (setengah duduk) dengan tungkai ditinggikan.
  2. Berikan hidrokortison IV, disertai dengan dekstrosa 5% dalam salin normal.
  3. Kaji stress/keadaan sakit yang menimbulkan serangan akut.
  4. Antibiotik dapat saja diresepkan untuk mengatasi infeksi.
  5. Masukan oral mungkin dilakukan segera setelah dapat ditoleransi.
  6. Jika kelenjar adrenal tidak dapat pulih kembali fungsinya, maka perlu dilakukan terapi penggantian preparat kortikosteroid dan mineralokortikoid sepanjang kehidupan.
  7. Masukan diit akan memerlukan tambahan dengan garam selama waktu kehilangan cairan gastrointestinal melalui muntah dan diare.
2.8 Pencegahan 
Pencegahan penyakit Addison lebih difokuskan untuk mengatasi gejala dan mencegah terjadinya Addison crisis yang dipicu akibat lingkungan yang stress. Pencegahan penyakit ini termasuk dalam perawatan terhadap kondisi dan membatasi faktor risiko seperti penyakit autoimun. Berikut merupakan faktor risiko yang bisa dicegah yakni :
  1. Perawatan penyakit infeksi jamur
  2. Mengontrol penyakit diabetes
  3. Mengidentifikasi gejala kanker untuk mencegah penyebaran sel ke kelenjar adrenal dan aliran darah
  4. Perawatan penyakit infeksi bakteri seperti tuberculosis
Bagi penderita penyakit Addison , dianjurkan untuk mengurangi stress dan melakukan kegiatan relaksasi guna mencegah beberapa gejala dan komplikasi. Edukasi pasien sangatlah penting. Pasien tidak boleh menghentikan pengobatannya dan meningkatkan dosis apabila diperlukan selama pengobatan, seperti hidrokortison merupakan hormon stress yang esensial.

2.9 Komplikasi
      Komplikasi Addison’s disease
a. Syok akibat infeksi akut atau hiponatremia
b. Dehidrasi
c. Hiperkalemia
d. Hipotensi
e. Kardiak arrest
f. Diabetes mellitus
g. CA paru
h. Kolaps sirkulasi

3.1 Asuhan Keperawatan
  1. Pengkajian
  1. Identitas :identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
  2. Keluhan utama: mengeluh badan panas, lemah, fatigue, mual, atau muntah
  3. Riwayat penyakit dahulu: klien pernah menderita TBC, hipoglikemia, Ca paru, payudara, atau lymphoma.
  4. Riwayat penyakit sekarang: kelemahan, fatigue, anorexia, nausea, muntah, BB turun, hipotensi dan hipoglikemia, lemah yang berlebih, hiperpigmentasi, rambut pubis dan axila berkurang pada wanita, hipotensi arteri.
  5. Riwayat penyakit keluarga:  Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama / penyakit autoimun yang lain.
  6. Review of system          
  1. B1 (Breathing): Dada simetris, pergerakan dada cepat, adanya kontraksi otot bantu pernapasan (dispneu), terdapat pergerakan cuping hidung, resonan,terdapat suara ronkhi, krekels pada keadaan infeksi.
  2. B2 (Blood): peningkatan denyut nadi dan lemah, hipotensi, termasuk hipotensi postural, takikardia, disritmia, suara jantung melemah, pengisian kapiler memanjang. Ictus Cordis tidak tampak, ictus cordis teraba pada ICS 5-6 mid clavikula line sinistra. 
  3. B3 (Brain): Pusing, sinkope, gemetar, kelemahan, kesemutan terjadi disorientasi waktu, tempat, ruang (karena kadar natrium rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsangan, cemas, koma ( dalam keadaan krisis). Kelelahan mental, cemas, koma, kesemutan/ baal/ lemah.
  4. B4 (Bladder): diuresis yang diikuti oliguria, perubahan frekuensi dan karakteristik urine.
  5. B5 (Bowel): anorexia, kram abdomen, diare sampai konstipasi, mual/ muntah. Mulut dan tenggorokan : bibir kering, bising usus ↑, nyeri tekan karena ada kram abdomen.
  6. B6 (Bone): nyeri ekstremitas atas dan bawah, penurunan tonus otot, lelah, nyeri / kelemahan pada otot terjadi perburukan setiap hari), tidak mampu beraktivitas / bekerja. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi.
  7. Psikososial: riwayat faktor stres yang baru dialami, termasuk sakit fisik atau pembedahan, ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil.

  1. Analisa Data

Data
Etiologi
Masalah
DS:
Klien mengatakan mudah merasa haus.

DO:
  1. rambut kusut,
  2. mukosa bibir klien kering, turgor kulit tidak elastic, pengeluaran urin inadekuat (<1cc/kgBB/jam),
  3. intake dan output tidak seimbang,
  4. diuresis yang diikuti oliguria,
  5. perubahan frekuensi dan karakteristik urine.
Aldosteron ↓
Ekskresi air ↑
Volume ekstraseluler ↓
Dehidrasi
Defisit volume cairan
DS:
Mukosa bibir klien terasa kering, dan kram pada area perut.
DO:
Diare sampai konstipasi, mual/ muntah. Bibir kering, bising usus ↑, nyeri tekan karena ada kram abdomen, penurunan BB, mata cekung, porsi makan tidak habis.
Glukokortikoid/ Cortisol ↓
Glukoneogenesis ↓
Hipoglikemia
Mual, muntah, kram abdomen
Anoreksia
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DS:
Klien mengeluh nyeri pada ekstremitas atas dan bawah.

DO:
  1. penurunan tonus otot,
  2. mudah lelah,
  3. nyeri / kelemahan pada otot terjadi perburukan setiap hari),
  4. tidak mampu beraktivitas / bekerja.
  5. penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi.
Aldosteron ↓
Ketidakseimbangan elektrolit
Hipotensi
CO↓
Gangguan perfusi perifer
Otot kekurangan suplai O­­2
Kelemahan otot

Atau

Aldosteron ↓
Ggn. Metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
Kelemahan otot
Intoleransi aktivitas
DS :
  1. Pasien mengeluh jantungnya berdebar- debar
  2. Pasien mengeluh mual dan pusing
DO:
  1. Klien tampak kelelahan dan mengalami disorientasi
  2. Klien mengalami kram otot
  3. Hasil pemeriksaan TD klien mengalami hipotensi
  4. Irama jantung klien yang tidak teratur, yang berupa palpitasi (jantung berdebar keras).
  5. Hasil lab :
Na = 132 mM
K= 5,5 mEq/L darah
Glukokortikoid ↓
Defisiensi aldosteron
Ekskresi natrium dalam urine naik sedangkan Ekskresi kalium dalam urine turun
Natrium dalam darah turun sedangkan Kalium dalam darah naik
Hiponatremia & Hiperkalemia
Aritmia, syok, hipotensi, kolaps sirkulasi
Resiko tinggi ↓ CO
Resiko tinggi ↓ CO
DS:
Pasien mengatakan enggan untuk bergaul dengan teman dan tetangga sekitar.
DO:
hiperpigmentasi, rambut pubis dan aksila berkurang pada wanita.
Glukokortikoid ↓
Androgen ↓
Peningkatan pigmentasi kulit dan mengurangi pertumbuhan rambut aksila & pubis

