BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
- Anatomi dan Fisiologi Nervus Trigeminus
Saraf
trigeminal atau saraf kranial ke 5 terutama memberi persarafan pada
kulit muka, konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung , sinus-sinus dan
bagian frontal dari rongga mulut, juga sebagian besar dari duramater.
Saraf ini keluar dari bagian lateral pons berupa akar saraf motoris dan
saraf sensoris. Akar saraf yang lebih kecil, yang disebut juga portio
minor nervi trigemini, merupakan akar saraf motoris. Berasal dari
nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari
serabut-serabut motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah. Secara
fisiologis perjalanannya akar saraf ini melalui ganglion disebelah
medial dari akar sensoris yang jauh lebih besar, sebelum bergabung
dengan saraf mandibularis pada saat melalui foramen ovale dari os.
Sphenoid. Akar sensoris saraf trigeminal yang lebih besar disebut dengan
portio major nervi trigemini yang memberi penyebaran serupa dengan
akar-akar saraf dorsalis dari saraf spinal.
Akar-akar saraf sensoris ini
akan melalui ganglion trigeminal (ganglion gasseri) dan dari sini
keluar tiga cabang saraf tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris
dan cabang mandibularis. Cabang pertama yaitu saraf optalmikus berjalan
melewati fissura orbitalis superior dan memberi persarafan sensorik
pada kulit kepala mulai dari fissura palpebralis sampai bregma (terutama
dari saraf frontalis) dan suatu cabang yang lebih kecil ke bagian atas
dan medial dari dorsumnasi. Konjungtiva, kornea dan iris, mukosa dari
sinus frontalis dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari duramater
dan pia-arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf
ophtalmikus.
Cabang kedua, yaitu saraf maksilaris memasuki fossa
pterygopalatina melalui foramen maksilaris superior memberikan cabang
saraf zygomatikus yang menuju ke orbita melewati fissura orbitalis
inferior. Batang utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju ke dasar
orbita melewati fissura yang sama. Sewaktu keluar dari foramen infra
orbitalis, saraf ini terbagi menjadi beberapa cabang yang menyebar di
permukaan maksila bagian atas dari wajah bagian lateral dari hidung dan
bibir sebelah atas. Sebelum keluar dari foramen infra orbitalis, didapat
beberapa cabang yang mensarafi sinus maksilaris dan gigi-gigi molar
dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut yang bersebelahan. Cabang
yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf mandibularis.
Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os
sphenoid, selain terdiri dari akar-akar saraf motoris dari saraf
trigeminal, juga membawa serabut-serabut sensoris untuk daerah buccal,
ke rahang bawah dan bagian depan dari lidah, gigi mandibularis,
ginggiva. Cabang aurikulo temporalis yang memisahkan diri sejak awal,
mensarafi daearah didepan dan diatas daun telinga maupun meatus
akustikus eksternus dan membrana tympani. Serabut-erabut sensoris untuk
duramater yang merupakan cabang-cabang dari ketiga bagian saraf
trigeminal berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang berasal dari
intrakranial. Terdapat hubungan yang erat dari saraf trigeminal dengan
saraf otonomik/simpatis, dimana ganglia siliaris berhubungan dengan
saraf ophtalmikus , ganglion pterygopalatina dengan saraf maksilaris
sedangkan ganglion otikus dan submaksilaris berhubungan dengan cabang
mandibularis (Leksmono, 1997).
Nervus
trigeminus merupakan saraf otak terbesar. Nervus trigeminus adalah urat
saraf sensorik yang bekerja pada sebagian besar kulit kepala dan wajah;
selaput lendir mulut, hidung, sinus paranasalis serta gigi. Nervus
trigeminus mempersarafi otot-otot pengunyah melalui sebuah cabang
motorik kecil (Pearce.2009).
Nervus
trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut motoriknya
mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et
eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus
digastrikus.
Inti motoriknya terletak
di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung dengan serabut-serabut
sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri.
Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba dan
perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan
rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif,
terutama berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular
sampai ke ganglion Gasseri.
Nervus trigeminus terbagi menjadi tiga cabang utama yaitu (Pearce.2009) :
- Nervus Optalmikus
Sifatnya
sensorik dan fungsinya mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata
atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
- Nervus Maksilaris
Sifatnya
sensoris dan fungsinya mensarafi gigi-gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, rongga hidung, dan sinus maksilaris.
- Nervus Mandibularis
Sifatnya
majemuk (sensori dan motoris), serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot pengunyah, serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah,
kulit daerah temporal dan dagu. Serabut rongga mulut dan lidah dapat
membawa rangsangan cita rasa ke otak.
Fungsinya
sebagai saraf kembar 3 dimana saraf ini merupakan saraf otak terbesar
yang mempunyai 2 buah akar saraf besar yang mengandung serabut saraf
penggerak. Dan diujung tulang belakang yang terkecil mengandung serabut
saraf penggerak. Di ujung tulang karang bagian perasa membentuk sebuah
ganglion yang dinamakan simpul saraf serta meninggalkan rongga
tengkorak.
Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui berbagai pemeriksaan sebagai berikut (Pearce.2009)
- Pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria).
- Pemeriksaan refleks kornea
- Pemeriksaan
fungsi otot-otot pengunyah. Misalnya dengan menyuruh penderita menutup
kedua rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah
menekan pada gigi-gigi rahang atas, sementara m. Masseter dan m.
Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.
- Fungsi cutaneus, cabang
maxillaris dan mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus
maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan
gingiva. Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi
mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan
persarafan ke gigi diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi
tersebut berasal nervus alveolaris superior ke gigi maxillaris berasal
dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior ke
gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus trigeminus.
- Definisi Neuralgia trigeminal
Neuralgia
adalah nyeri seperti ditusuk yang timbul sesekali, namun singkat dan
berat yang terjadi di sepanjang distribusi suatu saraf. Neuralgia trigeminal (NT) adalah neuralgia pada saraf trigeminal (saraf kranial
kelima) yang bertanggung jawab untuk sensasi di wajah. Trigeminal
neuralgia (Nyeri Wajah) ditandai oleh episode singkat nyeri wajah yang
kuat, menusuk, dan seperti aliran listrik.
