السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Wednesday 22 June 2016

Infark Miocard Akut


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Definisi
Infark miokard akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena sumbatan pada arteri koroner. Sumbatan akut terjadi oleh karena adanya aterosklerotik pada dinding arteri koroner sehingga menyumbat aliran darah ke jaringan otot jantung. (M. Black, Joyce, 2014)   

Infark miokard akut adalah nekrosis otot jantung akibat terhentinya suplai darah arteri jantung secara mendadak. Ini merupakan penyulit aterosklerosis yang paling  berat dan penting (Patrick. 2005).

Infark miokard akut adalah terhentinya atau menurunnya aliran darah ke jantung secara tiba-tiba sehingga otot jatung kekurangan oksigen yang berdampak pada kematian jaringan atau nekrosis (Surya, 2009).

  1. Klasifikasi
  1. Infark Miokard Subendokardial
Infark Miokard Subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia (Rendy & Margareth, 2012).
  1. Infark Miokard Transmural
Pada lebih dari 90% pasien infark miokard transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerosik. Penyebab lain lebih jarang di temukan (Rendy & Margareth, 2012).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, sindrom koroner akut dibagi menjadi:
  1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. (Sudoyo, 2010)

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung. (Perki, 2015)

  1. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction)
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala nyeri dada khas di atas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang positif atau perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang persisten (Alexander et al, 2007).

  1. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pectoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007).

Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).

Sumbatan parsial trombus menyebabkan suatu kondisi yang berkaitan dengan sindrom unstable angina (UA)dan non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Kedua kondisi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya nekrosis pada miokard. Pada unstable angina, belum terjadi nekrosis sel otot jantung sementara pada NSTEMI sudah ada. Dalam membedakannya, dilakukan pemeriksaan serum biomarker. Adanya peningkatan serum biomarker seperti troponin T dan CK/CKMB menandakan adanya nekrosis pada otot jantung. Namun, unstable angina yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi NSTEMI hingga STEMI.

Jika sumbatan terjadi secara total, iskemia yang terjadi akan semakin berat dan nekrosis juga semakin luas. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi peningkatan segmen ST pada STEMI (ST-elevation myocardial infarction).

  1. Etiologi
Penyakit ini harus dicurigai pada semua oarang dengan nyeri dada terutama semua pria diatas 40 tahun dan semua wanita pasca menopause. Dapat juga timbul pada pria dewasa muda dan wanita yang sedang mestruasi. Mengetahui faktor resiko-kecuali sangat bermakna biasanya tidak banyak membantu pada keadaan darurat. Faktor resiko bermakna sebagai berikut:
  1. Riwayat kematian atau IMA pada anggota keluara dalam usia yang relatif muda.
  2. Kelainan spesifik seperti: DM  dan lippoproteinemia type II.
  3. Obesitas yang berlebihan
  4. Perokok berat.

Menurut Kasuari, 2002 ada dua factor yang mempengaruhi terjadinya IMA.
  1. Faktor Penyebab
  1. Suplai okesigen ke miokard berkurang, dipicu oleh 3 faktor
  1. Factor pembuluh darah : aterosklerosis, spasme, arteritis
  2. Factor sirkulasi: hipotensi, stenosis aorta, insufisiensi
  3. Factor darah: anemia, hipoksemia, polisitemia
  1. Curah jantung meningkat:
  1. Aktivitas berlebih
  2. Emosi
  3. Makan terlalu banyak
  4. hipertiroidisme
  1. Kebutuhan oksigen miokard meningkat pada:
  1. Kerusakan miokard
  2. Hipertropimiokard
  3. Hipertensi diastolic

  1. Faktor Predisposisi
  1. Factor resiko biologis yang tidak dapat diubah:
  1. Usia lebih dari 40 tahun
  2. Jenis kelamin: cenderung lebih tinggi pada pria, sedangkan pada wanita terjadi setelah menopause
  3. Hereditas
  4. Ras: lebih sering terjadi pada ras kulit hitam
  1. Factor resiko yang dapat diubah:
  1. Mayor
  1. Hiperlipidemia            
  2. Hipertensi                    
  3. Merokok          
  4. Diabetes
  5. Obesitas
  6. Diet tinggi lemak jenuh, kalori
  1. Minor
  1. Inaktivitas fisik
  2. Pola kepribadian
  3. Stress psikologis berlebihan

  1. Patofisiologi
Infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan bisa menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Plak tersebut lama-kelamaan akan terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006). Faktor-faktor seperti hyperlipidemia, merokok, obesitas, konsumsi alcohol, diabetes, infeksi, stress/emosional dan suhu dingin yang menyebabkan hal tersebut.

