السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ ...... Selamat datang di BLOG RIO CRISTIANTO. Dukung Blog ini dengan like fanspage "Rio Cristianto". Thank you, Happy Learning... ^_^

Thursday 19 May 2016

Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan

  1. Konsep Mutu Pelayanan
  1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan adalah produk yang  dihasilkan  oleh  suatu organisasi  dapat  menghasilkan  barang atau  jasa.  Jasa diartikan juga  sebagai  pelayanan  karena  jasa  itu menghasilkan  pelayanan  (Supranto, 2006). Kotler (1997)  dan  Tjiptono  (2004), menjelaskan  karakteristik  dari  pelayanan sebagai berikut :
  1. Intangibility (tidak  berwujud),  yaitu  suatu  pelayanan  mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan atau dinikmati, tidak dapat dilihat, didengar dan dicium sebelum dibeli oleh konsumen. Misalnya :  pasien  dalam  suatu  rumah  sakit  akan  merasakan  bagaimana pelayanan  keperawatan  yang  diterimanya  setelah  menjadi  pasien rumah sakit tersebut.
  2.  Inseparibility  (tidak  dapat  dipisahkan),  yaitu  pelayanan  yang dihasilkan  dan  dirasakan  pada  waktu  bersamaan  dan  apabila dikehendaki  oleh  seseorang  untuk  diserahkan  kepada  pihak  lainnya, dia akan tetap merupakan bagian dari pelayanan tersebut. Dengan kata lain, pelayanan  dapat  diproduksi  dan  dikonsumsi/dirasakan  secara bersamaan.  Misalnya  :  pelayanan  keperawatan  yang  diberikan  pada pasien dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.
  3. Variability  (bervariasi),  yaitu  pelayanan  bersifat  sangat  bervariasi karena  merupakan  non  standardized  dan  senantiasa  mengalami perubahan  tergantung  dari  siapa  pemberi  pelayanan,  penerima pelayanan  dan  kondisi  di  mana  serta  kapan    pelayanan  tersebut diberikan.  Misalnya  :  pelayanan  yang  diberikan  kepada  pasien  di ruang rawat inap kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
  4. Perishability (tidak  tahan  lama),  dimana  pelayanan  itu  merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya : jam  tertentu  tanpa  ada  pasien  di  ruang  perawatan,  maka  pelayanan yang  biasanya  terjadi  akan  hilang  begitu  saja  karena  tidak  dapat disimpan untuk dipergunakan lain waktu.

Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat.

Menurut Donabedian (1988) aspek pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
  1. Struktur, sarana fisik, perlengkapan, dan perangkat organisasi dan manajemen mulai dari keuangan, SDM, dan sumber daya lainnya
  2. Proses, semua kegiatan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mulai dari dokter, perawat, apoteker dan professional lainnya dalam berinteraksi dan berkomuniksi dengan klien.
  3. Output, hasil akhir kegiatan dan pelayanan professional yang telah diberikan kepada klien dalam meningkatkan derjat kesehatan dan kepuasan klien

  1. Pelayanan Keperawatan
Herderson  (1966,  dalam  Kozier  et  al,  1997)  menjelaskan  pelayanan keperawatan  sebagai  kegiatan  membantu  individu  sehat  atau  sakit  dalam  melakukan upaya  aktivitas  untuk  membuat individu  tersebut sehat  atau  sembuh  dari sakit atau meninggal dengan tenang (jika tidak dapat disembuhkan), atau membantu  apa  yang  seharusnya  dilakukan  apabila  ia  mempunyai  cukup kekuatan,  keinginan,  atau  pengetahuan.

Berdasarkan kebijakan Depkes RI (1998), mutu pelayanan keperawtan adalah pelayanan kepada pasien yang berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan dan akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit, serta dapat menghasilkan keunggulan kompetitif melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer responsiveness.