Dalam
Konsensus Nasional II kelompok studi nyeri kepala Perdossi, neuralgia
trigeminal dideskripsikan sebagai suatu serangan nyeri wajah dengan
gejala khas berupa nyeri unilateral, tiba – tiba, seperti tersengat
aliran listrik berlangsung singkat, jelas terbatas pada satu atau lebih
distribusi cabang nervus trigeminus. Nyeri umumnya dicetuskan oleh
stimulus ringan dan timbul spontan. Terdapat “ trigger area” diplika
nasolabialis dan atau dagu. Pada umumnya terjadi remisi dalam jangka
waktu yang bervariasi.
Menurut Dr.
Dito Anurogo, Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan
nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut Trigeminal neuralgia,
karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga
cabang saraf Trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan
membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh
terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi
persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh
berbagai penyebab.
- Klasifikasi Neuralgia trigeminal
Menurut klasifikasi IHS (International Headache Society)
membedakan NT klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah
semua kasus yang etiologinya belum diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT
simptomatik dapat akibat tumor, multipel sklerosis atau kelainan di
basis kranii. Sebagai indikator NT simptomatik adalah defisit sensorik
n. Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus bilateral atau kelainan
refleks trigeminus. Tidak dijumpai hubungan antara NT simptomatik dengan
terlibatnya nervus trigeminus cabang pertama, usia muda atau
kegagaralan terapi farmakologik.
Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik.
- Neuralgia Trigeminus Idiopatik.
- Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang maksilaris, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.
- Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul antara beberapa detik sampai menit.
- Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.
- Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering mengidap dibanding laki-laki.
- Neuralgia Trigeminus simptomatik.
- Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus atau nervus infra orbitalis.
- Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul kembali.
- Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf kranial, berupa gangguan autonom (Horner syndrom).
- Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak terbatas pada golongan usia.
- Etiologi Neuralgia Trigeminal
Mengenai
etiologi sampai sekarang juga masih belum jelas, seperti yang
disebutkan diatas tadi tetapi ada beberapa penyebab yang berhubungan
dengan gigi, dari berbagai kepustakaan disebut sebagai berikut. Seperti
diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang kemungkinan
selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan sepsis
tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi
oleh berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan
dapat menjadi penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak
juga penderita dengan infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak
menderita NT. Disisi lain, tidak jarang pula penderita NT yang ditemukan
tanpa menderita infeksi seperti tersebut diatas. (Meliala, 2001)
Etilogy
neuralgia trigeminal masih tidak sepenuhnya dipahami. Ada satu teori
yang menyebutkan bahwa terjadinya karena pembuluh darah, terutama arteri
serebral superior, menjadi dekompresi, sehingga iritasi kronis dari
saraf trigeminal masuk ke bagian akar. Iritasi ini menyebabkan
peningkatan penyalahan kontrol aferen atau saraf sensorik. Faktor risiko
yang dapat memicu adalah multiple sclerosis dan hipertensi. Faktor lain
yang dapat menyebabkan neuralgia termasuk infeksi virus herpes, infeksi
pada gigi dan rahang, dan infark batang otak. (Miller, 2009 dalam Lewis
2011).
Beberapa penyebab trigeminal
neuralgia, yang paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh
darah disekitar saraf trigeminal (sekitar 95 %). Penyebab lainnya adalah
tumor dan penyakit multiple sclerosis. (Rumah Sakit Mitra Keluarga, 2011)
Pada
intinya etiologi dari NT (Neuralgia Trigeminal) masih belum diketahui
secara pasti tapi ada beberpa hal yang dapat menyebabkan NT atau dapat
dikatakan sebagai faktor resiko yang menimbulkan NT.
- Patofisiologi Neuralgia Trigeminal
Patofisiologis
terjadinya suatu neuralgia trigeminal adalah sesuai dengan etiologi
penyakit tersebut. Penyebab terjadinya neuralgia trigeminal adalah
penekanan mekanik oleh pembuluh darah, malformasi arteri vena
disekitarnya, penekanan oleh lesi atau tumor, sklerosis multipel,
kerusakan secara fisik dari nervus trigeminus yang disebabkan karena
pembedahan atau infeksi, dan yang paling sering yaitu secara idiopatik.
Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke brainstem yang paling sering terjadi, sedangkan di atas bagian nervus trigeminus atau portio minor
jarang terjadi. Secara normal, pembuluh darah tidak bersinggungan
dengan nervus trigeminus. Penekanan ini dapat disebabkan oleh arteri
atau vena baik besar maupun kecil yang mungkin hanya menyentuh atau
tertekuk pada nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan akar nervus
ini adalah arteri serebelar superior. Penekanan yang berulang
menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan mielin
(demielinisasi) pada serabut saraf. Akibatnya terjadi peningkatan
aktifitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke
nukleus nervus trigeminus dan menimbulkan gejala neuralgia trigeminal.
Teori ini sama dengan patofisiologi terjadinya neuralgia trigeminal
akibat suatu lesi atau tumor yang menekan atau menyimpang ke nervus
trigeminus (Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004).
Pada
kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang
ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika
sudah melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala
neuralgia trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan
cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya
sklerosis multipel. Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan
akan menimbulkan potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada
saraf. Aktivitas ektopik ini terutama disebabkan karena terjadinya
perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium sehingga
menurunnya nilai ambang membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan
ephaptic antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang
rendah dapat mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after discharge. Selain itu, aktivitas aferen menyebabkan dikeluarkannya asam amino eksitatori glutamat. Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-amino-3-hidroxy-5- methyl-4-isaxole propionic acid
(AMPA) di post-sinap sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi.
Aktivitas yang meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat
lain N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium yang
menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan
menyebabkan saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi peningkatan
kalsium intra seluler. Mekanisme inilah yang menerangkan terjadinya
sensitisasi sentral sehingga timbul nyeri.