Risiko harga diri rendah situasional























































































  1. Diagnosa Keperawatan
  1. Defisit volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan input dan output.
  2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipoglikemia.
  3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme, perubahan kimia tubuh, ketidakseimbangan cairan elektrolit dan kelemahan otot
  4. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan menurunnya aliran darah vena dan berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung
  5. Risiko harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan fungsi, hiperpigmentasi kulit

  1. Intervensi
  1. Defisit Volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan input dan output.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien dapat klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Kriteria Hasil :
  1. TTV dalam batas normal (N:80-100 x/mnt S: 36-370C , TD: 120/80 mmHg )
  2. Rasa haus tidak ada
  3. CRT < 3 detik
  4. Hematokrit dan hemoglobin pasien dalam batas normal
  5. Asupan dan haluaran  klien seimbang dalam 24 jam (0,5- 1cc/kgBB/jam)
  6. Turgor kulit elastis
  7. Membran mukosa klien baik / lembab
  8. BB ideal: (TB-100)-10%(TB-100)
Intervensi
Rasional
  1. Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pd perubahan posisi, kekuatan dari nadi perifer.



  1. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan kesimbangan cairan ( misalnya, kadar Hb, hematocrit, BUN, albumin, berat jenis urin, osmolalitas serum )
  2. Timbang BB setiap hari


  1. Pantau status hidrasi klien ( misalnya, kelembapan membrane mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik )
  2. Lakukan higine oral secara sering.


  1. Tentukan jumlah cairan yang masuk dala 24 jam, hitung asupan yang dibutuhkan.
Kolaborasi :
Berikan cairan / terapi IV sesuai dengan kebutuhan
Hipotensi postural merupakan bagian hipovolemia akibat kekurangan hormon aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat dari penurunan kortisol. Nadi mungkin melemah yang dengan mudah dapat menghilang





Memberikan perkiraan kebutuhan akan penggantian volume cairan dan keefektifan pengobatan





Membantu menurunkan rasa tidak nyaman akibatt dehidrasi dan mempertahankan kerusakan membran mukosa


  1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipoglikemia.
Tujuan                : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat
Kriteria Hasil      :
  1. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
  2. BB ideal sesuai TB : (TB-100)-10%(TB-100)
  3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
  4. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi
  5. Tidak terjadi penurunan BB yang berarti
  6. TTV dalam batas normal ( Nadi: 80-100x/menit, TD: 120/80 mmHg, Suhu: 36-370C, dan RR: 16-24x/menit)

Intervensi
Rasional
  1. Catat adanya kulit yang dingin atau basah, perubahan tingkat kesadaran, nadi yang cepat, nyeri kepala, dan sempoyongan
Gejala hipoglikemiadengan timbulnya tanda tersebut dan mungkin perlu pemberian glukosa dan pemberian tambahan glukokortikoid
  1. Berikan lingkungan yang nyaman untuk makan misalnya bebas dari bau tidak sedap, tidak terlalu ramai, udara yang tidak nyaman
Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki intake makanan
  1. Berikan informasi tentang menu pilihan
Perencanaan menu yang disukai dapat merangsang nafsu makan dan meningkatkan intake makanan
  1. Pertahankan status puasa sesuai indikasi
Mengistirahatkan gastrointestinal, mengurangi rasa tidak enak dan kehilangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah
  1. Lakukan pemeriksaan terhadap kadar gula darah sesuai indikasi
Mengkaji kadar gula darah dan kebutuhan terapi, jika menurun sebaiknya pemberian glukokortikoid dikaji kembali
  1. Kolaborasi
Berikan glukosa IV dan obat-obatan sesuai indikasi

Memperbaiki hipoglikemia, dan memberikan asupan energy untuk fungsi seluler

  1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme, perubahan kimia tubuh, ketidakseimbangan cairan elektrolit dan kelemahan otot.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien dapat beraktivitas secara normal
Kriteria Hasil :
  1. Saturasi oksigen dalam batas normal saat beraktivitas
  2. Mampu menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
  3. Menunjukkan peningkatan tenaga dan kemampuan
  4. Berpartisipasi dalam aktivitas
  5. TTV dalam batas normal (N: 80-100x/mnt, TD: 120/80mmHg, S: 36-370C, RR 16-24 x/menit)

Intervensi
Rasional
  1. Tentukan penyebab kelemahan klien dan kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas .

  1. Pantau TTV sebelum,selama, dan setelah aktivitas ; hentikan aktivitas jika tanda – tanda vital tidak dalamrentang normal bagi klien atau jika ada tanda – tanda bahwa aktivitas tidak dapat ditoleransi.
  2. Pantau asupan nutrisi.

  1. Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahanan.
  2. Bantu klien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, berdiri, dan ambulasi sesuai toleransi
Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelelahan otot menjadi terus memburuk setiap hari.

Kolapsnya sirkulasi dapat terjadi sebagai akibat sterss aktivitas jika curah jantung terus meningkat.



Memastikan sumber –sumber energy yang adekuat

Mengurangi kelelahan dan mencegah ketegangan pada jantung



  1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan menurunnya aliran darah vena dan berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, menunjukkan curah jantung yang adekuat.
Kriteria Hasil :
  1. TTV dalam batas normal (N: 80-100x/mnt, TD: 120/80mmHg, S: 36-370C, RR 16-24 x/menit)
  2.  Nadi perifer teraba dengan baik
  3. Pengisian kapiler cepat dan status mental baik

Intervensi
Rasional
  1. Pantau tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan, status mental, denyut perifer, pengisian ulang kapiler dan warna ekstremitas.
  2. Pantau asupan dan haluaran, haluaran urin, BB klien, dan tanda – tanda kelebihan cairan.


  1. Pantau suhu tubuh catat bila ada yang mencolok dan tiba-tiba




  1. Ubah posisi klien setiap 2 jam atau pertahankan aktivitas lain yang sesuai atau dibutuhkan untuk menurunkan status sirkulasi perifer.
Kolaborasi :
  1. Berikan cairan, darah, larutan NaCl, dan volume ekspander melalui IV sesuai kebutuhan

Peningkatan Fungsi jantung merupakan manifestasi awal sebagai kompensasi hipovolemia dan kegagalan otot jantung.

