BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
- Shock
- Definisi
Shock
adalah kondisi darurat yang mengancam jiwa yang terjadi ketika tubuh
tidak mendapatkan aliran darah yang cukup. Kurangnya aliran darah
berarti sel-sel dan organ tubuh tidak mendaptkan cukup oksigen dan
nutrisi. Hal tersebut akan menyebabkan kegagalan fungsi dan organ akan
mengalami kerusakan sebagai hasilnya. Shock memerlukan penanganan segera
dan dapat memburuk dengan cepat (Heller, 2014).
Shock
juga dapat disebut dengan kegagalan sirkulasi perifer akut akibat tidak
terkontrolnya peredaran darah atau terganggunya peredaran cairan dalam
tubuh. Hal ini ditandai dengan hipotensi, kulit dingin, takikardi dan
kecemasan. Shock yang tidak diobati aka berakibat kematian, disebut juga
dengan kolaps sirkulasi (Miller & Keane, 2003)
- Klasifikasi
Menurut Klaus & Lessnau (2015) ada 4 jenis Shock, diantaranya:
- Hypovolemic Shock (Volume rendah).
shock
terjadi ketika darah atau plasma hilang dalam jumlah besar. Sehingga,
darah yang tersisa tidak mampu mengisi sistem peredaran darah yang lain
meskipun pembuluh darah mengalami vasokontriksi.
Faktor presipitasi:
- Absolut
Hipovolemia: Perdarahan eksternal (perdarahan dari cidera, pembedahan,
GI bleeding). Kehilangan cairan tubuh (nuntah-muntah, diare, diabetes
insipidus, diabetes militus.
- Relatif
Hypovolemia: pengumpulan darah atau cairan (obstruksi saluran
pencernaan), perpindahan cairan (luka bakar, asites), internal bleeding
(faktur tulang panjang), hemothoraks, Vasodilatasi (sepsis)
Manifestasi Klinis:
- CRT ↓
- Urin Output ↓
- Kulit: pucat, dingin, lembab
- Ansietas, bingung
- Suara Peristaltic usus tidak ada
- Cardiogenic Shock
Shock
Kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Faktor presipitasi dari syok Kardiogenik:
- Disfungsi
sistolik: ketidakmampuan jantung untuk memompa darah. Contonya: infrak
miokard, cardiomiopati, cidera tumpul yang mengenai jantung, gangguan
sistemik parah atau hipertensi pulmonal, gangguan miokard.
- Disfungsi diastolick: ketidakmampuan jantung untuk mengisi selama diastole. Contoh: hipertropy ventrikel, cardiomiopati, pericardial tamponade.
- Disritmia
- Faktor structural.Contoh: stenosis atau regugirtasi, ventricular septal rupture. Tension pneumothorax.
Manifestasi Klinis:
- Tekanan darah sistol <90 mmHg
- HR >100x/menit
- Suara jantung lemah
- Urin output <30 ml/hr
- Nyeri dada
- Disritmia
- Crackles
- Penurunan cardiac output
- Cardiac index <2,2 L/min/m2
- Peningkatan arteri pulmonal
- Obstructive Shock
shock
obstruksi adalah terdapat halangan untuk aliran darah di pembulu darah.
Penyumbatan pada pembulu darah balik vena yang akan menyebabkan strock volume menurun dan mengakibatkan penurunan cardiac output dan suplai darah dalam jaringan.
Faktro
presipitasinya adalah obstruksi fisik yang menghambat pengisian atau
aliran darah sehingga mengurangi cardiac output. Contoh : tamponade
jantung, tension pneumothorax , sindrom vena kava superior, kompartemen
sindrom pada abdomen, emboli paru.
Manifestasi klinis:
- Tekanan darah turun
- Urin output turun
- Kulit: pucat, dingin, lembab
- Perfusi serebral menurun: ansietas, bingung
- Penurunan suara sampai suara tidak ada peristaltik usus
- Distributive Shock
Shock
yang terjadi karena gangguan penmakaian oksigen sehingga produksi
energi oleh sel terganggu (“Peate, Ian, Wild, Karen, and Nair,
Muralitharan, 2014). Shock distributif dapat disebabkan oleh kehilangan
tonus simpatis atau pelepasan mediator kimia ke sel-sel. Kondisi yang
menempatkan pasien dalam Shock distributif yaitu, Shock neurogenic, Shock anafilaktik dan Shock septik. Berbagai mekanisme yang mengarah pada keadaan awal dalam Shock distributif lebih kauh membagi klasifikasi Shock ini ke dalam 3 tipe :
- Shock
Neurogenik. Pada Shock neurogenic terjadi vasodilatasi sebagai akibat
dari hilangnya tonus simpatis. Tekanan dalam pembuluh darah menjadi
terlalu rendah untuk mendorong nutrisi melintasi membran kapiler, dan
metabolisme sel terganggu.
Faktor presipitasi:
- Efek hemodinamik akibat adanya cedera tulang belakang dan/atau penyakit pada atau diatas T5
- Anastesi spinal
- Depresi pusat vasomotor. Contoh : nyeri hebat, obat-obatan, hipoglikemia, cedera
Manifestasi:
- Penurunan tekanan darah
- Suhu tubuh tidak stabil naik dan turun
- Brakikardi
- Disfungsi kandung
- Perfusi kulit menurun
- Shock anafilaktik. Shock
ini disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah
membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) tersebut.
Faktor
presipitasinya adalah reaksi hipersensitifitas (alergi) terhadap
bahan-bahan sensitif. Contoh : media kontras, darah/produk darah,
obat-obatan, gigitan serangga, agen anastesi, makanan/bahan makanan
tambahan, vaksin, agen lingkungan, lateks
Tanda dan gejala
- Gatal dari meatus auditorius eksternal
- Dyspnea
- Laring edema (stridor) dan mengi (bronkospasme).
- Palpitasi dan takikardia
- Mual, muntah dan sakit perut
- Merasa pingsan
- Kehilangan kesadaran.
- Shock septik. Shock septik adalah bentuk paling umum dari Shock
distributif oleh infeksi yang menyebar luas dalam pembuluh
darah.Penurunan tekanan darah adalah reaksi terhadap infeksi serius yang
berkembang di dalam darah. Hal ini menyebabkan respon dari tubuh
dikenal sebagai sepsis.
Faktor presipitasi
- Infeksi. Contoh : Pneumonia, peritonitis, saluran kemih, saluran napas, prosedur invasive, kateter menetap
- Pasien
berisiko. Contoh : lansia, pasien dengan penyakit kronis (mis. Diabetes
mellitus,penyekit ginjal kronis, gagal jantung), pasien yang menerima
terapi imunosupresi atau pasien malnutrisi atau lemah
- Patofisiologi
Etiologi
penyebab shock seperti ketidakmampuan pompa jantung, invasi dari
mikroorganisme, maldistribusi dari volume sirkulasi, kehilangan volume
sirkulasi, aktivasi sel imun, kehilangan otot simpatik. Kemudian timbul
fase awal shock dimana CO berkurang dan perfusi jaringan terganggu.
Setelahnya akan terjadi homeostasis untuk mengembalikan CO, tekanan
darah, dan perfusi jaringan. Mekanisme kompensasi dimediasi oleh system
syaraf simpatik dan termasuk neural, hormonal, dan respon kimia. Respon
neural termasuk peningkatan HR dan kontraktilitas, vasokonstriksi vena
dan arteri, dan pemusatan darah ke organ vital.
Kompensasi
seperti itu dapat dikaji dengan pemeriksaan adanya takikardi, kulit
pucat dan dingin, RR yang meningkat, CRT yang lebih lama, dan perubahan
level kesadaran. Kompensasi hormonal termasuk respon renin, stimulasi
pituitary anterior dan medulla adreanal. Aktivasi respon renin akan
menghasilkan angiotensin 2 yang berespon terhadap vasokonstriksi ,
pelepasan aldosterone, dan ADH, yang menyebabkan retensi air dan sodium.
Kompensasi neural dan kompensasi hormonal menyebabkan inefektif perfusi
jaringan dan kegagalan kompensasi (yang mampu dideteksi dengan tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmhg) menyebabkan metabolismeaerob
menjadi metabolism anaerob dengan produksi asam laktat. Hal itu
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan meningkatkan kematian
seluler yang memicu MODS.
