Asuhan Keperawatan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008)...

Materi Intepretasi EKG Normal

Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung sedangkan Elektrokardigram ( EKG ) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung...

Liburan Murah Bersama Alam di Hutan Pinus Pandaan

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki puluhan destinasi wisata yang menarik. Banyak para pelancong yang akhirnya melabuhkan hatinya di Pasuruan...

Mahasiswa FKp Satu-Satunya Delegasi Keperawatan pada Kompetisi Riset Dunia

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga mengirimkan satu tim delegasi untuk mengikuti Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting-14 (HISAS-14) di Hokkaido...

Kisah Inspiratif Dua Pedagang Keren

assalamualaikum wr.wb para pembaca yang budiman. Sudah lama ane gak posting-posting lagi. Hari ini izinkan ane berbagi pengalaman kepada pembaca semua...

Apa yang Membuat Saya Rindu Kampung Halaman?

Pembaca yang budiman, mungkin di antara kita banyak yang sedang atau pernah menyandang status sebagai perantau kota besar. Entah karena studi...

السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Friday, 1 July 2016

ABO Incompatibility

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inkompatibilitas ABO
ABO incompatibility / incompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Pada kebanyakan kasus inkompatibilitas ABO, ibu memiliki golongan darah O dan janin memiliki golongan darah A, mungkin juga terjadi bila janin memiliki golongan darah A atau AB. Pada Inkompatibilitas ABO, hemolisis tidak selalu terjai sampai dengan kelahiran. Respons hemolitik pada inkompatibilitas ABO biasanya mulai pada waktu lahir dengan mengakibatkan ikterus bayi baru lahir (Stright, 2004). Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibody yang berbeda-beda. Ketika golongan darah yang berbeda tecampur, suatu respon kekebalan tubuh terjadi dan antibody terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam darah. Ibu dengan golongan darah O menghasilkan antibody anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin. Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi bilirubin yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan, maka akan menyebabkan ikterus pada bayi.

Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemilitik pada bayi baru lahir yang merupakan factor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia. (Dharmayani, 2009). Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama, penyakitnya hampir selalu lebih ringan dari isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan anemia bermakna, sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada neonates, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis (Leveno, 2009).

  1. Sistem Golongan Darah ABO
Sistem ABO ditemukan pada tahun 1900 oleh Karl Landsteiner. Antigen-antigen utamanya disebut A dan B, antibodi utamanya adalah anti-A dan anti-B. Adanya antibodi ini serta spesifitasnya tidak ditentukan secara genetis. Antibodi ini terbentuk setelah tubuh terpajan ke antigen-antigen yang banyak terdapat di alam yang memiliki kemiripan struktur dan spesifisitas dengan antigen sel darah merah. Berikut pada tabel 2.1 adalah klasifikasi golongan darah ABO oleh Karl Landsteiner.

Golongan Darah
Antigen
Antibodi alamiah
O
-
anti-A + anti-B
A
A
anti-B
B
B
anti-A
AB
A + B
-
Tabel 2.1 Sistem golongan darah ABO  (Yamamoto, 2004)

  1.  Penyakit Hemolitik Pada Inkompatibilitas ABO (ABO-HDN)
Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang merupakan faktor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia (Dharmayani, 2009).

  1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari inkompatibilitas sebagian besar kasusnya ringan, diantaranya yaitu:
1.     Ikterus sebagai satu-satunya manifestasi klinis dari Inkompatibilitas ABO.
2.     Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saar lahir
3.     Tidak ada pucat, dan hidrops fetalis sangat jarang.
4.     Hati dan limpa tidak sangat membesar, jika ditemukan.
Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama. Kadang-kadang penyakit ini menjadi berat serta tanda-tanda kernikterus berkembang dengan cepat. (Behrman, 1999)

  1. Patofisiologi
Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas Rh dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. 

Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan. Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. 

Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung (Leveno, et al., 2004)(Benson & Pernoll, 2009) (Bherman, et al., 2000).

  1. Web of Caution ( terlampir)

  1. Pemeriksaan Diagnostik
ABO incompatibility atau inkompatibilitas ABO didiganosis dengan:
  1. Tes darah tali pusat untuk mengetahui ketidakcocokan
  2. Hitung darah lengkap untuk mengetahui atau menunjukan adanya sel-sel darah yang rusak dan hemolisis.
  3. Pemeriksaan tingkat kadar bilirubin (tingkat bilirubin tinggi)
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang member kesan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin biaasanya normal tetapi dapat serendah 10-12 g/dL (100-120 g/L). retikulosit dapat naik sampai 10-15 %, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10-15% bayi yang terkena, kadar serum bilirubin tak terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi. (Behrman, 1999)

  1. Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan khusus pada bayi dengan ikterus karena inkompatibilitas ABO selain penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara umum. Katz dan kawan-kawan (1982) menemukan bahwa 62% bayi yang mengalami hemolitik memerlukan pengobatan dan yang palong sering diperlukan adalah fototerapi. Fototerapi biasanya dapat mengatasi ikterik pada bayi yang terkait dengan inkompatilitas ABO. Kalau tidak, pengobatan diarahkan pada korelasi tingkat anemia atau hiperbilirubinemia yang membahayakan dengan jalan transfuse tukar memakai darah. Transfuse tukar memakai darah yang golongannya sama seperti golongan darah ibu (tipr Rh harus diuji silang dengan darah bayi). Indikasi untuk prosedur ini sama dengan indikasi yang diuraikan sebelumnya pada penyakit hemolitik karena inkompatibilitaas Rh. (Behrman, 1999)

Menurut American Academy of Pediatric indikasi transfuse tukar yaitu apabila bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut atau apabila kadar bilirubin total lebih dari sama dengan 25 mg/dL pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Transfuse tukar sekarang jarang digunakan karena efektifnya fototerapi dan juga dengan pertimbangan terhadap resiko komplikasi yang banyak ditimbulkan dari transfuse tukar tersebut.

  1. Komplikasi
Inkompatibilitas ABO umumnya tidak berbahaya seperti jenis lain dari penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir. Beberapakomplikasi yang bias di sebabkan oleh penyakit ini adalah:

  1. Penyakit kuning
Kebanyakan bayi yang baru lahir dengan inkompatibilitas ABO memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi dari normal, sehingga menyebabkan penyakit kuning pada bayi yang baru lahir. Ikterus pada bayi baru lahir memungkinkan untuk melakukan intervensi medis lebiih lanjut untuk mengatasinya.

  1. Anemia
Banyak kasus dengan inkompatibilitas ABO mengalami anemia setelah beberapa minggu kelahiran. Anemia ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kerusakan pada sel-sel darah merah dalam menaggapi antibody maternal. Antibody ini dapat bertahan di dalam tubuh bayi yang baru lahir selama beberapa minggu setelah persalinan. Sehingga memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan seberapa parah anemia pada bayi baru lahir.

  1. Prognosis
Inkompatibilitas ABO dapat menjadi maslah yang sangat serius yang dapat mengakibatkan kematian. Dengan pengobatan yang tepat, diperkirakan akan sembuh total. Pengukuran titer antibody dengantes Coombs indirek < 1:16 berari bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin ddapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnyanRheses negative. Jika titer antibody naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibody diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih, jika titer dibawah 1:32 maka prognosis janin diperkirakan baik.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
INKOMPATIBILITAS ABO

3.1 Pengkajian
  1. Biodata
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak ke berapa, jumlah saudara dan identitas orang tua.

  1. Keluhan Utama
Pada klien dengan ABO incompatibility yang sering dijumpai adalah warna kulit yang kuning (jaundice)

  1. Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak bayi belakang kaki atau sungsang.

  1. Riwayat kelahiran, yaitu :
Tanggal & tempat lahir, ditolong oleh siapa, cara kelahiran, kehamilan ganda, keadaan segera setelah lahir, pasca lahir, hari-hari pertama kehidupan, masa kehamilan, berat badan & panjang badan lahir (apakah sesuai dengan masa kehamilan, kurang atau besar)

  1. Riwayat kehamilan ibu yaitu kesehatan ibu saat kehamilan, pernah sakit atau tidak, makan obat-obatan, atau tetanus toxoid
 
  1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan ABO incompatibility biasanya mengalami kulit kekuningan ikterus pada 24 jam pertama. Kulit pucat jarang ditemui.

  1. Riwayat pertumbuhan, yaitu kurva berat badan dan panjang badan terhadap umur.
  2. Riwayat Perkembangan yaitu patokan perkembangan pada bidang motor kasar, motor halus, dan sosial-personal
  3. Riwayat imunisasi
Catat imunisasi yang sudah diterima oleh pasien

  1. Riwayat penyakit keluarga
ABO incompatibility dapat karena ada riwayat keluarga yang juga pernah mengalami, tetapi dapat juga muncul tanpa ada riwayat keluarga.

  1. Pemeriksaan fisik
Komponen yang penting dalam pemeriksaan fisik bayi meliputi pengukuran besar tubuh (tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala) dan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan serta suhu tubuh). Neonatus berada dalam keadaan paling responsif selama 1-2 jam setelah menyusu. Pemeriksaan dimulai dengan melepaskan pakaian bayi. Pemeriksaan dilakukan sehingga rangsangan dan gerakan yang dapat membangunkan bayi dari tidurnya terjadi secara bertahap.