- Manifestasi Klinis Neuralgia Trigeminal
Menurut Baughman (2000) Manifestasi klinis yang muncul pada kasus neuralgia trigeminal adalah sebagai berikut:
- Nyeri
dirasakan pada kulit, bukan pada struktur yg lebih dalam, lebih gawat
pada area perifer dari distribusi dari syaraf yang terkena, yaitu pada
bibir, dagu, lobang hidung, dan pada gigi.
- Paroksisme dirangsang
oleh stimulasi dari terminal dari cabang-cabang saraf yang terkena,
yaitu mencuci muka, mencukur, menyikat gigi, makan dan minum.
- Aliran
udara dingin dan tekanan langsung pada saraf trunkus dapat juga
menyebabkan nyeri. Hal tersebut terjadi karena aliran udara dingin
mengenai trigger area atau area nyeri pada bagian percabangan
dari saraf trigeminus (saraf kranial kelima). Aliran udara dingin
termasuk stimulus non-noksius (stimulus yang berupa perabaan ringan,
getaran atau stimulus mengunyah).
- Titik pencetus adalah area pasti dimana sentuhan yang paling ringan dengan segera mencetuskan paroksisme.
Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut : (olesen, 1988; Passon, 2001; Sharav, 2002; Brice, 2004)
- Rasa
nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam,
seperti menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau
terbakar yang berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit
tetapi kurang dari dua menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan
biasanya ada interval bebas nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan.
- Lokasi
nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan yang
karakteristik nyeri unilateral.Tersering nyeri didaerah distribusi
nervus mandibularis (V2) 19,1% dan nervus maksilaris (V3) 14,1% atau
kombinasi keduanya 35,9% sehingga paling sering rasa nyeri pada setengah
wajah bawah. Jarang sekali hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3)
3,3%. Sebagian pasien nyeri terasa diseluruh cabang nervus trigeminus
(15,5%) atau kombinasi nervus maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang
ditemukan kombinasi nyeri pada daerah distribusi nervus optal mikus dan
mandibularis (0,6%). Nyeri bilateral 3,4%, nyeri jarang terasa pada
kedua sisi bersamaan, umumnya diantara kedua sisi tersebut dipisahkan
beberapa tahun. Kasus bilateral biasanya berhubungan dengan sklerosis
multipleatau familial.
- Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan
oleh stimulus non-noksius seperti perabaan ringan, getaran, atau
stimulus mengunyah. Akibatnya pasien akan mengalami kesulitan atau
timbul saat gosok gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur wajah,
tersentuh wajah, membasuh muka bahkan terhembus angin dingin. Biasanya
daerah yang dapat mencetuskan nyeri (triger area) diwajah bagian depan,
sesisi dengan nyeri pada daerah percabangan nervus trigeminus yang
sama. Bila triger area didaerah kulit kepala, pasien takut untuk
berkeramas atau bersisir.
- Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat
mengalami remisi dalam satu tahun atau lebih. Pada periode aktif
neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan beratnya
serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu.
- Sekitar
18% penderita dengan trigeminal neuralgia, pada awalnya nyeri atipikal
yang makin lama menjadi tipikal, disebut preneuralgia trigeminal. Nyeri
terasa tumpul, terus-menerus pada salah satu rahang yang berlangsung
beberapa hari sampai beberapa tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan
nyeri berdenyut sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental. Pemberian
terapi anti konvulsan dapat meredakan nyeri preneuralgia trigeminal
sehingga cara ini dapat dipakai untuk membedakan kedua nyeri tersebut.
- Pada
pemeriksaan fisik dan neurologik biasanya normal atau tidak ditemukan
defisit neurologik yang berarti. Hilangnya sensibilitas yangbermakna
pada nervus trigeminal mengarah pada pencarian proses patologik yang
mendasarinya, seperti tumor atau infeksi yang dapat merusak syaraf. Pada
tumor selain nyerinya atipikal dan hilangnya sensibilitas, disertai
pula gangguan pada syaraf kranial lainnya.
- Karakteristik Neuralgia Trigeminal
Ciri
khas neuralgia trigeminal adalah nyeri seperti tertusuk-tusuk singkat
dan paroksismal, yang untuk waktu yang lama biasanya terbatas pada salah
satu daerah persarafan cabang nervus V. Nyeri cenderung menyebar ke
daerah persarafan cabang lain. Penampakan klinis yang khas adalah nyeri
dapat dipresipitasi oleh sentuhan pada wajah, seperti saat cuci muka
atau bercukur, berbicara, mengunyah dan menelan. Nyeri yang timbul
biasanya sangat berat sehingga pasien sangat menderita. Nyeri seringkali
menimbulkan spasme reflex otot wajah yang terlibat sehingga disebut ‘tic douloreaux’, kemerahan pada wajah, lakrimasi dan salvias (Walton,1985).
Pada
neuralgia trigeminal seringkali tidak ditemukan berkurangnya
sensibilitas tetapi dapat ditemukan penumpulan rangsang raba atau
hilangnya refleks kornea walaupun jarang. Serangan yang timbul dapat
mengurangi nafsu makan, rekurensi dalam jangka lama dapat menyebabkan
kehilangan berat badan, depresi hingga bunuh diri. Untungnya, serangan
biasa berhenti pada malam hari, walaupun pasien dapat juga terbangun
dari tidur akibat serangan. Remisi dari rasa sakit selamam
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan merupakan tanda dari penyakit
tahap awal.(Walton,1985).
- Pemeriksaan Diagnostik Neuralgia Trigeminal
Tidak
ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal. Diagnosa
neuralgia trigeminal dibuat berdasarkan anamnesa pasien secara teliti
dan pemeriksaan fisik yang cermat. Pada pemeriksaan fisik neurologi
dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita
sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan test
sensibilitas untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus
bilateral.Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot
masseter (otot pengunyah) dan fungsi otot pterygoideus (Rabinovich,et
al,2000).
Adapun pemeriksaan diagnostic yang bisa dilakukan pada kasus neuralgia trigeminal antara lain adalah:
- Pemeriksaan radiologis
CT scan
dan MRI atau pengukuran elektrofisiologis periode laten kedipan dan
refleks rahang dikombinasikan dengan elektromiografi masseter dapat
digunakan untuk membedakan kasus-kasus simtomatik akibat gangguan
struktural dari kasus idiopatik.