Standar praktek keperawatan telah disahkan oleh MENKES Rl dalam Surat Keputusan Nomor : 660/Menkes/SK/IX/1987. Kemiidian diperbaruhi dan disahkan berdasarkan SK DIRJEN YANMED Rl No : 00.03.2.6.7637, tanggal 18 Agustus 1993. Kemudian pada tahun 1996,DPP PPNI menyusun standar profesi keperawatan SK No : 03/DPP /SKI/1996 yang terdiri dari standar pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, standar pendidikan keperawatan dan standar pendidikan keperawatan berkelanjutan.
Mutu pelayanan  keperawatan  dapat  merupakan  suatu pelayanan  keperawatan  yang komprehensif  meliputi  bio-psiko-sosio-spiritual  yang  diberikan  oleh  perawat profesional  kepada  pasien  (individu,  keluarga  maupun  masyarakat)  baik  sakit maupun  sehat,  dimana  perawatan  yang  diberikan  sesuai  dengan  kebutuhan  pasien dan  standar  pelayanan.  Namun  pada  dasarnya,  definisi  mutu  pelayanan keperawatan  itu  dapat  berbeda-beda  tergantung  dari  sudut  pandang  mana  mutu tersebut  dilihat. (Rakhmawati, 2009)
Berbagai  sudut  pandang  mengenai  definisi  mutu  pelayanan keperawatan tersebut diantaranya yaitu :
  1. Sudut Pandang Pasien (Individu, Keluarga, Masyarakat)
Meishenheimer  (1989)  menjelaskan  bahwa  pasien  atau  keluarga  pasien mendefinisikan  mutu  sebagai  adanya  perawat  atau  tenaga  kesehatan  yang memberikan  perawatan  yang  terampil  dan  kemampuan  perawat  dalam memberikan  perawatan.  Sedangkan  Wijono  (2000)  menjelaskan  mutu pelayanan  berarti  suatu  empati,  respek  dan  tanggap  akan  kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang ramah  pada  waktu  mereka  berkunjung.  Pada  umumnya  mereka  ingin pelayanan  yang  mengurangi gejala secara efektif dan mencegah penyakit, sehingga pasien beserta  keluarganya  sehat  dan  dapat  melaksanakan tugas mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat  dikatakan bahwa mutu pelayanan  keperawatan didefinisikan oleh pasien  (individu,  keluarga, masyarakat)  sebagai  pelaksanaan  pelayanan  keperawatan  yang  sesuai  dengan kebutuhannya  yang berlandaskan rasa empati, penghargaan, ketanggapan, dan keramahan  dari  perawat  serta  kemampuan  perawat  dalam  memberikan pelayanan.  Selain  itu  melalui  pelayanan  keperawatan  tersebut,  juga  dapat menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.

  1. Sudut Pandang Perawat
Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan memberikan pelayanan  keperawatan sesuai yang dibutuhkan pasien agar menjadi mandiri atau terbebas dari sakitnya  (Meishenheimer, 1989). Pendapat lainnya dikemukakan oleh Wijono (2000), bahwa mutu  pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara  profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan  yang  maju,  mutu  pelayanan  yang  baik  dan  memenuhi  standar yang  baik.  Dengan  demikian  dapat  dikatakan  bahwa  perawat  sebagai  tenaga profesional  yang  memberikan  pelayanan  keperawatan  terhadap  pasien mendefinisikan  mutu  pelayanan  keperawatannya  sebagai  kemampuan melakukan  asuhan  keperawatan  yang  profesional  terhadap    pasien  (individu, keluarga,  masyarakat)  dan  sesuai  standar  keperawatan,  perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi.

  1. Sudut Pandang Manajer Keperawatan
Mutu pelayanan difokuskan pada pengaturan staf, pasien dan masyarakat yang baik dengan menjalankan supervisi, manajemen keuangan dan logistik dengan baik  serta  alokasi  sumber  daya  yang  tepat  (Wijono,  2000).  Pelayanan keperawatan  memerlukan  manajemen  yang  baik  sehingga  manajer keperawatan  mempunyai  peranan  penting  dalam  meningkatkan  mutu pelayanan  keperawatan  dengan  melaksanakan  fungsi-fungsi  manajemen dengan  baik  yang  memfokuskan  pada  pengelolaan  staf  keperawatan  dan pasien sebagai  individu, keluarga dan masyarakat. Selain  itu pengelolaan pun mencakup pada manajemen keuangan dan logistik.