Pada inspeksi umum, kebanyakan bayi lahir dengan menangis keras lalu cenderung tetap terjaga selama setengah jam atau lebih dan sangat aktif selama waktu tersebut. Mata bayi terbuka dan mereka memperlihatkan gerakan menghisap, mengunyah, serta menelan. Bayi mungkin menyeringai, menangis singkat, atau mendadak melakukan gerakan fleksi dan ekstensi berulang pada lengan atau tungkai mereka. Jadi, jika bayi tersebut berada dalam keadaan lemah, tidak mau menyusu, dan kurang aktif, hal ini bisa menjadi tanda-tanda adanya abnormalitas pada bayi yang harus kita observasi selanjutnya. Pemeriksaan penting lainnya yang berhubungan dengan skenario ini adalah pemeriksaan warna kulit bayi. Normalnya berwarna merah muda. Pucat bisa disebabkan oleh anemia atau perfusi yang buruk, seperti yang sering dijumpai pada asfiksia, syok, dan kelainan jantung kongenital. Jika berwarna kuning atau ikterus hingga jingga, disebabkan oleh peningkatan bilirubin indirek. Derajat ikterus seorang BBL akan lebih mudah dinilai dengan memberi tekanan singkat menggunakan jari ke kulit bayi dan kemudian mengamati warna di daerah yang memucat tersebut. Tindakan ini bermanfaat terutama pada bayi yang berkulit gelap. Derajat hiperbilirubinemia pada keadaan normal dapat diperkirakan secara kasar lewat sebuah sistem yang ditemukan oleh Kramer. Tetapi, sistem ini tidak valid jika bayi sudah mendapatkan fototerapi

Terdapat cara lain untuk mengestimasi transcutaneous bilirubin pada neonatus, yaitu dengan membandingkan warna kulit dari bayi dengan sebuah skala warna. Pada tahun 1960, Gosset memperkenalkan untuk pertama kalinya penggunaan icterometer untuk mengetahui ikterus pada bayi. Gosset memetakannya pada garis-garis transversal sebanyak 5 buah dengan 5 warna kuning yang berbeda, dan ditempatkan pada strip plastik. Alat ini kemudian agak ditekankan pada hidung bayi, kemudian warna kuning yang muncul disesuaikan dengan skor jaundice yang terletak pada strip tersebut. Jika warna kuning terdapat di antara 2 skor berbeda, dapat diberikan poin 0,5 untuk hal tersebut. Untuk setiap poin yang diperoleh, ada nilai rerata dari TSB dan 2 standar deviasi di atas rerata tersebut. Sebagai alat skrining, icterometer dapat menjadi alat yang cukup baik digunakan untuk bayi yang tergolong usia aterm dan preterm, dan biasa digunakan oleh perawat dan orang tua di rumah karena cukup praktis.

Pengukuran antropometrik pada bayi baru lahir:

  1. Panjang Badan
Bagi anak <2 tahun, pengukuran panjang badan dilakukan dengan menempatkan bayi dalam posisi berbaring telentang pada papan pengukur (infantometer).

  1. Berat Badan
Lakukan penimbangan berat badan bayi secara langsung dengan alat timbang bayi (infant scale). Bayi berada dalam keadaan telanjang. Berikut ini merupakan klasifikasi menurut berat lahir, yaitu:
  1. Bayi berat lahir ekstrim rendah: <1000 gram
  2. Bayi berat lahir sangat rendah: <1500 gram
  3. Bayi berat lahir rendah: berat <2500 gram tanpa memandang masa gestasi.
  4. Bayi berat lahir cukup/normal: berat >= 2500 - 4000 gram.
  5. Bayi berat lahir lebih: berat >4000 gram.
Usia kehamilan (gestasional) ditentukan berdasar tanda-tanda neuromuskular yang khas dan ciri-ciri fisik yang berubah menurut maturitas kehamilannya. Jika usia kehamilan <37 minggu (<259 hari), bayi tergolong prematur. Jika usia kehamilan berada antara 37-42 minggu, bayi tergolong aterm. Dan jika usia kehamilan >42 minggu, bayi termasuk postmatur.

  1. Lingkar Kepala
Lingkar kepala harus diukur selama usia 2 tahun pertama. Lingkar kepala pada bayi mencerminkan pertumbuhan cranium & otak. Untuk mengukur lingkar kepala, pita pengukur ditempatkan pada prominensia oksipitalis & frontalis sehingga didapatkan hasil yang maksimal. Pengukuran pada bayi paling baik didapatkan ketika bayi dalam posisi telentang.

Tanda-tanda Vital:
  1. Tekanan darah
Bayi akan mengalami peningkatan tekanan darah pada saat melakukan aktivitas fisik seperti menangis dan berada dalam keadaan cemas. Hasil pengukuran yang tinggi harus selalu dikonfirmasi dengan beberapa kali pengukuran berikutnya.2,3 Pengukuran tekanan darah sistolik yang paling mudah dilakukan pada bayi adalah dengan menggunakan metode Doppler yang akan mendeteksi getaran aliran darah arterial (hasil pemeriksaan ini kemudian dikonversi secara otomatis oleh alat Doppler menjadi tingkat tekanan darah sistolik dan kemudian alat tersebut meneruskan hasil pengukurannya ke alat pembaca digital.

  1. Denyut nadi
Frekuensi jantung pada bayi dan anak cukup bervariasi. Frekuensi jantung pada usia ini lebih sensitif terhadap pengaruh keadaan sakit, aktivitas fisik, dan keadaan emosi dibanding pada orang dewasa. Berikut ini merupakan daftar frekuensi jantung rata-rata pada bayi dan anak saat istirahat:
  1. Lahir: 140 kali/menit
  2. 6 bulan pertama: 130 kali/menit
  3. 6-12 bulan: 115 kali/menit
  4. 1-2 tahun: 110 kali/menit
  5. 2-6 tahun: 103 kali/menit
  6. 6-10 tahun: 95 kali/menit
  7. 10-14 tahun: 85 kali/menit
 
  1. Frekuensi napas
Seperti halnya frekuensi jantung, frekuensi napas pada bayi & anak memiliki kisaran yang lebih lebar serta bersifat lebih responsif terhadap keadaan sakit, aktivitas dan emosi bila dibandingkan dengan frekuensi pernapasan orang dewasa. Frekuensi pernapasan per menit berkisar antara 30-60x pada neonatus.3 Pola napas diamati selama 60 detik. Pada masa bayi, pernapasan diafragma terlihat paling dominan.

  1. Suhu tubuh
Pada bayi yang berusia <2 bulan, pengukuran suhu rektal lebih disenangi karena pedoman klinis untuk evaluasi terhadap infeksi bakteri yang berat harus menggunakan suhu rektal sebagai kriteria utamanya.

Selain pemeriksaan keadaan umum seperti cara-cara di atas, terdapat pula pemeriksaan neonatus yang berguna untuk menilai tingkat perkembangan neonatus. Terdapat beberapa sistem skoring yang digunakan untuk mengetahui bayi tersebut digolongkan dalam tingkat tertentu. Dengan adanya tingkat tersebut, dokter dapat mengetahui apakah bayi tergolong normal atau tidak.

         Skor Apgar
Merupakan pemeriksaan paling awal & penting untuk bayi yang baru lahir. Pemeriksaan ini terdiri atas 5 komponen untuk menggolongkan pemulihan status neurologi neonatus dari proses kelahirannya & kemampuan adaptasinya yang segera terhadap kehidupan ekstra uteri.

Penilaian
0
1
2
Appearance (warna kulit)
Seluruh tubuh bayi berwarna kebiru-biruan atau pucat
Warna kulit tubuh normal, tetapi tangan dan kaki berwarna kebiruan
Warna kulit seluruh tubuh normal
Pulse (denyut jantung)
Tidak ada denyut jantung
Denyut jantung kurang dari 100 kali per menit
Denyut jantung lebih atau di atas 100 kali per menit
Grimace (respon refleks)
Tidak ada respon terhadap stimulasi
Wajah meringis saat distimulasi
Meringis, menarik, batuk, atau bersin saat distimulasi
Activity (tonus otot)
Lemah, tidak ada gerakan
Lengan dan kaki dalam keadaan fleksi dengan sedikit gerakan
Bergerak aktif dan spontan
Respiration (pernapasan)
Tidak bernapas
Menangis lemah, seperti merintih, pernapasan lambat dan tidak teratur
Menangis kuat, pernapasan baik dan teratur
Tabel 1. Skor Apgar

Skor Apgar dalam 1 menit, jika angkanya:
  1. 0-4: menunjukkan bahwa bayi mengalami depresi berat & memerlukan resusistasi segera
  2. 5-7: bayi mengalami depresi saraf
  3. 8-10: normal
Skor Apgar dalam 5 menit, jika angkanya:
  1. 0-7: berisiko tinggi untuk terjadinya disfungsi selanjutnya pada system saraf pusat dan organ lain
  2. 8-10: normal

3.2 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan bayi baru lahir, pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
  1. TORCH atau pemeriksaan terhadap infeksi Toxoplasma virus, Rubella virus, Cytomegalovirus dan Herpesvirus. Pemeriksaan TORCH di laboratorium dilakukan dengan memeriksa adanya antibodi dalam darah berupa IgG dan IgM. Nilai normal pemeriksaan TORCH adalah:
  1. Anti Toxoplasma IgG : <4  negatif, ≥4-<8  equivocal, ≥8  positif.
  2. Anti Toxoplasma IgM : <0.55  negatif, ≥0.55-<0.65   equivocal, ≥0.65 positif
  3. Anti Rubella IgG : <10 negatif, ≥10-<15 equivocal,  ≥15 positif
  4. Anti Rubella IgM : <0.8 negatif, 1.2 ≥0.8-<1.2 equivocal, ≥1.2  positif
  5. Anti CMV IgG : <4 negatif, ≥4-<6 equivocal, ≥6 positif
  6. Anti CMV IgM : <0.7negatif, ≥0.7-<0.9 equivocal,  ≥0.9 positif
  7. Anti Herpers I IgG : <16 negatif, ≥16-<21 equivocal, ≥21 positif
  8. Anti Herpes I IgM : <0.8 negatif, ≥0.8-<1.1 equivocal, ≥1.1 positif
  9. Anti Herpes II IgG : <16 negatif, ≥16-<21 equivocal, ≥21  positif
  10. Anti Herpes II IgM : <0.8 negatif, ≥0.8-<1.1 equivocal, ≥1.1 positif
Jika pada pemeriksaan pertama kali mendapat hasil equivocal (nilai ambang batas, terlalu tinggi untuk dikatakan negatif tetapi terlalu kecil untuk dikatakan positif) biasanya akan diminta pemeriksaan ulang dengan rentang waktu tertentu.

  1. Skrining TSH Neonatus
Skrining pada bayi dilakukan pada bayi sehat dan cukup umur pengambilan sampel pada usia 72-120 jam sejak lahir. Bayi prematur atau yang sakit dirawat di RS hingga usia 7 hari. Skrining yang dianjurkan pada bayi yang baru lahir adalah TSH neonatus. Tes tersebut dipilih karena dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya dan angka kejadiannya tinggi. Hormon tiroid adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang terletak di bagian depan leher dan berperan besar dalam: proses pertumbuhan, fungsi metabolisme & pengaturan cairan tubuh. Pada keadaan normal, hormon tiroid bernilai 40 mU/L.7 Hipotiroid bawaan (Congenital Hipothyroidism) merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh tidak adanya/kurangnya hormon tiroid sejak lahir. Ini dapat menyebabkan keterbelakangan mental padahal hal ini dapat dicegah secara mudah dengan pengobatan yang dilakukan dari awal. Penyebab hipotiroid bawaan dibagi menjadi 2 yaitu:
  1. Permanen (jika hasil >90%), karena kegagalan pembentukan kelenjar tiroid secara total atau parsial atau karena kelenjar tiroid tumbuh ditempat yang salah. Penanganannya dilakukan dengan memberikan hormon pengganti seumur hidup dan diberikan sedini mungkin pada usia 0-3 tahun.
  2. Sementara (jika hasil <20%), karena ibu hamil menggunakan obat-obatan yang menekan produksi hormon tiroid. Penanganannya tidak diperlukan pengobatan karena fungsi kelenjar tiroid akan kembali normal dalam waktu bervariasi tergantung penyebabnya.
 
  1. Tes kadar bilirubin
Pengambilan sampel darah kapiler melalui tusukan tumit. Pengambilan darah ini dapat digunakan untuk pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, kadar gula darah, skrining sepsis, kadar bilirubin, dan kimia darah. Pada neonatus matur dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam. Ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain pada hari ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.

  1. Coomb’s Test
Test Coomb ini memiliki 2 jenis tes yaitu Direct Coomb’s Test atau Direct Antiglobulin Test (DAT) dan Indirect Coomb’s Test atau Indirect Antiglobulin Test (IAT). Kedua tes ini dilakukan berdasarkan kepada fakta bahwa anti-human antibody (yang dihasilkan oleh non-manusia, dalam hal ini hewan, dengan serum manusia) akan berikatan pada human antibody, di mana hal ini bisa menyebabkan munculnya antigen pada permukaan eritrosit yang dapat menuju pada aglutinasi dari eritrosit itu sendiri. Penggunaan klinis dari Coomb’s Test ini penting pada saat skrining ibu hamil sebelum melahirkan dan deteksi antibodi untuk mendiagnosa anemia hemolitik immune-mediated. Coomb’s Test dilakukan dengan cara mengambil serum darah dari sample darah vena (dengan venepuncture).

DAT bisa digunakan untuk memeriksa adanya anemia hemolitik tipe autoimun, misalnya pada kondisi di mana hitung sel darah merahnya menurun oleh karena sistem imun yang melisiskan eritrosit sehingga menyebabkan destruksi eritrosit. Prosedur tes ini adalah, sample darah diambil kemudian eritrosit “dicuci” (maksudnya, plasma darah pasien disingkirkan) dan kemudian diinkubasi dengan antihuman globulin (yang dikenal dengan reagen Coomb’s). Jika hal ini menimbulkan adanya aglutinasi eritrosit, DAT bernilai positif dan hal ini dapat menjadi indikasi bahwa antibodi menempel pada permukaan eritrosit.

Sedangkan, IAT biasa digunakan dalam pemeriksaan ibu hamil sebelum melahirkan, memeriksa pasien sebelum melakukan transfusi darah. IAT dapat mendeteksi antibodi yang menyerang eritrosit (eritrosit yang tidak terikat pada serum pasien). Dalam kondisi ini, serum pasien diekstraksi dari sample darah pasien. Kemudian, serum tersebut diinkubasi dengan eritrosit yang diambil dari sample darah pasien yang lain. Jika terjadi aglutinasi, IAT bernilai positif.

3.3 Gejala dan tanda
Gejala klinik yang muncul pada bayi yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas ABO adalah anemia yang bermakna dan hiperbilirubinemia. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah
  1. Ibu memiliki golongan darah O dengan antibody anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A, B, atau AB.
  2. Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama.
  3. Terdapat anemia, retikulosis, dan eritriblastosis dengan derajat bervariasi.
  4. Kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

3.4 Diagnosa Keperawatan
  1. Neonatal jaundice b.d peningkatan bilirubin indirect akibat ABO Incompatibility (00194)
Domain 2: Nutrition, Class 6: Metabolism
 
  1. Anxiety b.d keadaan bayi akibat ABO Incompatibility (00146)
Domain 9: coping/stress tolerance, Class 2: coping responses
 
  1. Risk for deficient fluid volume b.d peningkatan aktivitas berkemih akibat fototerapi (00027)
Domain 2: Nutrition, Class 5 : Hydration
 
3.5 Intervensi Keperawatan
  1. Neonatal jaundice b.d penyakit pada bayi (ABO Incompatibility) (00194)
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24  jam jaundice hilang atau berkurang dengan indikator :
Domain I, Kelas B
Newborn Adaptation (0118)
  1. Warna kulit (5)
  2. Kadar bilirubin (5)
Phototherapy: Neonate (6924)
  1. Kaji kembali faktor resiko maternal dan bayi terhadap terjadinya hiperbilirubinemia (Rh atau ABO incompatibility, polisitemia, sepsis, premature, malpresentation)
  2. Observasi tanda-tanda ikterus
  3. Cek kembali kadar bilirubin serum
  4. Laporkan hasil lab pada dokter
  5. Tempatkan bayi di ruang isolasi
  6. Jelaskan prosedur dan perawatan kepada keluarga tentang fototerapi yang akan dilakukan
  7. Tutup kedua mata bayi dengan kasa, hindari penekanan berlebih
  8. Lepas penutup mata tiap 4 jam atau ketika lampu di alat mati untuk kontak dengan orangtua dan menyusui
  9. Monitor adanya edema, drainase dan warna mata
  10. Letakkan lampu fototerapi pada ketinggian yang sesuai
  11. Cek intensitas lampu setiap hari
  12. Monitor TTV sesuai prosedur
  13. Reposisi bayi setiap 4 jam atau sesuai prosedur
  14. Monitor kadar bilirubin serum sesuai permintaan atau prosedur
  15. Evaluasi status neurologis setiap 4 jam atau sesuai prosedur
  16. Observasi tanda-tanda dehidrasi (penurunan fontanel, turgor kulit jelek, kehilangan berat badan)
  17. Ukur berat badan setiap hari
  18. Dukung ibu untuk menyusui 8 kali sehari
  19. Dukung keluarga untuk berpartisipasi dalam terapi
  20. Instruksikan keluarga untuk melakukan fototerapi di rumah, jika memungkinkan.


  1. Anxiety b.d keadaan bayi akibat ABO Incompatibility (00146)
NOC
NIC
Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam, kecemasan Ibu klien berkurang atau hilang, dengan indikator:
Domain III, Kelas M
Anxiety Level (1211)
  1. Kegelisahan hilang
  2. Ketegangan otot tidak ada
  3. Fascial tension hilang
  4. Tekanan darah normal
  5. Denyut nadi normal
  6. Gangguan tidur
  1. Nafsu makan baik
Anxiety Reduction (5820)
  1. Berikan Susana tenang, lakukan pendekatan pada ibu
  2. Tetap bersama ibu untuk memberikan kenyamanan dan mengurangi ketakutan
  3. Menganjurkan keluarga untuk tetap berada bersama ibu
  4. Jelaskan pada ibu tentang kondisi anaknya, bila ibu kooperatif, jelaskan dengan singkat dan jelas
  5. Berikan penjelasan kepada keluarga untuk mendukung ibu dalam menerima kondisi anaknya
  6. Kaji apakah keluarga memiliki koping yang baik atau buruk
  7. Berikan waktu sejenak untuk berdiskusi dengan keluarga dan berkolaborasi dengan dokter
  8. Ajarkan ibu teknik relaksasi nafas dalam, jika ibu tergesa-gesa dan tidak kooperatif.
  9.  Anjurkan ibu dan keluarga untuk melakukan kegiatan spiritual seperti berdoa / beribadah

  1. An Risk for deficient fluid volume b.d peningkatan aktivitas berkemih akibat fototerapi (00027)
NOC
NIC
Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam, pengaturan status cairan pasien normal, dengan indikator:
Domain 2, Kelas G
Fluid Balance (0601)
  1. Tekanan darah (5)
  2. Turgor kulit (5)
  3. Membrane mukosa (5)
Hydration (0602)
  1. Asupan cairan
  2. Keluaran urin
  3. Natrium serum

Fluid management (4120)
  1. Monitor status hidrasi klien (kelembaban memberan mukosa, nadi adekuat, turgor baik)
  2. Pertahankan intake dan output yang akurat
  3. Monitor tanda-tanda vital
  4. Monitor berat jenis urin, peningkatan BUN, penurunan hematorkrit dan peningkatan kadar osmolalitas urin
  5. Monitor masukan makanan/cairan
  6. Monitor status nutrisi

Fluid monitoring (4130)
  1. Monitor nilai serum dan elektrolit urin, bila perlu
  2. Monitor albumin serum dan tingkat protein total, bila perlu
  3. Monitor input dan output cairan





BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
 

Kasus Semu
Ny. W melahirkan seorang anak laki-laki secara normal dan cukup bulan (39 minggu) di RS UNAIR pada tanggal 28 Maret 2016 pukul 03.00 pagi. Anak ini merupakan anak pertama Ny. W yang lahir dengan BB 3 Kg dan panjang 50 cm. Namun demikian, 24 jam pasca lahir, bayi tampak jaundice di mata, wajah, dada dan perut. Tes laboratorium menunjukkan kadar bilirubin tak terkonjugasi adalah 15 mg/dL, kadar hemoglobin 13 g/dL dan diketahui bahwa bayi bergolongan darah A, sedangkan Ny.W bergolongan darah O. Ny. W terlihat gelisah dan terus bertanya-tanya tentang bagaimana keadaan bayinya. Ny.W mengatakan ingin selalu melihat keadaan bayinya karena ia merupakan anak pertamanya yang telah ditunggu-tunggu. Anak Ny. W didiagnosa menderita ABO Incompatibility dan direncanakan untuk dilakukan fototerapi pada bayi.

Pengkajian
  1. Pengkajian Primer
Airway         : Bayi langsung menangis dengan kuat ketika dilahirkan
Breathing      : RR 30x/menit
Circulation    : HR 140x/menit, konjungtiva jaudice
Disability      : Tonus otot baik
Exposure      : Seluruh tubuh berwarna kuning

  1. Pengkajian Sekunder
  1. Anamnesa
  1. Data demografi
  1. Identitas pasien:
Nama: An. W
Umur : 0 bulan
Jenis Kelamin: Laki- laki
Suku/bangsa : Jawa
Alamat: Surabaya
  1. Identitas Orangtua:
Nama Ayah : Tn. H                      Nama ibu        : Ny. W
Umur            : 27 tahun                 Umur               : 25 tahun
Jenis kelamin : laki-laki                  Jenis kelamin   : perempuan
  Pekerjaan      : Wiraswasta             Pekerjaan      : IRT
  Pendidikan    : SMA                      Pendidikan      : SMA
  1. Keluhan utama
Ibu klien mengatakan bahwa mata dan kulit anaknya tampak berwarna kuning

  1. Riwayat penyakit saat ini
Pasien 24 jam pasca lahir mengalami ikterus patologis yang ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium (Bilirubin tak terkonjugasi 15 mg/dL dan gololngan darah A padahal Ny.W bergolongan darah O)

  1. Riwayat tumbuh kembang
Riwayat imunisasi: hepatitis pertama dan polio

  1. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti anak Ny.W

  1. Pemeriksaan fisik
B1: Bayi menangis dengan kuat, RR 30x/menit
B2: HR 140 x/menit
B3: Sadar, bayi menangis terus, reflex fisiologis (+), konjungtiva ikterik
B4: Urin berwarna coklat gelap
B5: Tidak ada tanda asites, BB 3 Kg, panjang 50 cm, warna feses pucat
B6: Seluruh tubuh ikterik/jaundice
  1. Pemeriksaan diagnostik
Tes laboratorium : kadar bilirubin tak terkonjugasi adalah 15 mg/dL, kadar hemoglobin 13 g/dL dan bayi bergolongan darah A (Ny. W bergolongan darah O)

Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah
DS: Ny. W mengatakan mata dan kulit anaknya berwarna kuning
DO: konjungtiva ikterik, kadar bilirubin tak terkonjugasi adalah 15 mg/dL, kadar hemoglobin 13 g/dL dan bayi bergolongan darah A (Ny. W bergolongan darah O)
Pada masa gestasi terjadi percampuran darah antara darah ibu dan bayi (penyebab tidak diketahui) -> golongan darah ibu dan bayi berbeda/ ABO Incompatibility ( Gol darah ibu O, bayi A) ->  terdapat antibody anti-A dan B pada bayi -> peningkatan penghancuran sel darah merah -> kadar bilirubin meningkat -> ikterik pada bayi
Neonatal jaundice (00194)

DS: Ny. W mengatakan ingin selalu melihat keadaan bayinya karena ia merupakan anak pertamanya yang telah ditunggu-tunggu, Ny. W selalu bertanya tentang keadaan bayinya.
DO: Wajah Ny.W tampak cemas
Bayi memiliki penyakit sesaat setalah lahir -> bayi harus menjalani terapi di dalam tabung dan terpisah dengan ibunya -> ibu terus bertanya tentang keadaan bayinya -> ansietas
Ansietas (00146)
DS: -
DO: Bayi menjalani fototerapi
ABO Incompatibility -> harus menjalani fototerpi -> bayi mendapatkan penyinaran untuk mengeliminasi bilirubin berlebih dan mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk -> bilirubin dikeluarkan melalui urobilin dan sterkobilin -> peningkatan frekuensi BAB dan BAK
Resiko kekurangan volume cairan (00028)

Diagnosa Keperawatan
  1. Neonatal jaundice b.d penyakit pada bayi (ABO Incompatibility) (00194)
 Domain 2: Nutrition; Class 6: Metabolism
 
  1. Ansietas b.d perubahan status kesehatan pada bayi (00146)
Domain 9: Coping/Stress Tolerance; Class 2: Coping Responses
 
  1. Resiko kekurangan volume cairan (00028)
Domain 2: Nutrition; Class 5: Hydration
 

Intervensi Keperawatan
  1. Neonatal jaundice b.d penyakit pada bayi (ABO Incompatibility) (00194)
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24  jam jaundice hilang atau berkurang dengan indikator :
Domain I, Kelas B
Newborn Adaptation (0118)
  1. Warna kulit (5)
  2. Kadar bilirubin (5)
Phototherapy: Neonate (6924)
1. Kaji kembali faktor resiko maternal dan bayi terhadap terjadinya hiperbilirubinemia (Rh atau ABO incompatibility, polisitemia, sepsis, premature, malpresentation)
2. Observasi tanda-tanda ikterus
3. Cek kembali kadar bilirubin serum
4. Laporkan hasil lab pada dokter
5. Tempatkan bayi di ruang isolasi
6. Jelaskan prosedur dan perawatan kepada keluarga tentang fototerapi yang akan dilakukan
7. Tutup kedua mata bayi dengan kasa, hindari penekanan berlebih
8. Lepas penutup mata tiap 4 jam atau ketika lampu di alat mati untuk kontak dengan orangtua dan menyusui
9. Monitor adanya edema, drainase dan warna mata
10. Letakkan lampu fototerapi pada ketinggian yang sesuai
11. Cek intensitas lampu setiap hari
12. Monitor TTV sesuai prosedur
13. Reposisi bayi setiap 4 jam atau sesuai prosedur
14. Monitor kadar bilirubin serum sesuai permintaan atau prosedur
15. Evaluasi status neurologis setiap 4 jam atau sesuai prosedur
16. Observasi tanda-tanda dehidrasi (penurunan fontanel, turgor kulit jelek, kehilangan berat badan)
17. Ukur berat badan setiap hari
18. Dukung ibu untuk menyusui 8 kali sehari
19. Dukung keluarga untuk berpartisipasi dalam terapi
20.Instruksikan keluarga untuk melakukan fototerapi di rumah, jika memungkinkan.