Walaupun biasanya ada poliuria, penurunan haluaran urine menggambarkan penurunan perfusi ginjal oleh penurunan curah jantung

Hiperpireksia yang tiba-tiba dapat terjadi yang di ikuti oleh hipotermia sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormonal, cairan, dan elektrolit yang mempengaruhi FJ dan curah jantung.








Dapat memperbaiki volume sirkulasi



  1. Risiko harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan fungsi, hiperpigmentasi kulit
Tujuan             : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan harga diri pasien kembali positif
Kriteria Hasil   :
  1. Mampu beradaptasi dengan orang lain
  2. Mampu mengungkapkan perasaan tentang dirinya
Intervensi
Rasional
  1. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang keadaannya misalnya; perubahan penampilan peran
Membantu mengevaluasi berapa banyak masalah yang dapat diubah oleh pasien
  1. Sarankan klien untuk melakukan manajemen stres misalnya teknik relaksasi, visualisasi, imajinasi
Meminimalkan perasaan stres, frustasi, dan meningkatkan kemampuan koping
  1. Fokus pada perbaikan yang sedang terjadi dan pengobatan misalnya menurunkan pigmentasi kulit
Dapat meningkatkan semangat dan harga diri klien
  1. Sarankan klien untuk mngunjungi seseorang yang penyakitnya telah terkontrol dan gejalanya telah berkurang
Dapat menolong klien untuk melihat hasil pengobatan yang telah dilakukan
  1. Rujuk klien ke pelayanan sosial konseling dan kelompok pendukung lainnya
Pendekatan secara komprehensif dapat membantu memenuhi kebutuhan klien untuk memelihara tingkah laku klien.




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

KASUS :
Tn. G  (60 th) dibawa ke rumah sakit oleh istrinya  pada tanggal 05 Oktober 2014 pukul 10.30 WIB dengan kondisi tubuh yang lemas. Tn.G mengeluh mual dan terus muntah serta jantungnya berdebar- debar. Baru 6 bulan lalu Tn G didiagnosa positif TB.  Kakak Tn.G meninggal akibat TB 5 tahun yang lalu.  Pada saat di inspeksi Tn.G  tampak pucat, mengalami hiperpigmentasi dan gemetar. Pada serum Tn.G terdapat peningkatan imunoglobulin G. Klien diberikan terapi berupa pemberian kortisol sebesar 25mg pada pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per oral. Ketika dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil TTV sebagai berikut: suhu 370C, TD 80/60 (saat berdiri), nadi: 125 x/menit teraba lemah, pernapasan: 28 x/ menit. Hasil laboratorium Tn. G adalah GDA= 25 mg/dL, Na = 102 mM dan K= 5,5 mEq/L darah

A. Pengkajian
  1. Identitas :
Nama               : Tn.G
Umur               : 60 tahun
Agama             : Islam
Jenis kelamin   : laki-laki
Suku/bangsa    : Jawa
Pendidikan      : SMP
Alamat             : Surabaya
Tanggal masuk : 05 Oktober 2014
  1. Keluhan utama:
Tn.G mengeluh nausea dan muntah
  1. Riwayat penyakit dahulu:
Tn.G pernah positif TB enam bulan yang lalu.
  1. Riwayat penyakit sekarang:
Tn G mengalami lemah yang berlebih, anorexia, nausea, muntah, BB turun, hipotensi dan hipoglikemia hiperpigmentasi, hipotensi postural.
  1. Riwayat penyakit keluarga:
Dahulu kakak Tn.G meninggal akibat TB
  1. Review of system
a. B1 (Breathing):
  1. Dada simetris,
  2. pergerakan dada cepat,
  3. adanya kontraksi otot bantu pernapasan (dispneu),
  4. terdapat pergerakan cuping hidung,
  5. krekels pada keadaan infeksi.
b. B2 (Blood):
  1. peningkatan denyut nadi dan lemah,
  2. hipotensi, termasuk hipotensi postural,
  3. takikardia, disritmia,
  4. suara jantung melemah,
  5. pengisian kapiler memanjang.
  6. Ictus Cordis tidak tampak, ictus cordis teraba pada ICS 5-6 mid clavikula line sinistra. 
c. B3 (Brain):
  1. Pusing
  2. gemetar,
  3. kelemahan,
  4. terjadi disorientasi waktu, tempat, ruang (karena kadar natrium rendah),
  5. letargi, kelelahan mental,
  6. peka rangsangan,
d. B4 (Bladder):
  1. diuresis yang diikuti oliguria,
  2. perubahan frekuensi ( Tn.G 7-9X bolak balik kamar mandi) dan karakteristik urine (pekat)
e. B5 (Bowel):
  1. anorexia,
  2. kram abdomen,
  3. mual/ muntah.
  4. mulut dan tenggorokan : bibir kering,
  5. nyeri tekan karena ada kram abdomen.
f. B6 (Bone):
  1. nyeri ekstremitas atas dan bawah,
  2. penurunan tonus otot, lelah
  3. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi.

B. Analisis Data

Data
Etiologi
Masalah keperawatan
DS: Pasien mengeluh pusing dan tubuhnya lemas

DO:
TD : 80/50 mmHg
Nadi : 141x/menit

↑ Eksresi insulin

↑Ekskresi air

Vol. Ekstra seluler ↑

Dehidrasi

Hipotensi

↓Cardiac Output

Penurunan curah jantung
Penurunan Curah Jantung
S : Pasien mengatakan mual, nafsu makan kurang.
O :
- Porsi makan tidak habis
- Muntah setelah selesai makan
kortisol ↓

glukoneogenis ↓

hipoglikemia

Mual Muntah

Kurang intake nutrisi

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

DS:
  • Pasien mengeluh mual
DO:
  • Pasien muntah setelah makan atau minum
  • Na = 102 mmol/L

Aldosteron↓↓

Penyerapan Na+↓↓

Kadar K+↑↑

↑Ekskresi air

Vol. Ekstra seluler ↑

Dehidrasi

Kurang volume cairan dalam tubuh
Kurang volume cairan dalam tubuh

DS : pasien mengatakan merasa malu dengan bintik-bintik coklat yang keluar di kulitnya .

DO : kulit pasien terdapat bintik-bintik berwarna coklat sehingga pasien selalu menunduk saat berbicara dengan orang.
Insufisiensi kortisol

ACTH ↓

MSH ↑

Hiperpigmentasi kulit dan mukosa

Harga diri rendah
Harga Diri rendah

C. Diagnosa Keperawatan
  1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipotensi berat
  2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah
  3. Kurang volume cairan dalam tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit
  4. Harga diri rendah berhubungan dengan hiperpigmentasi kulit dan mukosa.

D. Intervensi

Diagnosa 1: Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipotensi berat
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan tanda vital dalam batas yang normal
Kriteria Hasil:
  • Tekanan darah normal
  • TTV dalam batas normal

Intervensi
Rasional
  1. Observasi TTV
  2. Kaji warna kulit, suhu, pengisian kapiler an nadi perifer

  1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur.