Infark miokard akut terjadi ketika iskemia miokard yang berkepanjangan, yang bersifat irreversible. IMA dapat dianggap sebagai titik akhir dari PJK. Lokasi penyakit ini paling sering adalah pada dinding anterior ventrikel kiri di dekat apeks, yang terjadi akibat trombosis dari cabang desenden arteri coroner kiri. Lokasi umum lainnya adalah (1) dinding posterior dari ventrikel kiri di dekat dasar dan di belakang daun katup/ kuspis posterior dari katup mitral dan (2) permukaan inferior (diafragmantik) jantung. Infark pada ventrikel kiri posterior terjadi akibat oklusi arteri coroner kanan atau cabang sirkumfleksi arteri coroner kiri. Infark inferior terjadi saat arteri coroner kanan mengalami oklusi. Pada sekitar 25 % dari IMA dinding inferior, ventrikel kanan merupakan lokasi infark. Infark atrium terjadi pada kurang dari 5 %.

Tidak seperti iskemia sementara yang terjadi dengan angina, iskemia jangka panjang yang tidak berkurang akan menyebabkan kerusakan ireversibel terhadap miokardium. Sel-sel jantung dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum akhirnya mati. Manifestasi iskemia dapat dilihat dalam 8 hingga 10 detik setelah aliran darah turun karena miokardium aktif secara metabolic. Ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung akan menggunakan metabolisme anaerob, menciptakan lebih sedikit adenosine trifosfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingannya. Sel miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan fungsinya akan menurun. Asidosis akan menyebabkan miokardium menjadi lebih rentan terhadap efek dari enzim lisosom dalam sel. Asidosis menyebabkan gangguan sistem konduksi dan terjadi disritmia. Kontraktilitas juga akan berkurang, sehingga menurunkan kemampuan jantung sebagai suatu pompa. Saat sel miokardium mengalami nekrosis, enzim intraselular akan dilepaskan ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat dideteksi dengan pengujian laboratorium.

Dalam beberapa jam IMA, area nekrotik akan meregang dalam suatu proses yang disebut ekspansi infark. Ekspansi ini didorong juga oleh aktivasi neurohormonal yang terjadi pada IMA. Peningkatan denyut jantung, dilatasi ventrikel, dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin akan meningkatkan preload selama IMA untuk menjaga curah jantung. Infark transmural akan sembuh dengan menyisakan pembentukan jaringan parut di ventrikel kiri, yamg disebut remodeling. Ekspansi dapat terus berlanjut hingga enam minggu setelah IMA dan disertai oleh penipisan progresif serta perluasan dari area infark dan non infark. Ekspresi gen dari sel-sel jantung yang mengalami perombakan akan berubah, yang menyebabkan perubahan structural permanen ke jantung. Jaringan yang mengalami remodelisasi tidak berfungsi dengan normal dan dapat berakibat pada gagal jantung akut atau kronis dengan disfungsi ventrikel kiri, serta peningkatan volume serta tekanan ventrikel. Remodeling dapat berlangsung bertahun-tahun setelah IMA. Proses remodeling ventrikel adalah disebabkan oleh peningkatan stres dinding akhir diastolik. perluasan infark menempatkan pasien pada risiko sub-substansial untuk pengembangan gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, dan dinding gratis pecah (M.Black, Joyce, 2014).

Pada infark miokard akut ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2001).

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot  jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).

  1. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infark miokard bergantung pada luasnya infark, kondisi fisik sebelum serangan dan apakah pernah infark sebelumnya. Manifestasi ini dari amti mendadak akibat aritmia atau ruptur ventrikel, sampai tanpa gejala sama sekali. Sering ada nyeri substernal akut, diaforesis, dispnea, mual dan muntah, snagat gelisah dan mungkin aritmia.

Gambaran klasik dari pasien IMA tanpa komplikasi berupa adanya nyeri dada substernal yang hebat yang menjalar ke bahu dan lengan kiri, berkeringat dan muntah. Pemeriksaan fisik ditemukan pasien yang cemas dengan myeri hebat dan tanpa tanda-tanda abnormal yang lain. Elektrokardiografi (EKG) awal memperlihatkan elevasi dari segmen ST dan lebih lanjut menunjukkan adanya gelombang Q yang berhubungan dengan tempat nekrosis miokardium, kreatin fosfokinase darah (CK) kadarnya meningkat dengan bermakna.
  1. Nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus-menerus, terletak dibagian bawah sternum dan perut atas.
  2. Rasa nyeri yang tajam dan berat, biasa menyebar ke bahu dan biasanya kelengan kiri.
  3. Nyeri muncul secra spontan dan menetap selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin.
  4. Nyeri sering disertai dengan nafas pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan mual muntah.
  5. Keluhan yang khas adalah nyeri, seperti diremas-remas atau tertekan

Diagnosis pasien ACS didasarkan pada tiga dasar, yaitu gejala, abnormalitas EKG akut, dan deteksi penanda serum untuk nekrosis miokardium spesifik. UA didiagnosis berdasarkan gejala klinis, abnormalitas ST sementara pada EKG yang biasanya berupa depresi segmen ST, dan atau inversi gelombang T. Pada pemeriksaan biomarker serum tidak didapatkan adanya peningkatan.

Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya biomarker serum penanda nekrosis miokardium. Selain itu, pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau gelombang T yang lebih persisten. Pada STEMI, gambaran EKG menunjukan adanya elevasi segmen ST ditambah dengan terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis miokardium. 2


Abnormalitas EKG pada Unstable Angina dan NSTEMI

Evolusi EKG Selama STEMI

Berikut trias diagnostic dalam mengenali infark miokardium:
Gejala
Gejala khas
Riwayat nyeri dada yang khas
  1. Lokasi nyeri dada di bagian dada depan (bawah sternum) dengan atau tanpa perjalaran,kadang berupa nyeri dagu, leher, atau seperti sakit gigi, penderita tidak bisa menunjuk lokasi nyeri dengan satu jari tetapi ditunjukkan dengan telapak tangan
  2. Kualitas nyeri, rasa berat seperti ditekan atau rasa panas seperti terbakar
  3. Lama nyeri bisa lebih dari 15 detik sampai 30 menit
  4. Nyeri dada dapat menjalar ke dagu leher lengan kiri , punggung dan epigastrium
  5. Kadang disertai gejala penyerta berupa keringat dingin , mual, berdebar, atau sesak. Sering didapatkan factor pencetus berupa aktivitas fisik emosi atau stress dan dingin
  6.  Nyeri tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin sublingual
Adanya perubahan EKG
Gelombang Q (signifikan infark) atau Q patologis. Segmen ST (elevasi). Gelombang T (meninggi atau menurun).
Perubahan EKG pada infark miokardium, inversi gelombang T (kiri), elevasi segmen ST(tengah), gelombang Q yang menonjol (kanan).
Gelombang Q menunjukkan nekrosis miokardium dan bersifat Irreversibel. Perubahan pada segmen ST gelombang T diakibatkan karena iskemia dan akan menghilang sesudah jangka waktu tertentu
Kenaikan enzim otot jantung
CKMB merupakan enzym yang spesifik sebagai tanda terjadinya kerusakan pada otot jantung, enzym ini meningkat 6-10 jam setelah nyeri dada dan kembali normal dalam 48-72 jam.
Walaupun kurang spesifik, pemeriksaan Aspartate Amino Transferase (AST) dapat membantu bila penderita datang kerumah sakit sesudah hari ke 3 dari nyeri dada atau laktat dehydrogenase(LDH) akan meningkat sesudahhari ke 4 dan menjadi normal sesudah hari ke 10


  1. WOC (lampiran)
  2. Pemeriksaan penunjang
  1. Elektrokardiografi
EKG 12-sadapan dapat digunakan untuk menentukan lokasi dari infark. Lead V1 dan V2 menghadap ke septum dari jantung, lead V3 dan V4 menghadap dinding anterior dari ventrikel kiri, dan V5 dan V6 menghadap dinding lateral dari ventrikel kiri. Terjadi iskemia dan nekrosis pada otot jantung ketika aliran darah ke jantung terganggu. Kondisi ini dicerminkan pada gangguan gelombang Q, segmen ST, dan gelombang T pada EKG 12-sadapan.


(Black, 2014)

EKG 12-sadapan dapat memeriksa jantung dari 12 pandangan dan secara umum semakin banyak lead dengan perubahan gelombang Q dan segmen ST, maka makin besar infark dan makin buruk prognosisnya. (Black, 2014)


(Black, 2014)

  1. Uji Laboratorium
Temuan laboratorium antara lain peningkatan kadar serum isoenzim kreatinin kinase (CK)-MB, myoglobin, troponin T jantung, dan troponin I jantung. Secara historis, peningkatan kadar isoenzim laktat dehdidrogenase (LDH) M1, serum aspartate transaminase (AST), leukosit (leukositosis), dan laju endap darah (LED) telah membantu diagnosis dari IMA. Walaupun kadar serum dari zat-zat tersebut dapat juga diambil,tetapi saat ini isoenzim yang digunakan untuk mendiagnosis IMA. (Black, 2014)
  1. Positron Emission Tomography (PET)
PET digunakan untuk megevaluasi metabolisme jantung dan untuk menilai perfusi jaringan. PET juga dapat digunakan untuk mendeteksi PJK, menilai pembalikan aliran arteri coroner, mengukur aliran darah miokardium absolut, mendeteksi IMA, dan membedakan kardiomiopati iskemik dari non iskemik. (Black, 2014)
  1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI membantu mengidentifikasi lokasi dan luas dari MI, menilai efek dari terapi reperfusi, dan membedakan cedera jaringan yang reversibel dan ireversibel. (Black, 2014)
  1. Transesophagus Ecocardiography (TEE)
Transesophagus Ecocardiography (TEE) merupakan teknik pencitraan di mana transduser diletakkan pada dinding esofagus. Gambar dari miokardium akan lebih jelas jika menggunakan lokasi esophagus karena tidak ada udara dan tulang rusuk antara transduser dan jantung. Teknik ini sangat berguna untuk melihat dinding posterior dari jantung. (Black, 2014)