  1. Ansietas b.d perubahan status kesehatan pada bayi (00146)
NOC
NIC
Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam, kecemasan Ibu klien berkurang atau hilang, dengan indikator:
Domain III, Kelas M
Anxiety Level (1211)
  1. Kegelisahan hilang
  2. Ketegangan otot tidak ada
  3. Fascial tension hilang
  4. Tekanan darah normal
  5. Denyut nadi normal
  6. Gangguan tidur
  7. Nafsu makan baik
Anxiety Reduction (5820)
  1. Identifikasi penyebab kecemasan klien
  2. Berikan Susana tenang, lakukan pendekatan pada klien
  3. Menggali persepsi klien terhadap kecemasan yang dialami
  4. Tetap bersama klien untuk memberikan kenyamanan dan mengurangi ketakutan
  5. Menganjurkan keluarga untuk tetap berada bersama klien
  6. Menyediakan obyek yang dapat memberikan kenyamanan pada klien
  7. Identifikasi perubahan level ansietas
  8. Instruksikan klien untuk melakukan teknik relaksasi
  9. Bantu klien untuk mengontrol stimulus jika dibutuhkan

  1. Resiko kekurangan volume cairan (00028)
NOC
NIC
Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam, pengaturan status cairan pasien normal, dengan indikator:
Domain 2, Kelas G
Fluid Balance (0601)
  1. Tekanan darah (5)
  2. Turgor kulit (5)
  3. Membrane mukosa (5)
Hydration (0602)
  1. Asupan cairan
  2. Keluaran urin
  3. Natrium serum

Fluid management (4120)
1. Monitor status hidrasi klien (kelembaban memberan mukosa, nadi adekuat, turgor baik)
2. Pertahankan intake dan output yang akurat
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor berat jenis urin, peningkatan BUN, penurunan hematorkrit dan peningkatan kadar osmolalitas urin
5. Monitor masukan makanan/cairan
6.Monitor status nutrisi

Fluid monitoring (4130)
1.Monitor nilai serum dan elektrolit urin, bila perlu
2.Monitor albumin serum dan tingkat protein total, bila perlu
3.Monitor input dan output cairan



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. ABO incompatibility Resources (http://www.bandbacktogether.com/abo-incompatibility-newborns-resources/) diakses pada 2 april 2016 pukul 09.30 wib
Behrman, Richard E. 1999. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 1 ed. 15. Jakarta: EGC
Behrman,  R.E.,  Kliegman,  R.,  and  Arvin,  A.M.,  2000.  Ilmu  Kesehatan  Anak  Nelson, terj. A. Samik Wahab. Ed.15; Vol.2. Jakarta: EGC.
Leveno,KJ, et al. 2009. Kelahiran Preterm. Dalam: Komara, Egi Yudha dan Nike Budhi Subekti (editor). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.
Leveno, Kenneth J. Obstetri Williams : Panduan Ringkas. Ed. 21. Jakarta : EGC
Stovall, Thomas G. Obstetrics and Gynecology Associates: ABO incompatibility (http://walnuthillobgyn.com/abo-incompatibility/) diakses pada 2 april 2016 pukul 09.00 wib
Straight, Barbara R. 2004. Panduan Belajar: Keperawatan Ibu-bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC
Yamamoto F. 2004. Review: ABO blood group system—ABH oligosaccharide, antigens, anti-A and anti-B, A and B glycosyltransferases, and ABO genes. Journal of Blood Group Serology and Education. Vol.20. No.1.



Askep Asfiksia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 Definisi
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2009). Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Mochtar, 2008), sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 2008).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2009).   

2.2 Etiologi
Penyebab asfiksia menurut Towell (1966) dan Manoe dan Amir (2003) pada bayi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

  1. Faktor ibu
  1. Infeksi (korioamnionitis)
Infeksi korioamnionitis merupakan infeksi selaput ketuban biasanya disebabkan oleh penyebaran organisme. Faktor predisposisi terpenting adalah pecahnya selaput ketuban lebih dari 24 jam dan persalinan lama (Benzion 1994 dalam Izati 2008).

  1. Preeklamsia/eklamsia
Pre eklamsia dapat berkembang menjadi eklamsia. Salah satu gejalanya adalah adanya kejang pada ibu hamil yang mengalami pre eklamsia. Kejang dapat terjadi sebelum persalinan maupun pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Jika kejang terjadi pada saat persalinan, maka frekuensi dan intensitas kontraksi meningkat dan dapat menyebabkan durasi persalinan menjadi pendek. Sebagai akibatnya ibu mengalami kejang dapat mengalami maternal hypoxemia yang dapat berakibat janin mengalami bradycardia. Sebuah studi di swedia menunjukan pre eklamsia berkontribusi terhadap 10,7% kejadian asfiksia (ladfaros 2002 dalam Izati 2008).
  1. Penyakit kronik ibu (hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru dan diabetes melitus).
  2. Hipoksia pada ibu: hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia lain (Kattwinkel 2006).
  3. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau melebihi 35 tahun
Umur ibu ketika melahirkan merupakan salah satu factor resiko terhadap berbagai komplikasi yang menyertai ibu ketika hamil dan selama proses persalinan. Pada berbagai penelitian diketahui bahwa umur ibu berhubungan dengan morbiditas dan kematian membentuk huruf U, yang menunjukan bahwa risiko meningkat pada ibu dengan umur muda (<20 tahun) dan pada ibu dengan umur lebih tua, yaitu >35 tahun (Bakketeig 1984 dalam Izati 2008).

  1. Gravida keempat atau lebih
Hubungan gravida dengan morbiditas dan kematian adalah bahwa pada multigravida kontraksi uterus tidak adekuat tidak sama dengan primigravida, sehingga memiliki risiko lebih tinggi untuk janin mengalami distress dibandingan dengan primigravida (Saifudin 2001)

  1. Faktor janin
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan tergangguanya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher dan lain-lain (Kattwinkel 2006).
  1. Prematuritas (sebelum 37 minggu kehamilan)
Tahun 1935 Akademi Pediatrik Amerika mendefinisikan prematuritas adalah kelahiran hidup bayi dengan berat < 2500 gram. Kriteria ini dipakai terus secara luas, sampai tampak bahwa ada perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan adanya hambatan pertumbuhan janin. WHO 1961 menambahkan bahwa usiahamil sebagai kriteria untuk bayi prematur adalah yang lahir sebelum 37 minggu dengan berat lahir dibawah 2500 gram. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia.

  1. Berat Bayi Lahir (BBL)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi berat lahir rendah dibedakan dalam:
  1. Bayi dengan berat badan lahir rendah, berat lahir 1500-2500 gram
  2. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, berat lahir 1000-1500 gram
  3. Bayi dengan berat badan lahir ekstra rendah, berat lahir <1000 gram
Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah Premature Baby dengan Low Birth Weight Baby (bayi dengan berat badan lahir rendah), dan kemudian WHO merubah ketentuan tersebut pada tahun 1977 yang semula kriteria BBLR adalah ≤ 2500 gram menjadi hanya < 2500 gram tanpa melihat usia kehamilan

  1. Kelainan bawaan (kongenital), misalnya hernia diafragmatika, atresia/ stenosis pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain
  2. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
  3. Bayi KMK (kecil masa kehamilan)
  4. Gawat janin
  5. Bayi kembar
  6. Kelainan kehamilan
  7. Inkompatibilitas golongan darah
  8. Depresi susunan saraf pusat
  9. Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Sedangkan partus macet adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul komplikasi pada ibu dan atau janin, seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Ketuban pecah lama merupakan jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam yang mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis. Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadiasfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

  1. Partus dengan tindakan

  1. Fraktor plasenta
Plasenta merupakan akar janin untuk menghisap nutrisi dari ibu dalm bentuk O2, asam amino, vitamin, mineral dan zat lain dan membuang sisa metabolisme janin dan O2. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas kondisi plasenta. Gangguan pertukaran gas di plasenta yang akan menyebabkan asfiksia janin. Fungsi plasenta akan berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 dan menutrisi metabolisme janin. Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta.Kemampuan untuk transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga metabolisme janin berubah menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan PH darah turun. Dapat terjadi pada bentuk:
  1. Lilitan tali pusat
  2. Tali pusat pendek
  3. Simpul tali pusat
  4. Prolapsus tali pusat


2.3 Manifestasi Klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaraya (Rukiyah & Yulianti, 2007) :
  1. Fungsi jantung terganggu akibat peningkatan beban kerja jantung
  2. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan.
Gejala klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-agsur berkurang dari bayi memasuki periode apneu primer.

Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat
Gejala lanjut pada asfiksia :
  1. Pernafasan megap-megap yang dalam.
  2. Denyut jantung terus menurun.
  3. Tekanan darah mulai menurun.
  4. Bayi terlihat lemas (flaccid).
  5. Menurunnya tekanan O2  (PaO2).
  6. Meningginya tekanan CO2 (PaO2).
  7. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler.

2.4 Patofisiologi
Asfiksia dapat terjadi pada periode antepartum, intrapartum maupun postpartum. Birth asphyxia atau asfiksia yang terjadi pada saat persalinan dapat disebabkan oleh adanya hipoksia pada janin pada periode antepartum. Asfiksia dapat juga terjadi tanpa didahului oleh adanya hipoksia pada janin, hal ini disebabkan oleh karena proses persalinan yang menyebabkan bayi mengalami kekurangan oksigen atau tidak dapat bernafas. Pada saat persalinan, asfiksia dinilai dari ada atau tidaknya gejala abnormalitas janin pada saat monitoring, bradikardia, late decelarations, loss of variability, meconium staining dan fetal acidosis. Penyebab dari gejala tersebut adalah karena adanya penurunan aliran darah dari plasenta kepada janin dan stres pada janin (Freeman & Nelson 1988). Asfiksia juga dapat terjadi pada periode setelah persalinan (postpartum) yaitu setelah bayi lahir, tanpa didahului oleh adanya gejala atau tanda asfiksia pada saat periode antepartum maupun intrapartum. Pada saat setelah persalinan di ruang bersalin, bayi yang lahir dapat mengalami asfiksia yang dinilai dari Apgar Score pada menit pertama, kelima, sepuluh dan 15 menit pertama kehidupan serta ada tidaknya asidosis. Asfiksia postpartum mungkin disebabkan oleh maladaptasi saat lahir atau kegagalan sistem pernafasan, jantung dan saraf pada neonatus akibat kelainan konginetal, penyakit pada janin atau cedera kelahiran (Gadoth & Gobel 2011).

Mekanisme terjadinya hipoksia pada beberapa kondisi patologis adalah sebagai berikut (Lewis & Berg dalam Beyond the Number 2004):
  1. Kontraksi uterus yang kuat akan memperburuk hipoksia akibat kompresi vaskuler tubuh bayi
  2. Partus lama atau macet akan disertai dengan kontraksi yang lebih lama daripada periode relaksasi
  3. Tekanan pada tali pusat dapat menyebabkan penyempitan arteri umbilikalis sehingga menimbulkan pengurangan aliran darah dari dan ke janin
  4. Spasme vaskuler secara sistemik vaskuler pada hipertensi atau pre eklamsia menyebabkan pengurangan pasokan oksigen pada bayi.
Stres pada janin atau bayi baru lahir karena kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran darah (perfusi) ke berbagai organ, secara klinis tampak bahwa bayi tidak dapat bernafas spontan dan teratur segera setelah lahir. Dampak dari keadaan asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan mengganggu sirkulais bayi. Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada bayi hipoksia dan iskemia akut menyebabkan disfungsi berbagai organ tubuh pada bayi asfiksia (Manoe dan Amir 2003).

Menurut Radityo (2011), kegagalan pernafasan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida sehingga menimbulkan kurangnya oksigen dan meningkatnya karbondioksida diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan di antaranya:
  1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung
  2. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan
  3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi tubuh lain terganggu.
Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan pernafasan cepat dan dalam selama 3 menit diikuti dengan apneu primer kira-kira 1 menit di mana pada saat ini denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10x/menit selama beberapa menit (Radityo 2011).

2.5 Web of Caucation
      (terlampir)

2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu (Septia, 2010):

  1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan/menit, selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah 100 kali permenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk terus-menerus menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan.

  1. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

  1. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh (sampel) darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.

Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya asfiksia pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:
  1. Analisa gas darah
  2. Elektrolit darah
  3. Gula darah
  4. Berat bayi
  5. USG ( Kepala )
  6. Penilaian APGAR score
Merupakan pemeriksaan paling awal & penting untuk bayi yang baru lahir. Pemeriksaan ini terdiri atas 5 komponen untuk menggolongkan pemulihan status neurologi neonatus dari proses kelahirannya & kemampuan adaptasinya yang segera terhadap kehidupan ekstra uteri.

Penilaian
0
1
2
Appearance (warna kulit)
Seluruh tubuh bayi berwarna kebiru-biruan atau pucat
Warna kulit tubuh normal, tetapi tangan dan kaki berwarna kebiruan
Warna kulit seluruh tubuh normal
Pulse (denyut jantung)
Tidak ada denyut jantung
Denyut jantung kurang dari 100 kali per menit
Denyut jantung lebih atau di atas 100 kali per menit
Grimace (respon refleks)
Tidak ada respon terhadap stimulasi
Wajah meringis saat distimulasi
Meringis, menarik, batuk, atau bersin saat distimulasi
Activity (tonus otot)
Lemah, tidak ada gerakan
Lengan dan kaki dalam keadaan fleksi dengan sedikit gerakan
Bergerak aktif dan spontan
Respiration (pernapasan)
Tidak bernapas
Menangis lemah, seperti merintih, pernapasan lambat dan tidak teratur
Menangis kuat, pernapasan baik dan teratur
Tabel 1. Skor Apgar

Skor Apgar dalam 1 menit, jika angkanya:
  1. 0-4: menunjukkan bahwa bayi mengalami depresi berat & memerlukan resusistasi segera
  2. 5-7: bayi mengalami depresi saraf
  3. 8-10: normal
 
Skor Apgar dalam 5 menit, jika angkanya:
  1. 0-7: berisiko tinggi untuk terjadinya disfungsi selanjutnya pada system saraf pusat dan organ lain
  2. 8-10: normal
 
  7. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan


2.7 Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi  (Hidayat, 2009):
  1. Memastikan saluran nafas terbuka:
  1. Meletakan bayi dalam posisi yang benar
  2. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
  3. Bila perlu masukan ET untuk memastikan pernapasan terbuka
  1. Memulai pernapasan:
  1. Lakukan rangsangan taktil. Beri rangsangan taktil dengan menyentil atau menepuk telapak kaki.Lakukan penggosokan punggung bayi secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala bayi.
  2. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
  1. Mempertahankan sirkulasi darah
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan.

Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
  1. Tindakan umum
  1. Pengawasan suhu
  2. Pembersihan jalan nafas
  3. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
  1. Tindakan khusus
  1. Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonat natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi.

  1. Asfiksia ringan dan sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasal dengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudian dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonat natrium dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.

Gambar 2.1 Algoritma resusitasi cairan neonatal

2.8 Prognosis
Pada pasca penatalaksanaan resusitasi bayi baru lahir, kemungkinan menjadi faktor resiko untuk terjadinya sepsis neonatorum pada bayi. Gejala klinis pada saluran napas seperti terjadinya apnu, dispnu, takipnu, retraksi, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis (Mansjoer, 2005).

Hasil akhir asfiksia bergantung pada apakah komplikasi metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik. Ensefalopati berat (stadium 3), ditandai dengan koma flasid, apnea, refleks okulosefalik tidak ada, kejang refrakter, dan pengurangan penipisan korteks yang nyata pada CT scan, dihubungkan dengan prognosis yang jelek. Skor Apgar rendah pada menit ke – 20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, dan menetapnya tanda–tanda kelainan neurologis pada usia 2 minggu juga meramalkan kematian atau adanya defisit kognitif dan motorik berat.

Kematian otak pasca–ensefalopati hipoksik–iskemik neonatus didiagnosis dengan penemuan–penemuan klinis, yaitu koma yang tidak responsif terhadap rangsangan nyeri, pendengaran atau penglihatan, apnea dengan kenaikan PCO2dari 40 sampai lebih dari 60 mmHg,  dan refleks batang otak tidak ada (pupil, okulosefalik, okulovestibular, kornea, menyumbat, menghisap). Keadaan ini harus terjadi bila tidak ada hipotermia, hipotensi, dan kenaikan kadar obat – obatan depresan (misalnya, fenobarbital). Tidak adanya aliran darah serebral pada scan radionuklid dan aktivitas listrik pada EEG (elektroserebral tenang) diamati secara tidak tetap pada neonatus yang mengalami kematian otak secara klinis. Menetapnya kriteria klinis selama 2 hari pada bayi cukup bulan dan 3 hari pada bayi preterm meramalkan kematian otak pada kebanyakan bayi baru lahir yang mengalami asfiksia (Nelson, 2005).

 2.9 Asuhan Keperawatan Umum
Pengkajian Primer
Airway         : Bayi tidak menangis atau tidak ada usaha untuk bernafas  pada asfiksia berat (Boxwell 2000), kadang-kadang terasa hembusan nafas pada asfiksia ringan
Breathing      : Apnea pada asfiksia berat (Saifudin 2001)
Circulation    : HR <100x/menit (Boxwell 2000), HR>100x/menit pada asfiksia ringan
Disability      : Tonus otot lemah (Saifudin 2001)
Exposure      : Seluruh tubuh berwarna biru, pucat, sianosis (Boxwell, 2000), cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi (Ghai et al 2010), BBLR (berat badan lahir rendah)

APGAR       : Asfiksia berat bernilai 0-3, asfiksia sedang 4-6, asfiksia ringan 7-9, bayi normal bernilai 10 (Ghai et al 2010)

Menurut Henderson& Jones (2001) :
  1. Bayi dengan nilai APGAR sangat rendah tampak pucat, terkulai, tidak ada usaha napas, tidak berespon terhadap suksion oral dan nadi sangat lambat.
  2. Bayi dengan nilai APGAR 4-7 memiliki nadi dibawah 100 kali permenit, pernapasan tidak teratur dan kulit berwarna biru. Terdapat beberapa respon terhadap suksion dan beberapa tonus otot. Bayi ini dapat berespon dengan baik terhadap stimulasi.
  3. Bayi dengan nilai APGAR >7 mempunyai irama jantung normal, bernapas dan berespon terhadap stimulus.
APGAR Score
TANDA
0
1
2
Appearance
Biru, pucat
Badan pucat tungkai biru
Semuanya merah muda
Pulse
Tidak teraba
< 100
>100
Grimace
Tidak ada
Lambat
Menangis kuat
Activity
Lemah/lumpuh
Gerakan sedikit/fleksi tungkai
Aktif/fleksi tungkai baik/reaksi melawan
Respiratory
Tidak ada
Lambat, tidak teratur
Baik, menangis kuat
Tabel 2.2 Penilaian APGAR score

Pengkajian Sekunder
a.   Pemeriksaan fisik
  1. Kulit
warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstremitas berwarna biru, pada bayi preterm terdapat lanugo dan verniks.

  1. Kepala
Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal  haematom, ubun-ubun besar cekung atau cembung.

  1. Mata
Warna konjungtiva anemis/tidak anemis, tidak ada bleeding  konjungtiva, warna sclera tidak kuning, pupil menunjukkan  refleksi terhadap cahaya.

  1. Hidung
Terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan lendir.

  1. Telinga
Perhatikan kebersihan dan adanya kelainan

  1. Mulut
Bibir berwarna pucat atau merah, ada lendir atau tidak.

  1. Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher neonatus pendek.

  1. Thorax
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara  wheezing dan ronchi, frekuensi bunyi jantung lebih dari   100 x/menit.

  1. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1-2 cm dibawah arcus costae      pada garis papilla mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti   adanya asites/tumor, perut cekung adanya hernia diafragma,  bising usus timbul 1-2 jam setelah masa kelahiran bayi, sering   terdapat retensi karena GI Tract belum sempurna.