- Pemeriksaan
tambahan baru diperlukan kalau ada keluhan neuralgia trigeminal pada
orang-orang muda; karena biasanya ada penyebab lain yang tersembunyi.
Itu pun perannya terbatas untuk eliminasi. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan: Rontgen TMJ (temporomandibular joint) dan MRI otak (untuk menyingkirkan tumor otak dan multiple sclerosis).
- Pengukuran
potensial somatosensorik yang timbul setelah perangsangan nervus
trigeminus dapat juga digunakan untuk menentukan kasus yang disebabkan
oleh ektasis arteri sehingga dapat ditangani dengan dekompresi operatif
badan saraf pada fossa posterior.
- Penatalaksanaan Neuralgia Trigeminal
- Terapi Medikamentosa
Berdasarkan
kesepakatan bahwa penanganan lini pertama untuk trigeminal neulalgia
adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan
apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan (Losser,2001).
Setiap
pasien memiliki toleransi yang berbeda terhadap obat-obatan dan rasa
sakitnya. Oleh karena itu, banyak faktor yang harus diperhatikan dalam
pemberian obat anti konvulsan untuk pengobatan trigeminal neuralgia.
Pemberian obat diberikan secara bertahap, diawali dengan dosis minimal,
jika terjadi peningkatan progresivitas rasa sakit maka dosis dinaikkan
sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi tubuh. Pada penggunaan
dosis diatas minimal, dalam pengurangan dosis, juga harus dilakukan
secara bertahap.
Terapi Medikamentosa pada kasus Neuralgia Trigeminal antara lain adalah sebagai berikut:
- Obat antikonvulsan
Obat
anti konvulsan dapat mengurangi serangan trigeminal neuralgia dengan
menurunkan hiperaktifitas nukleus nervus trigeminus di dalam brainstem
(Ganiswara, 1995; Peterson, 1998; Kaufmann AM, 2001; Sharav, 2002;
Brice, 2004).
Obat-obatan jenis ini
seperti karbamazepin (Tegretol) dan fenitoin (Dilantin) berfungsi untuk
mengurangi transmisi impuls pada ujung saraf tertentu, selain itu juga
bisa melegakan nyeri pada kebanyakan pasien. Cara yang dilakukan dalam
penanganan kasus neuralgia trigeminus adalah dengan memberikan tegretol
yang diminum bersamaan dengan makan, dengan dosis yang secara bertahap
ditingkatkan sampai diperoleh rasa lega. Setiap obat pasti memiliki efek
samping, sehingga kita harus mengamati efek samping termasuk mual,
pusing, ngantuk, dan disfungsi hepar (Baughman & Hackley, 2000).
Monitoring
pasien terhadap depresi sumsum tulang belakang selama terapi oleh
jangka panjang juga sangat penting. Selain efek samping dari obat
tegretol, obat fenitonin juga sering menimbulkan efek samping seperti
mual-mual, pusing, somnolen, ataksia, dan alergi kulit.
Obat antikonvulsan secara rinci akan dibahas di bawah ini:
- Karbamazepine (Tegretol)
Karbamazepine
memperlihatkan efek analgesik yang selektif misalnya pada dorsalis dan
neuropati lainnya yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Sebagian
besar penderita trigeminal neuralgia mengalami penurunan sakit yang
berarti dengan menggunakan obat ini. Namun, potensi untuk menimbulkan
efek samping sangat luas khususnya gangguan darah seperti leukopeni,
anemia aplastik dan agranulositosis maka pasien yang akan diterapi
dengan obat ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nilai basal dari
darah dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan. Efek samping
yang timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness, mental confusion, dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea dan anorexia. Terdapat juga reaksi serius yang tidak berhubungan dengan dosis yaitu allergic skin rash, gangguan darah seperti leukopenia atau agranulocytosis, atau aplastic anemia, keracunan hati, congestive heart failure (CHF), halusinasi dan gangguan fungsi seksual.
Pemberian
karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit abnormal (rendah). Jika
efek samping yang timbul parah, dosis karbamazepine perhari dapat
dikurangi 1-3 perhari, sebelum mencoba menambah dosis perharinya lagi.
Karbamazepine diberikan dengan dosis berkisar 600-1200 mg, dimana hampir
70% memperlihatkan perbaikan gejala. Meta analisa tegretol yang berisi
karbamazepine mempunyai number needed to treat (NNT) 2,6 (2,2-3,3).
Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2 pil perhari, yang secara bertahap
dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau mulai timbul efek samping.
Selama periode remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap.
Karbamazepine dapat dikombinasi dengan fenitoin atau baklofen bila nyeri
belum bisa diatasi, atau diubah ke obat oxykarbazepine.
- Oxykarbazepine (Trileptal)
Oxikarbazepine
merupakan ketoderivat karbamazepine dimana mempunyai efeksamping lebih
rendah dibanding dengan karbamazepine dan dapat meredakan nyeri dengan
baik. Trileptal atau oxikarbazepine merupakan suatu bentuk dari
trigretol yang efektif untuk beberapa pasien trigeminal neuralgia. Dosis
umumnya dimulai dengan 2x300mg yang secara bertahap ditingkatkan untuk
mengontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 2400-3000mg perhari. Efek
samping yang paling sering adalah nausea, mual, dizziness, fatique dan
tremor. Efek samping yang jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran
pernafasan, pandangan ganda dan perubahan elektrolit darah. Seperti obat
anti-seizure lainnya, penambahan dan pengurangan obat harus secara
bertahap.
- Phenytoin (Dilantin)
Phenitoin
merupakan golongan hidantoin dimana gugus fenil atau aromatik lainnya
pada atom C5 penting untuk pengendalian bangkitan tonik-klonik.
Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.
Sifat antikonvulsan obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran
rangsang dari fokus kebagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel
lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung.
Phenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel,
dalam hal ini khususnya dengan lebih mengaktifkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna.