Stimulasi
dari pituitary anterior menghasilkan sekresi ACTH, yang menstimulasi
korteks adrenal untuk memproduksi glukokortikoid yang menyebabkan
kenaikan kadar glukosa darah dan pengeluaran katekolamin. Hal tersebut
masih bersambung dengan terjadinya MODS dan kompensasi berupa naiknya
serum laktat, deficit basa, output urin yang rendah, dan serum kreatinin
yang naik. Stimulasi medulla adrenal menyebabkan pengeluaran dari
epineprin dan norepineprin, yang lebih lanjut akan menigkatkanmekanisme
kompensasi (Urden,2014).
- Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan (Talbot, 1997):
- Shock kardiogenik
- Tes radiologik: Radiografi dada mungkin normal atau terdapat edema paru-paru
- GDA: Alkalosis respiratori awal yang berlanjut menjadi asidosis metabolik; terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
- Pemeriksaan
laboratorium: Penurunan konsentrasi natrium urin, peningkatan
osmolalitas urin, peningkatan berat jenis urin; hitung sel darah merah,
hemoglobin, dan hematokrit normal; leukositosis, peningkatan BUN,
kreatinin serum, K+ dan Ca+.
- EKG: Takikardia, disritmia ventrikular
- Shock neurogenik
- Tes radiologik: Radiografi spinal memperlihatkan fraktur servikalis atau cedera tulang belakang.
- GDA: Alkalosis respiratori awal yang berlanjut menjadi asidosis metabolik; mungkin terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
- Pemeriksaan
laboratorium: Penurunan konsentrasi natrium urin, peningkatan
osmolalitas urin, peningkatan berat jenis urin; hitung sel darah merah,
hemoglobin, dan hematokrit normal; peningkatan BUN, kreatinin serum.
- EKG: Frekuensi nadi jantung normal atau pelan.
- Shock anafilaktik
- Tes radiologik: Radiografi dada menyatakan edema paru-paru, bronkokonstriksi, edema faring dan laring.
- GDA: Alkalosis respiratori ada pada awalnya, tetapi asidosis metabolik terjadi sebagai shock lanjut; terdapat hipoksemia dan hipokapnia.
- Pemeriksaan laboratorium: Hitung sel darah merah, hemoglobin dan hematokrit meningkat; peningkatan sirkulasi histamin, K+ dan Ca+, peningkatan berat jenis urin, penurunan konsentrasi natrium urin, dan leukositosis.
- EKG: Perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, disritmia
- Penatalaksanaan
- Airway
Pastikan
jalan napas pasien tidak terhalang; periksa napas mereka. Berikan
oksigen seperti yang ditentukan menggunakan masker wajah atau kanul
hidung dan pantau efeknya.
- Breathing
Perawat
harus waspada dalam mendeteksi hiperventilasi terjadi di alkalosis
respiratorik yang menyebabkan kelelahan otot pernafasan. Jika ini
terjadi, pasien mungkin perlu ventilasi untuk membantu pernapasan
- Circulation
- Pantau tanda-tanda vital (suhu tubuh, denyut nadi dan laju respirasi, tekanan darah, saturasi oksigen - menggunakan pulse oksimeter)
setiap setengah jam untuk pasien berisiko terkena shock dan melaporkan
setiap perubahan segera sehingga tindakan bisa cepat diambil. pemantauan
terus menerus akan memberikan informasi tentang status pernapasan
pasien
- Pasien dapat dihubungkan ke
monitor EKG untuk menilai status jantung. Perawat harus akrab dengan EKG
penelusuran normal jantung sehingga mereka mampu mendeteksi dan
melaporkan setiap aritmia kepada orang yang bertanggung jawab
- Periksa
CRT. Pengisian kapiler lambat menunjukkan bahwa ada vasokonstriksi,
yang akan mengakibatkan menurunnya pengiriman oksigen ke jaringan
- Periksa nyeri dada dan amati bibir dan kuku jari jika terdapat sianosis, kecemasan dan kegelisahan
- Memantau
kondisi kulit terutama warna dan suhu, karena dapat menunjukkan
keparahan syok. Jika kulit pucat dan berkeringat, ini menunjukkan over
aktif aktivitas syaraf simpatik
- Disability
Kaji status kesadaran pasien (AVPU).Berkomunikasi
secara lisan dengan pasien karena sangat penting untuk memastikan bahwa
pasien sadar dan waspada. Jika perfusi serebral rendah, menyebabkan
hipoksia otak, pasien akan secara bertahap menjadi kurang responsif dan
akhirnya pingsan.
- Exposure/Enviroment
Pertahankan suhu tubuh pasien. Dengan cara memberikan pakaian atau pun selimut
- DIC (Dissaminated Intravascular Coagulation)
- Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di
seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil
dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan.Disseminated Intravascular Coagulation merupakan
gangguan umum akibat dari koagulasi atau penggumpalan darah. DIC dapat
terjadi dalam bentuk akut, kronis. Proses akut terlihat paling sering
pada penyakit kritis (Saunders, 2009). The International Society on thrombosis and hemostatis
juga mendefinisikan DIC merupakan sebagai sindrom yang diperoleh dan
ditandai dengan adanya aktivasi koagulasi pada intravaskular.
- Klasifikasi DIC
1). Acute DIC
Penggumpalan
darah yang terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu sampai
dua hari dan hal ini mengakibatkan sebagian besar bahan-bahan
koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan ( I
sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh
karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau
defibrinolysis syndrome.
2). Chronic DIC
Terjadi dalam waktu yang lama, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pada DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan
darah di pembuluh darah (tromboembolism). Faktor pembekuan dan
trombosit dapat berada pada nilai normal, meningkat, atau bahkan sedikit
menurun pada DIC kronik. DIC kronik lebih seringdialami pada pasien
dengankanker, perempuan yang membawa dead fetus danpada mereka dengananeurismaaortayang besar.
- Etiologi
Beberapa penyakit dapat menyebabkan perkembangan DIC, biasanya melalui 1 dari 2 jalur berikut(Levi, 2004):
- Respon inflamasi
sistemik, yang menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan aktivasi
berikutnya koagulasi (misalnya, pada sepsis atau trauma besar).
- Pelepasan
atau paparan bahan prokoagulan ke dalam aliran darah (misalnya, kanker,
cedera otak menghancurkan, atau dalam kasus-kasus kebidanan).
Dalam beberapa situasi (misalnya, trauma besar atau pankreatitis nekrosis berat), kedua jalur dapat hadir.
Tabel penyebab terjadinya DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation, 2014)
JENIS
|
PENYEBAB
|
Infeksi
|
- Bakteri (misalnya, sepsis gramnegative, infeksi grampositive, rickettsial)
- Viral (misalnya, HIV, cytomegalovirus [CMV], virus varicellazoster [VZV], dan virus hepatitis)
- Jamur (misalnya, Histoplasma)
- Parasit (misalnya, Malaria)
|
Keganasan
|
- Hematologi (misalnya, leukemia mielositik akut)
- Metastatik (misalnya, mucinsecreting adenokarsinoma)
|
Obstetris
|
- Plasenta abruption
- Emboli cairan ketuban
- Perlemakan liver akut pada kehamilan
- Eklampsia
|
Trauma
|
- Luka Bakar
- Kecelakan kendaraan bermotor
- Gigitan ular
|
Transfusi
|
- Reaksi hemolitik
- Transfusi
|
- Patofisiologi
Saat
terjadi luka, protein dalam darah yang membentuk gumpalan darah
perjalanan ke situs cedera untuk membantu menghentikan perdarahan. Jika
terjadi DIC, protein ini menjadi aktif di seluruh tubuh. Hal ini dapat
disebabkan oleh peradangan, infeksi, atau kanker. Gumpalan darah kecil
terbentuk di pembuluh darah. Beberapa bekuan ini dapat menyumbat
pembuluh dan memotong suplai darah ke organ-organ seperti hati, otak,
atau ginjal. Kurangnya aliran darah dapat merusak organ dan mungkin
berhenti bekerja dengan benar.
Seiring
waktu, protein pembekuan dalam darah akan dikonsumsi atau "habis."