  1. Istirahatkan pasien dengan membatasi aktivitas
  2. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
  3. Berikan alat bantu nafas
  1. Mengetahiu tanda-tanda vital pasien
  2. Untuk mengetahui indikasi terjadinya syok, seperti pucat, kulit yang dingin, nadi lambat dan lemah.
  3. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal
  4. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien
  5. Memantau jika ada suara nafas tambahan

  1. Agar tidak terjadi hipoksia

Diagnosa 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam pada pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil:
  • Tidak ada mual dan muntah
  • Menunjukkan peningkatan BB
  •  Anoreksia (-)
  • Bising usus: 5-12x/mnt
  • TTV dalam batas normal (N: 80-100x/mnt, TD: 120/80mmHg, S: 36-370C, RR 16-24 x/menit)
Intervensi
Rasional
  1. Catat adanya kulit yang dingin,basah, perubahan tingkat kesadaran,nadi yang cepat,nyeri kepala, sempoyongan
  2. Auskultasi bising usus dan kaji adanya nyeri perut



  1. Hitung masukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal.
  2. Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan sesuai indikasi.
  3. Catat muntah mengenai jumlah kejadian atau karakteristik lainnya

  1. Konsul tentang kesukaan / ketidaksukaan pasien, makanan yang menyebabkan distress, dan jadwal makan yang disukai.
  2. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
  3. Berikan kebersihan oral sebelum makan.
  4. Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.




  1. Konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.
Diet TKTP
  1. Mengetahui adanya gejala hipoglikemi
  2. Mengetahui adanya peningkatan bising usus yang menandai adanya gastrointestinal yang berat sehingga akan mempengaruhi pencernaan dan absorpsi dari makanan.
  3.   Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi.
  4. Mengetahui status nutrisi pasien dan mengevaluasi keefektifan rencana diet.
  5. Membantu untuk menentukan derajat kemampuan pencernaan atau absorpsi makanan
  6. melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan.
  7. untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual.

  1. mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
  2. membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder sehubungan dengan imobilisasi.
  3. Berfungsi untuk membuat rencana kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat.

Diagnosa 3: Kurang volume cairan dalam tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan volume cairan sesuai dengan kebutuhan tubuh dapat seimbang
Kriteria Hasil:
  • TTV normal (N:80-100 x/mnt S: 36-370C , TD: 120/80 mmHg)
  • Tidak menunjukan tanda- tanda dehidrasi
  • Pengeluaran urin adekuat (1cc/kgBB/jam)
  • CRT < 3 det
  • Turgor kulit elastis, Membrane mukosa lembab,  Warna kulit tidak pucat
-          
Intervensi
Rasional
  1. Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pada perubahan posisi, kekuatan dari nadi perifer.
  2. Ukur dan timbang BB setiap hari


  1. Kaji pasien mengenai adanya rasa haus,kelelahan,nadi jelek,membrane mukosa kering dan catat warna kulita.
  2. Monitor cairan dalam batas diet

  1. Rencanakan target pemberian asupan cairan
  2. Kaji pemahaman klien tentang alasan mempertahankan hidrasi yang adekuat
  3. Catat asupan dan luaran Pantau asupan per oral.

  1. Pertahankan lingkungan yang nyaman
  2. Anjurkan cairan oral > 3 liter perhari sesuai dengan kebutuhan pasien
  1. Mengetahui TTV pasien,


  1. Untuk memberikan perkiraan kebutuhan akan penggantian volume cairan dan keefektifan pengobatan
  2. Untuk mengidentifikasi adanaya hipovolemia dan mempengaruhi kebutuhan volume pengganti
  3. Membuat klien lebih kooperatif
  4. Mempermudah untuk pemantauan kondisi klien
  5. Pemahaman tentang alasan tersebut membantu klien dalam mengatasi gangguan
  6. Untuk mengetahui perkembangan status kesehatan klien serta untuk mengontrol asupan klien
  7. Menghindari panas berlebih untuk menghindari kehilangan cairan
  8. Memberikan tambahan cairan pada pasien dan untuk membantu menurunkan rasa tidak nyaman akibat dehidrasi.



Diagnosa 4: Harga diri rendah berhubungan dengan hiperpigmentasi kulit dan mukosa.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan harga diri pasien meningkat
Kriteria Hasil:
  • Menyatakan penerimaan diri pada situasi yang ada
  • Mengidentifikasi perasaan dan metoda koping terhadap persepsi diri negatif.
Intervensi
Rasional
  1. Kontrak dengan pasien mengenai waktu untuk mendengar. Dorong diskusi perasaan masalah.

  1. Dukung atau berikan perawatan yang positif.
  2. Dorong keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan.
  3. Anjurkan klien menggunakan baju yang berwarna gelap agar tidak terlihat bintik-bintik coklat pada kulitnya .
  4. Rujuk ke pelayanan konselor.
  1. Penyediaan waktu meningkatkan    hubungan saling percaya dan memberikan kesempatan pada kijen untuk mengekspresikan perasaan.   
  2. Meningkatkan harga diri pasien

  1. Partisipasi dari anggota keluarga bisa menambah rasa percaya diri pasien.
  2. Meningkatkan penampilan pasien.


  1. Untuk meningkatkan koping yang lebih efektif pada pasien.



DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Suddarth.2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku Edisi 3. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J.2008.  Handbook of Pathophysilogy, 3rd Edition.Michigan: Lippincott Williams & Wilkins
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Peerencanaan Dan Pendekomentasian Pasien; Alih Bahasa. I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati ; editor bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin Asih,- Ed. 3. Jakarta : EGC
Florida Hospital Medical Center. Addison’s Disease. https://www.floridahospital.com/addisons-disease/prevention. Diakses hari Rabu, 08 Oktober 2014 pada pukul 05:17.
http://alfinzone.files.wordpress.com/2011/08/addison-disease.pdf / diakses pada tgl 05 Oktober 2014 pukul 11:43
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 3. Jakarta: EGC.

Saturday, 3 January 2015

Atresia Bilier

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier
Sistem bilier terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu.berikutini urutan transportasi empedu:
  1. Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, dikumpulkan oleh sistem saluran yang mengalir dari hati melalui saluran hati kanan dan kiri.
  2. Saluran ini akhirnya mengalir ke saluran hepatik umum.
  3. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
  4. Sekitar 50% dari empedu yang dihasilkan oleh hati yang pertama disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
  5. Ketika makanan dikonsumsi, kontrak kandung empedu dan rilis disimpan empedu ke duodenum untuk membantu memecah lemak.

Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:
  1. untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum
  2. untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah, kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk yang berikut:
  1. untuk membawa pergi limbah
  2. untuk memecah lemak selama pencernaan
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap lemak. Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk kotoran, adalah apa yang memberikan kotoran warna gelapnya coklat (Tim Ohio State University,2011)

2.2 Definisi Atresia Billier
Atresia billier merupakan obstruksi total aliran getah empedu yang disebabkan oleh destruksi atau tidak adanya sebagian saluran empedu ekstrahepatik. Keadaan ini terjadi pada 1:10.000 kelahiran hidup. Atresi billier merupakan satu-satunya penyebab kematian karena penyakit hati pada awal usia kanak-kanak (akibat sirosis billier yang bersifat progresif dengan cepat) dan 50-60% anak-anak yang dirujuk untuk menjalan transplantasi hati merupakan pasien atresia billier. (Hull, 2008).

Atresia billier merupakan suatu penyakit yang didapat pada kehidupan  pascanatal dini akibat percabangan saluran billier yang sebelumnya paten menjadi sklerotik. Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga terjadi hambatan aliran empedu (kolestasis), akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk.

2.3 Klasifikasi Atresia Billier
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
  1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen proksimal paten
  2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
  3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu normal
  4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus


Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

2.4 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.

Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan.Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut(Richard, 2009) :
  1. Infeksi virus atau bakteri
  2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
  3. Komponen yang abnormal empedu
  4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
  5. Hepatocelluler dysfunction

2.5 Manifestasi Klinis Atresia Billier
  1. Ikterus timbul sejak lahir, tetapi dapat tidak nyata sampai beberapa minggu pertama. Urin menjadi gelap dan tinja akolik. Abdomen secara bertahap menjadi terdistensi oleh hepar yang membesar atau asites. Akhirnya, limpa juga membesar. Ikterus karena peninggian bilirubin direk. Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin yang konyugasi. Dan harus diingat peninggian bilirubin yang tidak konyugasi jarang sampai 2 minggu.
  2. Kolestasis neonatal terlihat pada bayi dengan berat lahir normal dan meningkat pascanatal. Jika tidak diatasi (dengan transplantasi hati) kematian terjadi dalam waktu 2 tahun sejak bayi dilahirkan.
  3. Bayi-bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal dan perkembangannya baik pada minggu pertama.
  4. Hepatomegali akan terlihat lebih awal.
  5. Splenomegali sering terjadi, dan biasanya berhubungan dengan progresivitas penyakit menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal.
  6. Pasien dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia)  pertengahan liver bisa teraba pada epigastrium.
  7. Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan kelainan jantung.
  8. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
  9. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran hati.
  10. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
  11. Degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
  1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
  2. Gatal-gatal
  3. Rewel

2.6 Patofisiologi Atresia Billier
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif  pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati.Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.

Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati  juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.

Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.

Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.

Patofisiologi dari Atresia biliaris masih sulit dimengerti, penelitian terakhir dikatakan kelainan kongenital dari sistim biliris. Masalah ontogenesis hepatobilier dicurigai dengan bentuk atresia bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang lain. Walaupun yang banyak pada tipe neonatal dengan tanda khas inflamasi yang progresif, dengan dugaan infeksi atau toksik agen yang menyebabkan obliterasi duktus biliaris.

Pada tipe III : yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi yang komplit sebagian sistim biliaris ekstra hepatal. Duktus biliaris intra hepatal yang menuju porta hepatis biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi mungkin dapat terjadi kerusakan yang progresif.Adanya toksin didalam saluran empedu menyebabkan kerusakan saluran empedu extrahepatis. Identifikasi dari aktivitas dari inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi yang didapat.

Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab secara khusus tetapi infeksi merupakan faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk neonatal.Banyak penelitian yang menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada penderita atresia biliaris dibandingkan dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah diimplikasi termasuk rotavirus dan Cytomegali Virus(CMV)

2.7 WOC (terlampir)


2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a)Laboratorium: Pemeriksaan darah ,urine dan feses untuk menilai fungsi hati dengan peninggian bilirubin
b) Biopsi liver : Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang tipis dan dibawah mikroskop dapat dinilai obstruksi dari sistim bilier.
c) Imejing

     1) USG
  1. Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang inhomogen dan ekogenitas yang tinggi tertama daerah periportal akibat fibrosis
  2. Nodul-nodul cirrhosis hepatis
  3. Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis
  4. Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal
  5. Triangular cord didaerah porta hepatis: daerah triangular atau tubular ekogenik lebih spesifik untuk atresia bilier extra hepatal
  6. Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm . Kandung empedu biasanya lebih kecil dari 1,9 cm,dinding yang tipis atau tidak terlihat ,ireguler dengan kontur yang lobuler(gall bladder ghost triad), kalau ada gambaran ini dikatakan sensitivitas 97 % dan spesifisitas 100%.
  7. Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan lebar >4 cm ) dapat terlihat sekitar 10 % kasus.
  8. Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas daerah periportal.
  9. kemungkinan dengan kelainan kongenital lain seperti: Situs inversus, Polisplenia

2) Skintigrafi : HIDA scan
Radiofarmaka (99m TC )- labeled iminodiasetic acid derivated sesudah 5 hari dari intake phenobarbital , ditangkap oleh hepar tapi tidak dapat keluar kedalam usus ,karena tidak dapat meliwati sistim bilier yang rusak.Tes ini sensitif untuk atresia bilier (100%)tapi kurang spesifik (60 %) . Pada keadaan Cirrhosis penangkapan pada hepar sangat kurang


3) Kholangiografi
  1. Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi melalui kandung empedu yang terlihat : Gambaran atresia bilier bervariasi dan pengukuran dari hilus hepar jika atresia dikoreksi secara pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris yang intake
  2. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dengan menyuntik senyawa penontras dapat dilihat langsung keadaan duktus biliaris ekstra hepatal seperti obstruksi duktus kholedokus dan dapat melihat distal duktus biliaris ekstra hepatal distal dari duktus hepatikus komunis, serta dapat melihat kebocoran dari sistim bilier ekstra hepatal daerah porta hepatisMRI
  3. MRI
  • MRCP : dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstrahepata untuk menentukan ada tidaknya atresia billier
  • Peninggian sinyal daerah periportal pada T2 weighted images



4. Intubasi duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub diletakkan didistal duodenum.tidak adanya bilirubin atau asam empedu ketika diaspirasi menunjukkan kemungkinan adanya obstruksi.

2.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
  1. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk
a) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
b) Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk

  1. Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang seoptimal mungkin yaitu:
a) Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
b) Penatalaksanaan defisiensi  vitamin yang larut dalam lemak.
c) Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.

3. Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.

Operasi
  1. Kasai prosedur : tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia dan menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat lansung keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y hepatoportojejunostomy
  2. Transplantasi hati : Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil , atresia total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis

2.10 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar.Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
  1. Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin)
  2. USG perut
  3. Rontgen perut (tampak hati membesar)
  4. Kolangiogram
  5. Biopsi hati
  6. Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan).