  1. Sudut Pandang Institusi Pelayanan
Meishenheimer  (1989)  mengemukakan  bahwa  mutu  pelayanan  diasumsikan  sebagai kemampuan untuk bertahan, pertimbangan penting mencakup tipe dan kualitas  stafnya    untuk  memberikan  pelayanan,  pertanggungjawaban  intitusi terhadap  perawatan  terhadap  pasien  yang  tidak  sesuai,  dan  menganalisis dampak  keuangan  terhadap  operasional  institusi.  Sedangkan  Wijono  (2000) menjelaskan  bahwa  mutu  dapat  berarti  memiliki  tenaga  profesional  yang bermutu  dan  cukup.  Selain  itu  mengharapkan  efisiensi  dan  kewajaran penyelenggaraan  pelayanan,  minimal  tidak  merugikan  dipandang  dari berbagai  aspek  seperti  tidak  adanya  pemborosan  tenaga,  peralatan,  biaya, waktu dan sebagainya.

  1. Sudut Pandang Organisasi Profesi
Badan  legislatif  dan  regulator  sebagai  pembuat  kebijakan  baik  lokal  maupun nasional  lebih  menekankan  pada  mendukung  konsep  mutu  pelayanan  sambil menyimpan  uang  pada  program  yang  spesifik.  Dan  selain  itu  juga menekankan  pada  institusi-institusi  pelayanan  keperawatan  dan  fasilitas pelayanan keperawatan. Badan akreditasi dan sertifikasi menyamakan kualitas dengan  mempunyai  seluruh  persyaratan  administrasi  dan  dokumentasi  klinik yang  lengkap  pada  periode  waktu  tertentu  dan  sesuai  dengan  standar  pada level  yang  berlaku.  Sertifikat  mengindikasikan  bahwa  institusi  pelayanan keperawatan  tersebut  telah  sesuai  standar  minimum  untuk  menjamin keamanan  pasien.  Sedangkan  akreditasi  tidak  hanya  terbatas  pada  standar pendirian  institusi  tetapi  juga  membuat  standar  sesuai  undang-undang  yang berlaku (Meishenheimer , 1989).

Persatuan  Perawat  Nasional  Indonesia  (PPNI)  sebagai  organisasi  profesi mempunyai  tanggung  jawab  dalam  meningkatkan  profesi  keperawatan. Sehingga  untuk  meningkatkan  mutu  pelayanan  keperawatan,  organisasi profesi  tersebut  membuat  dan  memfasilitasi  kebijakan  regulasi  keperawatan yang  mencakup  sertifikasi,  lisensi  dan  akreditasi.  Dimana  regulasi  tersebut diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan  telah  berdasarkan  kaidah  suatu  profesi  dan  pemberi  pelayanan keperawatan telah memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.

Tujuan standar keperawatan merrnrut Gilies (1989) adalah:
  1. Meningkatkan asuhan keperawatan.
  2. Mengurangi biaya asuhan keperawatan
  3. Melindungi perawat dan kelalaian dalam melaksanaka tugas danmelindungi pasien dan tindakan yang tidak terapeutik.

Standar pelavanan keperawatan menurut Depkes Rl 1996 adalahmeliputi:
  1. Startdar 1        : falsafah keperawatan
  2. Standar 2         : tujuan asuhan keperawatan.
  3. Standar 3         : pengkajian keperawatan
  4. Standar 4         : diagnosa keperawatan.
  5. Standar 5         : perencanaan keperawatan.
  6. Standar 6         : intervensi keperawatan
  7. Staridar 7        : evaluasi keperawatan.
  8. Standar 8         : catatan asuhan keperawatan.