  1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada kasus kecurigaan IMA harus meliputi akses intravena (IV) adekuat, oksigen, pemantauan jantung, dan pemasangan defibrillator serta obat-obat jantung pada suatu lokasi telah tersedia. Semua pasien harus diobati dengan aspirin (kecuali alergi) dan β-bloker (kecuali bradikardia, hipotensi, atau mengalami intoksikasi simpatomimetik). Sakit dada dapat dihilangkan dengan nitrogliserin atau morfin sulfat. Pasien harus dievaluasi dengan EKG dan nilai laboratorium (myoglobin, keratin fosfokinase [CPK], troponin, atau beberapa kombinasi pemeriksaan tersebut). Terapi reperfusi dengan kateterisasi jantung atau fibrinolitik atau keduanya harus segera dilaksanakan pada kasus IMA. (Greenberg, 2008)

Sasaran pengobatan IMA pertama adalah menghilangkan rasa sakit dan cemas. Kedua mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi (30-40%) yang serius seperti payah jantung, aritmia, thrombo-embolisme, pericarditis, ruptur m. papillaris, aneurisma ventrikel, infark ventrikel kanan, iskemia berulang dan kematian mendadak.

Untuk sakit, diberikan sulfas morphin 2,5-10 mg IV. Pethidin kurang efektif dibandingkan Morphin dan dapat menyebabkan sinus tachycardia. Obat ini banyak dipakai pada infark inferior dengan sakit dada dan sinus bradycardia. Dosis 25-50 mg dapat diulang sesudah 2-4 jam dengan perlahan-lahan.

Pada sakit dada dengan lMA terutama infark anterior dengan sinus tachycardia dan tekanan darah sistolik di atas 100 - 100 mm Hg B-Blocker dapat dipakai. Dosis kecil B-Blocker mulai dengan 1/2 - 5 mg Inderal. IV. Dikatakan bahwa pemberian B-Blocker dalam 5 jam pertama bila tidak ada kontra indikasi dapat mengurangi luasnya infark.

Nitrat baik sublingual maupun transdermal dapat dipakai bila sakit dada pada hari-hari pertama. Nifedipin,C-antagonist yang sering dipakai bila diduga penyebabnya adalah spasme koroner, khusus angina sesudah hari ke-2 dan sebelum pulang. Istirahat, pemberian oksigen, diet kalori rendah dan mudah dicernakan, serta pasang infus untuk siap gawat.

Pemberian anti koagulansia hanya pada penderita yang harus dimobilisasi agak lama seperti gagal jantung, syok dan infark anterior yang luas. Sekitar 60-70% dari infark tidak terdapat komplikasi dan dianjurkan penanganan sesudah 2-3 minggu untuk uji latih jantung beban (ULJB) yang dimodifikasikan. Kalau normal untuk rehabilitasi biasa tetapi kalau abnormal agar diperiksa arteriogram koroner untuk mengetahui tepat keadaan pembuluh darah koronernya agar dapat ditentukan sikap yang optimal. Bila ada komplikasi pada IMA dicoba untuk mengklasifikasi penderita ini dalam subset klinik dan hemodinamik (Forrester) untuk pengobatannya.

Subset Klinik dan Hemodinamik : Pengobatan pada IMA
Subset
Klinik
Hemodinamik
Pengbatan
Kematian
I
Tanpa bendungan paru-paru & hipoperfusi
NCI (>2,2)
NPCWP (<12)
Hilangkan sakit & beri O2
1-3 %
II
Bendungan paru-paru & hipoperfusi
PCWP naik (>18)
CI N
Diuretika dan nitrat test
10%
III
Hipoperfusi tanpa bendungan paru
Menurun
CI (<2)
PCWP N
Ganti vol digoxin, dobutamin, vasodilator
20%
IV
Bendungan paru & hipperfusi perifer
PCWP naik
CI turun
Vasopressor vasodilator IABC; Bedah pada lesi yang dapat dikreksi
50-80%
Keterangan :
CI = Cardiac Index
PCWP = Pulmonary capillary Wedge Pressure