2.11Komplikasi Atresia Billier
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia biliaris adalah:
  1. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
  2. Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penngumpalan.
  3. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly.
  4. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
  5. Hipertensi portal
  6. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di esofaguc dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
  7. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
  8. Komplikasi Pasca Bedah: yakni “kolangitis menaik”. Tanda-tanda kolangitis menaik adalah : badan panas, tampak iterik, perut membuncit, leukositosis, anemia, peningkatan LED, GOT dan GPT, serta bilirubin darah. Kolangitis menaik dibagi 2:Kolangitis menaik dini (early ascending cholangitis). Hal ini bias berakibat fatal bila terjadi.Kolangitis menaik lambat (late cholangitis). Hal ini tidak bersifat fatal, tetapi hamper selalu terjadi pada pasca operasi.Cara mencegah kolangitis menaik adalah dengan modifikasi kimura pada tekhnik operasi Kasai I (Halimun, EM, 1983).

2.12 Prognosis
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan.Progresi fibrosis hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik.Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %.

Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia biliaris tipe “noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal (koop, 1976).





BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
  1. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
  2. Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
  3. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
  4. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
  5. Pemeriksaan Fisik
  1. BI : sesak nafas, RR meningkat
  2. B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
  3. B3: gelisah atau rewel
  4. B4: urine warna gelap dan pekat
  5. B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
  6. B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f. Pemeriksaan Penunjang
 g. Laboratorium
  1. Bilirubin direk dalam serum meninggi
  2. nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
  3. Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas
  4.   Tidak ada urobilinogen dalam urine
  5. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)

Pemeriksaan diagnostik
  1. USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
  2. Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
  3. Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatic
  4. Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
Tahap Tumbuh Kembang umur  6-9 Bulan
  1. Duduk (sikap tripoid-sendiri)
  2. Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
  3. Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
  4. Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
  5. Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda pada saat yang bersamaan
  6. Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
  7. Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
  8. Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
  9. Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
  10. Bergembira dengan melempar benda
  11. Makan kue sendiri
Umur 9-12 bulan
  1. Mengangkat badannya ke posisi berdiri
  2. Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
  3. Dapat berjalan dengan di tuntun
  4. Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang diinginkan
  5. Menggenggam erat pensil
  6. Memasukkan benda ke mulut
  7. Mengulang menirukan bunyi yang didengar
  8. Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
  9. Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
  10. Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
  11. Senang diajak bermain “ ciluk ba”
  12. Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum dikenal
Umur 12-18 bulan
  1. Berdiri sendiri tanpa berpegangan
  2. Membungkuk memungut mainan  kemudian berdiri kembali
  3. Berjalan mundur 5 langkah
  4. Memanggil ayah dengan  kata “papa”, memanggil ibu dengan kata “mama”. Tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya “ayah” ya akan dipanggil “ayah.

  1. Diagnosa Keperawatan
  1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
  2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
  3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan dtandai dengan adanya pruritus
  4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan penyakit kronis
  5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

  1. Intervensi Keperawatan

DX
Tujuan
Tindakan
Rasional
IBayi akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan pengisian kembali dengan kapiler kurang dari 3 detik, turgor kulit baik, produksi urine 1-2ml/kgBB/jam
  1. Memantau asupan dan cairan bayi perjam(cairan infuse, susu per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan, (timbang popok)

  1. Periksa feses tiap hari






  1. Memantau lingkar perut bayi setiap hari
  2. Observasi tanda-tanda dehidrasi (oliguria, kuilt kering, turgor kulit buruk, ubun-ubun dan mata cekung


  1. Kolaborasi  untuk pemeriksaan elektrolit, kadar protein total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
  1. Memungkinan evaluasi keseimbangan cairan bayi dan tindakan lebih lanjut
  2. Mengetahui kadar PH feces untuk menentukan absorbsi lemak dan karbohidrat bayi. (PH normal 7-7,5)
  3. Untuk mendeteksi asites
  4. Tanda dehidrasi mengindikasikan intervensi segera dalam mengatasai kekurangan cairan pada bayi

  1. Mengevaluasi keseimbangan dan elektrolit


II


























III
Bayi akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal






















Bayi akan
 mempertahankan kelembapan kulit yang ditandai dengan kulit tidak kering, tidak ada pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas lecet
  1. Ukur masukan diet harian (MCT)




  1. Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status cairan, riwatyat berat badan




  1. Berikan perawatan mulut sering






  1. Mandikan dengan air hangat sehari dua kali dan di olesi baby cream



  1. Pertahankan sprei kering dan bersih



  1. Rubah posisi tidur sesuai jadwal





  1. Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan bila memungkinkan


  1. Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin)
1. Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/Defisiensi

2. Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indicator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/asites
3. Pasien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia

4. Mencegah kulit kering berlebihan dan memberikan penghilang rasa gatal

  1. Kelembapan meningkatkan pruritus dan resiko kerusakan kulit

  1. Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan dan untuk memperbaiki sirkulasi

  1. Mencegah dari cidera tambahan pada kulit khususnya bila tidur

  1. Antihistamin dapat mengurangi rasa gatal
IVBayi akan bertumbuh dan berkembang secara normal yang ditandai dengan mencapai tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai1. Berikan stimulus pada bayi yang menekankan pencapaian keterampilan motorik kasar





ü  2. Jelaskan pada orangtua bahwa bayi mereka dapat saja  tidak mencapai tahap-tahap penting perkembangan dengan kecepatan yang sama seperti pada bayi sehat




ü  3. Sedapat mungkin lakukan intervensi secara berkelompok
ü  1. Stimulasi bayi yang terencana membantu tahap-tahap penting dalam perkembangan dan membantu orangtua memiliki ikatan dengan bayi

ü  2. Dapat menghilangkan stress pada orangtua yang menghadapi masalah dan memberikan informasi penting tentang cara-cara menstimulasi perkembangan

ü  3. Mengelompokkan intervensi memungkinkan bayi beristirahat tanpa gangguan, istirahat diperlukan untuk tahap tumbuh kembang bayi
VBayi akan mempertahankan pola nafas efektif, bebas dispneu dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas vital dalam rentang normalü  1. Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan





ü  2. Auskultasi bunyi nafas krekles, mengi dan ronchi







ü  3. Observasi perubahan tingkat kesadaran



ü  4. Berikan posisi kepala bayi lebih tinggi
Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

ü  5. Kolaborasi untuk pemeriksaan GDA
ü 1. Pernafasan dangkal, cepat/dispneu mungkin ada hubungan hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen

ü 2. Menunjukan terjadinya komplikasi (contoh adanya bunyi tambahan menunjukan akumulasi cairan/sekresi) meningkatkan resiko infeksi
ü 3. Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksia dan gagal nafas

ü 4. Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diagfragma

5. Untuk mencegah hipoksia
Mengetahui perubahan status pernafasan dan terjadinya komplikasi paru


BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS

Kasus semu
An. Y (laki-laki) berusia 2 bulan dibawa ke Rumah Sakit dengan keluhan mual, muntah, kulit tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh, perut membesar dan selalu rewel. Dari hasil pemeriksaan diketahui adanya hipertensi vena porta, peningkatan kadar bilirubin dan hasil Rontgen didapatkan adanya pembesaran hati. Kulit teraba hangat dan tampak kuning di seluruh tubuh.Mata konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik.Perut tampak buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi padat keras, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani, shifting dullness positif, bising usus positif normal.Ekstrimitas hangat, perfusi baik, ditemukan pitting edema. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, sadar, TD 110/60 mmHg, nadi 130x/menit, RR 40x/menit, suhu tubuh 36,5oC, tinggi badan 70 cm, berat badan 5 kg.


ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian Anak
Anamnesa
  1. Data Demografi klien :
Nama               : An. Y
Usia                 : 2 bulan
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Suku / bangsa  : Jawa/ Indonesia
Alamat             : Surabaya
Agama             :Islam
Tanggal MRS  : 10 November 2014
Jam MRS         : 14.00 WIB
Diagnosa         : Atresia Billier
  1. Identitas Penanggung Jawab :
Nama                                       : Tn. G
Umur                                       : 39 tahun
Jenis kelamin                           : Laki-laki
Pendidikan/ pekerjaan             : SLTA/ wiraswasta
Hubungan dengan klien          : ayah klien
  1. Keluhan Utama
Ibu klien mengatakan anak Y mengalami mual muntah
  1. Riwayat Penyakit Sekarang
Mual muntah, kulit tampak berwarna kuning, tinja berwarna dempul, BAK berwarna seperti teh, perut membesar dan selalu rewel
  1. Riwayat Penyakit sebelumnya : -
  2. Riwayat Tumbuh Kembang anak :
Imunisasi : Hepatitis B-1 diberikan  waktu 12 jam setelah lahir, BCG diberikan saat lahir, Polio oral  diberikan bersamaan dengan DTP
  1. Status Gizi : Kekurangan gizi akibat gangguan penyerapan makanan terutama vitamin larut lemak (A,D,E,K)
  2. Tahap perkembangan anak menurut teori psikososial : Klien An. Y mencari kebutuhan dasarnya seperti kehangatan, makanan dan minuman serta kenyamanan dari orang tua sendiri.
  3. Tahap kepribadian anak menurut teori psikoseksual : Klien An Y. menujukkan karakter awal kepribadiannya dengan mengenali siapa yang mengasuhnya. Klien menyukai saat digendong dan diayun-ayun Perilaku kegiatan motorik sederhana terkoordinasi, dengan menggerakkan jari tangan, menggenggam ibu jari ibu yang berhubungan emosi dengan orang tua, saudara dan orang lain.
  1. Riwayat Kesehatan Keluarga:
    1. Komposisi keluarga : Keluarga berperan aktif terutama ibu klien An. Y dalam merawat klien.
    2. Lingkungan rumah dan komunitas : Lingkungan di sekitar adalah perumahan
    3. Kultur dan kepercayaan : -
    4. Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan :  -
    5. Persepsi keluarga tentang penyakit anak : cobaan Tuhan

Pemeriksaan Fisik
  1. B1 (breath)
RR meningkat 40x/menit, Suhu (36.5°C), penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung, napas pendek.
  1. B2 (blood)
TD meningkat 110/60 mmhg,  HR meningkat 130x/ menit (tachicardi).
  1. B3 (brain)
gelisah (rewel)
  1. B4 (bladder)
Perubahan warna urin dan feses
Urine  : warna gelap seperti teh, pekat
Feses : warna pucat seperti dempul
  1. B5 (bowel)
anoreksia, mual muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang, dehidrasi, regurgitasi berulang, penurunan berat badan BB/TB (5 Kg/ 70 cm), distensi abdomen. Perut tampak buncit, hepar teraba 1/3-1/3 peinggir tajam, konsistensi padat keras, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada.Lien teraba S1.Perkusi timpani.
  1. B6 (bone) :
Letargi/ kelemahan, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus), jaundice, kerusakan kulit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
  1. Bilirubin direk dalam serum meninggi. Normalnya (0,3 – 1,9 mg/dl)
  2. Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas. Normalnya (1,7 – 7,1 mg/dl)
  3. Tidak ada urobilinogen dalam urin.
  4. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigliserol).
Pemeriksaan Diagnostik
  1. USG yaitu untuk mengetahui kelainan kongenital penyebab kolestasis ekstrahepatik (dapat berupa dilatasi kritik saluran empedu)
  2. Memasukkan pipa lambung sampai duodenum lalu cairan duodenum diaspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu, dapat berarti atresia empedu terjadi.
  3. Sintigrafi Radio Kolop Hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan mengeksresikan ke saluran empedu dampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat terjadi atresia inrahepatik
  4. Biopsi hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75 % penderita tidak ditemukan lumen yang jelas.

4.2 Analisis Data

No
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.
DS : -
DO : Penurunan turgor kulit
BAK berwarna seperti teh
Frekuensi nadi meningkat > 115x/menit
Produksi keringat meningkat
Input = 700 ml/hr
Output = 1000 ml/hr   
Pembesaran hepar





Distensi abdomen


Perut terasa penuh

Mual muntah





cairan banyak yang keluar
Kekurangan volume cairan
2.
DS: Anoreksia, rewel, mual/muntah.
Do:
Berat badan turun (6 kg menjadi 5 kg) muntah, konjungtiva anemis.
Obstruksi aliran dari hati ke dalam usus

gangguan penyerapan lemak dan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)


Nutrisi kurang dari kebutuhan
Gangguan pemenuhan
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3.
Ds:-
Do:
Anak tampak tidak nyaman dengan posisi tidurnya
Terdapat pruritus di daerah pantat & punggung anak
Albumin 3,27 g/dL (N:3,8-5,4)

cairan asam empedu balik ke hati





itching dan akumulasi dari toksik


tersebar ke dalam darah dan kulit


Pruiritis (gatal) pd kulit
Kerusakan integritas kulit

4.
DS :  pasien terlihat sesak.
DO :
Penggunaan otot bantu pernapasan
Napas pendek

cairan asam empedu balik ke hati





Peradangan sel hati

Hepatomegali (pembesaran hepar)


distensi abdomen

menekan diafragma

peningkatan Komplain paru





Kebutuhan oksigen meningkat

Frekuensi napas meningkat
Pola napas tidak efektif
5.
DS: Orang tua sering menanyakan keadaan anaknya
DO: Orang tua tampak gelisah dan bingung
Kurang sumber informasi

ansietas
Ansietas


4.3 Diagnosa Keperawatan
  1. Kekurangan volume cairan b.d dengan mual dan muntah
  2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, penurunan berat badan
  3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan, ditandai dengan adanya pruritis.
  4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
  5. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurang pengetahuan

4.4 Intervensi Keperawatan
  1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan intake dan ouput cairan menjadi seimbang.
Kriteria hasil :
  1. Tanda-tanda vital stabil.
  2.  Turgor kulit membaik.
  3. Pengisian kapiler nadi perifer kuat.
  4. Haluaran  urine individu sesuai.

Intervensi
Rasional
  1. Berikan cairan IV (biasanya glukosa) elektrolit.
  2. Awasi nilai laboraturium, contoh  Hb/Ht, nat, albumin.



  1. Kaji tanda-tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit.
  2. Awasi intake dan output, bandingkan dengan BB . misal muntah
  1. memberikan terapi cairan dan penggantian elektrolit
  2. menunjukkan hidrasi dan mengidentifikasikan retensi natrium/ kadar protei yang dapat menimbulkan pembentukan edema.
  3. indikator volume sirkulasi/ perfusi.


  1. memberikan informasi tentang kebutuhan penggantian cairan / efek terapi.

  1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, penurunan berat badan
Tujuan      : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nutrisi adekuat.
Kriteria hasil :  -   BB pasien stabil
  -    Konjungtiva tidak anemis
Intervensi
Rasional
Mandiri:
  1. Kaji distensi abdomen

  1. Pantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah

  1. Timbang BB setiap hari.
  2. Berikan makanan /minuman sedikit tapi sering.
  3. Berikan kebersihan oral sebelum makan

Kolaborasi:
  1. Konsul dengan ahli diet sesuai indikasi.


  1. Berikan diet rendah lemak, tinggi serat dan batasi makanan penghasil gas.

  1. Berikan makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) sesuai indikasi.

  1. Monitor laboratorium; albumin, protein sesuai program.
  2. Berikan vitamin-vitaminyang larut dalaam lemak (A, D, E dan K)

  1. Distensi abdomen merupakan tanda non verbal gangguan pencernaan.
  2. Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi dengan mengetahui intake dan output klien.
  3. Mengawasi keefektifan rencana diet
  4. Untuk menurunkan rangsang mual/muntah.
  5. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.

  1. Berguna dalam memenuhi kebutuhan nutrisi individu dengan diet yang paling tepat.
  2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan meminimalkan rangsang pada kantung empedu.
  3. Meningkatkan pencernaan dan absorbsi  lemak serta vitamin yang larut dalam lemak.

  1. Memberi informasi tentang keefektifan terapi.
  2. Vitamin-vitamin tersebut terganggu penyerapannya.

  1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan, ditandai dengan adanya pruritis.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit baik
Kriteria hasil : - tidak ada pruritus/lecet
  - jaringan/ kulit utuh bebas eskortasi
Intervensi
Rasional
Mandiri:
  1. Gunakan air mandi biasa atau pemberian lotion/ cream, hindari sabun alkali. Berikan minyak kalamin sesuai indikasi.
  2. Berikan massage pada waktu tidur.

  1. Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan


  1. Gunting kuku jari, berikan sarung tangan bila diindikasikan.
Kolaborasi:
  1. Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin).
  2. Berikan obat resin kholestiramin (questian).
  3. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. (bilirubin direk dan indirek)


  1. Mencegah kulit kering berlebihan, memberikan penghilang rasa gatal, sekaligus menghindari infeksi.

  1. Bermanfaat dalam meningkatkan tidur dan menurunkan integritas kulit.
  2. Kelembaban meningkatkan pruritus dan meningkatkanresiko kerusakan kulit.
  3. Mencegah pasien dari cidera tambahan pada kulit, khususnya bila tidur.
  4. Antihistamin dapat mengurangi gatal.

  1. Berfungsi untuk mengurangi pruritus dan hiperbilirubinemia.
  2. Bilirubin direk dikonjugasi oleh enzim hepar glukoronitin direk yang dikonjugasi dan tampak dalam bentuk bebas dalam darah atau terikat pada albumin.

  1. Pola nafas tidak efektif b.d peningkatan distensi abdomen
Tujuan : Menunjukkan pola nafas yang efektif
Kriteria Hasil   :
  1. Frekuensi pernapasan bayi umur 6-12 bulan 30x/menit
  2. Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas
  3. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
Intervensi
Rasional
Mandiri:
  1. Kaji distensi abdomen

  1. Kaji RR, kedalaman, dan kerja pernafasan.
  2. Waspadakan klien agar leher tidak tertekuk/posisikan semi ekstensi atau eksensi pada saat beristirahat
Kolaborasi:
  1. Persiapkan operasi bila diperlukan.


  1. dengan mengukur lilitan atau lingkar abdomen
  2. Untuk mengetahui adanya gangguan pernafasan pada pasien
  3. Menghindari penekanan pada jalan nafas untuk meminimalkan penyempitan jalan nafas

  1. Operasi diperlukan untuk memperbaiki kondisi pasien

  1. Ansietas berhubungan dengan minimnya informasi tentang penyakit akibat kurangnya pengetahuan
Tujuan : meningkatkan pemahaman orang tua tentang perawatan pada anak yang sakit
Kriteria hasil : -   Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan.
 -   Berpartisipasi dalam pengobatan.

Intervensi
Rasional
  1. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, dosis, reaksi obat dan tujuannya



  1. Jelaskan pentingnya stimulasi pada anak, pendengaran, visual, sentuhan
  2. Jelaskan pentingnya monitor adanya muntah, mual, dan diare.

  1. Mengidentifikasi area kekurangan dan pengetahuan/ salah informasi dan memberikan kesempatan untuk memberikan informasi tambahan sesuai keperluan.
  2. Stimulasi dapat meningkatkan kekebalan tubuh klien

  1. Membantu perawat dalam melakukan pengkajian selanjutnya terhadap output klien



DAFTAR PUSTAKA

     Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2012. Biliiary Atresia.Diakses dari http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia_508.pdf pada 10 November 2014
https://helda.helsinki.fi/bitstream/handle/10138/38267/lampela_dissertation.pdf?sequence=1
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC
Majalah Kedokteran Andalas, 2009. Vol.33. No.2
Mitchell (et al).2009.Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbin & Cotran. Ed.7.Jakarta:EGC
Pustaka.unpad.ac.id/wp-content/.../pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf di akses pada hari Sabtu 18 Oktober 2014 pukul 06.42
Richard N. Mitchell, et al. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Robbins & Cotran Ed. 7.Jakarta : EGC.
Shires,Schwartz. Spencer.2000.Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed.6. Jakarta:EGC.