  1. Mutu pelayanan
Pengertian mutu pelayanan kesehatan bersifat multi-dimensional yang berarti mutu dilihat dari sisi pemakai pelayanan kesehatan dan penyelenggara pelayanan kesehatan (Azwar, 1996)
  1. Dari pihak pemakai jasa pelayanan, mutu berhubungan erat dengan ketanggapan dan keterampilan petugas kesehatan dalam memenuhi kebutuhan klien. komunikasi, keramahan dan kesungguhan juga termasuk didalamnya.
  2. Dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu berhubungan dengan dokter, paramedis, derajat mutu pemakaian dan playanan yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), mutu pelayanan didefinisikan sebagai suatu hal yang menunjukkan kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang dapat menimbulkan kepuasan klien sesuai dengan tingkat kepuasan penduduk, serta pihak lain, pelayanan yang sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan yang professional yang telah ditetapkan. Tappen  (1995)  menjelaskan  bahwa  mutu adalah  penyesuaian  terhadap  keinginan  pelanggan  dan  sesuai  dengan  standar yang berlaku serta tercapainya tujuan  yang diharapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan sesuatu hal yang dapat meningkatkan kepuasan dan kenyamanan klien dengan menyelenggarakan sebuah pelayanan yang optimal sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan professional yang berlaku serta selalu menerapkan pelayanan yang dinamis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  1. Dimensi mutu pelayanan
Lima dimensi mutu pelayanan (Service Quality), terdiri dan:
  1. Wujud nyata (tangibles) adalah wujud Iangsung yang meliputi fasilitas fisik, yang mencakup kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi SDM perusahaan dan keselarasan antara fasilitas fisik dengan jenis jasa yang diberikan.
  2. Kehandalan (reliability) adalah aspek-aspek keandalan system pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan rencana kepedulian perusahaan kepada permasalahan yang dialami pasien, keandalan penyampaian jasa sejak awal, ketepatan waktu pelayanan sesuai dengan janji yang dibenikan,keakuratan penanganan.
  3. Ketanggapan (responsiveness) adalah keinginan untuk membantu dan menyediakan jasa yang dibutuhkan konsumen. Hai ini meliputi kejelasan informasi waktu penyampaian jasa, ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan administrasi, kesediaan pegawai dalam membantu konsumen, keluangan waktu pegawai dalam menanggapi permintaan pasien dengan cepat.
  4. Jaminan (assurance) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan memberikan jaminan keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman selama berurusan dengan karyawan, kesabaran karyawan, dan dukungan pimpinan terhadap staf. Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi :
  1. Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan
  2. Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para karyawan
  3. Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.
  1. Empati (empathy), berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada konsumen yang meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara pribadi kepada konsumen, pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian terhadap kepentingan, kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan konsumen. Dimensi emphaty ini merupakan penggabungan dari dimensi :
  1. Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang ditawarkan
  2. Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melaukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan
  3. Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan

  1. Penilaian mutu pelayanan
Penilaian  terhadap  mutu  dilakukan  dengan  menggunakan  pendekatan-pendekatan yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
  1. Struktur (Input)
Donabedian  (1987,  dalam  Wijono  2000)  mengatakan  bahwa  struktur merupakan  masukan  (input)  yang  meliputi  sarana  fisik perlengkapan/peralatan,  organisasi,  manajemen,  keuangan,  sumber  daya manusia dan sumber daya  lainnya dalam fasilitas  keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya  anggaran  atau  biaya,  dan  kewajaran.  Penilaian  juga  dilakukan terhadap  perlengkapan-perlengkapan  dan  instrumen  yang  tersedia  dan dipergunakan  untuk  pelayanan.  Selain  itu  pada  aspek  fisik, penilaian  juga mencakup  pada  karakteristik  dari  administrasi  organisasi  dan  kualifikasi  dari profesi kesehatan.

Pendapat  yang  hampir  sama  dikemukakan  oleh  Tappen  (1995),  yaitu  bahwa struktur  berhubungan  dengan  pengaturan  pelayanan  keperawatan  yang diberikan  dan  sumber  daya  yang  memadai. Aspek  dalam  komponen  struktur dapat  dilihat  melalui  :  1)  fasilitas,  yaitu  kenyamanan,  kemudahan  mencapai pelayanan  dan  keamanan;  2)  peralatan,  yaitu  suplai  yang  adekuat,  seni menempatkan  peralatan;  3)  staf,  meliputi  pengalaman,  tingkat  absensi,  rata-rata turnover, dan rasio pasien-perawat; dan 4) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan. 

Berdasarkan  kedua  pendapat  di  atas,  maka  pendekatan  struktur  lebih difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan,  diantaranya  yaitu  :  1)  fasilitas  fisik,  yang  meliputi  ruang perawatan  yang  bersih,  nyaman  dan  aman,  serta  penataan  ruang  perawatan yang  indah;  2)  peralatan,  peralatan  keperawatan  yang  lengkap,  bersih,  rapih dan  ditata  dengan  baik;  3)  staf  keperawatan  sebagai  sumber  daya  manusia, baik  dari  segi  kualitas  maupun  kuantitas;  4)  dan  keuangan,  yang  meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi dana. Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik, baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistik.