Phenitoin
harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan karbamazepine karena
dapat menurunkan dan kadang-kadang menaikkan kadar phenitoin dalam
plasma, sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.
Phenitoin dengan kadar dalam serum 15-25 g/mL pada 25% pasien trigeminal
neuralgia dapat meredakan nyeri. Kadar obat tersebut diatas
dipertahankan selama 3 minggu, jika nyeri tidak berkurang sebaiknya obat
dihentikan karena dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan toksisitas.
Phenytoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal
neuralgia dengan dosis 300-500 mg dibagi dalam 3 dosis perhari.
Phenytoin dapat juga diberikan secara intra vena untuk mengobati
kelainan ini dengan eksaserbasi yang berat. Dosis maksimum tergantung
keparahan efek samping yang ditimbulkannya adalah nystagmus, dysarthria,
ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta kebingungan. Efek lainnya
adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis. Komplikasi serius tapi
jarang terjadi adalah allergic skin rashes, kerusakan liver dan gangguan
darah.
- Baklofen (Lioresal)
Baklofen
tidaklah seefektif karbamazepine atau phenytoin, tetapi dapat
dikombinasi dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada pasien yang
baru terdiagnosa dengan rasa nyeri relatif ringan dan tidak dapat
mentoleransi karbamazepine. Dosis awalnya 2-3x5 mg dalam sehari, dan
secara bertahap ditingkatkan. Dosis untuk menghilangkan rasa sakit
secara komplit 50-80 mg perhari. Baklofen memiliki durasi yang pendek
sehingga penderita trigeminal neuralgia yang berat membutuhkan dosis
setiap 2-4 jam. Efek samping yang paling sering timbul karena pemakaian
baklofen adalah mengantuk, pusing, nausea dan kelemahan kaki. Baklofen
tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba setelah pemakaian lama karena
dapat terjadi halusinasi atau serangan jantung.
- Gabapentin (Neurontin)
Gabapentin
dengan struktur seperti neurotransmiter inhibitor gammaaminobutyric
acid (GABA). Obat ini kemungkinan bekerja dengan memodulasi saluran
kalsium pada alfa-2 delta subunit dari voltage-dependent calcium chanel.
Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama
efektifnya dengan karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit.
Dosis awal biasanya 3x300 mg/hari dan ditambah hingga dosis maksimal.
Reaksi merugikan paling sering adalah somnolen, ataksia, fatique dan
nystagmus. Seperti semua obat, penghentian secara cepat harus dihindari.
- Injeksi alkohol
Selain
menggunakan obat-obat di atas biasanya juga menggunakan injeksi
alkohol. Cara melakukan injeksi alkohol pada kasus neuralgia trigeminal
adalah sebagai berikut:
- Injeksi pada ganglion gasserian dan cabang perifer dari saraf trigeminal.
- Mengurangi nyeri selama beberapa bulan.
- Terapi Non Medikamentosa
- Pembedahan
Terapi
non-medis (bedah) dipilih jika kombinasi lebih dari dua obat belum
membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter menyebutkan
bahwa pembedahan disiapkan untuk mereka yang tidak dapat mentoleransi
efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi medis tidak efektif.
Terdapat beragam cara pembedahan, dari yang paling kuno, yang dapat
menimbulkan kecacatan (biasanya pendengaran dan gerak otot wajah) cukup
besar, sampai cara yang lebih modern yang hanya sedikit atau hampir
tidak pernah dijumpai efek samping.
- Radiofrequency rhizotomy
Hingga
kini masih populer karena relatif aman dan murah, tetapi cara ini
mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang
dapat muncul adalah terjadinya anestesi kornea, rasa kesemutan, dan
kelemahan rahang yang kadang-kadang bisa mengganggu.
Prosedur ini akan memasukkan sebuah introducer elektroda
(jarum) melalui kulit pipi ke saraf, dipilih pada dasar tengkorak.
Serabut saraf tak bermielin kecil dan yang bermielin tipis yang
menghantarkan nyeri rusak oleh panas dari elektroda. Cara ini dapat
meredakan neuralgia (nyeri saraf) dengan menghancurkan beberapa bagian
dari saraf yang menyebabkan rasa sakit dan dengan menekan sinyal rasa
sakit ke otak.
- Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
Cara
ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Hipotesis
yang dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik dan bekerja
pada serabut saraf yang sudah mengalami demielinisasi, menghasilkan
cedera relatif ringan ke saraf sehingga menghilangkan compound action potential pada serabut Trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri dengan resiko minimal mati rasa permanen pada wajah.
- Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife
Merupakan
perkembangan yang masih relatif baru. Tekniknya dengan cara memfokuskan
sinar Gamma pada akar saraf trigeminal sehingga berlaku seperti
prosedur bedah, dengan menghancurkan beberapa bagian dari saraf yang
menyebabkan rasa sakit dan dengan menekan sinyal rasa sakit ke otak
namun tanpa membuka kranium sehingga jaringan sehat di sekitarnya tidak
ikut rusak.
- Ballon Compression
Prosedur
ini bertujuan untuk melukai bagian dari ganglion Trigeminus menggunakan
kompresi balon. Kompresi balon dilakukan di bawah anestesi umum.
Menggunakan kontrol X-ray atau yang biasa dikenal sebagai fluoroscopy.
Ahli bedah menempatkan jarum panjang melalui pipi sampai ke dasar otak,
dan melalui lubang kecil di tengkorak untuk mencapai ganglion.
- Microvascular Decompression
Mikrovaskuler
dekompresi (MVD) adalah prosedur bedah yang paling umum untuk
pengobatan neuralgia trigeminal akibat kompresi vascular pada saraf. MVD
melibatkan pembedahan tengkorak (kraniotomi) dan mengekspos saraf di
dasar batang otak untuk menyisipkan spons kecil antara saraf dan
pembuluh darah yang mengkompresi saraf tersebut. Spons ini mengisolasi
saraf dari efek berdenyut dan tekanan pembuluh darah.
- Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan
Hal
lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan
pembedahan adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti
depresan yang dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak dan
mempengaruhi neurotransmitter baik pada depresi maupun sensasi nyeri,
juga dapat dilakukan teknik konsultasi biofeedback (melatih otak untuk
mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik relaksasi.