Ketika ini terjadi, maka dapat mengakibatkan risiko tinggi perdarahan
yang serius, bahkan dari cedera kecil atau tanpa cedera. Dapat juga
terjadi pendarahan yang dimulai secara spontan (sendiri). Penyakit ini
juga dapat menyebabkan sel-sel darah merah yang sehat untuk memecah
ketika mereka melakukan perjalanan melalui pembuluh kecil yang dipenuhi
dengan gumpalan (Chen, 2013).
Pada keadaan disseminated intravascular coagulation (DIC), terjadi empat mekanisme secara bersamaan. Mekanisme tersebut adalah (Levi. 2014):
- Pembentukan trombin dan tissue factor(TF)
Pembentukan
trombin yang terdeteksi pada 3-5 jam setelah terjadinya bakteremia atau
endotoksemia. Paparan TF dalam sirkulasi terjadi melalui gangguan
endotel, kerusakan jaringan, atau ekspresi sel inflamasi atau tumor molekul
prokoagulan (termasuk TF). TF mengaktifkan koagulasi melalui jalur
ekstrinsik melibatkan faktor VIIa. TF-VIIA kompleks mengaktifkan
trombin, fibrinogen yang membelah menjadi fibrin sekaligus menyebabkan
agregasi platelet. Intrinsik (atau kontak) jalur juga dapat diaktifkan
di DIC, meskipun kontribusi lebih untuk hemodinamik ketidakstabilan dan
hipotensi daripada aktivasi pembekuan.
- Gangguan sistem koagulasi inhibitor
Pembentukan trombin biasanya
diatur secara ketat oleh beberapa mekanisme hemostatik.Namun, setelah
koagulasi intravaskular dimulai, mekanisme kompensasi kewalahan atau
tidak mampu.Fungsi Gangguan berbagai jalur mengatur alam aktivasi
koagulasi dapat memperkuat generasi trombin lebih lanjut dan
berkontribusi untuk pembentukan fibrin.
Kadar plasma dari inhibitor yang paling penting dari trombin, antitrombin, biasanya nyata berkurang pada pasien dengan DIC. Penurunan ini disebabkan oleh berikut:
- Antitrombin terus dikonsumsi oleh aktivasi koagulasi berkelanjutan
- Elastase diproduksi oleh neutrofil aktif menurunkan antitrombin serta protein lainnya
- Hilangnya Antitrombin yang terus berlanjut karena kebocoran kapiler
- Produksi antitrombin terganggu
- Fibrinolisis tidak sempurna
Fibrin yang diproduksi
oleh trombin normalnya dieliminasi melalui proses yang disebut
fibrinolisis. Model eksperimental menunjukkan bahwa pada saat aktivasi
maksimal koagulasi, sistem fibrinolitik sebagian besar mematikan.
- Aktivitas inflamasi
Jalur inflamasi dan
koagulasi berinteraksi dengan cara yang cukup besar. Jelas bahwa ada
cross-komunikasi antara 2 sistem, dimana peradangan menimbulkan aktivasi
pembekuan dan koagulasi yang dihasilkan merangsang aktivitas inflamasi
yang lebih kuat.
Banyak faktor koagulasi yang aktif
diproduksi di DIC berkontribusi terhadap penyebaran peradangan dengan
merangsang pelepasan sel endotel sitokin proinflamasi. Faktor Xa,
trombin, dan kompleks TF-VIIA masing-masing telah ditunjukkan untuk
memperoleh tindakan proinflamasi. Selain itu, mengingat tindakan
anti-inflamasi aktif protein C dan antitrombin, depresi antikoagulan ini
di DIC kontribusi untuk disregulasi lanjut peradangan.
- Manifestasi Klinis
Terdapat keadaan yang bertentangan yaitu trombosis dan pendarahan secara bersama-sama. Perdarahan lebih umum terjadi daripada
trombosis, tetapi trombosis dapat mendominasi bila koagulasi lebih
teraktivasi daripada fibrinolisis. Trombosis umumnya ditandai dengan
iskemia jari – jari tangan dan ganggren, mungkin pula nekrosis
kortekrenal dan infark adrenal hemoragik. Secara sekunder dapat
mengakibatkan anemia hemolitik mikroangiopati.
Perdarahan
dapat terjadi pada semua tempat. Dapat dilihat sebagai petekie,
ekimosis dan hematoma di kulit, hematuria, melena, epistaksis,
perdarahan gusi, hemoptisis dan kesadaran yang menurun sampai koma
akibat perdarahan otak. Gejala akibat trombosis mikrovaskuler dapat
berupa kesadaran menurun sampai koma, gagal ginjal akut, gagal napas
akut dan iskemia fokal dan gangren pada kulit. Jika dalam situasi akut
yang mungkin ditemukan:
- Perdarahan dan kemungkinan lokasinya meliputi:
- Telinga, hidung dan tenggorokan
- Saluran cerna
- Saluran pernafasan
- Infus IV
- Kebingungan atau disorientasi.
- Demam.
- Tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan dewasa (ARDS).
- Kulit dapat menunjukkan berbagai tanda-tanda termasuk:
- Petekie
- Purpura
- Berdarah bula
- Acral sianosis
- Nekrosis kulit dari tungkai bawah (fulminans purpura)
- Tanda-tanda thrombosis
- Lokalisasi infark dan gangren
- Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukkan:
- Prothrombin time (PT) memanjang (75%)
- Activated Partial Thromboplastin time (aPTT) memanjang
- Thrombin time ( TT) memanjang
- Kadar fibrinogen menurun
- Jumlah trombosit menurun
- Kadar D-dimer (yang berasal dari fibrin) meningkat yang mengindikasikan trombosis, aktivasi prokoagulan)
- Kadar FDP (aktivasi fibrinolitik) meningkat
- Kadar antitrombin (AT) yang merupakan pembentuk antitrombin III menurun (dibuktikan oleh konsumsi inhibitor) (90%)
- Morfologi sel darah merah menunjukan adanya sitosit pada hitung darah lengkap
- Uji faktor pembekuan biasanya ikut mengalami penurunan (Sivula, 2005)
Tabel Nilai normal uji laboratorium
Test
|
Nilai Normal
|
Aptt
|
30-40 detik
|
d-Dimer
|
< 250 ng/ml atau <250 mcg/L
|
Fibrin degradation products (FDP)
|
<10 mcg/ml
|
Fibrin monomers
|
Negatif
|
Fibrinogen
|
200-400 mg/dl
|
Hemoglobin
|
14-18 g/dl
|
INR
|
1,0: normal
2,0-3,0: moderate level anticoagulation
2,5 - 3,5: High level anticoagulation
|
Thrombin time
|
15 detik
|
Platelet count
|
150.000 – 400.000/mm3
|
Red blood cell peripheral smear
|
Normal
|
Kombinasi
peningkatan kadar D- dimer FDP adalah spesifik dan sensitif dalam
diagnosis DIC. AT dapat membantu dalam pengkajia keparahan DIC. PT dan
PTT yang memanjang serta penurunan kadar fibrinogen merupakan bukti
tahab konsumtif awal DIC lanjut. PT, PTT, dan TT yang dapat berubah
dengan penggunaan terapi antikoagulan. Trobositopenia, indiktor tidak
langsung pembentukan jendalan fibrin merupakan suatu tanda lanjut DIC
dan tidak spesifik terhadap proses.uji faktor pembekuan tidak tersedia
pada sebaian bear laboratorium standar.
Sistem skoring untuk mendiagnosa DIC antara lain:
- Menganalisa faktor resiko DIC, lakukan pengkajian lanjutan jika pasien mempunyai kelainan yang berhubungan dengan DIC
- Melakukan screening test yaitu hitung platelet, FDP, d-dimer, PT/INR dan Fibrinogen.
- Hasil tes
- Platelet counts: >100.000 = 0, sedangkan < 100.000 = 1, < 50.000 = 2
- Fibrin-related marker: tidak bertambah= 0, moderate= 2, strong = 3
- PT/INR: normal = 0, diatas normal = 1, 2x normal = 2
- Fibrinogen: normal = 0, kurang dari normal = 1
- Menjumlahkan skor yang didapat dari hasil tes. Jika lebih dari atau sama dengan 5 maka skor sesuai dengan diagnosis DIC. Sedangkan jika kurang dari 5 maka masih belum memenuhi diagnosis DIC perlu dikaji lebih lanjut.