  1. Proses (Process)
Donabedian  (1987,  dalam  Wijono  2000)  menjelaskan  bahwa  pendekatan  ini merupakan  proses  yang  mentransformasi  struktur  (input)  ke                                 dalam  hasil  (outcome).  Proses  adalah  kegiatan  yang  dilaksanakan  secara profesional  oleh  tenaga  kesehatan  (perawat)  dan  interaksinya  dengan  pasien. Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan  penanganan  kasus.  Dengan kata  lain  penilaian  dilakukan terhadap perawat  dalam  merawat  pasien.  Dan  baik  tidaknya  proses  dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu proses  itu  sendiri  sesuai  dengan  standar  pelayanan  yang  semestinya,  dan kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan).

Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan. Hal ini termasuk perawatan fisik, intervensi psikologis seperti pendidikan dan konseling, dan aktivitas kepemimpinan. Penilaian dapat melalui observasi atau audit dari dokumentasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  pendekatan ini  difokuskan  pada  pelaksanaan  pemberian  pelayanan  keperawatan  oleh perawat  terhadap  pasien  dengan  menjalankan  tahap-tahap  asuhan keperawatan.  Dan  dalam  penilaiannya  dapat  menggunakan  teknik  observasi maupun  audit  dari  dokumentasi  keperawatan.  Indikator  baik  tidaknya  proses dapat  dilihat  dari  kesesuaian  pelaksanaan  dengan  standar  operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas pelaksanaannya. 

  1. Hasil (Outcome)
Pendekatan  ini  adalah  hasil  akhir  kegiatan  dan  tindakan  perawat  terhadap pasien.  Dapat  berarti  adanya  perubahan  derajat  kesehatan  dan  kepuasan  baik positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat kesehatan  pasien  dan  kepuasan  pasien  terhadap  pelayanan  perawatan  yang telah  diberikan  (Donabedian,  1987  dalam  Wijono  2000).  Sedangkan  Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari aktivitas yandiberikan  oleh  petugas  kesehatan.  Hasil  ini  dapat  dinilai  dari  efektifitas  dari aktivitas pelayanan  keperawatan  yang ditentukan  dengan tingkat  kesembuhan dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini  yaitu pada  hasil  dari  pelayanan  keperawatan,  dimana  hasilnya  adalah  peningkatan derajat  kesehatan  pasien  dan  kepuasan  pasien.  Sehingga  kedua  hal  tersebut dapat dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan. 

Pendekatan-pendekatan  di  atas  dapat  digunakan  sebagai  indikator  dalam melakukan  penilaian  terhadap  mutu.  Namun  sebagai  suatu  sistem  penilaian  mutu sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur, proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi  yang  tepat  untuk  mengatasi  kekurangan  atau  penilaian negatif  dari  mutu pelayanan  tersebut.  Namun  seiring  berjalannya  waktu,  strategi  peningkatan  mutu mengalami  perkembangan  yang  dapat  menjadi  wacana  kita  mengenai  strategi mana  yang  tepat  dalam melakukan  upaya  yang  berkaitan  dengan  mutu  pelayanan keperawatan.  Oleh  karena  itu  pada  sub  bab  berikutnya  akan  dibahas  mengenai strategi dalam mutu pelayanan keperawatan.

  1. Strategi mutu
  1. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality  Assurance  mulai  digunakan  di  rumah  sakit  sejak  tahun  1960-an implementasi  pertama  yaitu  audit  keperawatan.  Strategi  ini  merupakan program  untuk  mendesain  standar  pelayanan  keperawatan  dan  mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan menurut Wijono (2000),  Quality  Assurance  sering  diartikan  sebagai  menjamin  mutu  atau memastikan  mutu  karena Quality Assurance berasal  dari  kata to assure  yang artinya  meyakinkan  orang,  mengusahakan  sebaik-baiknya,  mengamankan atau  menjaga.  Dimana  dalam  pelaksanaannya  menggunakan  teknik-teknik seperti  inspeksi,  internal  audit  dan  surveilan  untuk  menjaga  mutu  yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang diinginkan. 