Kompresi nervus trigeminus
|
Eksresi asam amino eksitatori glutamat
|
Potensial aksi & aktivasi reseptor glutamate lain N-methyl-D-aspartate (NMDA)
|
Letupan spontan intraneuron N. Trigeminus
|
MK. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
|
Peningkatan aktifitas aferen serabut saraf
|
MK. Gangguan perfusi jaringan serebri
|
Kompresi pembuluh darah arteri-vena
|
Malformasi pembuluh darah arteri-vena
|
Tumor (Neurinoma akustik, osteoma, angioma, dsb)
|
Pencabutan gigi yang tidak benar
|
Oksigen tidak bisa masuk ke otak
|
Infeksi mandibula dan atau maxila
|
Sinusitis dan trauma pada hidung
|
MK. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
|
Medikamentosa yang terlalu jangka lama dengan antikonvulsan
|
Web of Causation (WOC) Neuralgia Trigeminal
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN NEURAGIAL TRIGEMINAL
- Pengkajian Keperawatan
Berikut ini adalah tahap pengkajian keperawatan klien dengan trigeminal neuralgia menurut Doenges, Marylinn E. (2000).
- Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa,
pekerjaan, suku/kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal masuk rumah
sakit.
- Keluhan utama
Nyeri pada bibir, dagu, lobang hidung,
dan pada gigi (daerah perifer, bukan pada struktur yang lebih dalam).
Nyeri bersifat tajam seperti tertusuk atau tersetrum listrik yang
terjadi di sepanjang satu atau lebih cabang inervasi N. V. Nyeri dapat
tercetus oleh rangsangan ringan (alodinia) seperti terpapar angin,
berbicara,mengunyah atau cuci muka.
- Riwayat penyakit sebelumnya
Mengkaji apakah ada penyakit pada bagian sistem saraf pusat yang mengarah pada penyebab peradangan saraf trigeminal.
- Anamnesis
Terdapat serangan nyeri paroksismal
dengan awitan tiba-tiba yang berlangsung selama beberapa detik sampai
kurang dari 2 menit. Nyeri bersifat tajam seperti tertusuk atau
tersetrum listrik yang terjadi di sepanjang satu atau lebih cabang
inervasi N. V. Nyeri dapat tercetus oleh rangsangan ringan (alodinia)
seperti terpapar angin, berbicara,mengunyah atau cuci muka. Pada
anamnesa yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri, kapan
dimulainya nyeri, menentukan interval bebas nyeri, menentukan lamanya,
efek samping, dosis dan respons terhadap pengobatan, menanyakan riwayat
penyakit lain seperti ada penyakit herpes atau tidak, dsb.
- Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat
ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan
diluar serangan tampak normal. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Pada B3 ditemukan gangguan sensorik berupa hiperalgesi dan aldonia.
- Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (termasuk refleks kornea).
- Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu)
- Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
seperti CTscan kepala atau MRI kepala. MRI dan CT-scan hanya dilakukan
atas indikasi, misalnya terdapat kecurigaan penekanan radiks N. V oleh
aneurisma. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Rontgen TMJ
(Temporomandibular Joint). CTscan kepala dari fossa posterior bermanfaat
untuk mendeteksi tumor yang tidak terlalu kecil dan aneurisma. MRI
sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat dildihat hubungan antara
saraf dan pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang masih kecil.
MRI juga diindikasikan pada penderita
dengan nyeri yang tidak khas distribusinya atau waktunya maupun yang
tidak mempan pengobatan. Indikasi lain misalnya pada penderita yang
onsetnya masih muda, terutama bila jarang-jarang ada saat-saat remisi
dan terdapat gangguan sensibilitas yang obyektif. Selain itu harus
diingat, bahwa neuralgia trigeminal yang klasik dengan hanya sedikit
atau tanpa tanda-tanda abnormal ternyata bisa merupakan gejala-gejala
dari tumor fossa posterior.
- Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada klien dengan trigeminal neuralgia menurut Muttaqin, Arif (2010) dan
Ackley, Betty J., Gail B. Ladwig (2013) adalah sebagai berikut.
- Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal dan inflamasi arteri temporalis.
- Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
- Koping individu tak efektif b/d nyeri berat, ancaman berlebih pada diri sendiri.
- Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
- Ansietas (cemas) b/d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
- Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri b/d kurang pengetahuan tentang pencegahan rangsangan pemicu rasa nyeri.
- Risiko cedera pada mata b/d faktor resiko : kemungkinan penurunan sensasi kornea
- Intervensi Keperawatan
- Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal dan inflamasi arteri temporalis.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam, nyeri berkurang atau dapat diadaptasi oleh
klien.
Kriteria hasil :
- Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
- Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
- Ekspresi wajah pasien tidak nampak kesakitan
- Klien tidak gelisah
- Skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
|
Intervensi | Rasional |
Tindakan Mandiri
- Kaji terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien meliputi:
P = pencetus nyeri yang dirasakan klien
Q = kualitas nyeri yang dirasakan klien apakah tertusuk, tertimpa batu
R = daerah yang mengalami nyeri
S = skala nyeri yang dirasakan klien (0-10)
T = Waktu timbulnya nyeri
|
- Dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan pada pasien.
|
Pastikan durasi/ episode nyeri
| Memudahkan pilihan intervensi yang sesuai |
Teliti keluhan nyeri | Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien |
Bantu klien dalam identifikasi faktor pencetus | Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan berbaring lama |
Evaluasi perilaku nyeri | Dapat diperkuat karengan persepsi pasien tentang nyeri tidak dapat dipercaya |
Anjurkan pada klien untuk mengurangi aktivitas yang berat dan menambah waktu istirahat | Menghindari stimulus nyeri dan meningkatkan rasa nyaman
|
Kompres hangat atau dingin pada daerah yang nyeri
| Kompres
dingin dapat mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan
nyeri. Kompres hangat dapat meningkatkan sirkulasi darah dan menurunkan
tegangan otot
|
Ajarkan
relaksasi: teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang
dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase | Relaksasi
dapat melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan oksigen oleh
jaringan akan terpenuhi sehingga akan mengurangi nyerinya |
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut
| Mengalihkan perhatian ke hal-hal yang menyenangkan |
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
| Pengetahuan
akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik |
Sampaikan
perhatian anda atas respon pasien terhadap nyeri. Berukan kesempatan
kepada pasien untuk membicarakan ketakutan, kemarahan, dan rasa
frustasinya secara pribadi, pahami sulitnya situasi yang dihadapi.
- Benarkan adanya rasa nyeri.
- Dengarkan dengan penuh perhatian mengenai nyeri yang dikeluhkan.
- Sampaikan
bahwa perawat mengkaji nyeri karena ingin mengerti lebih tentang nyeri
yang dialami (bukan untuk memulai apakah nyeri tersebut benar-benar
ada).
| Memberikan
rasa nyaman pada pasien untuk mengekspresikan nyerinya dan mengurangi
rasa nyeri secara psikologis (memberikan dukungan emosi)
|
Observasi
tingkat nyeri dan respon motorik klien 30 menit setelah pemberian obat
analgesik untuk mengkaji efektifitasnya. Setiap 1-2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari | Pengkajian
yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat |
Tindakan kolaborasi
- Obat anti konvulsif karbamazepin (tregetol) dan fenitoin (dilantin)
- Berikan tregetol yang diminum bersama makan, dengan dosis secara bertahap ditingkatkan sampai diperoleh rasa lega.
- Injeksi Alkohol :
a). Injeksi alkohol dilakukan pada ganglion gasserian dan cabang perifer dari saraf trigeminal yang terganggu
b). Injeksi alkohol perifer memiliki peran dalam pengelolaan neuralgia trigeminal
|
- Mengurangi transmisi impuls pada ujung saraf tertentu, melegakan nyeri pada kebanyakan pasien.
- Cara
kerjanya pada membran permeabilitas menunjukkan bahwa kandungan
tegretol dalam carbamazepine menutup saluran natrium pada konsentrasi
terapi dan dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif,
menghalangi kerusakan neuron yang berulang dan mengurangi perambatan
sinaptik impuls.
a). Berfungsi untuk mengurangi nyeri selama beberapa bulan.
b).
Berguna pada mereka yang refrakter terhadap manajemen medis dan pada
mereka yang tidak mampu atau tidak mau menjalani perawatan bedah saraf.
Alkohol blok ini sifatnya tidak permanen karena nyeri kembali setelah
saraf berregenerasi.
|
- Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
Tujuan : Dalam 1 minggu berat badan pasien meningkat
Kriteria Hasil :
- Meningkatkan BB dalam batas ideal
- Pasien terlihat tidak lemas
- Hasil Lab Albumin normal
|
Intervensi | Rasional |
Observasi kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi sekresi | Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi |
Timbang berat badan sesuai indikasi
| Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi |
Mencatat intake dan output makanan pasien | Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi pasien |
Edukasikan pada pasien tentang makan makanan yang lunak | Makanan yang lunak dapat meminimalisir rangsang nyeri |
Menganjurkan pada pasien menguyah pada sisi yang tidak sakit | Agar asupan nutrisi tetap terpenuhi
|
Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
| Meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan
dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan. |
Ciptakan lingkungan yang nyaman unutk pasien | Lingkungan yang nyaman disekitar pasien dapat meningkatkan nafsu makan pasien |
Kolaborasi dengan ahli gizi unutk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit | Merupakan
sumber yang efektif untuk mengidentifikasikan kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh dan keadaan penyakit. |
- Koping individu tak efektif b/d nyeri berat, ancaman berlebih pada diri sendiri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, koping pasien baik
Kriteria hasil :
- Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
- Menyatakan kesadaran kemampuan koping/kekuatan pribadi
- Mengidentifikasi situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari
- Mendemonstrasikan keterampilan metode koping efektif
|
Intervensi | Rasional |
Kaji kapasitas fisiologi yang bersifat umum | Nyeri dapat mengurangi kemampuan koping |
Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatian | Menemukan kebutuhan psikologis yang akan meningkatkan harga diri |
Bantu pasien dalam memahami perubahan konsep citra tubuh | Pasien
mungkin menganggap dirinya sebagai seseorang “yang mengalami nyeri” dan
mulai melihat dirinya sebagai seorang yang tidak mengalami nyeri |
Kaji keefektifan strategi koping | Mekanisme
adaftif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang , menghindari
hipertensi kronis, mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam
kehidupan sehari – hari. |
Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, konsentrasi, peka rangsangan, toleransi sakit kepala | Manifestasi
mekanisme koping maladaftif mungkin merupakan indikator, marah yang
ditekan dan diketahui telah menjadi penentu tekanan darah diastolik |
Bantu pasien mengidentifikasi stressor | Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respons seseorang terhadap stressor |
Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan | Keterlibatan
memberikan pasien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan,
memperbaiki keterampilan koping, dan dapat meningkatkan kerja sama dalam
regimen terapiutik. |
Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas/tujuan hidup | Fokus realitas pasien pada situasi yang ada relatif terhadap pandangan pasien tentang apa yang diinginkan |
Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup | Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistik untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya |
- Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam, kecemasan klien hilang atau berkurang
Kriteria Hasil :
- Klien mampu mengenal perasaannya,
- Klien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya
- Klien menyatakan ansietas berkurang atau hilang
|
Intervensi | Rasional |
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien dan lakukan tindakan bila timbul perilaku merusak | Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah |
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat | Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu |
Tingkatkan kontrol sensasi klien | Kontrol
sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap
sumber–sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan
relaksasi dan teknik pengalihan serta memberikan respon balik yang
positif |
Memberi kesempatan pada klien mengungkapkan kecemasannya | Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan |
Bantu klien mengekspresikan marah, kehilangan, dan takut | Cemas yang berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung sselanjutnya. |
Hindai konfrontasi | Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan |
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat | Memberi
waktu untuk mengekspresikan perasaan menghilangkan cemas dan perilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman yang dipilih klien melayani
aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan
terisolasi. |
- Ansietas (cemas) b/d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
Tujuan : Dalam
jangka waktu 1 x 30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman
yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya
Krieria Hasil :
- Klien mengatakan mengetahui tentang penyakit, pengobatan pada gejala-gejala yang timbul
- Klien dapat mengikuti instrukasi yang diberikan secara akurat
|
Intervensi | Rasional |
Jelaskan tentang penyakit yang di derita klien. | Memberi pemahaman pada klien |
Berikan pendidikan kesehatan tentang nama obat, dosis, waktu dan cara pemakian, efek samping, cara mengukur intake output. | Memberi pemahaman kepada pasien. Meningkatkan partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat |
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan | Meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan |
Kaji ulang resiko efek samping pengobatan | Mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien |
Mendorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan | Memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan
|
Jelaskan pentingnya tindak lanjut rawat jalan yang teratur. | Agar pasien tahu pentingnyapemantauan penyakit |
- Evaluasi Keperawatan
Dx 1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal
S: Klien mengatakan rasa nyeri telah hilang dan klien merasa nyaman
O:Ekspresi klien kembali normal (tidak gelisah); TTV dalam batas normal (HR: 60x/menit; RR: 18x/menit; TD:110/80 mmHg)
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Dx 2. Ketidakseimbangan nutrisi: : kurang dari kebutuhan tubuh b/d sakit saat mengunyah
S:Klien mengatakan mampu untuk makan seperti biasa tanpa rasa sakit saat mengunyah
O:BB meningkat; porsi makan habis
A:Masalah teratasi sebagian (BB belum mencapai batas ideal)
P:Intervensi dilanjutkan
Dx 3. Koping individu tidak efektif b/d krisis situasional (nyeri akut)
S: Klien mengatakan mampu memanajemen koping dengan baik
O: Kebutuhan tidur klien cukup; klien turut terlibat dalam perencanaan asuhan keperawatan
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Dx 4. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan
S: Klien mengatakan tidak lagi merasa cemas karena penyakitnya
O: Ekspresi wajah klien tampak tenang dan nyaman; klien mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dihentikan
Dx 5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan
S: Klien mengatakan paham tentang penyakit yang diderita dan pengobatannya
O: Klien mampu mengikuti intruksi yang diberikan; klien mampu mengulang edukasi yang telah diberikan
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, Betty J., Gail B. Ladwig. 2013. Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based Guide to Planning Care, Tenth Edition. United State of America : Elsevier
Anurogo, Dito. 2008. NEURALGIA TRIGEMINAL: Penatalaksanaan dan Kesimpulan (Bagian III–Tamat). http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080414210453, Akses tanggal 11-04-2014.
Baughman, Diane C., Hackley, JoAnn C., 2000. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Burchiel, J. Kim., 2002. Surgical Management of Pain. New York: Thieme.
Carpenito-Moyet. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Ginsberg, Lionel., 2005. Lecture Notes: Neurologi Edisi 8. Jakarta: Erlangga.
Lewis, Sharon L. 2011. Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problem. 8th ed. United State of America : Elsevier
Loeser JD, 2001, Cranial Neuralgia, In :
Banica’s Management of Pain, Philadelphia, Lipincott William &
Wilkins, co : 855-61.
Lozano, M. Andres et all. 2009. Textbook of Stereotactic and Functional Neurosurgery. Berlin: Springer.
Marjono, Mahar & Priguna, Sidharta., 1998. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. p.149-59
Meliala dkk .2001.Nyeri Neuropatik: Patofisiologi dan Penatalaksanaan. hal 129-137
Muttaqin, Arif. (2010). Pengantar Asuhan Keperawatan KLien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Pearce, Evelyn c. 2009.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
P, Leksmono.1997.Neuralgia Trigeminal, PKB III Ilmu Penyakit Saraf, Nyeri : Diagnosis dan Penatalaksanaannya.Surabaya.hal : 19-35
Rabinovich, A. Fang Y., Scrivani, S., 2000. Diagnosis and Management of Trigeminal Neuralgia. Columbia: Dental Review.
Riawan, Lucky. 2011. Pada
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/10/pustaka_unpad_terapi_medikamentosa_pada_trigeminal_neuralgia.pdf.
Diakses pada 11 april 2014. Pukul 14.00 WIB.
Ropper AH and Robert H B. Adams And Victor’s., 2006. Principles Of Neurology 8th ed. New York: McGraw-Hill; p.161-3.
Rubenstein, David dkk., 2003. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi 6. Jakarta: EMS (Erlangga Medical Series).
Rumah Sakit Mitra Keluarga Group. 2011. Trigeminal Neuralgia and Hemifacial Spasm Care Center. Diakses pada tanggal 11 April 2014 dari Website : www.mitrakeluarga.com.
http://www.perdossi.or.id/doc/cpd/attachment/308/3026/NEURALGIA%20TRIGEMINAL%20naskah.doc (diakses pada 13 april 2014 pukul 13.38 WIB).
Siqueira et al.2004.Idiopathic Trigeminal Neuralgia: Clinical Aspects and Dental Procedures, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radio Endod. 98:311-315.
Turkingston, Carol A. 2006. Trigeminal Neuralgia. In: Stacey L C and Brigham N, editors. The Gale Encyclopedia Of Neurological Disorder. Detroit: Thomson Gale
Walton, E. Richard, Torabinejad, Mahmoud., 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Jakatra: EGC.
Walton, Sir John. 1985. Brain’s Disease of Nervous System. New York: Oxford Universiy Press.
Wirawan RB. 2009.Manajemen Neuralgia Trigeminal, dalam Sjahrir H, Anwar Y, Kadri A.S, Neurology Up Date. hal : 69-72.
http://www.scribd.com/doc/212663223/Neuralgia-Trigeminal-Naskah diakses pada 13 April 2014 pukul 11.08 WIB
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/10/apa-itu-neuralgia-trigeminal-190519.html
diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB
http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/OverseasReferral/bh/Conditions/Pages/Trigeminal-Neuralgia-Facial-Pain.aspx
diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB
http://kamuskesehatan.com/arti/neuralgia-trigeminal/ diakses pada 13 April 2014 pukul 20.00 WIB