- Penatalaksanaan
Pengobatan
cenderung sulit karena adanya kombinasi pendarahan dan pembekuan darah.
Hal yang sebisa mungkin dilakukan adalah pencegahan DIC dan
identifikasi dini. Bila DIC terjadi terapi yang dilakukan
bertujuan(DeLoughery, 2009):
- Menyingkirkan faktor pencetus
atau mengobati penyakit primer. Dengan mengatasi masalah yang
mendasari, DIC dapat dikendalikan sehingga koagulasi dapat ulih kembali.
- Pengobatan terhadap infeksi , shock, asidosis, dan hipoksia harus dijadikn prioritas.
- Terapi
heparin dapat mulai diberikan jika terjadi kegagalan organ akibat
hipoksia iminen. heparin tidak dianjurkan apabila DIC disebabkan sepsis
atau apabila terjadi pendarahan pada sistem saraf pusat ataupun pada
kasus pendarahan lain yang parah.
- Penggantian
cairan untuk mempertahankan perfusi organ semaksimal mungkin.
penggantian cairan dapat diberikan dengan memberikan cairan kristaloid
untuk mengatasi tahap awal shock. Meskipun terapi penggantian
darah dengan darah lengkap, kriopresipitat, sel darah merah, plasma beku
segar, dan trombosit sering kali diperlukan, tetapi hl ini tetap saja
beresiko karena produk produk darah tersebut dapat meningkatkan proses
pembekuan. Pada kondisi tertentu, plasma yang mengandung faktor VIII,
sel darah merah dan trombosit dapat diberikan
- Transfusi
trombosit atau plasma pada pasien DIC untuk pasien dengan perdarahan.
Pada pasien DIC yang mengalami perdarahan atau beresiko perdarahan
misalnya pasien pasca operasi atau pasien yang mengalami prosedur
invasive dan jumlah trombositnya kurang dari 50x90/L maka transfuse
trombosit harus dipertimbangkan.
- Secara
umum pasien dengan DIC tidak harus ditangani dengan agen
antifibrinolitik, pasien dengan DIC yang ditandai dengan keadaan
hyperfibrinolyticprimer dan dengan perdarahan yang parah dapat diobati
dengan analog lisin seperti asam traneksama.
- SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
- Definisi
Systemic Inflammatory Response Syndrome
atau SIRS terdiri dari rangkaian kejadian sistemik yang terjadi sebagai
bentuk respons inflamasi. Respons yang terjadi pada SIRS merupakan
respons selular yang menginisiasi sejumlah mediator-induced respons pada
inflamasi dan imun (Burns M. & Chulay, 2006).SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
adalah respon klinis terhadap rangsangan (insult) spesifik dan
nonspesifik (Leksana, 2013).SIRS (Systemic Inflammatory Response
Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan (insult)spesifik dan
nonspesifik. Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4
variabel berikut:
1. Suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36 oC.
2. Denyut jantung lebih dari 90 x/menit.
3. Frekuensi napas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) kurang dari 32 mmHg.
4. Leukosit >12.000/μL atau <4.000/μL atau >10% bentuk imatur
- Etiologi
Selain
infeksi, penyebab lain SIRS meliputi pankreatitis, iskemia, perdarahan,
syok, kerusakan organ yang diperantarai oleh reaksi imun, luka
bakar.Penyebab bedah tersering (Grace&Borley, 2007) :
- Pankreatitis akut
- Perforasi viskus dengan peritonitis
- Colitis fulminan
- Trauma multiple
- Transfuse darah massif
- Pneumonia aspirasi
- Trauma reperfusi pada iskemia
- Patofisiologi
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
- Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi sistemik.
- Terlepasnya
endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam
sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
- Inflamasi
lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas
respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi
sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin
kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
- Manifestasi Klinis
Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4 variabel berikut (Leksana, 2013) :
- Suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36 oC.
- Denyut jantung lebih dari 90 x/menit.
- Frekuensi napas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) kurang dari 32 mmHg.
- Leukosit >12.000/μL atau <4.000/μL atau >10% bentuk imatur
- Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis SIRS (Burns M. & Chulay, 2006), yaitu:
- Pemeriksaan sel darah lengkap
Jumlah sel darah putih > 12.000 sel/ mm3 atau < 4.000 sel/mm3 atau > 10% berbentuk imatur.
- Arterial Blood Gas
PaCO2< 32 mmHg
- Chest X-ray
Mungkin terlihat normal atau menunjukkan tanda infiltrate.
- Kultur dan sensitivitas
Secara umum positive dari sumber yang steril pada keadaan normal.
- Computed axial tomography scan
Mungkin negatif atau menunjukkan pengumpulan abses.
- Penatalaksanaan
Perbaikan
hemodinamik—preload (terapi cairan), afterload, dan
contractility—dilakukan pada tahap akhir.Preload: dapat diawali dengan
pemberian cairan kristaloid (Ringer’s lactate), dapat dilanjutkan dengan
cairan koloid (HES [hydroxyethyl starch]) bila tidak terjadi perbaikan.
Larutan
seimbang (balanced solution) adalah cairan yang memiliki komposisi
mendekati komposisi cairan tubuh, mengandung elektrolit fi siologis
(Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan Cl-) yang memberikan kontribusi terhadap
osmolalitas, dan dapat mempertahankan keseimbangan asam-basa yang normal
dengan bikarbonat atau metabolisable anions.
Cairan
koloid HES tersedia dalam beberapa pelarut: NaCl, larutan seimbang, dan
Ringer’s acetate. McFarlane dkk. membandingkan pemberian NaCl 0,9 %
dengan dosis 15 mL/kgBB/jam pada 30 pasien yang akan menjalani
pembedahan pankreas atau hepatobilier. Asidosis metabolik terjadi lebih
cenderung terjadi di kelompok salin dibandingkan dengan kelompok
elektrolit seimbang. Scheingraber dkk. melakukan studi pada 24 pasien
yang akan menjalani operasi ginekologik yang diberi NaCl 0,9 % atau
Ringer’s lactate dengan dosis 30 mL/kgBB/jam; pemberian NaCl volume
besar dapat mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik karena penurunan
SID (strong ion difference).
Pemakaian
salin dalam jumlah besar mengakibatkan asidosis hiperkloremik. Wilkes
dkk. membandingkan pemberian cairan intravena (HES dalam elektrolit
seimbang + Ringer’s lactate) atau salin (HES dalam 0,9% NaCl + salin
normal) pada pasien yang akan menjalani pembedahan mayor.
Kejadian
asidosis hiperkloremik lebih tinggi secara bermakna (p=0,0001) di
kelompok salin jika dibandingkan dengan di kelompok yang diberi cairan
elektrolit seimbang, sehingga British Consensus Guideline on Intravenous
Fuid Therapy for Adult Surgical Patient merekomendasikan pemakaian
cairan balanced crystalloid atau cairan koloid (HES) di dalam larutan
elektrolit seimbang dibanding cairan salin.
- Sepsis
- Definisi
Kata sepsis berasal
dari istilah Yunani yaitu busuk atau "untuk membuat busuk". Sepsis
merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses
inflamasi (Widodo, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Martin et al memperkirakan insiden sepsis di Amerika Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al
melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000 orang. Insiden
diproyeksikan meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Peningkatan mortalitas
yang dilaporkan pada studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari
17,9% untuk sepsis sampai 28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini
diterjemahkan menjadi kurang lebih 750.000 episode baru untuk sepsis
berat,dengan mortalitas tahunan berkisar 220.000 (29%) di AS.
Tahun 1992 dua konferensi telah mengajukan konsep Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya
kultur darah positif. Kriteria SIRS dilampirkan pada tabel 1. Sepsis
sendiri mewakili SIRS yang diinduksi oleh infeksi, sepsis berat adalah
sepsis dengan disfungsi salah satu organ atau system organ dan syok
sepsis adalah sepsis berat dengan hipotensi.
Tabel Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine.
Dua atau lebih dari kriteria berikut dibutuhkan :
|
- Suhu tubuh>38°C atau <36°C
- Laju nadi>90 kali per menit
- Laju pernapasan>20 kali per menit atau pCO2 <32 mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik
- Leukosit>12.000/mm3 atau <4000/mm3atau >10% bentuk imatur
|
Sepsis adalah SIRS yang diikuti oleh terjadinya infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme
dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS,
sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri,
tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri
hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas,
seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer
(tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau sering kali sekunder terhadap
fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler.