Pembatasan perluasan Infark
Seperti telah diterangkan bahwa perfusi miokard dan kebutuhan metabolik tidak boleh dirugikan oleh pengobatan. Keadaan yang mungkin memperluas infark harus dicegah atau langsung diperbaiki seperti :
  1. Tachykardia,
  2. Hipertensi,
  3. Hipotensi,
  4. Aritmia dan
  5. Hipoxemia.
Menghadapi keadaan tersebut diperlukan strategi pengobatan yaitu :
  1. Upaya menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan cara :
  1. Beta Blocker
  2. Menurunkan afterload penderita dengan hipertensi
  3. Membantu sirkulasi dengan IABC
  1. Mengurangi iskemia miokard dengan memperbaiki perfusi atau aliran kolateral ditingkatkan sehingga persediaan 02 miokard meningkat.
  1. Pengobatan dengan thrombolitik streptokinase, Tissue plasminogen activator (Actylase) .
  2. Calcium antagonist
  3. Peningkatan perfusi koroner dengan IABC


Penatalaksanaan Pertama STEMI
  1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
  2. Nitrogliserin :
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
  1. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
  2. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
  3. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam. (Sudoyo, 2010).

Penatalaksanaan NSTEMI
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
  1. Terapi antiiskemia
  2. Terapi anti platelet/antikoagulan
  3. Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)
  4. Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil
  1. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu di istirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).
  1. Terapi medikamentosa
  1. Obat anti iskemia
  2. Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
  3. Obat anti agregasi trombosit
  4. Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
  5. Obat anti thrombin
  6. Unfractionnated Heparin, low molecular weight heparin
  7. Direct trombin inhibitors
  1. Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI merupakan pilihan utama.

Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006)

Pendekaatan Triage Unstable Angina
Pada pasien unstable angina perlu dilaakukan pendekatan triage untuk menentukan apakah pasien perlu mendapatkan tindakan kegawatdaruratan, atau bisa hanya ditatalaksana secara poliklinis. Berikut pedoman triage pasien unstable angina yang dapat diaplikasikaan di Instalasi Gawat Darurat:
  1. Pada pasien, berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien menunjukkan tanda Sindrom Koroner Akut, lakukan pemeriksaan EKG (dalam 10 menit) dan biomarker jantung. Mulai berikan Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspilet, Clopidogrel (MONACo).
  2. Pada pasien dengan hasil EKG menunjukkan elevasi segmen ST > 1 mm, maka mendukung diagnosis STEMI. Jika hasil EKG menunjukkan hasil yang lain (depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST atau inversi gelombang T), maka dicurigai unstable angina atau NSTEMI.
  3. Jika hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG dan biomarker tidak mengarah pada diagnosis STEMI/NSTEMI, ulangi EKG dan biomarker dalam 12 jam ke depan.
  4. Jika tetap normal dan kemungkinaan kecil Sindrom Koroner Akut, cari penyebab nyeri dada lain.
  5. Jika tetap normal dan nyeri hilang, singkirkan kemungkinan infark miokard akut.
  6. Jika curiga Sindrom Koroner Akut berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, singkirkan NSTEMI dengan tes treadmill. Jika resiko rendah (usia > 70 tahun, tidak memiliki penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, penyakit arteri perofer sebelumnya, tidak ada sisa angina), pasien dapat dipulangkan dalam 72 jam. Jika tidak resiko rendah, maka MRS-kan dan evaluasi iskemi (tes treadmill atau kateter).
  7. Jika EKG atau biomarker abnormal atau kemungkinan tinggi sindrom koroner akut, MRS-kan pasien dan tatalaksana sesuai infark miokard akut.