Dengan  demikian  quality  assurance  dalam  pelayanan  keperawatan  adalah kegiatan  menjamin  mutu    yang  berfokus  pada  proses  agar  mutu pelayanan keperawatan  yang  diberikan  sesuai  dengan  standar.  Dimana  metode  yang digunakan  adalah  :  audit  internal  dan  surveilan  untuk  memastikan  apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan  yang diberikan kepada pasien) telah  sesuai  dengan  standar  operating  procedure  (SOP);  evaluasi  proses; mengelola  mutu;    dan  penyelesaian  masalah.  Sehingga  sebagai  suatu  sistem (input,  proses,  outcome),  menjaga  mutu  pelayanan  keperawatan  difokuskan hanya  pada  satu  sisi  yaitu  pada  proses  pemberian  pelayanan  keperawatan untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan.

  1. Continuous  Quality  Improvement  (Peningkatan  Mutu  Berkelanjutan)
Continuous  Quality  Improvement  dalam  pelayanan  kesehatan  merupakan perkembangan  dari  Quality  Assurance  yang  dimulai  sejak  tahun  1980-an. Continuous  Quality  Improvement  (Peningkatan  mutu  berkelanjutan)  sering diartikan sama dengan Total Quality Management karena semuanya mengacu pada  kepuasan  pasien  dan  perbaikan  mutu  menyeluruh.  Namun  menurut Loughlin  dan  Kaluzny  (1994,  dalam  Wijono  2000)  bahwa  ada  perbedaan sedikit  yaitu  Total  Quality  Management dimaksudkan  pada  program  industri sedangkan  Continuous  Quality  Improvement  mengacu  pada  klinis.  Wijono (2000)  mengatakan  bahwa  Continuous  Quality  Improvement  itu  merupakan upaya peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien.  Tujuannya  adalah  untuk  meningkatkan  mutu  yang  tinggi  dalam pelayanan  keperawatan  yang  komprehensif  dan  baik,  tidak  hanya  memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku. 

Pendapat  lain  dikemukakan  oleh  Shortell  dan  Kaluzny  (1994) bahwa  Quality Improvement  merupakan  manajemen  filosofi  untuk  menghasilkan  pelayanan yang baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan mutu  yang berkelanjutan  yaitu proses  yang dihubungkan dengan memberikan pelayanan  yang  baik  yaitu  yang  dapat  menimbulkan  kepuasan  pelanggan (Shortell,  Bennett  &  Byck,  1998)

Sehingga  dapat  dikatakan  bahwa  Continuous  Quality  Improvement  dalam pelayanan  keperawatan  adalah  upaya  untuk  meningkatkan  mutu  pelayanan keperawatan  secara  terus  menerus  yang  memfokuskan  mutu  pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai  karakteristik-karakteristik  yang  dapat  mempengaruhi  mutu  dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.

  1. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses,  dalam  setiap  area  fungsional  dari  suatu  organisasi,  dengan menggunakan  semua  sumber  daya  manusia  dan  modal  yang  tersedia  dan berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh


Daftar Pustaka :

Azwar,  A.  (1996).  Menuju  pelayanan  kesehatan  yang  lebih  bermutu.  Jakarta:  Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Gillies, D.A. (1994). Nursing management, a system approach. Third Edition. Philadelphia : WB Saunders.
Kozier, Erb & Blais. (1997). Profesional nursing practice : concept & perspectives. Third Edition. California : Addison Wesley Publishing.Inc
Meisenheimer, C.G. (1989). Quality Assurance for Home Health  Care. Maryland:  Aspen Publication.
Rakhmawati, Windy. (2009). Pengawasan Dan Pengendalian  Dalam Pelayanan Keperawatan (Supervisi, Manajemen Mutu & Resiko). http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/pengawasan_dan_pengendalian_dlm_pelayanan_keperawatan.pdf, diakses 4 November 2015
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. (1999). Introductory management and leadership for nurses. Canada : Jones and Barlett Publishers.
Tappen (1995). Nursing leadership and management : Concepts & Practice. Philadelphia : F.A. Davis Company.
Tjiptono, F. (2004). Prinsip-prinsip total quality service (TQS). Yogyakarta : Andi Press
Wijono,  D.  (2000).  Manajemen  mutu  pelayanan  kesehatan.  Teori,  Strategi  dan  Aplikasi. Volume.1. Cetakan Kedua. Surabaya : Airlangga Unniversity Press





0 comments:

Post a Comment

Mari kita budayakan berkomentar yang baik dan santun ya sobat.