Sepsis berat adalah
sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi atau
hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada:
- Asidosis laktat
- Oliguria
- Atau perubahan akut pada status mental
Berdasarkan
pada konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001
menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang
terpenting adalah dengan memasukan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CPR), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult infection, response, and organ disfunction (PIRO)
untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik
pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.
- Etiologi
Penyebab
dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60
sampai 70 % kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi
sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.
Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein
kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram
negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada
penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphlococci, Pneumococci, Streptococci
dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan
angka kejadian 20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Seain itu jamur
oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen
dinding sel dari semua kuman, pemberian infuse substansi ini pada
binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksik.
Peptidoglikan diketahui dapat memberikan agregasi trombosit.Eksotoksik
yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya α-hemolisin (S. Aurens),E. Coli hemolisin
(E. coli) dapat merusak integritas membrane sel imun secara langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS
endotoksik gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan system imun seluler dan
humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS
sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran
mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag
mengeluarkan polipeptida, yang disebut factor nekrosis tumor (Tumor nekrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
Mayoritas dari kasus-kasus
sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh
infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh
penyebab-penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin
menyebabkan SIRS.
- Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.
- Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli, malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
- Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.
- Perawatan antenatal yang tidak memadai.
- Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus.
- Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
- Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
- Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus.
Agen-agen infeksius,
biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi organ
atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan,
tempat operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi
atau racun-racun mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara
langsung atau tidak langsung kedalam aliran darah. Hal ini memungkinkan
mereka untuk menyebar ke hampir segala sistim organ lain. Kriteria SIRS
muncul ketika tubuh mencoba untuk melawan kerusakan yang dilakukan oleh
agen-agen yang dilahirkan darah ini. Penyebab-penyebab bakteri yang umum
dari sepsis adalah gram-negativebacilli (contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenisStreptococcus dan jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar jenis bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis. Jenis-jenis Candida adalah
beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis. Pada
umumnya, seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga
tindakan-tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung-sarung
tangan steril, masker-masker, dan penutup baju harus dipertimbangkan
tergantung pada sumber infeksi pasien.
- Patofisiologi
Reaksi inflamasi, dipicu
oleh berbagai injury events yang disebut sebagai activators, terdiri
atas: 1) mikroorganisme, 2) produk dari mikroorganisme (endotoksin dan
eksotoksin), 3) jaringan nekrotik, 4) trauma pada jaringan lunak dan 5)
ischemic-reperfusion. Seluruh activator tersebut dapat bertindak sendiri
atau bersama-sama sebagai pemicu untuk mulai terjadinya reaksi
inflamasi yang memicu reaksi berantai yang disebut sebagai inisiators
sehingga menghasilkan respons reaksi inflamasi LIRS dan SIRS (Fry,
2000).
Terminologi sepsis syndrome adalah respons inflamasi
dan respon hipermetabolik di tingkat sel, organ, dan sistem organ
akibat berbagai pemicu, baik berasal dari mikroorganisme dan produknya
atau stimuli eksogen (accidental blunt, trauma penetrasi, surgical trauma, luka bakar, pankreatitis, inflamatory bowel disease,
dll). Jika bakteri, fungi atau virus sebagai penyebab terjadinya sepsis
syndrome, dipakai istilah sepsis. Infeksi mikroorganisme menghasilkan
respons inflamasi secara lokal terhadap mikroorganisme atau invasinya ke
jaringan yang pada awalnya steril. Istilah bacteremia berarti adanya
bakteri yang terlepas/lolos kedalam sirkulasi. Kondisi viremia dan
fungemia merupakan hal yang serupa dengan kejadian bacteriemia, tetapi
mikroorganismenya saja yang berbeda. Walaupun pemicu yang berbentuk
activator berbeda-beda untuk terjadinya reaksi inflamasi tersebut, akan
tetapi patofisiologinya terlepas penyebab apakah infeksi atau
non-infeksi, bentuk akhirnya sam. Karena itu, pada saat ini disebut
sebagai common pathway of inflamatory respons. Mekanisme pertahanan
norma tubuh agar tidak terjadi infeksi, terdiri atas: 1) kulit membran
mukosa, 2) sistem fagosit, 3) humoral immunity, dan 4) imunitas selular.
Faktor-faktor penentu untuk
terinfeksi atau tidak oleh mikroorganisme, tergantung pada: 1)
patogenitas dari mikroorganisme, 2) status pertahanan tubuh host, 3)
lingkungan mikroorganisme, dan 4) adanya benda asing.
Endotoksin
berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdirir
atas lapisan membran terdalam dan mebran terluar. Pada lapisan membran
terluar terdapat protein yang disebut LPS (lipopolysaccharide, endotoksin),
mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis
sel efektor. Yang sangat penting adalah kemampuan endotoksin/LPS sebagai
pemicu terlepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor, yaitu
mediator primer. Target sel utama atau efektor utama yang terpicu oleh
endotoksin adalah sel endotel pembuluh darah. endotoksisn sendiri dapat
menghasilkan efek toksis langsung terhadap sel. Sedangkan mediators yang
terlepas akibat terpicu oleh endotoksin disebut sebagai secondary
mediators, yang terdiri dari berbagai cytokine yang diproduksi dan
dilepaskan secara luas oleh sel efektor: makrofag, monosit dan bermacam
jenis sel lainnya yang menghasilkan gejala sepsis. Pada infeksi berat
dapat terjadi respons sitokin yang berlebihan serta tidak terkontrol
secara baik. Sekresi sitokin yang berlebihan dan diikuti sekresi
antagonisnya dalam beberapa hari berturut-turut akan menghasilkan
akibat-akibat yang sangat berbahaya, dan hal tersebut disebut dengan
auto toxicus (Fry, 2000).
Respons fisiologis tubuh pada peritonitis umum
sekunder terdiri atas interaksi kompleks anatara respons hemodinamik
sistemik dan mkrosirkulasi, respons metabolik dan immunologik yang
dikenal sebagai SIRS. Akibat langsung atau tidak langsung
respons-respons tersebut, akan terjadi the state of physiological
deragment atau “tingkat kekacauan fisiologis”, merupakan konsekwensi
dari kontaminasi masif bakteri atau andotoksin yang berakibat
selanjutnya terjadi respons inflamasi hebat di rongga peritoneum,
sehingga terjadi hal-hal sebagai berikut:
- Hilangnya cairan ke rongga
ketiga dalam bentuk sekuster, cairan edema dan ekstravasasi cairan ke
rongga perotoneum dan kedalam lumen usus, atau keluar melalui muntah
atau slang lambung akibat terdapatnya ileus paralitik pada peritonitis.
- Akibat selanjutnya terjadi hipovolemia dan shock
yang diikuti dengan terjadinya kompensasi viscero-kutaneous
vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, berakibat terjadinya disfungsi organ
tunggal atau multipel, disebut sebaga single or Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS pada organ-organ splangnik yang dikorbankan perfusinya, taitu pada hati, limpa, ginjal, pankreas dan organ viskus lainnya.
- Mikroorganisme
dan endotoksin tersebut merupakan pemicu kuat terbentuknya respons
imunologik, menghasilkan mediator dan bermacam sitokin serta chemoattratan cytokines atau chemokines, sehingga terjadi respons reaksi inflamasi lokal atau Local Inflammatory Respons Syndrome (LIRS).
- Bila
pemicu tersebut dalam jumlah masif, segera dihasilka mediator dan
sitokin dalam jumlah besar, sehingga berikutnya terjadi respons
inflamasi sistemik atau SIRS.
Ganggguan fisiologi yang terjadi sebagai akibat dari reaksi inflamasi hebat tersebut, menyebabkan terjadinyak shock
hipovolemik dan berakibat terjadinya gangguan hemodinamik sistemik,
terganggunya perfusi pada mikrosirkulasi pada organ terakhir yang
berakibat munculnya MODS serta terjadinya metabolik asidosis (physiological deragment) (Siegel et al, 1979).
- Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya di dahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi
- Demam,
- Menggigil,
- Gejala konstitutif seperti lelah, malaise gelisah dan kebingungan.