  1. Umbilikus
Tali pusat layu, perhatikan ada perdarahan/tidak, adanya tanda- tanda infeksi pada tali pusat.

  1. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan  letak muara uretra pada neonatus laki-laki, neonatus perempuan  lihat labia mayor dan labia minor, adanya sekresi mucus keputihan, kadang perdarahan.

  1. Anus
Perhatikan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar   serta warna dari faeces.

  1. Ekstrimitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya  patah tulang atau adanya kelumpuhan saraf atau keadaan jari-jari  tangan serta jumlahnya.

  1. Reflek         : Tidak ada reflek komplek seperti moro dan hisap (Snyder & Cloherty 1998)
  2. Nyeri         : Bayi yang beresiko tinggi mengalami kerusakan dalam perkembangan syaraf yaitu bayi yang lahir prematur (American Academy of Pediatrics, 2006). Pada bayi nyeri dapat diekspresikan melalui menangis atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, dikutip dari Wong, 2004).Pada umumnya bayi dapat mengekspresikan rasa nyeri dengan perubahan perilaku seperti perubahan ekspresi wajah, menangis, dan posisi postural tertentu seperti; menggeliat, menyentak, dan menggapai-gapai (American Academy of Pediatrics, 2006). American Academy of Pediatrics menyatakan PIPP, NFCS, CRIES, NIPS sebagai skala nyeri yang bisa digunakan.

Berdasarkan perubahan perubahan perilaku
Kombinasi fisiologis dan perubahan perilaku
  1. Neonatal facial coding system (NFCS)
  2. Liverpool infant distress scale (LIDS)
  3. Infant body coding system (IBCS)
  4. Neonatal assesment of pain inventory
  5. Neonatal infant pain scale (NIPS)
  6. Behavioral pain scale
  7. Pain assestment in neonates (PAIN)
  8. Clinical scoring system
  1. Neonatal postoperative scale (CRIES)
  2. Pain assesment tool (PAT)
  3. Premature infant pain profile (PIPP)
  4. Scale for use in newborn (SUN)
Table 2.3 Alat ukur nyeri pada neonates

Kondisi Ibu
Kondisi Persalinan
Kondisi Bayi
  1. Diabetes Melitus
  2. Preeklamsi, hipertensi, penyakit ginjal kronis
  3. Anemia (Hb <10g/dl)
  4. Gangguan imun pada golongan darah
  5. Plasenta previa, abrusio plasenta, peradarahan saat kehamilan
  6. Narkotika, barbiturat, transquilizer, intoksikasi alkohol
  7. Riwayat abortus
  8. Ruptur membran
  9. Lupus
  10. Penyakit jantung saat kehamilan
  11. Infeksi pada amnion
  12. Arteri umbilikus abnormal
  1. Penggunaan vakum
  2. Letak sungsang
  3. Bentuk pelvis yang kecil : distonia bahu, fase kedua memanjang
  4. Operasi SC
  5. Kompresi tali pusat
  6. Hipotensi, perdarahan
  1. Prematur
  2. Post date
  3. Asidosis
  4. Nadi tidak normal, disritmia
  5. Bercak mekonium dan cairan amnion
  6. Oligohidroamnion
  7. Polihidroamnion
  8. Penurunan proses pertumbuhan : USG
  9. Makrosomia
  10. Sistem surfaktan paru-paru belum matang
  11. Kelainan bentuk janin : sonografi
  12. Kehamilan kembar
Tabel 2.4 Faktor-faktor yang menyebabkan resiko tinggi asfiksia (Rehan & Phibbs 2005)

Pemeriksaan diagnostik
  1. Peningkatan metabolisme atau mixed acidemia (pH <7) yang dinilai dari sampel plasenta jika didapatkan, hasil asidosis pada darah tali pusat jika PaO2<50 mmH2O, PaCO2>55 mmH2O (ACOG dalam Cunningham et al 2005).
  2. Asfiksia pada periode intrapartum (dan pada periode antepartum) dapat dideteksi dengan monitoring denyut jantung janin (fetal heart rate) lewat CTG dan USG serta penilaian dari sampel darah untuk memeriksa tingkat keasaman darah (pH of scalp blood) (Beard 1974 dalam Izati 2008).

Diagnosa Keperawatan
  1. Domain : 4 Activity/Rest
Class : 4 Cardiovascular/Pulmonary respons
Pola napas tidak efektif (00032) berhubungan dengan jumlah CO2 dalam darah meningkat
  1. Domain : 11 Safety/Protection
Class : 6 Thermoregulation
Hipotermia (00006) berhubungan dengan suplai O2 menurun
  1. Domain : 2 Nutrition
Class : 5 Hydration
Defisit volume cairan (00027) berhubungan dengan oliguria
  1. Domain : 2 Nutrition
Class  : 1 Ingestion
Terputusnya ASI (00105) berhubungan dengan rawat pisah ranjang ibu dan bayi

Intervensi Keperawatan
  1. pola napas tidak efektif (00032) berhubungan dengan jumlah CO2 dalam darah meningkat
NOC
NIC
Level 1 : Domain-Physiologic Health (II)
Level 2 : Class-Cardiopulmonary (E)
Level 3 : Respiratory status (0425)
  1. Tingkat pernapasan (rr)
  2. Irama pernapasan
  3. Kedalaman inspirasi
  4. volume tidal
  5. spirometer
  6. kapasitas vital
  7. saturasi oksigen
Ventilation assistance (3390)
  1. Posisi untuk memfasilitasi ventilasi / perfusi cocok sesuai
  2. Membantu dengan perubahan posisi sering, yang sesuai
  3. Posisi untuk meminimalkan upaya pernapasan
  4. Memantau kelelahan otot pernafasan
  5. Memulai dan mempertahankan oksigen tambahan, seperti yang ditentukan
  6. Mengelol aobat sakit tepat untuk mencegah hipoventilasi

  1. Hipotermia (00006) berhubungan dengan suplai O2 menurun
NOC
NIC
Level 1 : Domain-Physiologic Health (II)
Level 2 : Class-Metabolic Regulation (I)
Level 3 : Thermoregulation new born (0801)
  1. beratbadan
  2. thermogenesis non-menggigil
  3. Asam / basa
  4. Ketidakstabilan suhu
  5. hipotermia
  6. Perubahan warna kulit
  7. Dehidrasi

Level 1 : Domain-Health Knowledge & Behavior (IV)
Level 2 : Class-Risk Control & Safety (T)
Level 3 : Risk control: hypothermia (1923)
  1. Mengidentifikasi factor risiko hipotermia
  2. Mengakui factor risiko pribadi untuk hipotermia
  3. Mengidentifikasi kondisi kesehatan yang menurunkan produksi panas
  4. Mengidentifikasi kondisi kesehatan yang mempercepat kehilangan panas
  5. Memonitor lingkungan untuk faktor-faktor yang menurunkan suhu tubuh
  6. Mengidentifikasi hubungan usia dengan suhu tubuh
  7. Memodifikasi lingkungan hidup untuk mempromosikan konservasi panas
Hypothermia induced theraphy (3790)
  1. Pantau tanda-tanda vital, yang sesuai
  2. Memonitor suhu pasien, menggunakan inti perangkat pemantauan suhu terus-menerus, yang sesuai
  3. Memonitor warna dan suhu kulit
  4. Memantau adanya menggigil
  5. Gunakan pemanasan wajah atau tangan atau membungkus isolator untuk mengurangi respon menggigil, yang sesuai
  6. Memberikan obat yang tepat untuk mencegah atau mengendalikan menggigil

Infant care new born (6824)
  1. Lakukan evaluasi Apgar pada 1 dan 5 menit setelah lahir
  2. Memonitor suhu bayi baru lahir
  3. Mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir yang memadai
  4. Memonitor tingkat pernapasan dan pola bernapas
  5. Memantau denyut jantung bayi yang baru lahir
  6. Memonitor warna kulit bayi baru lahir

  1. Defisit volume cairan  (00027) berhubungan dengan oliguria
NOC
NIC
Level 1 : Domain-Physiologic Health (II)
Level 2 : Class-Fluid & Electrolytes (G)
Level 3 : Fluid balance (0601)
  1. Tekanan darah
  2. Denyut nadi radial
  3. Tekanan arteri rata-rata
  4. Tekanan vena sentral
  5. turgor kulit
  6. Membran mukosa lembab

Level 1 : Domain-Physiologic Health (II)
Level 2 : Class-Fluid & Electrolytes (G)
Level 3 : Hidration (0602)
  1. turgor kulit
  2. Membran mukosa lembab
  3. Asupan cairan
  4. Keluaran urin
  5. natrium serum
  6. jaringan perfusi
  7. Fungsi kognitif
Fluid managemen (4120)
  1. Menjaga asupan akurat dan merekam keluaran
  2. Memasukkan kateter urin, jika sesuai
  3. Memonitor status hidrasi
  4. Berkerut berat jenis, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan kadar osmolalitas urin)
  5. Memonitor status hemodinamik, termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP, jika tersedia
  6. Pantautanda-tanda vital, jika perlu


Fluid monitoring (4130)
  1. Memantau asupan dan output
  2. Memonitor serum dan elektrolit urin nilai, jika perlu
  3. Memonitor albumin serum dan tingkat protein total
  4. Memonitor serum dan urin tingkat osmolalitas
  5. Memantau BP, denyut jantung, dan status pernapasan