  1. Komplikasi
  1. Disritmia
Disritmia merupakan penyebab dari 40% hingga 50% kematian setelah IMA. Ritme ektopik muncul pada atau sekitar batas dari jaringan miokardium yang iskemik dan mengalami cedera parah. Miokardium yang rusak juga dapat mengganggu sistem konduksi, menyebabkan disosiasi atrium dan ventrikel (blok jantung). Supraventrikel takikardia (SVT) kadang kala terjadi sebagai akibat gagal jantung. (Black, 2014)
  1. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik berperan hanya pada 9% kematian akibat IMA, tetapi lebih dari 70% klien syok meninggal karena sebab ini. Penyebabnya antara lain (1) penurunan kontraksi miokardium dengan penurunan curah jantung, (2) disritmia tak terdeteksi, (3) sepsis. (Black, 2014)
  1. Gagal Jantung dan Edema Paru
Penyebab kematian paling sering pada klien rawat inap dengan gangguan jantung adalah gagal jantung.  Gagal jantung melumpuhkan 22% klien laki-laki dan 46% wanita yang mengalami IMA. (Black, 2014)
  1. Emboli Paru
Emboli paru dapat terjadi karena flebitis dari vena kaki panggul (thrombosis vena) atau karena atrial flutter atau fibrilasi. Emboli paru terjadi pada 10% hingga 20% klien pada suatu waktu tertentu. (Black, 2014)
  1. Infark miokard berulang
Dalam 6 tahun setelah IMA pertama, 18% laki-laki dan 35% wanita dapat mengalami IMA berulang. Penyebab yang mungkin adalah olahraga berlebih, embolisasi, dan oklusi trombotik lanjutan pada arteri koroner oleh atheroma. Manifestasi klinisnya adalah kembalinya nyeri angina. (Black, 2014)
  1. Komplikasi yang disebabkan oleh nekrosis miokardium
Komplikasi yang terjadi karena nekrosis dari miokardium antara lain aneurisme ventrikel, rupture jantung, defek septal ventrikel (VSD), dan otot papiler yang rupture. Komplikasi ini jarang tetapi serius, biasanya terjadi sekitar 5 hingga 7 hari setelah MI. (Black, 2014)
  1. Perikarditis
Sekitar 28% klien dengan MI akut transmural akan mengalami pericarditis dini (dalam 2 hingga 4 hari). Area yang mengalami infark akan bergesekan dengan permukaan pericardium dan menyebabkan hilangnya cairan pelumas. Gesekan friksi perikardium dapat didengar di area pericardial. (Black, 2014)
  1. Sindrom Dressler
Sindrom dressler adalah suatu bentuk pericarditis, dapat terjadi paling akhir enam minggu hingga beberapa bulan setelah IMA. Walaupun agen penyebabnya tidak diketahui, diduga terjadi karena factor imun. (Black, 2014)

  1. Prognosis
Prognosis dari IMA (Infark Miokard Akut) tergantung dari semakin cepatnya pertolongan pertama pada klien. Kerusakan pada otot jantung terjadi pada waktu iskemia selama 15-20 menit.
Pada 25% episode IMA kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan 15-30%. Risiko kematian tergantung pada faktor usia penderita, riwayat penyakit jantung koroner, adanya penyakit lain-lain dan luasnya infark (Price, 2006)



BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Kasus
Tn. P berusia 57 tahun mengalami kecelakaan dan masuk Unit Gawat Darurat (UGD) RSUA pada tgl 13 mei 2015  pukul 5 pagi. Pasien mengeluh sudah  2 jam  nyeri dada tengah menjalar ke leher dan bahu. Nyeri dimulai tak lama setelah makan malam dan lebih parah dari sakit yang sebelumnya yang dialami. Riwayat medis yang lalu pasien terdiagnosis hipertensi 8 tahun sebelumnya dan perbaikan hernia 3 tahun sebelumnya. Riwayat obat yang diminum adalah nifedipine 20 mg dua kali sehari. Riwayat keluarga yaitu kematian mendadak ayahnya berusia 55 tahun (tidak diketahui penyebabnya) serta ibunya adalah penderita hipertensi. Kakak Tn.P memiliki angina dan bahwa nenek dari pihak ayah memiliki diabetes tipe 2 mellitus. Tn.P menikah dengan dua anak dan bekerja sebagai sopir bus. Dia adalah seorang perokok (20 per hari) dan mengkonsumsi sekitar 16 unit alkohol per minggu.

Pada pemeriksaan ia tampak lemas dan tidak enak badan, dan berkeringat. Ada awal segmen bawah arcus kornea. Tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 96 reguler dan tekanan vena jugularis tidak meningkat. Perifer yang dingin dengan sentuhan tapi tidak ada edema tungkai. Pulsa kaki di sebelah kiri tidak hadir dan ada bruit femoralis di sebelah kiri. Dia agak takipnea tapi dada jelas pada auskultasi. Ada bekas luka herniorrhaphy tua terlihat di pangkal paha kanan.

Elektrokardiogram awal menunjukkan ritme sinus dan 4 mm dari elevasi ST di lead V2 ke V5 (Gambar 1). Dokter mendiagnosis infark miokard anterior akut.

  1. Pengkajian
  1. Identitas Diri :
Nama               : Tn. P
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Umur               : 57 tahun
Pekerjaan         : Sopir bus
Agama             : Islam
  1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri dada tengah menjalar ke leher dan bahu. Nyeri dimulai tak lama setelah makan malam dan lebih parah dari sakit yang sebelumnya yang dialami.
  1. Riwayat Penyakit Saat ini
Dokter mendiagnosis infark miokard anterior akut.
  1. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien terdiagnosis hipertensi 8 tahun sebelumnya dan perbaikan hernia 3 tahun sebelumnya.
  1. Riwayat Penyakit Keluarga
Kematian mendadak ayah pasien saat berusia 55 tahun (tidak diketahui penyebabnya) serta ibunya adalah penderita hipertensi. Kakak Tn. P memiliki angina dan bahwa nenek dari pihak ayah memiliki diabetes tipe 2.
  1. Kondisi Spiritual
Pasien mengatakan penyakit yang dideritanya merupakan cobaan dari Tuhan
  1. Pemeriksaan Fisik
TTV : TD         : 140/90 mmHG
N           : 89 x/menit
RR        : 50 x/menit
T           : 37,50 C
Keadaan Umum : Klien tampak lemas dan tidak enak badan.
  1. Pernafasan B1 (breath)
Klien sesak dan RR meningkat. Tidak ada batuk pilek, tidak memiliki riwayat asma dan suara nafas normal.
  1. Kardiovaskular B2 (blood)
Inspeksi    :Nyeri dada tengah menjalar ke leher dan bahu
Palpasi      : Denyut nadi perifer melemah
Auskultasi            : Tekanan darah yang tidak terlalu tinggi akibat penurunan sekuncup yang disebabkan IMA
Perkusi : Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
  1. Persyarafan B3 (brain)
Pengkajian objektif klien yaitu wajah merintih kesakitan dan menggeliat yang merupakan respon dari adanya nyeri dada.
  1. Perkemihan B4 (bladder):-
  2. Pencernaan B5 (bowel):-
  3. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Klien sering merasakan kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap dan jadwal olahraga tak teratur.
  1. Pengkajian ABC
  1. Airways
  1. Sumbatan atau penumpukan sekret
  2. Wheezing atau krekles
  1. Breathing
  1. Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
  2. RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
  3. Ekspansi dada tidak penuh
  4. Penggunaan otot bantu nafas
  1. Circulation
    1. Nadi lemah , tidak teratur
    2. TD meningkat / menurun
    3. Gelisah
    4. Akral dingin
    5. Kulit pucat, sianosis
  1. Analisa Data
No.
Data
Etiolgi
Masalah
1.
DS : Pasien mengeluh nyeri dada tengah menjalar ke leher dan bahu.
DO:
P = nyeri mendadak dan tidak berkurang
Q = nyeri seperti diremas
R = dada menjalar ke leher dan bahu
S = 5 (dari 1-10)
T = nyeri timbul mendadak
Alkohol, rokok, genetik




Ateroskerosis





menyumbat PD koroner

Aliran darah terganggu





Iskemia miokard





Nyeri akut
Nyeri akut b.d. cedera agen biologis: iskemia

2.
DS :-
DO :
  1. RR 50 kali/menit, irama ireguler dangkal
  2. Ekspansi dada tidak penuh
  3. Penggunaan otot bantu nafas
IMA





Penurunan cardiac output





Peningkatan frekuensi kontraksi jantung





Peningkatan beban kerja jantung





Keb O2 jantung meningkat





Takipnea

Ggn pola nafas
Gangguan pola nafas bd takipnea
3.
DS : Pasien mengatakan lemas dan tidak enak badan
DO:
  1. Akral dingin
  2. Kulit pucat, sianosis
Alkohol, rokok, genetik





Ateroskerosis





menyumbat PD koroner

Aliran darah terganggu





Iskemia miokard


Ketidakefektifan perfusi jaringan
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer bd iskemia

4
DS : Pasien mengatakan lemas dan tidak enak badan
DO:
  1. Akral dingin
  2. Kulit pucat, sianosis
IMA





Penurunan kontraktilitas otot jantung





Penurunan curah jantung





Suplai darah tidak adekuat





Kelemahan fisik


Intoleran aktivitas
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik




  1. Diagnosa Keperawatan
  1. Nyeri akut b.d. cedera agen biologis: iskemia (00132)
  2. Ketidakefektifan Pola Napas b.d takipnea (00032)
  3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer bd iskemia(00204)
  4. Intoleransi aktivitas bd kelemahan fisik

  1. Intervensi
  1. Nyeri akut b.d. cedera agen biologis: iskemia (00132)
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
  1. Domain 4, kelas Q
Pain control (1605)
  1. Meminum analgesik yang diresepkan
  1. Domain 5, kelas V
Pain level (2102)
  1. Ekspresi wajah terhadap nyeri
  2. Panjang episode nyeri
  3. Gelisah
  4. RR
  1. Domain 5, kelas U
Comfort status (2008)
  1. Merasa lebih baik kondisinya

Pain management (1400)
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
  2. Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
  3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
  4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
  5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
  6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin
  7. Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
  8. Tingkatkan istirahat



  1. Ketidakefektifan Pola Napas b.d takipnea (00032)
NOC
NIC
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien menunjukkan keefektifan pola nafas

Kriteria Hasil:
RESPIRATORY STATUS (0415)
  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
  2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
  3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)




RESPIRATORY MANAGEMENT (3350)
  1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
  2. Palpasi untuk mengetahui ekspansi paru
  3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
  4. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
  5. Monitor respirasi dan status O2 (Saturasi oksigen)
  6. Pertahankan jalan nafas yang paten
  7. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
  8. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tekhnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas
  9. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
  10. Monitor pola nafas
  11. Monitor vital sign

  1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer bd iskemia (00204)
NOC
NIC
Domain : 4. Activity/Rest
Class : 4. Cardiovascular/ Pulmonary Circulation status
  1. Tissue perfusion: cerebral
Kriteria hasil:
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandaidengan:
  1. Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
  2. Tidak ada ortostatik hipertensi
  3. Tidak ada tanda-tanda PTIK (tidak lebih dari 15 mmHg)
Peripheral sensation management
  1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas /dingin /tajam /tumpul
  2. Monitor adanya paretese
  3. Instrusikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi atau laserasi
  4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
  5. Batasi gerakan pada kepala, leher, dan punggung
  6. Monitor kemampuan BAB
  7. Kolaborasi pemberian analgetik
  8. Monitor adanya tromboplebitis
  9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi

  1. Intoleransi aktivitas b.d. ketidakseimbangan suplai oksigen (00092)
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien dapat melakukan aktivitas normal.

Kriteria hasil:
  1. Domain 1, kelas A
Activity Tolerance (0005)
  1. RR, TD dengan aktivitas
  1. Saturasi oksigen
  1. Domain 1, kelas A
Endurance (0001)
  1. Latihan otot
  1. Domain 1, kelas A
Psychomotor Energy (0006)
  1. Letargi

Activity Therapy (4310)
  1. Libatkan pasien pada aktivitas yang bisa dilakukan pasien
  2. Dampingi pasien untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan tujuan  yang mengandung latihan untuk mengasah kemampuan fisik
  3. Jaga lingkungan agar tetap aman bagi pasien untuk melakukan aktivitas
  4. Libatkan kelarga pasien dalam kegiatan latihan fisik pasien
  5. Monitor respon fisik pasien terhadap latihan fisik

  1. Evaluasi
  1. Nyeri akut berkurang
  2. Gangguan pola nafas berkurang
  3. Perfusi jaringan perifer membaik
  4. Peningkatan aktivitas pasien


DAFTAR PUSTAKA
Alexander, K.P., et al., 2007. Acute coronary care in the elderly, part I non-ST-segment-elevation acute coronary syndromes. A scientific Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Association Council on Clinical Cardiology;115: 2551
Alwi, I., 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi  ST  dalam  Buku  Ajar  Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (Ed. 4), Fakultas Kedokteran UI:  Jakarta
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450
Bassand JP, Hamm CW, Ardissino D et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of non-ST-segment elevation acute coronary syndromes. Eur Heart J 2011;28: 1598:1660
Black, J. M dan Hawks, J. H. 2014. Buku Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 3. Jakarta: Salemba Emban Patria
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard k., Dochterman, Joannee. 2013. Nursing    Interventoins Classification (NIC) Sixth Edition. USA: Mosby Elseiver
Clevo, M. Rendy & Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit    Dalam . Jakarta: Nuha Medika.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Fitantra, Johny Bayu. 2013. Sindrom Koroner Akut dalam http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/kardiovaskular/sindrom-koroner-akut/ diakses pada tanggal 8 Maret 2016 pukul 20.00
Gray,Huon H et all. Lecture Notes Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga
Greenberg, M.I. 2008. Teks-Atlas Kedokteran Kegawatdaruratan. Jakarta: Erlangga
Huda Nurarif, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Jurnal kasus : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2014343/ oleh Simon Maxwell, Br J Clin Pharmacol. 1999 Sep; 48(3): 284–298.
Kalim, H., 2001. Diagnostik dan Stratifikasi Risiko Dini Sindrom Koroner Akut. Dalam: Kaligis, R.W.M., Kalim, H., Yusak, M., Ratnaningsih, E., Soesanto, A.M. (eds). Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita, 227-228.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7nd ed , Vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 : 189-1.
M. Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue., Johnson, M. et. al. Nursing Outcomes Classifications (NOC)         Measurement of Health Outcomes Fifth Edition. USA: Mosby Elseiver
NANDA. 2014. Nursing Diagnosis: definitions and Classification 2015-2017.        Tenth Edition. NANDA International
Price S. A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
Ramrakha, P. 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st ed. USA: Oxford University Press
Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGrawHill 1434-1435.
Sjaharudin, H., Alwi, Idrus,. 2007. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M.K., Setiati Siti,. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1626-1631.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Surya Dharma. 2009. Sistematika Intepretasi EKG : Pedoman Praktis. Jakarta: EGC
Tambayaong, Jan. 2000. Patofisologi untuk Keperawatan. Jakarat: EGC
Trisnohadi Hanafi B, 2006. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1606-1609.







0 comments:

Post a Comment

Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.