Gejala tersebut
tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi
inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru,
fraktur digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf
pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya
berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes,
kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.
- Pemeriksaan Diagnostik
- Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan
fisik yang menyeluruh. Pada semua pasienneutropenia dan pasien dengan
dugaan infeksi pelvis dan genital. Pemeriksaantersebut akan mengungkap
abses rectal, perirektal, dan/atau perineal, penyakitdan/atau abses
inflamasi pelvis, prostatitis.
- Pemeriksaan laboratorium
- Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan
hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada.biakan
darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
- Lakukan
Gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular,
ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3)
biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering
terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (1-5ml pada anak) dan
inokulasikan dengan trypticase soy broyh dan thioglycolate soybroth. Waktu sampel untuk spike demam intermiten, bakterimia dominan 0,5 jam sebelum spike.
Jika terapi antibiotic sudah dimulai, beberapa macam antibiotic dapat
dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis
pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan
- foto abdomen,
- CT Scanning,
- MRI,
- elektrokardiografi,
- dan/atau lumbar puncture.
Temuan laboratorium lain :
- Sepsis Awal.
Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,
dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung
granulasi toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi
menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan
oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum
meningkat.
- Trombositopenia
memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan
keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver)
meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum.
- Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator
- Hipoksemia
tidak dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlan gejala SIRS dan
berat proses penyakit.
- Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis
yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol
sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan,
terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ
atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap
kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi
respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
- Resusitasi
Mencakup tindakan
- airway (A),
- breathing (B),
- circulation (C)
Dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi
pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%.
Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC
untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).
- Eliminasi sumber infeksi
Tujuannya untuk
menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya
tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami
obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan
secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.
- Terapi antimikroba
Merupakan
modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui
sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau
lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur
dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena
pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik
yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang
hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal
multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik
daripada monoterapi.
- Terapi suportif
- Oksigenasi
Pada keadaan
hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
- Terapi cairan
- Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
- Pada
keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
- Transfusi
PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah
pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10
g/dL.
- Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan
setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan adekuat,
akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis
rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone
dan milrinone)
- Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik
- Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor
dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit)
seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis,
namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
- Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi
(glikolisis, glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel,
peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan
hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis,
kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral
perlu diberikan sedini mungkin.
- Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU,
menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada
kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah
antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru
diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan
gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu
dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
- Gangguan koagulasi
Proses
inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan
dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di
sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa
heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan
dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
- Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam
terapi sepsis.
- Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal
dan monoklonal, analog lipopolisakarida); antimediator spesifik
(anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit
asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan
(N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA);
imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik
(kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated
protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi
dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari
bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan
untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan
risiko kematian yang tinggi.
Penanganan Severe sepsis dan
syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai
hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC)
adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional
dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septik.
Penanganan berdasarkan SSC:
- Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h)
Resusitasi awal pasien sepsis
harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis.
Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU.
Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden hours” merupakan
kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila
terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi
awal tidak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian
antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab infeksi.
- Resusitasi Hemodinamik
Resusitasi awal dengan
pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat
memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat
diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP ≥ 65mmHg,
produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior ≥ 70%
atau saturasi mixedvein ≥ 65%
- Terapi inotropik dan Pemberian PRC
Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC dapat dipertimbangkan. Hematokrit ≥ 30% diinginkan untuk menjamin oxygendelivery. Meningkatkan cardiac index dengan pemberian dobutamin sampai maksimum 20ug/kg/m.
- Terapi Antibiotik
Antibiotik segera diberikan
dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik sebaiknya
mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti Bahwa pemberian
antibiotik yang adekuat dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi
dengan mortalitas.
- Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi
Diagnosis tempat penyebab
infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam pertama.
Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen jaringan
nekrotik atau melepas alat yang potensial terjadi infeksi.
- Sepsis Management Bundle (24 h bundle)
- Steroid
Steroid diberikan bila
pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik pada pasien
syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (<300mg/hari) dapat
dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak
respon terhadap resusitasi cairan dan vasopressor.
- Ventilasi Mekanik
Lung Proteti ve strategies untuk
pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan ventilasi mekanik sudah
diterima secara luas. Volume tidal rendah (6cc/kg) dan batas plateau pressure ≤
30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS. Pola pernapasan ini
dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif. Pemberian PEEP
secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan yang
optimal.
- Kontrol Gula Darah
Beberapa penelitian menunjukkan
penurunan angka kematian di ICU dengan menggunakan terapi insulin
intensif. Peneliti menemukan target GD < 180mg/ dl menurunkan
mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode
hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC
adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl.
- Recombinant Human-Activated Protein C (rhAPC)
Pemberian rhAPC
tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang rendah atau
pada anak-anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan
risiko kematian tinggi (APACHE II≥25 atau gagal organ multipel)
- Pemberian Produk darah
Pemberian PRC dilakukan
bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb antara 7-9
g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki
hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali
ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif.
Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa
memperhatikan perdarahan.
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis:
- Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).
Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis
memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas klien. Intubasi
diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi
mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan
dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran
darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan
terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid
atau koloid) dan inotop/vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin,
epinefrin, atau norefinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan
peredaran darah. CVP (central venous arteri) normal 10-15 cm dari NaCLl; PAW normal (wedge pressure artery paru) 14-18mmHg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infuse cairan.
Pasien
dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
(tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah
jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkankan
dialysis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri
pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, missal, dopamin,
dobutamin, atau norepinefrin.
- Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Agen antimicrobial tertentu
dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu
menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih
banyak masalah bagi pasien. Antimicrobial yang tidak menyebabkan pasien
memperburuk adalah: karbapenem, seftriakson, safepim, glikopeptida,
aminoglikosida, dan quinolon.
Perlu
segera diberikan perawatan empiric dengan antimicrobial. Pemberian
antimicrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan
angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan
regimen antimicrobial dengan spectrum aktivitas luas. Hal ini karena
terapi antimicrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang
menyebabkan sepsis di identifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis adalah:
- Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.
Biasanya
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepin)
diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
- Pneumonia nosokomial: sefipin atau iminemsilastatin dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen : iminepem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida.
Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan amfoterisin-B.
- Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau pipersilin-tazobaktam.
- Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
- Infeksi SPP: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem.
- Infeksi SSP nosokomial SSP: meropenem dan vankomisin.
Obat
berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk
menunjukkan bahwa bahan antimicrobial yang berbeda dipilih tergantung
pada penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan
bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas
antibiotic menunjukkan macam antimicrobial yang terhadapnya organisme
memiliki sensitivitas.
- Fokus Infeksi Awal Harus Diobati
Hilangkan benda
asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic.
Angkat organ yang tak terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
ganggren.
- MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome)
- Definisi
Sindrom Disfungsi
Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS) didefinisikan
sebagai adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan >2 sistem
organ) pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan lagi tanpa intervensi. Kejadian MODS sebagian besar
disebabkan oleh infeksi. Penyebab lain adalah trauma dan proses
inflamasi non-infeksi. Deskripsi MODS pertama kali menegaskan
hubungan kejadiannya dengan infeksi laten atau tidak terkontrol, yang
tersering adalah peritonitis dan pneumonia. Namun, infeksi tidak harus
selalu ada dan sifatnya lebih sering mengikuti, daripada mendahului,
terjadinya MODS. Pada lebih dari 1/3 pasien MODS, tidak ditemukan fokus
infeksi. (Tabrani Rab, 2007).
- Etiologi
Beberapa jenis jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat menyebabkan MODS, antara lain (Aryanto Suwoto, 2007) :
a. Infeksi (bakteri, virus)
b.Trauma (trauma multiple, pasca operasi, heat injury, iskemia visceral)
c. Inflamasi (HIV, eklamsia, gagal hati, tranfusi masif)
d. Non infeksi (reaksi obat, reaksi tranfusi)
- Patofisiologi
Saat
ini terdapat berbagai teori yang berusaha menjelaskan patofisiologi
terjadinya MODS, antara lain hipotesis mediator, hipotesis “gut-as motor”, hipotesis kegagalan mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi. Hipotesis mediator diungkapkan
atas dasar ditemukannya peningkatan nyata kadar TNF-a dan IL-1b.