  1. Terputusnya ASI (00105) berhubungan dengan rawat pisah ranjang ibu dan bayi
NOC
NIC
Level 1 : Domain-Physiologic Health (II)
Level 2 : Class-Digestion & Nutrition (K)
Level 3 : Bottle Feeding Establishment : Infant (1016)
  1. Reflex menghisap
  2. Kemampuan untuk mengonsumsi ASI dan formula
  3. Makan setiap hari
  4. Penambahan berat badan
Bottle Feeding (1052)
  1. Hangatkan ASI atau susu formula sesuai dengan suhu ruangan
  2. Peluk bayi saat memberikan ASI atau susu formula
  3. Posisikan semi fowler bayi saat memberikan makan
  4. Control asupan cairan dengan mengatuir kelembutan putting botol, ukuran lubang, dan ukuran botol
  5. Menstimulasi bayi untuk menghisap dengan merangsang reflex rooting, jika diperlukan
  6. Tingkatkan kewaspadaan dan mengingkatkan bonding attachment terhadap bayi dengan berbicara pada bayi
  7. Isntruksikan orang tuan mauun petugas untuk memerhatkan kebersihan botol dengan teknik steriliasi


2.10 AsuhanKeperawatan (Kasus)

A. Kasus
Ny. A (40) melahirkan anak kelimanya, seorang bayi laki-laki di Rumah Sakit Universitas Airlangga pada tanggal 03 April 2016 pukul 07.55. Keadaan bayi ketika lahir seluruh tubuh berwarna biru, denyut nadi 90 x/menit, menangis lemah ketika distimulasi, sedikit gerakan, bernapas megap-megap atau sesak. Berat badan bayi 2780 gram dengan panjang bayi 48 cm. Setelah dilakukan tindakan resusitasi bayi pada menit pertama lahir, keadaan bayi masih sama. Terdapat cairan secret pada hidung dan mulut bayi. APGAR skor = 4, TD tidak dikur, R=55 x/mnt, S: 35,5̊C.
B. Pengkajian
  1. Biodata bayi
  1. Nama                      : By.L
  2. Umur/tgl lahir         : 03 April 2016
  3. Jenis kelamin          : laki-laki
  4. BB                          : 2780 gram
  5. PB/TB                     : 48 cm
  6. Alamat                    : Surabaya
  7. Agama                    : Islam
  8. Anak ke-                 : 5
  9. Suku bangsa           : Jawa

Identitas Penanggung Jawab
  1. Nama                      : Ny.A
  2. Umur                      : 40 tahun
  3. Jenis kelamin          : perempuan
  4. Alamat                    : Surabaya
  5. Pendidikan             : SMA
  6. Pekerjaan                : buruh pabrik

  1. KeluhanUtama
Sesaknapas

  1. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
G5P3A1, umur kehamilan 38 minggu lebih 2 hari, ANC: 7x, presentasi kepala, persalinan spontan.

  1. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga

  1. Pemeriksaan Fisik
    1. Keadaan umum      : lemah
    2. Antropometri          : BB=2780g, PB=48cm,  LILA=11cm, LK=32cm, LD=31cm
    3. Kepala                    :fontanel posterior an anterior belum menutup
    4. Mata                       : simetris, sclera ikterik, konjungtiva tidak anemis
    5. Hidung                   : simetris, terdapat sekret
    6. Telinga                    :simetris, tidak ada serumen, tidak ada kelainan bentuk telinga
    7. Mulut                      : mukosa bibir sianosis, terdapat secret
    8. Leher                      : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan tidak ada peningkatan vena jugularis
    9. Dada
Jantung:     
I: tampak retraksi dinding dada interkostalis dan suprasternal
P: bunyi pekak
P: tidak teraba iktus kordis
A: S1-S2 reguler, tidak ada bunyi tambahan
Paru:          
I: ekspansi dada tidak maksimal
P: bunyi sonor
P: fokal fremitus seimbang
A: terdapat ronkhi
  1. Abdomen                : tali pusat masih basah
  2. Punggung               : simetris
  3. Kulit                       : elastis, akral dingin, sianosis
  4. Ekstremitas             : lengkap
  5. Genetalia                : tidak ada kelainan fisiologis
  6. Anus                       : tidak ada kelainan

C. Analisis Data
Tanggal, Jam Pengkajian
Data
Etiologi
Masalah
03-04-2016
08.00
DS: -
DO:
  1. Terlihat sianosis
  2. Terdengar bunyi ronkhi
  3. RR: 55 x/mnt
Penumpukan sekret
Bersihan jalan napas tidak efektif
03-04-2016
08.00
DS: -
DO:
  1. S: 35,5̊C
  2. Terlihat pucat dan sianosis
  3. Akral teraba dingin
Terpajan lingkungan dingin
Hipotermia

  1. Diagnosa Keperawatan
    1. Bersihan jalan napas tidak efektif bd penumpukan secret
    2. Hipotermia bd terpajan lingkungan dingin

  1. Intervensi
No.
Diagnosis
NOC
NIC
Ttd
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif bd penumpukan secret

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x15 menit diharapkan bersihan jalan napas efektif, dengan criteria hasil:
  1. Tidak ada secret
  2. Tidak sianosis
  3. Tidak ada bunyi suara napas tambahan
  4. RR dapat dipertahankan 30-60 x/mnt
  5. Dapat menangis keras
  6. Terdapat retraksi dinding dada

a. Cek dan observasi KU dan TTV
b. Atur posisi untuk memaksimalkan ventilasi
c. Lakukan pengisapan menggunakan suction
d. Beri oksigen sesuai program

2.
Hipotermia bd terpajan lingkungan dingin

Setelah dilakukan tindakan keperwatan 2x24 jam diharapkan hipotermi  teratasi dengan criteria hasil:
  1. Suhu tubuh bayi menjadi normal 36-37̊C
  2. Akral hangat
  3. Tidak sianosis
  4. Tidak pucat
  1. Cek dan observasi KU dan TTV
  2. Selimuti bayi dan gunakan penutup kepala
  3. Gunakan pakaian hangat dan kering
  4. Tempatkan bayi dalam incubator
  5. Pelihara suhu lingkungan agar stabil
  6. Cek dan pantau suhu

3.
Gangguan perfusi jaringan bd gangguan transport  alveolar
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan gangguan perfusi jaringan teratasi dengan criteria hasil:
  1. Pompa jantung efektif
  2. Perfusi jaringan jantung efektif
  3. Perfusi jaringan perifer efektif
  1. Monitoring gas darah
  2. Kaji denyutjantung
  3. Monitoring system jantung dan paru (resusitasi)
  4. Berikan oksigen yang adekuat






DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics Steering Committee on Quality Improvement and Management, Subcommitee on Febrile Seizures. Febrile seizures: clinical practice guideline for the long-term management of child with simple febrile seizures. Pediatrics. 2008;121(6):1281-6.
Beyond the Number (2004). Reviewing Maternal Deaths and Complications to Make Pregnancy Safer. Geneva: World Health Organization
Dewi, VNL. 2011. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salmeba Medika
Freeman, JM & Nelson, KB (1988). Intrapartum Asphyxia and Cerebral Palsy. Pediatrics. 82, pp. 240-249
Gadoth, N & Gobel, HH (2011). Oxidative Stress and Free Radical Damage in Neurology. New York: Springer Science+Media, LCC
Ghai, OP, Paul VK & Bagga, A (2010). Essential Pediatrics. Seventh edition. Pp96-140
Henderson C & Jones K (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: EGC
Izati, YN (2008). Pola Kejadian Asfiksia pada Bayi yang Dilahirkan oelh Ibu dengan Komplikasi di RS di Kabupaten Serang dan Pandeglang, Provinsi Banten Berdasarkan Tempat Tinggal Ibu Ketika Akan Melahirkan Tahun 2003-2004. Tesis: Universitas Indonesia
Kattwinkel J (2006). Textbook Of Neonatal Resucitation. Edisi ke-5. American Heart Association And American Academy Of Pediatrics. New York: Lippincott, William & Wilkins, 2004
Liborio, AB, Pereira KM, & de Melo Bezerra, CT (2014). Acute Kidney Injury in Neonates: From Urine Output to New Biomarkers. BioMed Research International. Volume 2014, pp1-8 , Article ID 601568. http://dx.doi.org/10.1155/2014/601568
Manoe, VM & Amir A (2003). Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi Asfiksia Berat. Sari Pediatri. Vol.5. No.2. Pp 72-78
Mochtar R. 2003. Sinopsis Obstetric Fisiologis. Jakarta: EGC
Radityo, AN (2011). Asfiksia Neonatrum Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Gagal Ginjal Akut. Tesis: Universitas Diponegoro.
Rohani, et al. 2011. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta: Salemba Medika
Saifudin, AB (2001). Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal Kesehatan dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Su, J & Wang, L (2012). Research Advances in Neonatal Hypoglycemic Brain Injury. Vol.1, No.2. doi: 10.3978/j.issn.2224-4336.2012.04.06. Diakses dari <http://www.thetp.org/article/view/1093/1400> pada 25 Maret 2016
Snyder, EY, Cloherty, JP (1998). Manual of Neonatal Care: Perinatal Asphyxia. Edisi ke-4. Philadelphia: Williams & Wilkins; Pp 515-33.
Winkjosastro. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP
Wong, Donna L, dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Volume 2. Jakarta : EGC.
Zlatnik, FJ (2005). Multiorgan System Failure from Perinatal Asphyxia. The Iowa Perinatal Letter. Vol XXVI. No. 1. Diunduh dari <https://www.idph.state.ia.us/hpcdp/common/pdf/perinatal_newsletters/perinatal_jan-march_05.pdf >pada 25 Maret 2016