Sitokin-sitokin ini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer dan
bahwa ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau paling
tidak mengurangi terjadinya MODS-like syndrome.9 Hipotesis “gut-as motor,”
teori yang paling banyak dibahas saat ini, menyatakan bahwa translokasi
bakteri atau produknya menembus dinding usus memicu terjadinya MODS.
Malnutrisi dan iskemia intestinal diketahui sebagai penyebab translokasi
toksin bakteri ini.1 Hipotesis yang terkuat dibanding dua hipotesis
patogenesis MODS sebelumnya adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler.
Pada kasus sepsis dan SIRS, terdapat penurunan curah jantung, penurunan
tekanan perfusi sistemik, atau perubahan selektif perfusi sistem organ,
yang mengakibatkan hipoperfusi atau iskemia sistem organ. Perfusi
jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan distribusi aliran darah
yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya. Ada pula
hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel sebenarnya memadai
tetapi oksigen tersebut tidak dapat digunakan oleh sel, mungkin
disebabkan abnormalitas jalur fosforilasi oksidatif di mitokondria.
Kerusakan endotel vaskuler akibat mediator SIRS menyebabkan defek
permeabilitas dan mengganggu integritas endotel, menimbulkan edema atau
gangguan fungsi sistem organ. Eritrosit yang rusak dengan perubahan
bentuk atau property rheologik juga memudahkan terjadinya sumbatan atau
obstruksi mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan iskemia seluler.
Hipotesis “two-hit” menyatakan bahwa terdapat 2 pola MODS, dini (dalam 72 jam setelah jejas) dan lambat. MODS dini disebabkan oleh proses “one hit”, sedangkan MODS tipe lambat disebabkan oleh proses “two hit”. Pada model “one hit”,
jejas primer sedemikian masifnyasehingga mempresipitasi SIRS berat,
menyebabkan MODSyang dini dan seringkali letal. Pada model “two hit”, terjadijejas akibat pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first hit),
menyebabkan SIRS yang moderat. Adanya presipitasiinfeksi/ jejas
non-infeksi dapat mengamplifikasi keadaaninflamasi awal tersebut menjadi
SIRS yang berat, yang cukup untuk menginduksi MODS tipe lambat (umumnya
6-8 hari setelah jejas awal). Pada sebagian besar pasien MODS, tidak
dapat ditelusuri satu penyebab sebagai pemicu MODS. Oleh karena itu
hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa tampaknya MODS merupakan akibat
akhir dari disregulasi homeostasis yang melibatkan sebagian besar
mekanisme yang telah diuraikan di atas.
- Manifestasi Klinis(Aryanto Suwoto, 2007)
- Disfungsi kardiovaskular; edema dan restribusi cairan
- Disfungsi respirasi; takipnea, hipoksemia, hiperkarbia
- Disfungsi ginjal; gagal ginjal akut
- Disfungsi gastrointestinal; perdarahan stress ulcer, pancreatitis, hiperglikemia
- Disfungsi neurologis; ensefalopati
- Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic
MODS bisa dilakukan dengan Pendekatan Klinis dengan Sistem Skoring.
Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai alat deskriptif untuk
menstratifikasi dan membandingkan status pasien di ICU dalam hal
morbiditas, bukan mortalitas (kecuali Logistic Organ Dysfunction System/
LODS) (Herwanto & Amin, 2009).
Parameter
|
MODS
|
SOFA
|
LODS
|
Respirasi
|
PaO2/FiO2
|
PaO2/FiO2
Dukungan ventilasi
|
PaO2/FiO2
Status ventilasi/ CPAP
|
Koagulasi
|
Hitung trombosit
|
Hitung trombosit
|
Hitung Leukosit
Hitung trombosit
|
Hati
|
Konsentrasi bilirubin
|
Konsentrasi bilirubin
|
Konsentrasi bilirubin
Waktu protombin
|
Kardio-vaskular
|
Frekuensi jantung X (CVP/MAP)
|
Tekanan darah
Dukungan adrenergik
|
Frekuensi jantung
Tekanan darah sistolik
|
SSP
|
GCS
|
GCS
|
GCS
|
Ginjal
|
Konsentrasi kreatinin
|
Konsentrasi kreatinin atau volume urin
|
Konsentrasi ureum dan kreatinin volume urin
|
- Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dibagi atas 2 yakni prevensi dan pengobatan dengan hal ingin dicapai terdapatnya adekuat oksigenasi jaringan,
mengobati infeksi, adekuat nutrisional support dan bila mungkin
melakukan tindakan seperti hemodialisis. Adapun tindakan yang perlu
dilaksanakan:
a. Pencegahan;
teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena penelitian didapat
40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi
nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan,
ruangan isolasi serta pelapisan kateter IV dengan silikon/ zat
antibakteri dapat mengurangi insiden MODS.
b. Resusitasi untuk mengatasi shock dan monitor kulit, tekanan darah, temperature, aliran urin, O2 saturasi dan asam laktat dan pH.
c. Debridement dari jaringan yang telah membusuk
d.
Mengatasi infeksi yang terjadi baik infeksi intraabdominal, sepsis,
infeksi oleh karena pemasangan kateter, infeksi yang berasal dari usus
daninfeksidari daerah lainnya.
e.
Memberikan nutrisi yang cukup baik dengan enteral, parenteral, bila
perlu memberikan kalori yang berlebih. Pada MOSF non kalori intake 23-35
kalori/kg/hari (3-5 gr/kg/hari glukosa ditambah dengan 0,5-1 gm/kg/hari
protein), untuk memberikan kalori digunakan keseimbangan harris
benedict.
f.
Terapi yang diberikan kortikosteroid dan prostaglandin-1 inhibitor.
Kemudian diberikan pula imunoterapi, fibronisentin yang merupakan suatu
glikoprotein kompleks yang merangsang fagositosis, dan dapat pula
diberikan ibuprofen.
g.
Control kausa; hal terpenting dalam penatalaksanaan MODS adalah
menghilangkan factor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
- Kasus
Tn. S 46 Tahun dengan BB 55kg dirawat diruang intensive dengan internal bleeding+post
laparotomi+sepsis+hemothoraks+CF 2-6 lateral dextra. Riwayat sebelumnya
mengalami kecelakaan lalu lintas motor dengan mobil dari arah
berlawanan. Sekarang terpasang drainase pada daerah perut hari
keenam.Data tanda-tanda vitalTD: 114/70 mmHg (Hipotensi), RR:22x/menit,
Nadi: 110x/menit, Suhu: 37o C, Terpasang ventilator dengan data CPAP, FiO2: 40%, PEEP: 8, SaO2: 97%, Hasil Lab:BUN: 30 mg/dl, Albumin: 2,9 g/dl, Platelet: 9,3 (nilai normal: 150.000 – 400.000mm3 ), Na: 140 mmol/dl, Kalium: 4 mmol, Hb: 11,7, leukosit: 14000.
Primary Survey
- Airway : Tidak ada sumbatan pada jalan napas
Manajemen: -
- Breathing : RR 22x/mnt, Takipnea,
Manajemen: Terpasang ventilator dengan mode CPAP, FiO2= 40%, PEEP: 8, SaO2 = 97%
- Circulation
: Akral (dingin, basah, pucat), sianosis (+),CRT: >2dt, perdarahan
interna (+) pada abdomen dan thorax, TD 114/70; HR 110x/m; S 37 C
Manajemen :
- Memonitoring terjadinya edema
- Internal bleeding pada :
Thorax: lakukan chesttube WSD
Abdomen: Laparotomy
- Memonitoring Capilary Refiil Time
- Resusitasi cairan : Normal saline atau albumin atau keduanya untuk mempertahankan PAWP 10 – 17 mmHg
- Tranfusi darah :Sesuai kebutuhan untuk mempertahankan Hgb 7-9 g/dl
- Disability : kesadaran apatis
Manajemen :
A (allert) : klien sadar
V (verbal) :ketika dipanggil klien tidak berespons, hanya merintih
P (pain) : klien berespons terhadap rangsang nyeri yang diberikan
U (unresponsive) : klien masih dalam keadaan responsive
- Exposure : Deformitas (-), Edema (-),adanya jejas di daerah Thorax
Manajemen : -
Secondary Survey
- Pemeriksaan fisik
B1 (Breath) : Klien mengalami sesak napas dengan RR 22x/menit
B2 (Blood) : TD 114/70; HR 110x/m; S 37 C
B3 (Brain) : Apatis, Akral (dingin, basah, pucat)
B4 (Bladder) : Prod urin 220 cc/8 jam. Imbang cairan + 1320 cc/ 24 jam
B5
(Bowel) : Post op laparotomy, terpasang drainage di daerah perut hari
ke 6 dengan karakteristik berwarna merah kehitaman dan terdapat pus.
B6 (Bone) : Fraktur costae 2-6 lateral dextra.
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Lab:BUN : 30 mg/dL, Albumin: 2,9 g/dL, Platelet: 9,3 , Na: 140 mmol, K: 4 mmol, Hb: 11,7, Leukosit: 14000
(pada pasien ini telah mengalami sepsis sehingga harus dilakukan kultur darah).
- Pemeriksaan X ray:Adanya fraktur costa 2-6 lateral dextra dan ada (Haemothorax)
Analisis Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
Data Subyektif: -
Data Obyektif:
- TD 114/70 mmHg
- Nadi 110x/menit, iregular
|
Perdarahan
↓
Shock
↓
Reduksi volume intravaskuler
↓
Ketidakadekuatan sirkulasi volume darah
↓
↑ venus return ke jantung
↓
↓ cardiac output
|
Penurunan cardiac output
|
Data Subyektif:-
Data Obyektif:
- Konjungtiva pucat
- Akral dingin, pucat
- Penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi
- Penurunan urine output
|
Kecelakaan lalulintas
↓
Trauma tumpul
↓
Internal Bleeding
↓
Kehilangan cairan berlebih
↓
Defisit volume cairan
|
Defisit volume cairan
|
Data subyektif: -
Data Obyektif:
- CRT >2 detik
- Kulit dingin dan pucat
- Bibir berwarna biru
- Tekanan darah 114/70 mmHg
|
Shock
↓
↓ CO ke jantung
↓
Hipotensi
↓
Tonus simpatik ↑
↓
Vasokonstriksi pembuluh darah
↓
Hipoksia
↓
Gangguan perfusi jaringan
|
Gangguan perfusi jaringan
|
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
- Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan venous return ke jantung
Diagnosa Keperawatan
|
Rencana Keperawatan
|
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan venous return ke jantung
DS:-
DO:
- TD 114/70 mmHg
- Nadi 110x/menit, iregular
|
NOC :
-Cardiac pump effectiveness
-Circulation status
-Vital sign status
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama perawatan penurunan curah jantung klien teratasi dengan kriteria hasil:
-Tanda vital dalam rentang normal
-Tidak ada disritmia yang mengancam nyawa
-Kardiomegali(-), edema paru(-), asites(-)
-Tidak ada distensi vena leher
|
NIC:
-Evaluasi adanya nyeri dada
-Catat adanya disritmia jantung
-Catat adanya tanda dan gejala penurunan curah jantung
- Beri terapi cairan intravena
-Kolaborasi
pemberian obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin, dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan afterload sesuai
dengan program medis atau protocol.
-Berikan terapi oksigen 6-8 lpm
-Monitor tanda vital
|
- Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Diagnosa Keperawatan
|
Rencana Keperawatan
|
|
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
DS:-
DO:
- Konjungtiva pucat
- Akral dingin, pucat
- Penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi
- Penurunan urine output
|
NOC:
-Fluid balance
-Hydration
-Nutritional Status:Food and Fluid intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama perawatan defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah (120/80 mmHg) dan nadi 100x/ menit
- Masukan (20 ml/kg BB) dan haluaran seimbang (urin 1000-1500/24 jam) dan berat badan ideal
|
NIC:
-Pertahankan intake dan output cairan yang akurat
-Monitor vital sign setiap 15menit-1jam
-Kolaborasi penggantian cairan intravena dengan menggunakan cairan koloid, kristaloid atau produk darah sesuai instruksi.
-Monitoring peristaltik usus
-Berikan cairan oral
-Pantau kondisi kulit: warna, kelembapan, dan turgor
-Pantau
terhadap kemungkinan kelebihan sirkulasi selama penggantian cairan
(misal; distensi vena leher, rales, dipsneu, peningkatan CVP).
|
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia darah
Diagnosa Keperawatan
|
Rencana Keperawatan
|
|
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia darah
DS:-
DO:
- CRT >2 detik
- Kulit dingin dan pucat
- Bibir berwarna biru
- Tekanan darah 114/70 mmHg
|
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama perawatan klien menunjukkan keadekuatan perfusi jaringan dengan kriteria hasil :
-CRT < 2detik, tidak ada sianosis, sensasi membaik
-Akral hangat
-TTV dalam batas normal
-Urin output 1ml/kgBB/jam
|
-Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer
- Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.
-Dorong latihan kaki aktif/pasif.
-Pantau pernafasan
-Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.
-Pantau masukan dan perubahan keluaran urine.
|
DAFTAR PUSTAKA
Angus
DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR.
Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of
incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care
Med2001;29:1303-10.
Anon, 1800. The Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma Patient. , p.1800.
Behrman
R. E., Kliegman R.M., Jenson H.B. 2003. Nelson textbook of pediatrics.
17th ed. China: SaundersBone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative
therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee.
American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine.
Chest 1992;101:1644-55.
Brunner dan Suddarth. Textbook of Medical-Surgical Nursing. (diterjemahkan oleh: Yasmin Asih). Jakarta:EGC Ehrlich, Steven D, 2015, Solutiont Acupuntur, a private practice specializing in complementary and alternative medicine, Phonix, VeriMed Health Care
Bone RC, Sibbald WJ, Sprung CL. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis and organ failure. Chest 1992;101:1481-3.
DeLoughery TG. Thrombocytopenia and other hot topics. Am J Clin Oncol. 2009 Aug;32(4 Suppl):S13-7.
Elaine Bishop Kennedy, EdD, RN. 2014. Critical Care Nursing Diagnosis and Management 7th
Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.
Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.
Grace, Pierce A & Neil R. Borley. 2007. At a Glace Ilmu Bedah Ed. 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
Heller, Jacob L, 2014, Emergency Medicine, Virginia Mason Medical Center, Seattle, Washington
Klaus, Lessnau, 2015, Distributive Shock, dilihat 8 Maret 2016, http://emedicine.medscape.com/article/168689-overview
Leksana, Ery. 2013. Systemic Inflammatory Response Syndrome. Continuing Medical Education 40(1):1-11
Levy
MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med
2003;31:12506.
Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.
Martin
GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003;348:1546-54.
Matsuda N, Y Hattori (2006). "Sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS): patofisiologi molekul dan terapi gen". J. Pharmacol. Sci. 101 (3): 189-98. DOI: 10.1254/jphs.CRJ06010X.PMID 16823257.
Mehta, Manish, and Mathew, Arun, eds. Hospitalist Manual.
Shelton, CT, USA: PMPH USA, Ltd., 2010. ProQuest ebrary. Web. 8 March
2016. Copyright © 2010. PMPH USA, Ltd.. All rights reserved. (2016),
(March).
Metheny, Norma Milligan. Fluid and Electrolyte Balance (4th Edition).
Philadelphia, PA, USA: LWW (PE), 2000. ProQuest ebrary. Web. 8 March
2016. Copyright © 2000. LWW (PE). All rights reserved. (2016), (March).
Miller, Keane, 2003, Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health, Seventh Edition. Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
Peate, Ian, Wild, Karen, and Nair, Muralitharan, eds. Nursing Practice.
Somerset, GB: Wiley-Blackwell, 2014. ProQuest ebrary. Web. 8 March
2016. Copyright © 2014. Wiley-Blackwell. All rights reserved. (2016),
(March).
Rudolph A.M., Kamei R.K.,
Overby K.J. 2002. Rudolph’s fundamental of pediatrics. 3rd ed. New
York: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Saunders. 2009. Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes. Eight edition. Elsevier Inc
Septic
Shock. New York, US: Nova Biomedical, 2012. ProQuest ebrary. Web. 8
March 2016. Copyright © 2012. Nova Biomedical. All rights reserved.
(2016), (March).
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart. Jakarta : EGC.
Urden, Linda D at al. 2014. Critical Care Nursing Diagnosis and Management 7th Edition. Canada. Elsevier Inc.
Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta.